Kamis, 17 Oktober 2024

DALIL AKAL TENTANG WUJUD TUHAN

 

Para pemikir dari kalangan Mutakallimin dan Filsuf klasik sampai pada kesimpulan yang sama bahwa Tuhan itu wajibul wujud. Istilah wajibul wujud ini adalah istilah filsafat-kalam, meski sering juga digunakan oleh orang yang antipati terhadap filsafat atau ilmu kalam tanpa disadari bahwa itu adalah produk khas ilmu yang dia tolak. Wajibul wujud berarti keberadaannya dipastikan secara rasional atau dengan kata lain rasio yang lurus tidak mungkin membayangkan adanya kondisi di mana Tuhan tidak ada.


Namun, mari kita lihat argumen first cause ini dan kita uji kritik terhadapnya.


Argumen First Cause berisi:

1) Segala hal yang ada pasti ada sebabnya; 

2.)Tidak ada sesuatu pun yang menjadi sebab bagi dirinya sendiri; 

3) Tidak mungkin ada rangkaian sebab-akibat yang tanpa akhir; 

4) Maka ada satu "sebab pertama'" yang tidak disebabkan; 

5) Kalau "sebab pertama" itu dapat didefinisikan sebagai Tuhan; 

6) Berarti Tuhan ada


Lalu kita uji kritiknya sebagai berikut:


1. PREMIS 2 DAN 4, KONTRADIKSI


Ya, premis 2 dan 4 betul kontradiksi, tapi itu hanya kalau diasumsikan bahwa apa yang dinafikan di presmis 2 adalah satu jenis dengan apa yang ditetapkan dalam premis 4. Kenyataannya apa yang dinafikan di premis dua tidak sama dengan premis 4 dengan bukti adanya premis 3 yang memastikan ketidaksamaan tersebut. 


Yang dinafikan adalah keberadaan sesuatu secara umum yang bisa ada sendiri tanpa ada sebab di luar dirinya yang menyebabkan dia ada. Namun ketika dinalar secara logis, ternyata harus ada satu keberadaan yang pasti ada tanpa disebabkan keberadaan lain dengan bukti kemustahilan adanya rangkaian sebab-akibat tanpa akhir. 


Jadi, premis 4 adalah pengecualian dari premis 2. Pengecualian tidaklah dianggap sebagai kontradiksi dalam logika. Pengecualian adalah hal yang wajar. Hasil penalaran tersebut sama dengan perkataan: 


"Semua hal ada karena disebabkan oleh hal lain, kecuali eksistensi pertama"


Dengan demikian, kritik di poin 1 ini tidak tepat sebab secara mutlak menganggap pengecualian sebagai kontradisksi.


2. PREMIS 3: DASARNYA APA?_PREMIS INI BIASANYA DIAWALI DARI ASUMSI BAHWA'RANGKAIAN ANGKA' YANG RASANYA TIDAK TERBATAS ITU PASTI ADA BATASNYA,HANYA AKAL TIDAK BISA MENJANGKAU. PADAHAL ADA PERBEDAAN SIGNIFIKAN ANTARA ANGKA DAN PERISTIWA; ANGKA SIFATNYA ABSTRAK DAN IMAJINER, SEMENTARA PERISTIWA ATAU SESUATU SIFATNYA KONGKRIT, DAN SEGALA YANG KONGKRIT PASTI MEMILIKI PENJELASAN TERHADAP SEBABNYA.


Dasar premis 3 yang menyatakan kemustahilan adanya rangkaian sebab-akibat tanpa akhir bukanlah berdasarkan pada asumsi. Bukan pula berdasarkan angka yang wujudnya imajiner-konseptual. Jadi pengkritik salah paham.


Dasar premis 3 adalah fakta bahwa bila diandaikan ada keberadaan rangkaian sebab-akibat tanpa akhir, maka akan selalu menghasilkan kesimpulan "tidak wujud". Contoh:


Bila A hanya bisa ada setelah diciptakan oleh B, lalu B hanya bisa ada setelah diciptakan oleh C, lalu C hanya bisa ada setelah diciptakan oleh D, dan seterusnya tanpa akhir, maka kesimpulan akhirnya pastilah A tidak mungkin wujud sampai kapan pun sebab keberadaannya digantungkan pada keberadaan sesuatu yang sesuatu itu pun tidak ada ujung wujudnya attau dengan kata lain tidak bakalan ada selamanya. Nah, ketika sekarang secara faktual A betul-betul ada, maka artinya tidak ada rangkaian sebab-akibat tanpa akhir. Ini adalah satu-satunya kesimpulan logis.


Karena semesta ini nyata sudah ada, maka pastilah tidak ada rangkaian sebab-akibat yang tidak berujung. Di ujung terakhir pastilah ada sebab pertama yang memulai segalanya sehingga semesta bisa ada seperti sekarang. Andai ada rangkaian sebab-akibat tanpa akhir, maka semesta mustahil ada sekarang ini sebab keberadaannya tergantung pada keberadaan hal lain yang tidak ada ujung wujudnya. Ini dasar logis yang tidak mungkin dibantah.


3. KOMPOSISI ARGUMEN INI TIDAK MEMUNGKIRI ADANYA LEBIH DARI SATU SEBAB. BERARTI ADA LEBIH DARI SATU TUHAN?


Kritik ini mencampur adukkan istilah "sebab" dan istilah "Tuhan", padahal keduanya berbeda. Yang dianggap Tuhan dalam argumen first cause ini hanyalah sebab pertama saja, sesuai namanya, bukan sebab kedua dan seterusnya. Jadi, tidak dapat dismpulkan bahwa masing-masing sebab dianggap Tuhan.


4. KOMPOSISI ARGUMEN INI JUGA TIDAK MEMBAWA IMPLIKASI TUHAN YANG MAHABAIK ATAU MAHA TAHU.


Betul, komposisi ini tidak membawa implikasi tersebut atau implikasi Tuhan Maha Kuasa, Maha Melihat, Maha Mendengar dan seterusnya. Kenapa demikian, sebab memang argumen first cause tidak dimaksudkan untuk membuktikan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat tersebut tapi hanya dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa Tuhan itu ada. 


Jadi, pengkritik sama sekali tidak paham fungsi argumen first cause sehingga mengkritiknya sebab tidak menghasilkan kesimpulan yang di luar fungsinya. Untuk mengatakan bahwa Tuhan Maha Tahu dan seterusnya ada argumennya sendiri, bukan argumen First Cause. Membuktikan siapa nama Tuhan juga tidak bisa dicapai dengan argumen first cause ini, butuh argumen lain.


Dengan demikian, seluruh poin kritik pada tangkap layar slide yang dilampirkan ini semuanya lemah. Kritik tersebut tidak dapat meruntuhkan argumen first cause sepenuhnya, meskipun harus diakui bahwa ini bukanlah argumen yang paling kuat. Argumen paling kuat adalah argumen ala Mutakallim yang disebut sebagai argumen huduts al-alam sebagai berikut:


1. Semua alam (selain Allah) mengalami perubahan

2. Segala yang mengalami perubahan pastilah desain (muhdats)

3. Segala desain berarti ada desainernya (muhditsnya)


Atau argumen ala Filsuf yang disebut sebagai argumen imkan sebagai berikut:


1. Secara probabilitas, keberadaan alam adalah setara dengan ketiadaannya 

2. Ketika ternyata alam terbukti ada dan bukannya tidak ada, maka pasti ada faktor luar yang membuatnya ada sebab tidak mungkin ada keunggulan dalam dua opsi yang setara tanpa adanya faktor luar yang membuat keunggulan tersebut.


Saya harus mengakhiri tulisan ini agar tidak panjang. Tujuan utamanya sekedar menguji kekuatan kritik terhadap First Cause sebagaimana terlampir. Hasilnya, kritiknya tidak kuat.


