Rabu, 11 Juni 2025

BEDAH MUQADDIMAH KIFAYATUL AWWAM



Biasanya pengajian malam rabu selalu tentang materi fikah, tapi malam ada masukan jamaah agar ada pengajian tentang ilmu tauhid, saya pikir ya juga supaya tidak membosankan jika mengaji tentang fikah terus.

Maka timbul keinginan juga untuk menulis sedikit rangkuman dari pengajian malam ini mungkin ada manfaat tambahan jika ditulis dan ada orang baca..

Sebagai bahan mukaddimah awal saya ambil isi kitab kifayatul awam, kitab standar ilmu tauhid di Dayah, tidak terlalu panjang juga tidak terlalu ringkas.

Bahasan pertama  tentang kewajiban untuk setiap muslim agar mengetaui aqa'id 50.

Matan kitab tersebut menyebutkan:

يجب على كل مسلم ان يعرف خمسين عقيدة و كل عقيدة يجب عليه ان يعرف لها دليلا اجماليا او تفصيليا

artinya: Wajib atas semua orang islam untuk mengetahui 50 aqidah, dan tiap aqidah wajib untuk diketahui dalilnya baik secara ringkas atau detil/terperinci.

Dari matan kitab tersebut dapat kita uraikan bahwa ada 2 macam dalil.

Pertama, dalil ijmali.

Artinya dalil ringkas secara global, Maknanya bahwa untuk meyakinkan hati tentang sesuatu kita harus mampu memberi keterangan walau secara global.

Contohnya begini, si A bertanya kepada si B: apakah engkau percaya ada tuhan? si B menjawab: saya percaya ada tuhan. Si A bertanya lagi apa dalilnya? si B menjawab: alam ini dalil tanda adanya tuhan.

Kedua, dalil tafsili.

yaitu dalil yang detil atau terperinci yang sanggup menguraikan tentang sesuatu hingga mengokohkan keyakinan kita terhadap sesuatu sehingga sanggup untuk membendung syubhat yang dihembuskan untuk meragukan keyakinan seseorang terhadap sesuatu tersebut. 

contohnya adalah pertanyaan si A kepada si B lagi: bagaimana engkau mengetaui adanya alam ini menjadi tanda adanya tuhan?, si B menjawab: karena adanya alam ini dengan tidak adanya adalah sama saja pada mulanya, boleh jadi ada dan boleh jadi tidak ada, dan ternyata alam sudah ada sekarang,  tentu pasti ada yang menjadikannya, tidak mungkin tiba2 alam ada dengan sendirinya, karena logikanya tidak mungkin sebuah timbangan yang pada mulanya sama berat, tiba2 berat sebelah tanpa ada yang memberatkan nya, akal tidak akan menerima bahwa berat sebelah itu tanpa sebab apa2, sama misalnya ketika dalam kegelapan ada seseorang yang menepuk bahu kita, terus kita lihat kebelakang tidak nampak orang karena gelap, apakah akal kita akan mengatakan bahwa tidak ada orang yang menepuk bahu hanya karena orang yang menepuk tersebut tidak nampak? Pasti tidak, karena kita sudah merasakan sendiri bahwa ada orang yang menepuk bahu kita, cuma tidak bisa kita lihat karena gelap, uraian2 seperti ini sudah bisa kita sebut sebagai dalil tafsili.

Contoh lain yaitu alam ini berubah rubah, tiap yang berubah itu baru, jadi alam ini baru.

seterusnya tiap2 yang baru memerlukan kepada yang menciptakan, maka alam ini memerlukan kepada menciptakan, siapa yang menciptakan?tentunya zat yang maha kuasa segalanya..

Atau kita lihat pada seekor ayam, ayam itu berasal dari telur ayam, telur ayam berasal dari ayam. 

atau buah kelapa berasal dari batangnya, batangnya berasal dari buah kelapa, dan seterusnya mundur kebelakang ..

Kejadian terus menerus tanpa berakhir ini, akal sulit untuk dapat menerima nya, pasti ada yang menciptakan ayam dan kelapa tersebut pertama kali.

Contoh lain misalnya buah durian atau mangga, lalu kita rasa dengan lidah, kenapa durian dan mangga manis dan enak, kenapa belimbing atau asam sunti yang ditanam disamping pohon mangga buahnya rasanya masam, padahal ditanam pada tanah yang sama, lalu kenapa hanya lidah saja yang dapat merasa manis, kenapa hidung atau telinga kita tak bisa merasakan manis walau sama2 berlubang?

Setelah semua kemampuan akal digunakan untuk memperoleh jawaban diatas, tentu akal tak mampu untuk memberikan jawaban yang dapat memberikan kepuasan, maka akhirnya sampailah akal kepada sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang membuat durian atau mangga manis, belimbing masam kecuali ada sebuah kekuatan yang maha kuasa melakukan hal tersebut, maka  kekuatan itulah Allah swt yang maha kuasa...

semoga ada mamfaat..

amiiinnn

Matangkeh, 11 Juni 2025

Kamis, 01 Mei 2025

Menjaga diri dari pengaruh HP



Kecanduan handphone (HP) dapat melalaikan seseorang dari kewajiban ibadah kepada Allah serta tanggung jawab muamalah atau hubungan sosial dengan sesama. Penggunaan HP secara berlebihan, terutama untuk hal-hal yang tidak bermanfaat seperti bermain media sosial, game, atau menonton konten hiburan, bisa menyebabkan lalai dari shalat, belajar, bekerja, hingga berinteraksi dengan keluarga. Kunci utama adalah membangun kesadaran akan dampak negatif kecanduan HP dan menciptakan keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata.

Di era digital saat ini, menjaga diri dan keluarga tidak hanya bersifat fisik semata karena saat ini kita hidup di dua dunia yakni dunia nyata dan dunia maya. Perkembangan ilmu dan teknologi telah menghantarkan kita Pada suatu masa dimana banyak sekali kemudahan-kemudahan yang kita dapatkan. Namun dibalik itu terdapat dampak-dampak negatif akibat perkembangan ilmu dan teknologi bagi mereka yang kurang bijak dalam menggunakannya dan menghantarkan ke neraka.

Rasulullah saw juga sudah mengingatkan kita semua tentang akan datangnya masa di mana teknologi akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ، وَتُطْوَى الْأَرْضُ زُبًا، أَيْ: تُطْوَى، وَيُضَمَّ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ Artinya: "Tidak akan terjadi kiamat hingga zaman terasa makin dekat, dan bumi dilipat (dipendekkan), yakni dilipat dan digabungkan sebagian tempat dengan yang lain.” (HR At-Thabarani).

Terkait dengan hal ini, Syekh Al-Ghumari dalam kitab Qathfun Nawal halaman 2 menjelaskan, maksud dari redaksi “waktu terasa semakin dekat” adalah bagaimana sekarang segala hal bisa terjadi dan tersebar dengan sangat cepat. Jika dulu untuk mengirim pesan, barang, atau bepergian membutuhkan waktu yang lama, saat ini semua itu bisa dilakukan sekejap mata dengan teknologi internet, pesawat, dan moda transportasi lainnya

Kemudian makna redaksi hadits “Bumi dilipat dan disatukan satu sama lain” bisa dipahami sebagai hilangnya sekat dan batas jarak. Di era digital saat ini kita bisa berbicara, melihat, bahkan bekerja sama dengan orang yang berada di ujung dunia tanpa harus bertemu secara fisik. Seolah-olah bumi ada dalam genggaman kita.

Semua kemudahan saat ini bisa dilakukan dengan satu alat yang bernama handphone (HP) atau smartphone. Benda ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mau tidur memegang HP, bangun tidurpun HP yang pertama kali dipegang. Meski membawa manfaat besar, penggunaan HP yang berlebihan tanpa kendali dapat menimbulkan dampak negatif, khususnya bagi anak-anak dan keluarga. Kecanduan HP bisa melemahkan ikatan sosial, menurunkan konsentrasi belajar, serta menjauhkan seseorang dari nilai-nilai keislaman. Kecanduan pada HP bisa menjadikan kita lalai dalam ibadah dan juga muamalah.