والله اعلم بالصواب

Rabu, 16 Oktober 2024

TINGKATAN/ MARTABAH NIAT

 



Sering kita mendengar bahwa meniatkan perbuatan baik saja sudah mendapatkan pahala walaupun tidak mengerjakan nya, sedangkan meniatkan perbuatan buruk tidak mendapatkan dosa kecuali sampai melakukan nya.

Dalam sebuah hadits sahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang terdapat dalam kitab Matan Arba'in syarah Majalisus saniyah, Nabi bersabda:


فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمائَةِ ضِعْفٍ إِلىَ أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ. وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ له سَيِّئَةً وَاحِدَةً( رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)

( Syarah Majalisus Saniyah, hal 111)


Artinya: Barangsiapa berniat untuk mengerjakan kebaikan namun belum terlaksana, maka Allah akan catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Dan jika dia berniat untuk kebaikan dan mengerjakannya,  maka Allah akan catat baginya dengan 10 kebaikan hingga 700 kali lipat, bahkan sampai berlipat–lipat banyaknya. Sebaliknya, apabila dia berniat untuk mengerjakan amalan keburukan namun belum terlaksana, maka Allah akan catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Dan apabila dia berniat untuk kejelekan dan mengerjakannya, maka Allah akan mencatat baginya satu kejelekan saja.” (HR.  Al Bukhari dan Muslim).


Penjelasan:

Di dalam Syarah/penjelasan tentang hadits tersebut, bahwa niat itu punya martabah/tingkatan atau berlevel-level, bukan hanya satu tingkat/macam saja. Masing-masing level memiliki konsekuensi yang berbeda dengan yang lainnya.


Level 1.

Level pertama disebut HAJIS (الهاجس).

Hajis adalah goresan hati yang berkelebat sejenak dalam hati/pikiran.


Level 2

Level kedua disebut KHATHIR (الخاطر).

Khathir adalah goresan hati yang sudah sampai pada level membayangkan


Level 3

Level ketiga disebut HADITSUN NAFSI (حديث النفس).

Haditsun nafsi adalah goresan hati yang sudah mulai dipertimbangkan antara dilakukan ataukah tidak. Tetapi masih belum pasti. Masih 50-50 antara melakukan ataukah tidak. Bisa saja dilakukan bisa juga tidak.


Level 4

Level keempat adalah HAMMU/ HIMMAH (الهمّ / همة).

Hammu/ himmah adalah goresan hati yang sudah mulai menguat dan sudah menjelma menjadi sebuah keinginan yang sifatnya sudah jelas condrong untuk melakukan. Sudah lebih dari 50 % tapi belum sampai 100 %.


Level 5

Level kelima disebut 'AZAM(العزم).

Azam adalah goresan hati yang sudah bukat mengkristal dan menguat menjadi niat teguh dan tekad yang dipastikan akan dilakukan. Ini levelnya sudah 100%.


Pertama: Niat berbuat baik.


Jika seseorang terlintas dalam hatinya atau tiba-tiba saja tergores dalam hatinya ingin berbuat baik, misalnya untuk bersedekah, maka lintasan dalam hatinya ini dinamakan HAJIS.


Jika keinginan bersedekah itu sudah mulai mengalir dalam hati dan membayangkan dalam hatinya , maka lintasan hati seperti itu dinamakan KHATHIR.


Jika keinginan bersedekah itu semakin timbul dalam hatinya tetapi masih 50-50, antara jadi atau tidak, maka lintasan hati seperti itu dinamakan HADITSUN NAFSI.


Jika keinginan bersedekah itu sudah menguat dalam hatinya, sudah lebih dari 50 % dan sudah condong untuk segera melakukannya, maka keinginan bersedekah itu dinamakan HAMMUN/ HIMMAH.

Niat pada level himmah ini, seseorang sudah mendapatkan satu pahala kebaikan walaupun niatnya itu belum bisa terlaksana.


Adapun jika keinginan bersedekah itu sudah bulat 100%, dan bahkan dia sudah masuk dalam mukaddimah/ langkah nyata untuk segera bersedekah, misalnya sudah membawa uang untuk di masukkan dalam celengan masjid, maka niat bersedekah ini sudah level 'AZAM.


Lintasan hati untuk berbuat baik pada level 'azam ini, maka dia pasti mendapatkan pahala walaupun tidak terlaksana karena ada sebab lain, misalnya uangnya jatuh atau hilang, jika sampai dilaksanakan, maka dia mendapatkan pahala 10 kali lipat sampai tak terbatas.


Kedua: Niat berbuat buruk/ jahat.


Jika seorang tiba-tiba terlintas dalam hatinya untuk mencuri, maka goresan yang datang sekelebat dalam hatinya itu disebut dengan HAJIS.


Jika goresan hati untuk mencuri itu sudah mulai mengalir, membayangkan dan memiliki durasi waktu lebih dari sekelebat, maka goresan hati seperti itu dinamakan KHATHIR.


Jika bayangan untuk mencuri itu sudah mulai mendorongnya untuk melakukannya, tapi masih 50-50 atau setengah-setengah, masih bimbang antara resiko dan keuntungan, masih berfikir antara kesempatan dan hambatan, maka lintasan hati seperti itu dinamakan HADITSUN NAFSI.


Jika keinginan mencuri itu sudah pasti dengan hilang keraguannya dan dia jelas ingin segera melaksanakan keinginan mencuri, akan tetapi masih ada peluang dibatalkan meski kecil, maka keinginannya seperti ini dinamakan HAMMUN/ HIMMAH.


Jika keinginan mencuri itu sudah bulat dan menjadi tekad, dan tidak ada niat lagi untuk dibatalkan, dan dia sudah masuk dalam mukaddimah mencuri, seperti sudah menyiapkan alat-alat untuk mencuri, dan mendatangi benda yang ingin dicuri, maka keinginan seperti itu sudah dinamakan AZAM.


Goresan atau hati untuk berbuat maksiat jika masih berupa level hajis, maka ia di maafkan, karena lintasan jenis hajis ini hampir mustahil dicegah pada hati manusia.


Lintasan hati berupa khathir dan haditsun nafsi jika ditolak maka juga dimaafkan, selama belum dikerjakan atau diucapkan. Al-Bukhari meriwayatkan,


 إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ (صحيح البخاري)


Artinya: Sesungguhnya Allah mengampuni umatku apa yang dibicarakan oleh hatinya selama belum dilakukan atau diucapkan” (H.R.Al-Bukhari)


Untuk azam maksiat, maka dia sudah pasti mendapatkan dosa dan akan dihukum meski tidak mampu melaksanakannya. Contohnya seperti orang yang berniat mencuri tadi, dia sudah menyiapkan alat dan mendatangi barang yang hendak di curi, tapi tidak terlaksana karena ada pemiliknya, maka pada level ini dia sudah berdosa, walaupun mencuri tidak berhasil dilakukan.


Contoh lainnya niat membunuh seseorang orang, kemudian dia mendatangi orang yang akan dibunuh, kemudian terjadi perlawanan, pada akhirnya dia sendiri yang terbunuh, maka dia yang terbunuh berdosa karena niatnya membunuh sudah level azam.


و الله اعلم بالصواب


SMAN 3 PUTRA BANGSA, LHOKSUKON 

16 Oktober 2024

Sabtu, 12 Oktober 2024

Kenapa Mesti Lafadh Bi?




Kenapa dalam Al-Qur'an surat Isra ayat 23 pada kalimat “و بالوالدين احسانا ” digunakan lafadh "bi" ( ب ) yang diartikan dalam bahasa Indonesia dengan arti"dengan". Padahal secara kebahasaan boleh juga digunakan lafadh "ila" ( الى) yang artinya "ke" atau lafadh “li” (ل) yang artinya "untuk"..


Kenapa redaksi Al-Qur'an mesti digunakan lafadh "bi" tersebut daripada lafadh lainnya?


Jawaban nya dapat kita temukan dalam pembahasan kitab-kitab Nahwu bahwa salah satu faedah huruf jar “bi ” adalah “ ilshaq” (إلصاق), yang artinya melekat, yakni menunjukkan hubungan kedekatan yang erat dan dekat antara dua objek atau lebih.


Sedangkan penggunaan lafadh “ila” yang artinya "ke", itu mengandung faedah " intiha' ( انتهاء ) yang artinya jarak, misalnya contoh: ذهبت من مكة الى المدينة yang artinya: saya pergi dari Makkah ke Madinah. Ini menunjukkan ada jarak antara kedua kota tersebut.


Dengan demikian dapat kita pahami bahwa dari sudut bahasa saja, penggunaan lafadh “bi”, bukan “ ila”, menunjukkan Allah seperti nya tidak menghendaki jarak walau sedikitpun dalam hubungan berbakti kepada kedua orang tua.


Allah menghendaki hubungan yang sangat erat dan dekat, bahkan lekat, antara anak dengan orang tuanya. Kedekatan ini bukan hanya dimaknai secara fisik, tapi juga secara kejiwaan..


Dari situ juga kita dapat memahami juga bahwa tidak digunakan lafadh “li” dalam ayat tersebut karena manfaat dalam berbakti kepada orang tua itu pada hakikatnya bukan untuk kepentingan orang tua, tetapi untuk kepentingan anak itu sendiri. Itu sebabnya tidak dipilih lafadh “li” yang bermakna "untuk"..


Semoga bermanfaat 


و الله اعلم بالصواب

Kamis, 10 Oktober 2024

Apa Makna اف Dalam Al-Qur'an?



Kalimat اف ( uffin ) dalam Surat Al Isra ayat 23 menurut tafsir Khazin adalah sebuah kalimat yang mengandung makna "sesuatu yang tidak disukai/dibenci".


Pada mulanya kalimat اف tersebut digunakan ketika misalnya debu atau tanah atau kotoran lainnya mengenai pakaian atau badan kita, lalu kita menghembusnya supaya hilang debu tersebut, ketika kita hembus akan keluar bunyi dari mulut dengan suara "uff"


Dalam tafsir Khazin isem ini terjadi dari makna fiil mudhari' yang bermakna أتضجر (aku tidak suka, aku malas” dan makna sejenis nya. 


Kemudian orang orang Arab meluaskan penyebutan kalimat uffin tersebut kepada sesuatu apapun yang di benci yang menimpa mereka sehingga disebut juga dengan اسم الفعل ( isem fiil ) yaitu isem yang berasal dari fiil, dan disebut juga dengan اسم الصوت ( isem suara ) yaitu kalimat isem yang diambil dari bunyi suara..


Ini adalah makna-makna yang menunjukkan rasa ketidaksukaan dan kekesalan sehingga terekspresi atau diekspresikan dengan mengeluarkan suara..


Misalnya ketika kita mengucapkan suatu suara yang khas untuk menggambarkan perasaan kita seperti “ihhh” ( untuk menunjukkan rasa jijik) atau “yahh” (untuk menunjukkan rasa kecewa), atau "ssstttt" (untuk menunjukkan perintah jangan ribut), atau "aahh" ( untuk menunjukkan rasa malas), atau “hahh..??"( untuk menunjukkan rasa kaget), atau "yehh" dalam bahasa Aceh ( untuk menunjukkan rasa kaget), dan lain lain.


Sepertinya semua negara dan suku bangsa punya suara khas nya masing untuk menunjukkan sebuah ekspresi perasaan.


Jadi kalimat  أف  dalam bahasa arab digunakan untuk mengungkapkan ekspresi rasa ketidaksukaan itu..


Maka dalam Al-Qur'an Allah melarang kita mengatakan suatu kalimat yang menunjukkan ekspresi rasa ketidaksukaan dan kekesalan kepada orang tua, dan ini tidak terbatas pada kalimat uffin dalam bahasa Arab saja, semua kalimat atau bahasa  yang menunjukkan ekspresi rasa tidak suka dan kesal di larang di tunjukkan kepada orang tua..

Semoga bermanfaat 

والله اعلم بالصواب


Sabtu, 14 September 2024

BRUTE FACTS DAN KELEMAHANNYA

Kalau kita bertanya pada orang yang tidak mengerti pemograman mengapa tombol ctrl+C di Windows menyebabkan fungsi copy sedangkan ctrl+V menyebabkan fungsi paste, maka kemungkinan dia akan menjawab bahwa pokoknya itulah fakta dasar yang ada. Tidak perlu ditanya lagi mengapa. Yang penting kita tahu kalau setiap kali tombol ctrl+C ditekan, maka akan terjadi copy dan tiap kali ctrl+V ditekan akan terjadi paste. Sudah asalnya memang begitu dan yang penting kita tahu itu untuk kebutuhan berkerja.


Pemikiran seperti di atas disebut brute facts atau meyakini ada fakta dasar yang tidak perlu dipertanyakan lebih lanjut. Inti argumen ini hanya untuk menghentikan pembahasan yang mendasar dan filosofis. Tiap ada yang bertanya mengapa, maka jawabannya hanya pokoknya faktanya begitu, titik. 


Sedangkan bila anda bertanya pada orang yang mengerti pemrograman komputer, maka anda akan mendapat jawaban bahwa  kombinasi tombol itu memang dirancang untuk fungsi tersebut oleh programernya. Andai dulu programernya mengeset fungsi Copy untuk kombinasi ctrl+K misalnya, maka yang mengeluarkan fungsi copy adalah ctrl+K, bukan lagi ctrl+C. Intinya, itu terserah yang membuat program, bukan sebuah fakta dasar yang pokoknya begitu lalu orang tidak boleh bertanya mengapa. Tentu saja jawaban ini akan memuaskan bagi orang yang betul-betul menggunakan akalnya. Sedangkan jawaban pertama hanya cocok bagi mereka yang tidak kritis.


Hal yang sama berlaku bagi hukum fisika yang berlaku di alam semesta ini,misalnya mengapa benda bermassa besar selalu mempunyai daya gravitasi, mengapa api selalu menghasilkan efek pembakaran, mengapa es selalu menghasilkan efek dingin, dan seterusnya.


Untuk menjawab pertanyaan filosofis ini, para ateis menggunakan argumen brute facts: pokoknya begitu saja, yang penting kita tahu bagaimana cara kerjanya, tidak penting mengapa demikian. Titik.


Sedangkan orang cerdas akan memahami bahwa semua aturan pasti dibuat oleh sosok yang mengaturnya. Semua setting pasti ada yang mensettingnya. Pengatur tersebut tidak lain adalah Tuhan yang punya kehendak bebas untuk mengatur bagaimana alam semesta bekerja. Andai Tuhan mau api menimbulkan efek dingin atau es menimbulkan efek panas, maka itulah yang akan terjadi. Ketika ternyata yang terjadi adalah seperti sekarang maka artinya itulah setting yang ditentukan oleh Tuhan untuk berlaku di dunia ini.


Tentu saja jawaban para teis (orang beragama) di atas adalah satu-satunya jawaban yang memuaskan akal sehat. Dan itulah keyakinan Ahlussunah wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyah). 


Intinya adalah: Pertama, Tuhan adalah wajibul wujud (necessary being) atau dalam bahasa awamnya adalah oknum yang mustahil dibayangkan tidak ada. Kedua, semua aturan hukum alam semata hanyalah kehendak Tuhan yang diberlakukan hingga batas waktu yang dikehendaki di area yang dikehendaki pula.