Dampak kecanduan HP pun bisa bersifat fisik, psikologis, sosial, dan juga spiritual. Di antara gangguan fisik adalah gangguan pola tidur atau insomnia, kerusakan mata akibat radiasi cahaya biru dari layar HP, sakit leher dan punggung karena postur tubuh yang buruk saat menggunakan HP dan penurunan kebugaran karena kurangnya aktivitas fisik. Dampak psikologis bisa berupa kecemasan dan stres jika tidak memegang HP atau nomophobia, penurunan fokus dan konsentrasi dalam belajar atau bekerja, dan ketergantungan digital yang mengganggu keseimbangan emosi. Untuk dampak Sosial terlihat dari menurunnya kualitas komunikasi keluarga karena lebih banyak waktu di depan layar daripada bersama keluarga, mengisolasi diri dari lingkungan sekitar, dan meniru perilaku buruk dari media sosial yang tidak sesuai dengan nilai Islam

Sementara dampak spiritual adalah melalaikan ibadah seperti shalat karena terlalu asyik bermain HP, mengurangi waktu untuk mengaji, berdoa, atau berdzikir, dan terpapar konten yang tidak sesuai syariat, seperti hiburan yang melalaikan atau bahkan maksiat.

Islam sebagai agama yang sempurna memberikan panduan dalam menjaga waktu, mendidik anak, dan memanfaatkan teknologi secara bijak. Oleh karena itu, penting bagi setiap orang tua dan anggota keluarga untuk menanamkan nilai kedisiplinan dan tanggung jawab dalam penggunaan HP dan tidak berlebih-lebihan. Allah tidak suka kepada tindakan berlebih-lebihan. وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ Artinya: "Janganlah berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan" (QS Al-A'raf: 31).

Untuk menghindarkan diri dan anak dari kecanduan HP dibutuhkan pendekatan yang konsisten dan penuh kesadaran. Di antaranya adalah dengan membuat aturan penggunaan HP yang jelas. Tentukan waktu khusus untuk penggunaan HP, misalnya hanya setelah tugas sekolah selesai. Larang penggunaan HP saat makan, belajar, atau sebelum tidur. Orang tua juga harus menjadi contoh yang baik karena anak akan meniru orang tua. Jika orang tua bijak dalam memakai HP, maka anak akan lebih mudah diatur dalam menggunakan HP.

Sebagai orang tua, kita juga harus mampu mengisi waktu dengan aktivitas positif. Libatkan anak dalam kegiatan fisik, seperti bermain di luar, olahraga, membaca buku, menggambar, atau berkebun. Jadwalkan waktu khusus untuk bermain bersama tanpa HP. Kita juga harus membangun komunikasi yang sehat dengan anak. Sering ajak bicara anak tentang bahayanya kecanduan HP, dampaknya bagi kesehatan mata, tidur, dan perkembangan sosial.

Mari kita hindari aktivitas menggunakan HP yang dapat melalaikan ibadah dan muamalah sehingga tujuan utama kita hidup di dunia ini menjadi salah arah. Kita harus menjadikan teknologi sebagai wasilah atau perantara bukan menjadi ghayyah atau tujuan. Semoga kita dan keluarga kita senantiasa diberikan perlindungan dan hidayah oleh Allah swt dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Amin.  

Jumat, 25 April 2025

Asyairah yang tidak sadar kalau aqidah yang mereka yakini selama ini mazhab Asyairah!!!

Dibeberapa negara Islam didunia, awam muslimin mengikuti mazhab ahlussunah baik asy'ariyah, maturidiyah dan fudhala hanabilah tanpa tau bahwa aqidah mereka dalam istilah ilmiyah adalah asy'ariyah, maturidiyah dan fudhala hanabilah(selanjutnya kita tulis asyairah aja karena sering dipakai untui menunhukan madrasah ahlussunnah secara umum), mereka hanya tau bahwa mereka sunny(ahlussunah wal jamaah), adapun hal mendetail seperti penamaan asy'ariyah-maturidiyah untuk ahlussunah wal jamaah. Banyak dari mereka yang awam banget ga tau penamaan ini.


Biasanya baru ketahuan bahwa mereka asyairah saat ada mazhab lain yang menurut mereka berbeda dengan yang mereka yakini atau guru mereka ajarkan, mereka akan menamakan ajaran diluar yang guru mereka ajarkan sebagai wahabi, syiah, liberal, sesat dll, dan mereka menamai ajaran mereka sebagai ahlussunnah wal jamaah, jadi ketahuan dari risihnya mereka pada ajaran yang berbeda dengan guru mereka


Misalnya saat ada orang mengatakan tuhan bisa duduk diatas arasy sebagaimana kita duduk diatas kursi, atau tuhan punya tangan fisikal, mereka langsung mengingkari dengan hati mereka, menganggap itu ajaran aneh, walaupun mereka ga tau cara menjawabnya, dan begitu ada ustad yang menjawabnya maka dia akan mewakilkan pada ustadz tersebut, jadi mereka ahlussunnah wal jamaah yang muqashir, tapi bukan mubtadi'


Coba aja anda sesatkan para imam yang populer dikalangan awam, seperti imam nawawi, imam Ghazali, syeikh abdul qadir jailany, mereka akan ngamuk. Atau yang lebih awam coba sesatkan ulama yang jadi simbol disuatu daerah dan dikenal luas sebagai waliyullah yang dianggap representasi islam mereka, biasanya tokoh yang memasukan mereka islam atau berjasa dalam dakwah, seperti walisongo dijawa, datuk kalampayan dikalimantan, syiah kuala diaceh, dll dimana hampir semua mereka asyairah. Pasti akan membuat mereka marah, dan akan dimusuhi karena anda akan dianggap ajaran sesat. Begitulah keadaan dilapangan


Dan uniknya lagi, sangat banyak dari awam asyairah, malah lebih familiar dengan penisbatan diri mereka pada gerakan dakwah asyariyah dan maturidiyah didaerah mereka daripada menisbatkan diri mereka langsung pada asyairah, hanya awam yang rajin ngaji saja yang sadar ternyata madrasah dakwah yang mereka ikuti dan aqidah yang mereka pelajari pada ustadz-ustadz dalam madrasah dakwah itu ternyata asy'ariyah-maturidiyah, adapun awam yang sangat awam mereka menjadi asyairah tanpa tau mereka asyairah, mereka taunya hanya ikut madrasah dakwah itu


Misalnya dijawa, disana ada madrasah dakwah asy'ariyah-maturidiyah bernama NU, banyak warga NU ga tau bahwa ternyata aqidah yang selama ini mereka pelajari dari ustad NU dan mereka yakini sebagai aqidah mereka ternyata ajaran asyairah, jadi sebagian awam asyairah dijawa lebih sering menyebut diri mereka sebagai pengikut ahlussunnah yang mengikuti ajaran madrasah/organisasi NU. Kalau kami diaceh sering mengatakan ikut tengku Dayah atau Aswaja. Dan begitu juga dengan madrasah dakwah lainnya di indonesia.


Dinegara lain juga sering terjadi. Kalau diasia selatan ada madrasah barlelvi dan deobandi yang maturidi. Kalau di asia tengah mereka menyebut diri mereka hanafi. Kalau di afrika barat mereka mengenalkam diri mereka sebagai ahlussunnah dengan madrasah tijaniyah, isinya ya sama saja, asyariah. Atau yang transnasional seperti jamaah tabligh, banyak yang tidak tau, ternyata aqidah yang diajarkan masyaikh mereka itu adalah asyairah hehe.


Kalau dibeberapa negara arab dan turki mereka mengenalkan diri mereka sebagai ahlussunnah dengan madrasah sufi, yang mengajar didalam madrasah itu isinya ustad dan ulama asyairah. Kalau dimesir mereka menamakan diri mereka sebagai ahlussunnah bermadrasahkan azhary. Dll. Begitulah mayoritas awam umat islam diseluruh dunia, dalam mengidentifikasi keyakinan yang mereka ikuti. Memang penisbatan diri pada nama mazhab itu bukan ushul aqidah, tapi sangat penting diketahui, agar lebih terarah dalam beragama.


Dan kalau diperhatikan ustadz-ustadz yang mengajar dimadrasah itu, atau ulama yang mereka jadikan rujukan dimadrasah itu ya asyairah, hanya saja awam yang jarang ngaji atau pengetahuan islamnya pas-pasan ga tau nama itu, tapi hanya tau nama madrasah yang mengajarkan aqidah itu. Dan itulah gambaran umum umat Islam didunia, ga perlu jauh, keluarga terdekat saya, dan keluarga anda pun banyak yang seperti itu, padahal mereka hafal sifat 20, wujud qidam baqa, dst dan hafal 4 sifat nabi shiddiq amanah tabligh fatanah, tapi mereka ga tau ternyata itu dasar dari aqidah mazhab asyariyah hehe


Satu sisi kita bersyukur bahwa mayoritas umat menisbatkan diri pada madrasah ahlussunnah yang benar, dan menjadi sawadul a'dham dalam umat muhammad saw, tapi disatu sisi kita sedih, ketika disuatu daerah banyak yang tidak menyadari itu, hehe. Itu berarti kebanyakan mereka jarang ngaji dan sangat awam tentang agama mereka, bahkan untuk urusan aqidah, dan itu akan jadi masalah jika keterusan


Itu karena mereka sangat bergantung pada tokoh, jika nanti tokoh itu melenceng sedikit maka melenceng juga mereka, begitu ada sedikit goncangan, dan rujukan mereka ga mampu menjawab atau mereka ga punya akses bertanya pada rujukan, maka dengan mudah mereka terguncang, karena lemahnya kesadaran identitas, jadi mereka beragama mengikuti doktrin dan tradisi saja, walaupun tradisi dari orang yang aqidahnya benar, tapi tetap saja rawan pada goncangan identitas. semoga allah memperbaiki keadaan umat islam


Masih banyak pr yang harus diselesaikan. Dan aku yakin banyak dari yang baca status ini pernah melewati fase bahwa mereka hanya tau kita ahlussunah wal jamaah, tapi ga sadar bahwa ternyata kita asyairah, bahkan jangan heran sampai status ini ditulis banyak dari mereka masih kurang menangkap bahwa aqidah yang mereka ikuti itu ternyata asy'ariyah-maturidiyah, ya masih samar-samar lah, antara iya dan tidak, karena belum terlalu paham, betul kan? Karena begitulah keadaan umat islam hari ini. Tenang aja, belajar pelan-pelan. Yang dulu pernah melewati fase itu atau masih bingung kalau ternyata kita itu asyairah, ayo ngakuuuu!!. Ahhaa. Wallahualam.

Nabi Musa dan Khizir

Yang Salah dan Yang Benar Tentang Nabi Khidir dan Nabi Musa

Nabi Khidir lebih hebat dari Nabi Musa ❌
Nabi Musa jauh lebih hebat dari Nabi Khidir sebab beliau Ulul Azmi. Sedangkan Nabi Khidir bukan hanya non-Ulul Azmi bahkan kenabiannya pun masih diperdebatkan ✅

Nabi Musa diperintah mengikuti ajaran Nabi Khidir ❌
Nabi Musa hanya diperintah membersamai Nabi Khidir untuk melihat perintah Allah yang tidak diterima oleh Nabi Musa ✅ 

Nabi Khidir menjadi gurunya Nabi Musa ❌
Nabi Khidir menjadi kawan perjalanan Nabi Musa yang punya misi berbeda dari Allah ✅

Allah mau menunjukkan bahwa Nabi Khidir lebih alim daripada Nabi Musa ❌ 
Allah mau menunjukkan bahwa Nabi Musa tidak mengetahui semua hal sehingga tidak boleh merasa paling alim. Beberapa hal memang tidak disampaikan oleh Allah kepada Nabi Musa tapi ke hambanya yang lain, yakni Khidir, sehingga kalau bertemu dengannya maka Nabi Musa akan sadar bahwa dia sebagai Rasulullah pilihan yang posisinya tertinggi di masa itu tetap saja tidak mengetahui segala hal ✅

Nabi Khidir punya ajaran lain yang melampaui syari'at/fikih ❌ 
Nabi Khidir tidak membawa ajaran khusus apapun, ia tetap terikat dengan syari'at/fikih yang dibawa Rasul sehingga pada akhirnya dia menjelaskan bahwa seluruh tindakannya sebenarnya sesuai dengan fikih yang dipahami Nabi Musa ✅

Nabi Khidir sudah di level hakikat sedangkan Nabi Musa masih Syariat ❌
Nabi Khidir dan Nabi Musa sama-sama ahli Syariat sekaligus ahli Hakikat dan Ma'rifat. ✅

Nabi Khidir tidak terikat syariat ❌
Semua Nabi, termasuk Nabi Khidir, terikat syariat. Hanya saja beberapa tindakan Nabi Khidir tidak dijelaskan sisi kesesuaiannya dengan syari'at di awal-awal kejadian sehingga muncul salah paham seolah melanggar syariat padahal tidak ✅

Ilmu hakikat Nabi Khidir tidak mungkin dipahami Nabi Musa apalagi orang lain yang masih level Syariat ❌ 
Ilmu hakikat Nabi Khidir justru mudah dipahami semua orang, bahkan oleh orang bodoh sekali pun, ketika alasan tindakannya diceritakan. Semua orang akan paham bahwa merusak sebagian sisi perahu anak yatim adalah tindakan baik untuk menolong mereka ketika tahu bahwa perusakan itu agar perahunya tidak dirampas paksa oleh penguasa yang konsekuensinya anak yatim tersebut kehilangan satu-satunya sumber nafkah. Tindakan Nabi Khidir tersebut sesuai dengan kaidah fikih tentang wajibnya menolak kemudharatan yang lebih besar. Tidak ada bagian yang rumit, misterius dan sulit dipahami dari hakikat ini yang sesungguhnya adalah ajaran syariat (fikih). Hanya saja alasan tersebut tidak diceritakan di awal sehingga sempat menimbulkan salah paham. ✅

Kalau mengikuti jalan Nabi Khidir, maka tidak masalah ketika orang lain tidak paham dan menganggap sesat sebab mereka belum sampai ❌
Kalau mengikuti jalan Nabi Khidir, maka wajib menjelaskan kepada orang lain bahwa tindakannya sebenarnya sesuai syariat, tidak membuat-buat, dan punya pertimbangan syar'i (dalil) yang valid. Nabi Khidir sendiri menjelaskan semua kesesuaian tindakannya dengan syari'at setelah Nabi Musa tidak sabar meminta penjelasan. Jalan Nabi Khidir bukan malah tidak mau menjelaskan "kenyelenehan" sebab memang nyata tidak ada dalilnya, apalagi malah menuduh orang lain tidak sampai lalu sok berlagak hanya dirinya yang sampai sendiri ✅

Boleh ikut ajaran Nabi Khidir tanpa ikut Syariat Nabi Muhammad ❌
Umat terdahulu wajib ikut syariat Nabi Musa, bukan Khidir. Umat sekarang wajib ikut syariat Nabi Muhammad, Bukan Khidir. Nabi Khidir pun sekarang wajib ikut Syariat Nabi Muhammad, begitu pula dengan Nabi Isa nanti ketika turun kembali dan Imam Mahdi ketika muncul nanti, semuanya wajib ikut syariat Nabi Muhammad. Semua Nabi hanya muqaddimah bagi kemunculan Nabi Muhammad, makhluk paling agung. Semua waliyullah setelah Nabi Muhammad menjadi wali sebab mereka mengikuti syariat Nabi Muhammad ✅

Semoga bermanfaat

Ateisme

Mustahil bagi seorang Taimiy membantah ateisme sebab sama-sama penganut materialisme. Dalam paradigma materialisme, yang "terbukti"dan konsisten secara logis adalah ateisme, bukan tajsim.