Sebab itu, Ahlussunnah wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyah) yakin bahwa Tuhan sendiri tidak terikat dengan hukum alam buatannya sendiri. Ia bebas membuat hukum alam yang berbeda di surga nanti dimana manusia tidak dapat mati, tubuh warga neraka yang rusak akan selamanya meregenerasi dirinya, hal yang abstrak di dunia ini disana berwujud fisik, dan seterusnya. Keberadaan Tuhan sendiri bisa wujud tanpa arah dan tempat, tidak sama seperti wujud lain yang kita saksikan di dunia ini. 


Ada pun orang beragama yang non-Ahlussunnah, mereka sulit menerima ini sebab pikirannya masih terikat dengan hukum alam yang berlaku di dunia ini yang diasumsikan sebagai brute facts yang tidak perlu dipertanyakan. Pokoknya kalau wujud maka pasti terikat waktu dan ruang, pokoknya kalau wujud maka pasti punya bentuk fisik, pokoknya kalau melakukan sssuatu maka harus bergerak, pokoknya kalau melihat maka harus memakai organ mata, dan seterusnya. Non-Ahlussunnah yang ini dikenal sebagai aliran mujassimah yang sejatinya sama seperti ateis yang argumennya berpijak pada brute facts.


و الله اعلم بالصواب

HAL-HAL YANG LEBIH EFEKTIF DARI SEKEDAR BERDOA

 


Selain berusaha, kita harus berdoa sebab doa itu ibadah, simbol merendah dan butuh kepada Allah. Namun tidak semua doa akan dikabulkan sesuai apa yang kita minta sebab pada dasarnya Allah punya hak prerogatif untuk mengabulkan atau menolak doa yang tidak dapat diintervensi oleh siapa pun, sebagaimana tafsir ayat-ayat tentang ini pernah saya bahas sebelumnya panjang lebar.


Tapi tenang, ada beberapa hal yang lebih cepat membuat hajat terkabul dan lebih manjur daripada doa biasa. Bahkan ahli maksiat yang belum bertobat sekali pun juga dapat merasakan manfaat dari beberapa hal berikut ini secara cepat, apalagi orang salih yang taat beragama:


1. Bersedekah lebih cepat melancarkan rizki yang seret daripada berdoa minta rizki. Berdoa adalah permintaan dari seorang hamba pada Tuhannya, sedangkan efek sedekah berupa balasan dalam bentuk rizki berkali-kali lipat adalah janji dari Allah kepada hambanya. Permintaan hamba belum tentu terkabul, tapi janji Allah tidak mungkin diingkari.


2. Membantu kesulitan orang lain lebih cepat membuat kesulitan kita sendiri teratasi daripada berdoa minta jalan keluar dari kesulitan. Berdoa adalah permintaan yang belum tentu terkabul, sedangkan menolong seorang hamba yang menolong orang lain adalah janji Allah yang tidak akan pernah meleset.


3. Mendoakan kebaikan bagi orang lain tanpa sepengetahuannya lebih manjur daripada berdoa meminta hal tersebut untuk diri sendiri. Ketika seseorang meminta kebaikan untuk dirinya sendiri, maka itu permintaan pribadi darinya kepada Allah. Sedangkan ketika mendoakan orang lain tanpa sepengatahuannya, maka para malaikat yang akan membalas mendoakan hal yang sama kepada orang tersebut sehingga lebih manjur sebab ini adalah permintaan dari malaikat kepada Allah.


Jadi, bagi anda yang barangkali baru memulai kehidupan berumahtangga atau bagi siapa pun yang ingin hidup bahagia di dunia, rezeki lancar, masalah yang ada cepat menemukan jalan keluar, maka baik-baiklah kepada orang lain di sekitar anda dan bantulah kebutuhan orang lain sebanyak mungkin sebisa anda. Jadilah pribadi yang ucapannya positif dan aksinya selalu bermanfaat bagi sekitar. Orang seperti ini adalah orang yang cepat mendapatkan kehidupan tenang dan bahagia.


Jangan malah menjadi pribadi negatif yang selalu berpikir boro-boro membantu orang lain sedangkan mengurus diri sendiri saja repot. Jangan pernah berpikir bahwa bersedekah harus menunggu kaya atau ada uang yang tidak dibutuhkan sebab semakin seseorang kaya maka akan semakin besar keinginan dan kebutuhannya. Jangan pernah juga mendoakan keburukan kepada orang lain, menghina atau hasud sebab keburukan yang diharapkan itu akan kembali pada diri sendiri. Orang semacam ini meskipun tengah malam berdoa sambil menangis-nangis, biasanya lambat terkabulnya dan lambat pula bahagianya. 


و الله اعلم بالصواب

Minggu, 31 Maret 2024

Apakah Doa Bisa Mengubah Takdir?


Sering kita mendengar bahwa doa bisa mengubah takdir, dan itu menjadi dasar motivasi bagi orang untuk berdoa.


Memang ada sebuah hadis Nabi Muhammad Saw yang terdapat dalam musnah Imam Ahmad bin Hanbal 


Berikut teks hadis tersebut.


وفي مسند الإمام أحمد: حدثنا عبد الله حدثني أبي وكيع سفيان عن عبد الله بن عيسى عن عبد الله بن أبي الجعد عن ثوبان قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الرجل ليحرم الرزق بالذنب يصيبه، ولا يرد القدر إلا الدعاء، ولا يزيد في العمر إلا البر.


Dalam musnad Imam bin Ahmad, mengatakan oleh Abdullah bin Abi Waki' Sufyan, dari Abdullah bin Isa, Abdullah bin Abi Ja'di briwayat dari Tsauban, Rasulullah saw. berkata, “Sungguh seseorang terhalang rizkinya sebab dosa yang dilakukannya. Dan tidak dapat ditolak takdir Allah kecuali dengan doa. Dan tidak akan bertambah umur seseorang kecuali dengan berbuat kebaikan.



“Doa bisa mengubah takdir” juga dapat kita lihat dari doa yang pernah dipanjatkan Ibnu Umar,  Seperti yang ditulis dalam kitab tafsir atthabari.


قال : سَمِعْتُ أَبَا عُثْمَانَ النَّهْدِيَّ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ وَهُوَ يَطُوفُ بِالْكَعْبَةِ: "اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِي فِي أَهْلِ السَّعَادَةِ فَأَثْبِتْنِي فِيهَا ، وَإِنْ كُنْتَ كَتَبْتَ عَلَيَّ الذَّنْبَ وَالشِّقْوَةَ فَامْحُنِي وَأَثْبِتْنِي فِي أَهْلِ السَّعَادَةِ ، فَإِنَّكَ تَمْحُو مَا تَشَاءُ وَتُثْبِتُ ، وَعِنْدَكَ أُمُّ الْكِتَابِ ".

وإسناده حسن كما قال ابن كثير في "مسند الفاروق" ،( صفحة ٢٤٩: ٢ )


Ya Allah, jika engkau mencatatku sebagai orang yang beruntung, maka tetapkanlah aku pada catatan itu, dan jika telah engkau tulis aku dosa dan celaka maka hapuslah dan gantilah catatanku menjadi orang yang beruntung. Maka sesungguhnya engkau menghapus sesuatu yang engkau kehendaki dan engkau tetapkan. Dan disisi engkau Ummul kitab.

( Tafsir Imam At Thabari jilid 2 hal 249 )


Ada beberapa masalah yang timbul ketika kita mengartikan “Doa bisa mengubah takdir” hanya secara lafziyah. Boleh jadi, akan ada anggapan bahwa Allah menggantungkan selamat dan celakanya seseorang dengan doa. Bisa jadi pula, ketika pada kenyataannya takdir tidak sesuai dengan doanya, itu akan merusak mental seorang hamba yang telah berdoa dengan sungguh sungguh.