Ada pun bagi seorang Ahlussunah wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyyah) maka itu mudah sebab sejak awal tidak memakai paradigma materialisme yang mendoktrin bahwa yang wujud hanya materi dan sifat-sifat materi. Tuhan dalam hal ini bukan materi sehingga pembuktiannya tidak bisa dilakukan seperti pembuktian keberadaan materi.

Taimiyun karena sadar ketidak mampuannya membuktikan Tuhan yang diyakininya sebagai materi, maka mereka biasanya memakai dogma atau kepercayaan umum. Cara ini lemah sebab ketika ateis mengatakan bahwa itu semua hanya dongeng dan ada populum (salah satu sesat pikir karena hanya berlandaskan pada kepercayaan umum tanpa pembuktian saintifik), maka mereka kelabakan tidak mungkin menjawab.

Satu-satunya jalan pembuktian keberadaan Tuhan hanyalah metode mutakallimin yang berbasis argumen rasional berupa argumen huduts atau argumen imkan. Karena Taimiyun mengharamkan metode ini, maka tidak ada jalan bagi mereka untuk menolak ateisme. Lihat saja.

Generalisasi Berlebih Fisika Kuantum

Tidak satu-dua kali ini saya temukan rekan-rekan yang mengajukan argumen lemahnya bangunan ilmu kalam berdasarkan temuan-temuan dalam bidang fisika kuantum. Seakan-akan ingin mengatakan, "ilmu kalam sudah usang karena fisika kuantum."

Tak jarang, argumen-argumen tersebut juga diiringi dengan pernyataan sebab-akibat yang cukup bombastis. Contoh: meninggalkan konsep akidah tertentu sebab bertentangan dengan sains, untuk kemudian memeluk konsep akidah lain yang ia rasa lebih sesuai dengan sains.

Kemarin saya menjumpai sebuah komentar panjang yang didalamnya terdapat sebuah paragraf dengan nada yang mirip:

"Perkembangan fisika kuantum modern, melalui konsep superposisi, ketidakpastian (Heisenberg), dan non-lokalitas (Bohm), telah mematahkan fondasi logika dan ontologi Aristotelian. Konsep klasik seperti substansi dan aksiden tak lagi memadai menjelaskan realitas fisik, apalagi metafisik. Maka, bila landasan logis kalam masih berpijak pada kategori ontologis kuno itu, ia justru menjadi rentan terhadap kritik saintifik maupun filosofis kontemporer."

Komentar yang sangat keren dan meyakinkan! Apalagi diiringi dengan istilah-istilah khas fisika kuantum. Sayangnya, bila ditelusuri lebih jauh, terdapat beberapa kesalahan fatal.

Kesalahan paling mendasar komentar diatas ialah menggeneralisasi domain ilmu: klaim bahwa temuan fisika kuantum (empiris, sementara ini terbatas pada dunia subatomik) secara otomatis membatalkan validitas ontologi dan logika yang dikembangkan dalam konteks metafisik.

Jamak diketahui bila fisika kuantum beroperasi dalam domain empiris partikular dan model matematis, bukan dalam domain metafisika universal. Apa sulitnya melihat bahwa ontologi Aristotelian membahas struktur dasar keberadaan secara umum (substansi, aksiden, kausalitas), sedangkan teori kuantum membahas fenomena eksperimental secara khusus?

Menyimpulkan bahwa perubahan teori fisika (dari klasik ke modern atau kuantum) menyebabkan batalnya seluruh kerangka metafisika adalah lompatan logika yang tidak sah. 

Ini seperti mengatakan pergeseran teori warna dari sifat bawaan suatu benda (mengikuti kerangka berpikir Aristotelian) menjadi bukan sifat bawaan suatu benda (mengikuti teori pembiasan cahaya oleh Newton), menyebabkan gugurnya estetika seni rupa!

Kesalahan berikutnya ialah kesalahan kategori: menganggap konsep seperti "substansi" dan "aksiden" adalah teori (fisika) klasik, padahal mereka adalah konsep metafisika.

Fisika (mau yang klasik, modern, atau kuantum) tidak pernah dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan seperti "apa itu keberadaan?" atau "apa sifat dasar sesuatu yang ada?"— justru itu adalah tugas metafisika.

Fisika berusaha menjawab "bagaimana", bukan "apa". Ia bergantung pada model, bukan hakikat mutlak. Pun, idealnya, ia diam terhadap makna dan eksistensi.

Karena itu, ilmuwan seperti Heisenberg (iya, nama yang disebut dalam komentar tersebut) menyadari keterbatasan epistemologis eksperimen kuantum dan tidak serta-merta mengklaim telah menggusur seluruh bangunan filsafat klasik.

Maka, menyimpulkan bahwa temuan eksperimental menggugurkan konsep substansi dan aksiden berarti salah memahami fungsi dan domain masing-masing disiplin ilmu!

Kesalahan berikutnya ialah menganggap fisika kuantum pasti menolak determinisme dan kausalitas klasik. Padahal, tidak ada konsensus tunggal di kalangan ilmuwan tentang interpretasi fisika kuantum.

Contoh paling jelas ialah "permusuhan" Interpretasi Kopenhagen (yang bersifat probabilistik) dengan Bohmian Mechanics (yang bersifat deterministik dan realistis). Bahkan, Many Worlds Interpretation pun masih mempertahankan struktur deterministik dalam kerangka multiverse.

Artinya, klaim bahwa “fisika kuantum mematahkan seluruh kausalitas” adalah reduktif dan tidak mewakili kompleksitas diskursus ilmiah aktual!

Terdapat satu lagi paragraf yang mirip dalam komentar yang sama:

"Sebaliknya, argumen kalam seperti huduts atau imkan meskipun tampak rasional, sering kali terbukti tidak efektif dalam menjawab ateisme kontemporer. Argumen-argumen ini masih bergantung pada asumsi kausalitas linier dan keberlakuan kategori universal, yang kini ditantang oleh filsafat bahasa seperti Wittgenstein dan oleh fisika modern yang mengungkap realitas sebagai sesuatu yang lebih kompleks dan tidak terdefinisi secara deterministik."

Lagi-lagi ia menyatakan bahwa fisika modern (meski sebelumnya ia gunakan diksi "kuantum") membatalkan determinisme dan kategori universal begitu saja.

Memang benar adanya bila dikatakan fisika modern/kuantum memperkenalkan probabilitas, ketidakpastian, dan non-lokalitas, tapi tidak berarti meniadakan kausalitas atau kategori universal secara total.

Buktinya, banyak ilmuwan tetap menggunakan kategori universal seperti energi, ruang, waktu, struktur dan tetap mempertahankan prinsip-prinsip kausal dalam skala makro atau bahkan dalam model multiverse.

"What we observe is not nature itself, but nature exposed to our method of questioning."

— Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (1958)

Multiverse

 Ada yang bilang kemungkinan adanya multiverse menurut fisika modern membuktikan bahwa ilmu kalam Asy'ariyah salah dan tidak memadai lagi. Hehe... Dia tidak tahu bahwa pembahasan kemungkinan multiverse sudah dilakukan oleh Imam ar-Razi al-Asy'ari sekian abad lalu sebelum semua fisikawan bicara soal itu.

Akidah Asy'ariyah adalah satu-satunya akidah yang akan kompatibel dengan semua fakta saintifik. Kalau ada yang menyangka ada pertentangan, maka ada kalanya ia tidak paham akidah Asy'ariyah atau bahasan yang saintifik itu masih asumsi teoritis yang lemah.

Orang Yang Mati Dengan Keinginan Yang Belum Tercapai

 Saya beberapa kali nonton film dengan tema orang yang arwahnya gentayangan belum naik ke langit sebab mempunyai keinginan yang belum tercapai selama hidup. Tentu saja itu bukan akidah kaum muslimin tapi akidah non-muslim. Saya tidak akan membahas itu tapi ada satu hadis yang berbicara tentang mereka yang mati saat mempunyai keinginan yang belum sempat terlaksana selama hidup, yaitu:


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِي عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ هَلْ تَدْرُونَ أَوَّلَ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ الْفُقَرَاءُ وَالْمُهَاجِرُونَ الَّذِينَ تُسَدُّ بِهِمْ الثُّغُورُ وَيُتَّقَى بِهِمْ الْمَكَارِهُ وَيَمُوتُ أَحَدُهُمْ وَحَاجَتُهُ فِي صَدْرِهِ لَا يَسْتَطِيعُ لَهَا قَضَاءً فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ مَلَائِكَتِهِ ائْتُوهُمْ فَحَيُّوهُمْ فَتَقُولُ الْمَلَائِكَةُ نَحْنُ سُكَّانُ سَمَائِكَ وَخِيرَتُكَ مِنْ خَلْقِكَ أَفَتَأْمُرُنَا أَنْ نَأْتِيَ هَؤُلَاءِ فَنُسَلِّمَ عَلَيْهِمْ قَالَ إِنَّهُمْ كَانُوا عِبَادًا يَعْبُدُونِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَتُسَدُّ بِهِمْ الثُّغُورُ وَيُتَّقَى بِهِمْ الْمَكَارِهُ وَيَمُوتُ أَحَدُهُمْ وَحَاجَتُهُ فِي صَدْرِهِ لَا يَسْتَطِيعُ لَهَا قَضَاءً قَالَ فَتَأْتِيهِمُ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ ذَلِكَ فَيَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ { سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ }


"dari Abdullah bin Amr bin Ash dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, "Tahukah kalian diantara makhluk Allah yang paling pertama masuk surga?" Para sahabat menjawab, "Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui." Beliau bersabda, "Diantara makhluk Allah yang paling pertama kali masuk surga adalah golongan orang-orang fakir dan orang-orang yang berhijrah untuk mengisi tapal-tapal perbatasan antara kaum muslimin dan kafir, yang dengan perantara mereka malapetaka dapat dihindarkan, dan salah seorang di antara mereka wafat sedangkan keinginan yang masih berada di dadanya tidak dapat terlaksana, maka Allah berkata kepada salah satu dari malaikat yang dikehendaki-Nya: 'Datangilah mereka dan ucapkanlah selamat kepada mereka!' Maka malaikat itu berkata, 'Kami adalah para penghuni langit dan semulia-mulianya makhluk-Mu, kenapa Engkau menyuruh kami untuk mendatangi mereka dan memberi salam kepada mereka?' Allah berkata, 'Sesungguhnya mereka adalah para hamba yang beribadah kepada-Ku dan tidak menyekutukan-Ku dengan yang lain, mereka menjaga tapal batas antara kaum muslimin dan orang kafir, dan dengan mereka pula dapat dihindarkan malapetaka, ada salah seorang dari mereka yang mati sedang dalam dadanya masih keinginannya yang tidak bisa ia penuhi.'" Beliau berkata, "Maka para malaikat itupun mendatangi mereka dan masuk dari setiap pintu yang ada (seraya mengucapkan), 'Salamun 'alaikum bima shabartum (Keselamatan atas kalian oleh karena kesabaran kalian).' Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu."


Hadis tersebut bercerita tentang para mujahid yang berjaga di perbatasan, yang melindungi kaum muslimin dari serangan musuh, yang saking sibuknya mereka di sana, di antara mereka ada yang mempunyai keinginan-keinginan pribadi yang belum tercapai selama hidup tetapi mereka wafat dalam menjalankan tugas. Mereka adalah golongan orang-orang yang masuk surga pertama kali. 


Orang-orang yang sibuk mewakafkan dirinya demi membela dan membantu orang lain biasanya punya kepentingan personal yang tidak tercapai sebab kesibukannya. Nanti Allah akan menyediakan surga terindah untuk mereka. Semoga kita bisa seperti itu.

Sihir itu ada

Sihir itu ada, tapi bukan berarti kalau ada orang sakit lantas dibilang sihir
Ain itu ada, tapi bukan berarti kalau ada orang sakit atau kena musibah lantas dibilang ain
Karamah itu ada, tapi bukan berarti kalau ada yang tidak lumrah lantas karamah

Itu semua terjadinya sangat-sangat jarang bahkan langka. Kalau ada yang menganggapnya banyak dan mudah terjadi sekarang ini, maka itu salah satu penyakit mental berupa delusi dan psikosomatik. Biasanya penyakit ini diidap oleh orang yang berpendidikan rendah yang masih hidup dalam dunia serba klenik, perdukunan dan ruqyah. Salah satu efek penyakit ini adalah fobia, ada yang fobia foto sehingga ketakutan memajang foto di tempat umum karena takut sihir atau ain, fobia tampil di muka umum, fobia bersosialisasi, dan sebagainya. Mereka juga gampang menganggap orang yang tidak normal sebagai waliyullah atau menganggap barang tertentu sebagai bertuah atau punya berkah, padahal biasa saja.

Fungsi Utama Suami Dan Istri

Fungsi utama seorang suami adalah memberi nafkah sesuai kemampuannya. Seorang laki-laki dibutuhkan oleh perempuan untuk menjadi suaminya karena kemampuannya menafkahi. Jadi, kalau ada suami yang perilakunya baik, romantis, suka membantu pekerjaan rumah dan seterusnya, tapi tidak mau bekerja mencari nafkah, maka dia cacat dalam fungsi utamanya meskipun di fungsi lainnya baik. Demikian juga suami yang memberi nafkah tapi sambil ngomel-ngomel mengungkit pemberiannya, maka dia cacat sebagai suami. Karena itu secara hukum suami yang tidak menafkahi adalah berdosa kalau disengaja dan dalam keadaan mampu bekerja, sebab ini fungsi utamanya. 


Fungsi utama seorang istri adalah mencukupi kebutuhan seksual suaminya, baik karena bertujuan punya anak atau sekedar kebutuhan biologis. Seorang perempuan dibutuhkan oleh laki-laki untuk menjadi istrinya karena kemampuannya meredam syahwatnya secara halal. Jadi, kalau ada istri yang perilakunya baik, pandai bersolek, pandai memasak dan mengurus rumah tangga, tetapi dia tidak mau diajak berhubungan badan tanpa ada udzur, maka dia cacat dalam fungsi utamanya. Demikian juga seorang istri yang mau memberikan pelayanan ranjang tapi sambil ngomel-ngomel, maka dia juga cacat sebagai istri. Karena itu secara hukum istri yang menolak ajakan suaminya tanpa udzur adalah berdosa, sebab ini fungsi utamanya.


Adapun membantu berbagai urusan, menjadi teman bercerita, menjadi partner kerja, teman mengurus anak dan sebagainya, itu semua bisa dilakukan orang lain tidak harus pasangan yang menikah sehingga bukan fungsi utama dalam pernikahan. Meskipun bukan fungsi utama tapi bukan berarti ini semua tidak penting sebab pernikahan adalah relasi jangka panjang. Hanya saja karena bukan fungsi utama, maka ini semua tidak diancam dengan dosa dalam hukum Islam sehingga tidak ada yang akan masuk neraka hanya karena tidak memasak, tidak menyapu, tidak membantu mengurus anak atau tidak mendengarkan curhatan pasangan. Ini semua adalah relasI yangi murni sosial yang kalau jelek hanya diganjar dengan hukuman sosial, misal diomeli.