Oleh karena itu, kita perlu melihat penjelasan lebih lanjut dan rinci dari para ulama terkait makna hadis tersebut.


Dalam keimanan kita telah meyakini bahwa semua takdir Allah sudah final sejak zaman azali dan tidak mungkin diubah-ubah lagi.


Abu Hatim, seorang ulama ahli hadis, pernah mengatakan:


قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْخَبَرِ لَمْ يُرِدْ بِهِ عُمُومَهُ، وَذَاكَ أَنَّ الذَّنْبَ لَا يَحْرِمُ الرِّزْقَ الَّذِي رُزِقَ الْعَبْدُ، بَلْ يُكَدِّرِ عَلَيْهِ صَفَاءَهُ إِذَا فَكَرَّ فِي تَعْقِيبِ الْحَالَةِ فِيهِ. وَدَوَامُ الْمَرْءِ عَلَى الدُّعَاءِ يُطَيِّبُ لَهُ وُرُودَ الْقَضَاءِ، فَكَأَنَّهُ رَدَّهُ لِقِلَّةِ حِسِّهِ بِأَلَمِهِ، وَالْبِرُّ يُطَيِّبُ الْعَيْشَ حَتَّى كَأَنَّهُ يُزَادُ فِي عُمْرِهِ بِطِيبِ عَيْشِهِ، وَقِلَّةِ تَعَذُّرِ ذَلِكَ فِي الْأَحْوَالِ


Perkataan Nabi Muhammad Saw. di dalam hadis ini tidaklah menghendaki makna secara umumnya. Dosa bukanlah penghalang rizki yang telah ditentukan untuk seorang hamba. Tetapi, dosa akan mengotori kebersihan rezeki itu ketika seorang hamba memikirkan akibat di dalamnya.

Lalu, seorang hamba yang terus menerus berdoa, maka akan mempermudah baginya untuk menghadapi kenyataan takdir. Ini seolah-olah doa yang ia panjatkan telah ‘menolak takdir’, karena beban yang semestinya berat untuk dia rasakan, menjadi ringan.


Adapun tentang kebaikan dapat memanjangkan umur), kebaikan akan mempermudah jalannya kehidupannya, sehingga seolah-olah seorang hamba telah ditambah umurnya dengan kemudahan hidupnya, dan sedikit pula kesulitan keadaan di dalam hidupnya.


Syeikh Abdurrahman al-Mubarakfuriy juga berpendapat serupa. Ia menulisnya di dalam kitabnya, Tuhfatul Ahwazdi Syarh Sunan at-Turmudzi, mengatakan:


وَتَأْوِيلُ الْحَدِيثِ أَنَّهُ إِنْ أَرَادَ بِالْقَضَاءِ مَا يَخَافُهُ الْعَبْدُ مِنْ نُزُولِ الْمَكْرُوهِ بِهِ وَيَتَوَقَّاهُ فَإِذَا وُفِّقَ لِلدُّعَاءِ دَفَعَهُ اللَّهُ عَنْهُ فَتَسْمِيَتُهُ قَضَاءً مَجَازٌ عَلَى حَسَبِ مَا يَعْتَقِدُهُ المتوقى عنه -الى ان قال- أَوْ أَرَادَ بِرَدِّ الْقَضَاءِ إِنْ كَانَ الْمُرَادُ حَقِيقَتَهُ تَهْوِينَهُ وَتَيْسِيرَ الْأَمْرِ حَتَّى كَأَنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ


Takwil dari hadis di atas: jika yang dimaksud dengan qadha’ adalah sesuatu yang ditakuti, lalu ia berdoa agar dihindarkan darinya dan dikabulkan oleh Allah, maka ini disebut qadha’ majazi.

Lalu tentang ‘menolak qadla’’, jika yang dikehendaki adalah makna hakikatnya, maka yang dimaksud adalah meringankan dan memudahkan urusan seorang hamba, sehingga seolah olah sesuatu yang ditakuti itu tidak menimpanya.


Dua pendapat ulama di atas menggunakan teori takwil untuk menyikapi teks hadis. Takwil adalah mencari makna lain dari makna sebuah lafaz.


Teori takwil ini tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Karena jika itu dilegalkan, betapa hancurnya makna lafad-lafad di dalam Al-Qur’an atau hadis nantinya di tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Adapun teori takwil dilakukan oleh para ulama, tidak lain tujuannya ialah agar tercipta keselarasan pemahaman agama secara utuh, tanpa adanya kontradiksi antara dalil yang satu dengan lainnya.


Seperti hadis di atas, para ahli hadis tidak serta merta meninggalkan makna lafaz “Qadha’” yang artinya keputusan, dan memakai makna lafaz “Khauf” yang artinya ketakutan sebagai takwilnya, karena takwilan mereka ini bersandar pada hadis Rasulullah saw. yang lain. Yakni hadis yang menjelaskan tentang ruqyah berikut.


الرُّقَى هُوَ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ

Ruqyah itu adalah bagian dari takdir Allah.


Para ahli hadis juga meninggalkan makna  lafaz “yuraddu” yang artinya menolak, dan memakai makna lafaz “yuhawwanu” dan “yuyassaru” yang artinya “meringangkan” dan “mempermudah”. Pentakwilan ini juga bersandar pada hadis Rasulullah saw. yang lain. Hadis ini diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar r.a.


عن بن عُمَرَ إنَّ الدُّعَاءَ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِل


Sesungguhnya doa itu bisa mendatangkan manfaat terhadap apa-apa yang telah turun menimpa kita dan apa apa yang tidak diturunkan.


Kesimpulan


Takdir Allah Swt. yang sudah ada sejak zaman azali, baik terkait selamat dan celaka, kaya dan miskin, panjang umur atau tidak, tertimpa musibah atau tidak, semuanya tidak bisa diintervensi oleh apapun. Tidak bisa dipinta atau ditolak dengan doa.

Sebab, fungsi doa ‘hanyalah’ untuk mempermudah dan meringankan hati dan jasad kita untuk menerima dan menjalani takdir hidup yang tidak kita sukai. Bahkan alur hidup yang kita benci.

Jika pun takdir Allah Swt. yang turun ternyata sesuai dengan doa kita, maka pada hakikatnya takdir Allah Swt. telah mendahului segalanya.


و الله اعلم بالصواب

Kamis, 07 Maret 2024

JANGAN BOSAN UNTUK BERDOA



Dalam kitab Bajuri jilid 1 hal 8 disebutkan:


 كل دعاء مجاب لكن اما بعين ما طلب او بخير مما طلب اما حالا او مألا او بثواب يحصل للداعي او بدفع ضر  منه


Artinya : Setiap doa di ijabah, tetapi adakalanya dengan sesuatu yang diminta, atau dengan yang lebih baik dari yang diminta, adakalanya masa itu juga atau masa akan datang, adakalanya dengan pahala yang didapatkan oleh orang yang berdoa atau dengan tertolak kemudharatan darinya.


Dapat kita katakan bahwa setiap doa yang panjatkan akan dikabulkan Allah. Tapi cara Allah mengabulkan itu ada dalam beberapa macam :

1.    Allah mengabulkan doa dengan apa yang diminta, misalnya berdoa agar kaya, maka Allah mengabulkannya sehingga seseorang kaya.

2.    Allah mengabulkan dengan sesuatu yang lebih baik dari yang diminta misalnya seseorang hanya meminta agar kaya, tetapi Allah memberikan kepadanya alim dan kaya.