Cacat dalam fungsi utama ini adalah penyebab utama perceraian dan perselingkuhan. Seorang suami cenderung diselingkuhi ketika istrinya menemukan lelaki lain yang mau menopang kebutuhan finansialnya dengan lebih baik. Karena itu tak perlu terlalu heran ketika seorang suami yang baik dan penuh perhatian ditinggal istrinya demi lelaki yang lebih kaya. Demikian juga seorang istri cenderung diselingkuhi ketika suaminya menemukan perempuan lain yang mau menjadi partner yang lebih seru di ranjang. Karena itu tak perlu terlalu heran ketika seorang istri yang baik, lebih cantik dan penuh perhatian ditinggal suaminya demi perempuan yang lebih memuaskannya di ranjang.


Semoga bermanfaat

Lebih mudah mengajar di kampus dari sekolah

Kalau mau jujur, sebenarnya mengajar pada tingkatan yang tinggi itu lebih mudah dari mengajar di tingkatan dibawahnya, seperti di perguruan tinggi itu lebih mudah dibandingkan mengajar disekolah.

Mengajar di SMA itu lebih mudah di bandingkan SMP, dan mengajar di SMP itu lebih mudah dari mengajar di SD, dan mengajar di SD itu lebih mudah dari mengajar di TK/ PAUD.

Semakin tinggi Level mengajar itu semakin mudah, Mengajar di kampus itu mudah, asal bisa menguasai materi ya pasti jalan proses pembelajaran nya, karena mengajar orang dewasa itu cukup gampang, peserta didik itu tertib, mereka mudah diatur, nama nya orang sudah dewasa, apalagi untuk level pasca sarjana, maka jika sudah menguasai materi mengajar itu gampang, kita bisa mengarahkan apa yang menjadi tujuan.

Kondisi ini tentu berbeda dengan level di bawahnya, apalagi tingkat SMA, peserta didik pada level ini berada pada masa transisi dari anak-anak menuju dewasa, banyak polah tingkah, guru yang mengajar pada level butuh banyak banyak sabar, kalau tidak sabar, bisa hancur kita.

Begitu juga tingkatan SMP, peserta didik pada level ini belum tahu tujuan belajar untuk apa, tujuan sekolah untuk apa, mereka pikir sekolah tradisi, karena sudah tamat SD ya lanjut SMP dunia mereka itu masih dunia main-main cari teman baru setelah 6 tahun di SD, guru yang ngajar di SMP harus bisa memahami jiwa mereka ini, kalau tidak paham jiwa mereka, maka guru bawaannya akan marah marah tiap hari..

Sabtu, 05 April 2025

Level kealiman seseorang dalam masalah agama. (Alim di sini berarti berilmu).

0. Tak tahu dalil dan ngajak orang supaya tak perlu belajar, menurutnya percuma jadi orang pintar sebab orang pintar banyak yang buruk tingkahnya. Akhirnya ia bangga dengan ketidaktahuannya. Ini level orang bodoh. 


1. Tak tahu dalil, hanya berusaha mempraktekkan apa yang ia dengar tanpa berani menyalahkan atau membela siapapun. Dia merasa kalau dirinya masih perlu belajar tapi sulit. Kadang dia ikut pendapat yang ketat agar sempurna, kadang juga ikut yang gampang-gampang supaya tidak ribet. Ini level orang awam, orang kebanyakan. 


2. Tahu satu dalil yang mendukung praktek ibadah yang ia jalani saja. Yang berbeda praktek ia salahkan sebab tak tahu dalilnya. Ini level mubtadi'in, pelajar pemula. 


3. Tahu banyak dalil dan perbandingan mazhab, lalu menghalalkan hampir semua hal dengan menukil qaul yang nyleneh yang jarang orang tahu. Makin nyleneh, makin dia senang sebab akan dikira alim oleh orang awam. Ini level jahil murakkab, orang bodoh yang tak sadar kalau dirinya bodoh. Ini level paling buruk. 


4. Tahu banyak dalil dan perbandingan mazhab, tapi ia mampu mentarjih (mengunggulkan) satu pendapat terkuat untuk diajarkan pada masyarakat dan ia praktekkan sendiri. Ia tundukkan hawa nafsunya di depan kebenaran yang ia yakini untuk menuju ridha Allah. Tapi yang berbeda dengan tarjihnya dia anggap sesat. Ini level orang alim yang tertutup pikirannya. 


5. Tahu banyak dalil dan perbandingan mazhab, tapi ia mampu mentarjih (mengunggulkan) satu pendapat terkuat untuk diajarkan pada masyarakat dan ia praktekkan sendiri. Sama dengan nomer 4, hanya saja ia bisa memaklumi orang yang berbeda pendapat dengan dia selama perbedaannya bisa ditolerir sebab ia mampu melihat dari berbagai perspektif yang berbeda. Ini level orang alim yang terbuka, level alim yang sesungguhnya. 


Berikut ini adalah sebagian nasehat dari mereka yang betul-betul alim ini:


قولي صواب يحتمل الخطأ، وقول المخالف خطأ يحتمل الصواب (الشافعي) 

Pendapatku adalah benar tapi mungkin saja salah, sedangkan pendapat orang yang berbeda denganku itu salah tapi mungkin saja benar. (Imam Syafi'i) 

ليس كل خلاف جاء معتبرا إلا خلاف له حق من النظر (نقله السيوطي عن أبي الحسن)

Tidak semua perbedaan pendapat bisa dipertimbangkan, hanya perbedaan yang layak dipikirkan secara mendalam saja. (Syaikh Abu al-Hasan dalam kitab An-Nasikh wal Mansukh sebagaimana dinukil oleh Imam Suyuthi dalam al-Ithqan). 

ومن أفتى بكل قول أو وجه من غير نظر إلى ترجيح فهو جاهل خارق للإجماع (الحبيب عبد الرحمن باعلوي)

Siapa pun yang berfatwa dengan semua pendapat Imam mazhab atau murid-muridnya tanpa terlebih dahulu dipertimbangkan mana yang kuat, maka berarti ia orang bodoh yang menyempal dari kesepakatan ulama. (Habib Abdurrahman Ba'alawi, ulama besar yang menjadi mufti Yaman, dalam kitabnya: Bughyatul Mustarsyidin) 

Mereka yang alim mengetahui macam-macam pendapat dan dapat memilih yang terbaik untuk disampaikan kepada masyarakat tetapi tanpa merasa paling benar sendiri secara mutlak. 

Semoga yang baca status ini dianugerahi ilmu tinggi yang bermanfaat. Amin.

Apakah tuhan harus selalu baik?

Beberapa agama di dunia mencoba mendoktrin umatnya bahwa Tuhan pasti selalu berbuat baik dan terbaik, bahwa dia Maha Pengasih, Penyayang, Pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, Tuhan tidak mungkin berbuat tidak baik, kejam, dan seterusnya. Ajaran semacam ini melawan realitas empiris di mana berbagai hal buruk dan kejam terjadi di seluruh dunia setiap harinya. Ada yang terlahir cacat, ada yang seumur hidup berada dalam kemiskinan, ada yang mati kelaparan, ada yang terkena wabah, ada yang tertimpa kecelakaan dan seterusnya.


Karena tidak realistis, ajaran agama yang hanya menjual "kasih Tuhan" saja selalu menjadi bahan bulliyan para ateis. Katanya Tuhan Maha Pengasih, kok hambanya dibiarkan sengsara? Katanya Maha Pengayang, kok hambanya dibuat menderita? Itu Tuhannya bohong atau Tuhannya tidak mampu menghilangkan kesengsaraan dan penderitaan hambanya? Begitulah pertanyaan para ateis di seluruh dunia tentang kesengsaraan duniawi. Belum lagi dalam agama masih diperkenalkan neraka, tempat siksaan abadi yang jelas bukan tempat curahan kasih sayang Tuhan sehingga doktrin "kasih Tuhan" menjadi tidak konsisten. Daerah yang menjadi pusat agama tidak realistis seperti itu selalu menjadi pusat berkembangnya ateisme. 


Dalam tubuh Islam, ada juga aliran yang mendoktrin bahwa Tuhan pasti selalu berbuat yang terbaik. Mereka adalah aliran Muktazilah yang divonis sesat oleh para ulama Aswaja sebab ajaran mereka tidak realistis dan hanya berujung pada munculnya ateisme. Para Mutakallim Ahlussunnah Wal Jamaah menjelaskan bahwa selain tidak realistis, ajaran seperti itu bertentangan dengan syariat yang memberikan berbagai aturan yang menyulitkan seperti harus shalat, puasa dan seterusnya yang akan lebih mudah bagi manusia kalau tidak ada beban aturan semacam itu.


Imam as-Sanusi berkata: 


فالمعتزلةٌ إنَّما يوجبونَ مِنَ الممكنات على الله تعالى فعل الصلاح والأصلح للخلْقِ، والمشاهدة والشرع يقضيان بفساد قولهم في ذلك


"Muktazilah mengharuskan Tuhan berbuat hal yang tidak diharuskan berupa melakukan kebaikan dan hal terbaik bagi makhluk. Realitas empiris dan syariat memastikan kesalahan ucapan mereka dalam hal tersebut" (as-Sanusi, Syarh Umm al-Barahin)


Imam ad-Dasuqi menjelaskan perkataan as-Sanusi tersebut sebagai berikut:


أما قضاء المشاهدة بفساد قولهم : فلوقوع المحن للناس من فقر ومرض ؛ فإن هذه لا مصلحة فيها ، وأما قضاء الشرع بذلك : فلأنه أتى بتكليف العباد ، وهو مشتمل على المشاق والمكاره ، وليس فيه مصلحة بحسب الظاهر


"Adapun kepastian realitas empiris bahwa ucapan mereka salah adalah karena terjadinya musibah bagi manusia berupa kefakiran dan sakit. Dalam hal ini tidak ada kebaikannya. Adapun kepastian syariat tentang kesalahan mereka adalah karena Allah membebani para hambanya dengan aturan yang mengandung kesulitan dan hal yang tidak mengenakkan. yang dalam hal tersebut secala lahiriah tidak ada kebaikannya." (ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi 'ala Syarh Umm al-Barahin)


Biasanya mereka akan berapologi bahwa musibah dan beban aturan syariat (taklif) mengandung kebaikan bagi manusia sebab nantinya hal itu akan mendatangkan pahala. Apologi mereka sama seperti ucapan para da'i yang tidak memahami ilmu hakikat bahwa musibah dan aturan agama yang ribet dikesankan sebagai bentuk "kasih sayang Tuhan" bagi manusia. Imam ad-Dasuqi menjawab apologi tersebut:


فإن قالوا : إن المحن والتكليف فيهما مصلحة باعتبار ما يترتب عليهما من الثواب .. قلنا لهم : الله قادر على إيصال الثواب بدون التكليف والمحن


"Apabila mereka berkata bahwa musibah dan beban aturan syariat mempunyai sisi kebaikan dengan memandang bahwa di balik itu ada pahalanya, maka kami, Ulama Aswaja, berkata pada mereka bahwa Allah mampu memberikan pahala tanpa memberikan beban aturan atau pun musibah". (ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi 'ala Syarh Umm al-Barahin)


Ajaran Islam yang dipahami oleh Ahlussunnah Wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyah) adalah ajaran realistis yang mengagungkan Tuhan secara maksimal di mana Tuhan diyakini punya kehendak bebas (iradah) yang mutlak tanpa bisa diintervensi kondisi apa pun dan tidak bisa diikat oleh aturan apapun. Terserah Tuhan apakah Dia mau memberikan kebaikan atau pun keburukan pada makhluk yang Dia ciptakan sendiri. Terserah makhluknya suka atau pun tidak suka, Tuhan tidak memerlukan persetujuan mereka.


Allah adalah sosok yang melakukan apa pun kehendaknya (فعال لما يريد), bukan sosok yang bisa diatur harus berbuat ini dan itu, termasuk harus berbuat baik dan memberi yang enak-enak pada manusia. Di dunia, Allah menciptakan kebahagiaan dan juga kesengsaraan. Di akhirat, Allah menciptakan surga dan neraka. Siapa yang melaksanakan perintahnya akan diberikan surga dan siapa yang tidak mau taat akan dimasukkan ke neraka. Dua sisi antara harapan mendapat kebaikan abadi (raja') dan kecemasan mendapat murka (khauf) harus selalu ada beriringan dan seimbang. Allah berfirman:


وَاِنَّ رَبَّكَ لَذُوْ مَغْفِرَةٍ لِّلنَّاسِ عَلٰى ظُلْمِهِمْۚ وَاِنَّ رَبَّكَ لَشَدِيْدُ الْعِقَابِ (الرعد: 6)

"Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai ampunan bagi manusia atas kezaliman mereka dan sesunggunnya Tuhanmu Maha Berat Siksanya."


فَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ رَبُّكُمْ ذُو رَحْمَةٍ وَاسِعَةٍ وَلايُرَدُّ بَأْسُهُ عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ [الْأَنْعَامِ: 147]

"Apabila mereka menuduhmu berdusta, maka katakan: Tuhan kalian mempunyai kasih sayang yang luas, tapi tidak ada yang dapat menolak murkanya pada mereka yang membangkang"


إِنَّ رَبَّكَ لَسَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ} [الْأَعْرَافِ:167]

"Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat menyiksa dan sesungguhnya Dia Maha mengampuni dan mengasihi"


نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الألِيمُ [الْحِجْرِ:49، 50]

"Sampaikanlah pada hambaku bahwa Aku Maha Mengampuni dan Mengasihi, dan bahwa siksaku adalah siksa yang sangat menyakitkan"


Dua sisi berupa Tuhan memberi kasih sayang dan surga di satu sisi serta memberi kemurkaan dan neraka di sisi lainnya adalah dua hal yang harus diyakini dalam diri orang beriman. Dari situlah nanti tumbuh keseimbangan antara khauf (ketakutan) dan raja' (harapan). Dengan ketakutan akan siksa, dia mampu bertahan agar tetap berada dalam jalan kebaikan; tidak mencuri meski lapar, tidak berbuat semena-mena meski mampu, tidak membunuh meski benci, tidak hidup bermalas-malasan dan seterusnya. Dengan harapan, dia mampu bertahan menghadapi ujian dan segala penderitaan, tidak putus asa dan tidak sibuk menyalahkan Tuhan.


Sebab itu, menjadi orang beriman artinya menjadi orang yang bermental tangguh. Orang yang bermental krupuk tidak akan mampu merasakan manisnya iman sebab mentalnya terlalu lemah. Ketika mendapat kesusahan hidup atau melihat penderitaan di dunia, orang bermental krupuk akan sibuk menyalahkan Tuhan dan mempertanyakan kasih sayangnya. Banyak dari mereka yang bunuh diri dan banyak pula yang akhirnya tidak percaya pada Tuhan sebab tidak sesuai dengan ekspektasi yang mereka buat sendiri yang seolah-olah bisa mengatur Tuhan harus begini dan begitu.