3.    Allah mengabulkannya pada saat itu juga, artinya saat kita mengharapkan permintaan tersebut terwujud. Maksudnya bukan saat kita berdoa langsung terjadi seketika itu, tapi misalnya kita meminta tahun ini mendapat panen padi yang melimpah, maka tahun ini juga panen padi melimpah.

4.    Allah mengabulkannya, tetapi bukan pada waktu kita mengharapkan doa tersebut terwujud, akan akan terwujud dimasa yang akan datang yang kita tidak itu kapan akan terjadi.

5.    Allah tidak mengabulkan apa yang diminta, tetapi Allah memberikan pahala kepada orang yang berdoa karena dia sudah berdoa.

6. Allah tidak mengabulkan apa yang kita minta, tapi Allah menjaga kita dari kemudharatan dan bahaya lainnya.

Mudharat itu bisa jadi mudharat di hari akhirat seperti perbuatan maksiat di dunia ataupun bisa jadi mudharat duniawi seperti musibah atau sakit.

Maka jangan pernah bosan untuk berdoa yaaa...



والله اعلم

Selasa, 05 Maret 2024

MENULIS AL-QUR'AN DENGAN TULISAN LATIN



Terjadi perbedaan pendapat ulama tentang hukum menulis Alquran dengan selain bahasa Arab.


A. Ulama yang mengharamkan:


 

1. Ibnu Hajar Haitami yang di naqal oleh Sayyid Al-Bakri dalam kitab I'anatut thalibin:


ويحرم كتابته بالعجمية ورايت فى فتاوى العلامة ابن حجر انه سئل هل يحرم كتابة القران الكريم بالعجمية كقراءته فاجاب رحمه الله بقوله قضية ما فى المجموع عن الاصحاب التحريم

(اعانة الطالبين ج الاول ص ٦٧-٦٨)


Artinya: Dan diharamkan menulis Al-Qur’an dengan ajami(huruf selain hijaiyah). Saya pernah menemukan dalam kitab fatawi Ibnu Hajar, bahwa ia pernah ditanyakan tentang menulis Al-Qur’an dengan ajamiyah. Apakah hal tersebut termasuk hal yang di haramkan ?

Beliau menjawab, bahwa Imam Nawawi dalam Majmuknya menyimpulkan tentang keharamannya sesuai pendapat As-habussyafi’iyah.

( I'anatut thalibin, juz 1 hal.67-68 )



2. Syekh Yasin bin Isa


ان الترجمة هو تبيين الكلا م اواللغة بلغة اخرى

اى تحرم ترجمة القران بغير اللسان العربي بمعنى نقله الى لغة غير عربية مع الوفاء بجميع معا ثيه مقا صده فالمراد بالترجمة المحرمة هى الترجمة العرقية سواء كانت ترجمة حرفية ام تفسيرية فيحرم على الشخص مجاولتها.


(فيض الخبر/ص ٢٣)


Artinya: Tarjamah adalah menjelaskan ucapan atau bahasa dengan bahasa yang lain.

…..diharamkan menterjemahkan Al-Qur’an dengan bahasa selain bahasa arab dengan tanpa mengurangi makna dan maksud dari ayat tersebut,baik terjemahan yang berupa harfiyah atau tafsiriyah.

( Faidhul Kabir, hal.23 )


B. Ulama yang membolehkan 


1. Syekh Bujairimi


ويجوز كتابة القرآن بغير العربية بخلاف قراءته بغير العربية فيمتنع الى أن قال وفائدة كتابته بغير العربية مع حرمة القراءة بها أنه قد يحسنها من يقرأه بالعربية ويحرم مسه وحمله


( البجيرمي على الخطيب جزء ١ صفحة  ٣٢٩)


Artinya: Dan boleh menulis al qur'an dengan huruf selain arab ,lain halnya dengan membaca al qur'an dengan bahasa selain arab maka dilarang.

Dan faidah: menulis dengan bahasa selain arab dengan menjaga kehormatan al qur'an adalah sama baiknya dgn membaca al qur'an dengan bahasa arab maka haram juga menyentuh dan membawanya.

( Al bujairimi  jilid 1 hal 329 )


2. Syekh Sulaiman bin Jamal


وتجوز كتابته لاقراءته بغير العربية وللمكتوب حكم المصحف فى الحمل والمس


( حاشية الجمل على المنهج جزء ١ صفحة ٧٦)


Artinya; dan boleh menulis al qur'an dngan bahasa selain arab, tapi tidak boleh dalam hal membacanya dan untuk kitab yang ditulis itu sama hukumnya dengan mushhaf dalam hal menyentuhnya dan membawanya.

( Kitab Jamal ala Minhaj Juz I hal 76)


3. Syekh Ramli

سُئِلَ الشِّهَابُ الرَّمْلِيُّ هَلْ تَحْرُمُ كِتَابَةُ الْقُرْآنِ الْعَزِيزِ بِالْقَلَمِ الْهِنْدِيِّ, أَوْ غَيْرِهِ فَأَجَابَ بِأَنَّهُ لَا يَحْرُمُ لِأَنَّهَا دَالَّةٌ عَلَى لَفْظِهِ الْعَزِيزِ وَلَيْسَ فِيهَا تَغْيِيرٌ لَهُ بِخِلَافِ تَرْجَمَتِهِ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لِأَنَّ فِيهَا تَغْيِيرًا. وَعِبَارَةُ الْإِتْقَانِ لِلسُّيُوطِيِّ هَلْ يَحْرُمُ كِتَابَتُهُ بِقَلَمٍ غَيْرِ الْعَرَبِيِّ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ لَمْ أَرَ فِيهِ كَلَامًا لِأَحَدٍ مِنْ الْعُلَمَاءِ وَيَحْتَمِلُ الْجَوَازَ ; لِأَنَّهُ قَدْ يُحْسِنُهُ مَنْ يَقْرَؤُهُ, وَالْأَقْرَبُ الْمَنْعُ انْتَهَتْ, وَالْمُعْتَمَدُ الْأَوَّلُ ا هـ بِرْمَاوِيٌّ. وَعِبَارَةُ ق ل عَلَى الْمَحَلِّيِّ وَتَجُوزُ كِتَابَتُهُ لَا قِرَاءَتُهُ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ وَلِلْمَكْتُوبِ حُكْمُ الْمُصْحَفِ فِي الْحَمْلِ, وَالْمَسِّ انْتَهَتْ.

Artinya: Imam Syihab Ramli di tanya apakah haram menulis mushaf al qur'an yang mulia dengan bahasa hindiy atau selainnya.

Maka beliau menjawab: Sesungguhnya hal itu tidak di haramkan karena hal itu menunjukan terhadap lafad yang di tulis dan di situ tidak ada sesuatu yang berubah,berbeda dengan terjemahselain bahsa arab yang di dalamnya ada sesuaatu yang berubah.dan pada ibarat Al Itqan milik Imam Suyuthi apakah di haramkan menulis al qur'an dengan bahsa selain bahasa arab imam Zarkasyi menjawab:aku tidak melihat/menemukan pendapat satupun dari ulama dan pendapatnya Imam Zarkasyi memuat hukum di perbolehkan karena hal itu untuk membagusi orang yang membacanya.dan qaul yang aqrab yaitu di larang.namun yang mu'tamad adalah pendapat yang pertama.

Ibarat Imam Qalyubi boleh menulis al qur'an selain bahasa arab namun tidak membacanya, dan sesuatu yang ditulis dihukumi mushaf dalam hal membawanya dan menyentuhnya.

( Kitab Hasyiyah Jamal ala Minhaj Juz I hal 252)


و الله اعلم




Minggu, 03 Maret 2024

Syarat takbiratul ihram


Imam Nawawi Al Bantani menyebutkan ada 17 syarat yang harus terpenuhi ketika membaca takbiratul ihram, jika salah satunya tidak benar, maka shalat belum dianggap sah.

Disini saya ingin menyebut lima dulu dari 17 syarat tersebut.

1. Takbiratul Ihram harus terjadi dan dilakukan pada saat berdiri ( jika shalat fardhu )maksudnya, pada saat berdiri setelah posisi tubuh tegap berdiri.

2. Takbiratul Ihram diucapkan dengan menggunakan Bahasa Arab bagi orang yang mampu mengucapkan bahasa Arab.


3. Menggunakan lafadz Jalalah yaitu lafad الله

Oleh karena itu, tidak sah apabila mengucapkan الرحمن أكبر karena bukan lafadz Jalalah ( الله )


4. Takbiratul Ihram menggunakan lafad أكبر Oleh karena itu, tidak cukup dengan menggunakan الله كبير karena hilangnya sikap ta’dzim.


5. Tertib antara dua lafadz الله dan أكبر. Oleh karena itu, tidak boleh dengan mengatakan أكبر الله karena dapat menyalahi takbir.

Berbeda dengan salam, karena dalam salam diperbolehkan tidak tertib, yaitu dengan mendahulukan objek dari objek karena tidak menyalahi salam.

Apabila membaca lafadz أكبر dua kali, seperti ia mengucapkan أكبر الله أكبر maka apabila ia menyengaja lafadz (الله) sebagai permulaan maka takbirnya sah, jika tidak menyengaja demikian, maka tidak sah.


6. Tidak memanjangkan huruf hamzah pada lafadz Jalalah ( الله ).

Maka jika memanjangkan nya, maka shalatnya tidak sah karena ia telah merubah kalam insyai ( kenyataan) menjadi istifham (pertanyaan). Boleh menghilangkan membaca hamzah bila menyambungnya dengan lafadz sebelum lafadz Jalalah, seperti lafadz   إماما/ مأموماً الله أكبر, namun bacaan seperti ini tidak baik.

Berbeda dengan hamzah lafadz أكبر maka huruf hamzahnya tidak boleh dihilangkan saat membacanya ketika disambungkan dengan lafadz sebelumnya karena hamzahnya adalah hamzah qata'


7. Tidak memanjangkan bacaan huruf Ba' pada lafadz أكبر.

Apabila membaca "Allahu akbaar"/الله أكبار maka shalatnya belum terhitung, baik dengan membaca fatah atau kasrah pada huruf hamzahnya, karena lafadz "أكبار" dengan fatah pada huruf hamzah adalah bentuk jamak dari lafadz "كبر, baca:kabarun" seperti lafadz "سبب, baca: sababun, yang memiliki bentuk jamak أسباب Ia adalah nama gendang besar yang memiliki satu sisi.

Lafadz "كبر" juga memiliki jamak "كبار" seperti lafadz "جبل" memiliki bentuk jamak "جبال". Adapun lafadz "أكبار" kasrah pada huruf hamzah maka berarti salah satu nama bagi Haid.

Apabila sengaja membaca mad huruf hamzah maka ia kufur.


8. Tidak mentasydid Huruf Ba'. Kalau ia mentasydid seperti ia mengucapkan الله أكبر tidak sah shalatnya. 


9. Tidak menambahi huruf Waw sukun atau berharakat di antara dua lafadz takbiratul ihram. Jika menambah seperti ia mengucap اللاهو اكبر tidak sah shalatnya.

 

10. Tidak menambah huruf Waw sebelum lafadz Jalalah, maka jika ia menambahkannya seperti ia mengucapkan والله أكبر maka tidak sah.


Minggu, 11 Februari 2024

لا اله الا الله NAFI DALAM KALIMAT لا اله الا الله Apa mak



Apa makna Laa ilaaha ( tidak ada tuhan) yang dinafikan ( ditiadakan ) dalam kalimat tauhid لا اله الا الله??

Dalam kitab Kasyifatus Saja karangan Imam Nawawi Bantani halaman 68, beliau menukil pendapat Imam Sanusi dan Imam Al Yuusi bahwa yang dinafikan adalah tuhan yang disembah secara haq menurut keyakinan orang-orang yang menyembah berhala, matahari, dan bulan.

Tuhan yang disembah secara batil memiliki wujud zat di dunia nyata ini dan wujud di dalam hati orang mukmin dengan keyakinan bahwa tuhan yang disembah itu seperti berhala, matahari, dan lain lain adalah batil, tapi wujud

di dalam hati orang kafir dengan sifat keyakinan bahwa perkara perkara yang disembah itu adalah haq.

Dengan demikian, tuhan yang disembah selain Allah yang zat-zat tuhan tersebut wujud di dunia nyata tidak dinafikan karena yang namanya zat-zat itu tidak dapat dinafikan.

Begitu juga, tidak dinafikan adalah tuhan yang disembah selain Allah seperti berhala, matahari, bulan, dan lain lain dari segi wujudnya perkara tersebut di hati orang mukmin dengan keyakinan kalau Tuhan tersebut merupakan suatu kebatilan karena adanya tuhan -tuhan tersebut sebagai

sesembahan yang batil merupakan hal yang nyata yang tidak dapat dinafikan, karena apabila dapat dinafikan maka orang mukmin itu tadi tergolong orang yang bohong.

Adapun yang dinafikan adalah perkara yang selain Allah dari segi wujudnya perkara tersebut di dalam hati orang kafir dengan sifat keyakinan kalau perkara itu merupakan zat-zat yang disembah secara haq menurut orang kafir itu sendiri.

Istisna dalam kalimah " لا اله الا الله" adalah istisna muttasil. Begitu juga, yang dinafikan dalam kalimat لا اله الا الله bukanlah zat yang disembah secara bathil menurut hati orang kafir, karena menurut orang kafir, zat yang ia sembah secara bathil itu adalah Allah ta’ala. 

Dengan demikian makna tidak ada tuhan dalam kalimah " لا اله الا الله" adalah tuhan yang disembah secara haq menurut orang kafir selain Allah.

Tujuan dari penjelasan ini adalah untuk menolak iktikad orang yang mengatakan ada syirkah pada masalah ketuhanan 

و الله اعلم بالصواب





Kamis, 08 Februari 2024

LIMA PULUH WAKTU ATAU LIMA PULUH SHALAT??



Oleh: Tgk Dailami

Sering kita mendengar cerita pada momen peringatan isra mi'raj tentang perintah kewajiban shalat pada malam isra mikraj mulanya adalah 50 waktu, kemudian Nabi Muhammad bolak balik kepada Allah meminta keringanan menjadi 5 waktu.

Sebelum kita bahas the point, ada baiknya kita menyimak sebuah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim tentang malaikat Jibril yang mengajarkan Nabi Muhammad tentang waktu-waktu shalat.

أمني جبريل عليه السلام عند البيت مرتين، فصلى بي الظهر حين زالت الشمس، وكانت قدر الشراك، وصلى بي العصر حين كان ظله مثله، وصلى بي المغرب حين أفطر الصائم، وصلى بي العشاء حين غاب الشفق، وصلى بي الفجر حين حرم الطعام والشراب على الصائم، فلما كان الغد صلى بي الظهر حين كان ظله مثله، وصلى بي العصر حين كان ظله مثليه، وصلى بي المغرب حين أفطر الصائم، وصلى بي العشاء إلى ثلث الليل، وصلى بي الفجر فأسفر ثم التفت إلي فقال: «يا محمد، هذا وقت الأنبياء من قبلك، والوقت ما بين هذين الوقتين

Artinya: Jibril  mengimamiku di sisi Baitullah dua kali. Dia shalat Zhuhur bersamaku tatkala matahari tergelincir (condong) ke barat sepanjang tali sandal, kemudian shalat Ashar denganku tatkala panjang bayangan suatu benda sama dengannya, lalu shalat Maghrib bersamaku tatkala orang yang berpuasa berbuka, kemudian shalat Isya bersamaku tatkala syafaq merah telah hilang, dan shalat Shubuh bersamaku tatkala orang yang berpuasa dilarang makan dan minum. Maka keesokan harinya, dia shalat Zhuhur bersamaku tatkala bayangan suatu benda sama dengannya, lalu shalat Ashar bersamaku tatkala bayangan suatu benda sepanjang dua kali benda itu, kemudian shalat Maghrib bersamaku tatkala orang yang berpuasa berbuka, lalu shalat Isya bersamaku hingga sepertiga malam, dan shalat Shubuh bersamaku tatkala waktu pagi mulai bercahaya. Kemudian Jibril menoleh kapadaku seraya berkata; 'Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelum kamu, dan jarak waktu untuk shalat adalah antara dua waktu ini'.

Dari keterangan hadis ini bisa kita pahami bahwa waktu-waktu shalat semenjak para Nabi terdahulu selama sehari semalam (24 jam) adalah 5 waktu sesuai durasi masing-masing seperti yang tersebut dalam hadis diatas.

Selanjutnya apa yang diperintahkan oleh Allah pada malam tersebut?

Penjelasan mengenai hal ini bisa kita dapat secara jelas dan terang benderang dalam kitab Hasyiyah Bajuri pada bab ahkam shalat halaman 118.

Dalam kitab Al-Bajuri yang ditulis oleh Syaikh Ibrahim al Bajuri, beliau menukil sekaligus menjelaskan sebuah hadis tentang israk Mikraj yang hubungan dengan shalat yang Allah wajibkan pada malam isra kepada Rasulullah, hadisnya singkatnya yaitu  :

فرض الله علي و على امتى خمسين صلاة فلم ازل اراجعه ان اسئاله التخفيف حتى جعلها خمسا. 
 
Artinya: Allah mewajibkan kepadaku pada malam isra limapuluh shalat. Maka aku kembali untuk meminta keringanan hingga Allah menjadikan lima shalat. 

Penjelasan Selanjutnya:

فكان فى وقت الصبح عشر صلوات و فى وقت الظهر كذلك و هكذا و نسخت بمراجعته صلى الله عليه و سلم حتى صارت خمسا.

Artinya: Maka pada waktu shubuh 10 shalat, pada waktu Zhuhur juga demikian dan seterusnya. 
Dan dibatalkan ( 50 shalat ) dengan sebab permintaan Nabi hingga menjadi 5 shalat. 

Dari teks diatas dapat kita pahami bahwa perintah kewajiban shalat pada malam tersebut adalah 10 shalat pada waktu subuh,10 shalat pada waktu zhuhur, 10 shalat pada waktu asar, 10 shalat pada waktu magrib, dan10 shalat pada waktu isya, maka jumlah seluruh nya 50 shalat dalam 5 waktu, bukan 50 waktu.

Gambarannya seperti ini, jika shalat zuhur 4 rakaat, setelah salam pada rakaat keempat berarti kita baru menunaikan satu shalat, lalu shalat tersebut diulang lagi sampai 10 kali, begitu juga shalat asar dan lainnya, hingga sampai 50 shalat, seperti inilah gambaran 50 shalat dalam hadis isra mikraj tersebut dalam penjelasan kitab Bajuri.

Jadi sangat jauh perbedaan pemahaman antara perintah shalat dalam 50 waktu dengan perintah 50 shalat tetapi dalam 5 waktu.

Waktu-waktu  shalat itu memang sedari dulu sudah 5 waktu dengan lama durasi masing-masing berbeda. 

Maka kita kenal waktu shalat misal  waktu shubuh adalah shalat nabi adam, dhuhur adalah shalat Nabi Ibrahim, asar adalah shalat Nabi Yunus, Magrib Adalah Shalat Nabi Isa, dan Isya adalah Waktu shalat Nabi Musa, dan lainnya. 

Tapi para Nabi dahulu juga ada yang shalat pada satu waktu dan ada juga yang shalat dua waktu

Logikanya begini: kalau seandainya dipahami 50 waktu shalat, maka setiap 28 menit sekali selama 24 jam  kita harus shalat karena masuk waktu shalat. Ini berarti kita tidak ada punya waktu untuk kerja dan istirahat, apalagi istirahat malam. Ini rasanya mustahil sanggup dilaksanakan oleh  hambanya ( bukan para Nabi dan Rasul) karena pasti tidak akan sanggup. Sekarang saja satu kali shalat dalam 1 waktu masih banyak yang tidak sanggup, apalagi 10 kali dalam satu waktu.

Dan kalau dipahami 50 shalat dalam 5 waktu, walaupun berat tapi tidak mustahil untuk bisa dikerjakan, artinya 10 kali shalat tersebut jika menghabiskan waktu satu jam masih mungkin kita laksanakan, dan masih ada waktu tersisa untuk bekerja dan istirahat.

Tapi alhamdulillah dengan kemurahan Allah akhirnya yang diwajibkan bukan 10 kali shalat dalam satu waktu, tapi 1 kali shalat dalam 1 waktu atau 5 kali shalat dalam 5 waktu..

Langsa , 7 Februari 2024.

Rabu, 24 Januari 2024

ANTARA ISMA' DAN SIMA' SERTA ANTARA FI'LI DAN QUWWAH



( Pada bahasan memperdengarkan khutbah Jum'at)

By: Tgk Dailami Pirak.

Dalam bahasa Arab, kata سماع ( ada yang membaca dengan Fatah haraf sin dan ada yang membaca kasrah sin)
merupakan masdar sima'i yang diartikan dengan "mendengar"

Sedangkan kata اسماع ( baca isma' dengan kasrah Hamzah ) adalah Masdar dari sulasi mazid اسمع يسمع اسماعا yang diartikan "memperdengarkan"

Kata قوة ( baca quwwah ) adalah Masdar dari sulasi mujarad قوي يقوى قوة yang diartikan kekuatan atau kemampuan.

Sedangkan kata فعل ( baca fi'lun) adalah Masdar sima'i yang kadangkala diartikan perbuatan, dan kadang diartikan kejadian, kenyataan atau realita.

Maka dalam kitab Hasyiyah Bajuri jilid 2 halaman 219 ada dua hal yang bisa kita simpulkan tentang memperdengarkan khutbah Jum'at.

Pertama: اسماع بالفعل
Seorang khatib wajib memperdengarkan khutbah, maksudnya seorang khatib harus meninggikan/ mengeraskan suaranya seukuran sikira-kira jika di dengar oleh para jamaah akan terdengar secara riil dan nyata artinya suara khatib tidak boleh kecil sehingga para jamaah tak mampu menangkap suara yang keluar dari mulut khatib.

Kedua: سماع بالقوة
Para jamaah wajib mendengar khutbah secara quwwah, artinya para jamaah secara kenyataan punya kekuatan atau kemampuan pendengaran yang baik untuk mendengar bacaan khatib.

Jika seandainya pada waktu pembacaan khutbah terjadi kegaduhan/ kebisingan yang menyebabkan jamaah tidak bisa mendengar khutbah secara nyata( سماع بالفعل ) maka hal itu tidak menjadi masalah dan khutbah tetap sah.

Kesimpulannya:

1. Khatib wajib memperdengarkan secara riil ( اسماع بالفعل ), bukan kemampuan memperdengarkan ( اسماع بالقوة )
2. Jamaah bisa mendengar secara hukum/kemampuan ( سماع بالقوة ) walaupun tidak mampu mendengar secara nyata ( سماع بالفعل ) karena faktor keadaan lapangan yang bising.

و الله اعلم بالصواب

Referensi: Hasyiyah Bajuri jilid 1 hal 219.