Sebagian agama malah saking putus asanya dalam melihat realitas dunia yang buruk hingga "menciptakan" sosok saingan Tuhan tapi versi jahat yang menurut mereka memberikan kesengsaraan dan neraka hingga dibayangkanlah ada Tuhan baik dan ada Lucifer sebagai Tuhan jahat; ada Sang Terang dan ada Sang Gelap. Tanpa sadar, keyakinan syirik mereka ini justru menunjukkan bahwa Tuhan mereka lemah dan terbatasi hingga sebagian dari mereka dengan absurd mengakui kelemahan Tuhannya hingga untuk memberikan ampunan masal bagi manusia saja diyakini Tuhannya harus membunuh anaknya sendiri sebagai tebusan.


Sebagian lagi saking lemahnya mental mereka hingga menolak eksistensi neraka. Bagi mereka, tidak mungkin Tuhan yang maha pengasih menciptakan nereka. Tanpa sadar dia ini sedang membuka pintu kesemena-menaan bagi manusia. Kalau tidak ada neraka berarti bebas berbuat apa saja bukan? Kalau tidak ada pertanggung-jawaban, maka tentu manusia tidak perlu bertanggung jawab. Tidak perlu menjadi orang baik sebab menjadi orang jahat pun tidak ada konsekuensinya. Tidak perlu ketertiban hukum sebab tanpa neraka hukum rimba adalah hal natural. 


Dua paragraf di atas adalah keyakinan non-muslim yang jelas salahnya. Adapun keyakinan seorang muslim Ahlussunnah Wal Jamaah, maka Tuhan hanya ada satu, tidak ada saingannya dan kehendaknya mutlak. Bila Tuhan memberikan kebahagiaan di dunia, maka dia bersyukur. Bila Tuhan memberikan kesengsaraan di dunia, maka dia sabar. Untuk akhirat, dia berharap mendapat ridha Tuhan dalam bentuk surga dan dia hidup bertanggung jawab di dunia demi menghindar dari murka Tuhan dalam bentuk neraka. Rasulullah bersabda:


لَوْلَا عفوُ اللَّهِ وتجاوُزه، مَا هَنَّأَ أَحَدًا الْعَيْشَ وَلَوْلَا وَعِيدُهُ وَعِقَابُهُ، لَاتَّكَلَ كُلُّ أَحَدٍ


"Seandainya tidak ada ampunan dan permakluman dari Allah, maka tidak akan ada yang dibiarkan hidup. Seandainya tidak ada ancaman dan siksanya, maka semua orang akan berdiam diri [tanpa berbuat baik]".


Semoga bermanfaat.

Rabu, 26 Maret 2025

Point Penting Lanjutan Al-Imam Taqiyuddin al-Subki


فإن قلت : الظاهر أن عمر رضي الله عنه إنَّما جمعهم على العدد الذي صلاه النَّبيُّ؟


"Jika engkau berkata: 'Dhohirnya bahwa Sidna Umar hanya mengumpulkan mereka berdasarkan jumlah rakaat yang pernah dikerjakan oleh Nabi ﷺ,'


قلت : قد ذكرنا عن النَّبيِّ ﷺ إسنادين فيهما مقال، في أحدهما : ثَمَانُ وَالوِتْرُ»، وهو موافق لإحدى عشرة، وفي الآخر : عِشْرُونَ وَالوِتْرُ»، وهو موافق لثلاث وعشرين، فلعل عمر فَهِمَ من النَّبِيِّ أنَّ ذلك لا يتقيد [١/٤٤] بعدد؛ لأنه قيام ليل يجوز فيه أن يزيد وينقص :


فقدر أولاً الإحدى عشرة؛ لأنها غالب صلاة النبي ﷺ بالليل، على ما يدل عليه حديث عائشة .


Aku (al-Imam Taqiyuddin al-Subki) menjawab:

Kami telah menyebutkan dua sanad dari Nabi ﷺ, yang masing-masing memiliki kritik dalam periwayatannya. Dalam salah satunya disebutkan delapan rakaat ditambah witir, yang sesuai dengan jumlah sebelas rakaat. Dalam riwayat lainnya disebutkan dua puluh rakaat ditambah witir, yang sesuai dengan jumlah dua puluh tiga rakaat.


Oleh karena itu, bisa jadi Umar memahami dari Nabi ﷺ bahwa salat malam itu tidak terikat dengan jumlah tertentu, karena merupakan bagian dari qiyamullail, yang boleh ditambah atau dikurangi.


Maka, awalnya Umar menentukan sebelas rakaat, karena itu adalah jumlah yang paling sering dikerjakan oleh Nabi ﷺ dalam salat malam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadis Aisyah Radhiyallahu 'anha."


وقدر ثانياً ثلاثاً وعشرين، إما لنص عنده فيها، وإما لضرب من الاجتهاد مع علمه عن النَّبيِّ ﷺ أنه لا حجر فيها .


Kemudian Umar menentukan jumlah dua puluh tiga rakaat, baik karena ada dalil yang sampai kepadanya mengenai jumlah itu, atau karena ijtihadnya sendiri, dengan pengetahuannya bahwa Nabi ﷺ tidak membatasi jumlah rakaat salat malam.


ولو لم يكن في المرجحات لثلاث وعشرين إلا أنها عمل الخلف والسلف، لكان كافياً أن لا يُعدل عنه إلى أخبار الآحاد إذا خالفته، فكيف ولا مخالفة؛ لأنا لا نمنع الاقتصار على إحدى عشر (١)، ولكنا نختار الأخذ بثلاث وعشرين للإجماع عليها، وأنها من قسم الحسن الذي أطبق الناس على فعله تقرباً به إلى الله تعالى من زمان عمر بن الخطاب إلى اليوم، فإما أن يكون عند عمر والصحابة نص في ذلك عن النبي ، وإما ضرب من وجوه الاجتهاد لا يلزمنا الكشف عنه .


Seandainya satu-satunya alasan yang menguatkan pendapat dua puluh tiga rakaat adalah karena itu merupakan amalan generasi khalaf dan generasi salaf, maka itu sudah cukup untuk tidak berpaling dari jumlah tersebut hanya karena hadis-hadis ahad yang bertentangan dengannya. Terlebih lagi, tidak ada pertentangan dalam hal ini, karena kami tidak melarang seseorang untuk hanya mengerjakan sebelas rakaat, tetapi kami lebih memilih dua puluh tiga rakaat karena adanya ijma’ atasnya.

Salat dengan jumlah itu termasuk dalam kategori hasan, karena seluruh umat telah bersepakat mengerjakannya sebagai bentuk ibadah mendekatkan diri kepada Allah sejak zaman Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu hingga hari ini. Maka, bisa jadi Umar dan para sahabat memiliki dalil dari Nabi ﷺ tentang jumlah tersebut, atau mereka sampai pada jumlah itu melalui bentuk ijtihad tertentu yang tidak mesti bagi kita untuk menelusuri alasannya.


وقال الحليمي تحمله : «يحتمل القيام بعشرين ركعة : أن يكون وجهه : أن عامة سنن الليل والنهار سوى الوتر لما كانت عشر ركعات كما ذكر ابن عمر، ضعفت في شهر رمضان ؛ إذ كان الوقت وقت جد وتشمير . قال : ويحتمل أن يكون ذلك مأخوذاً من أصل آخر، وهو أن أغلب صلاة رسول الله ﷺ في غير رمضان من الليل كان إحدى عشر ركعة آخرها وتراً، فرأوا أن يجعلوا هذا أصلاً ، ثمَّ يُضَعْفُوه في شهر رمضان؛ لأنَّ النَّبي سن قيامه، فلما أراد القيام فيه، غُلْظَ بأن صار سُنَّةً بعد أن كان في غيره تطوعاً، غلظ عدد الركعات فيه بالتضعيف، فصار عشرين بعد أن كان في غيره عشراً (۲)، انتهى ما قاله الحليمي، 


Al-Halimi memahami kemungkinan salat 20 rakaat memiliki alasan berikut:


Mayoritas sunah dalam salat malam dan siang hari selain witir berjumlah 10 rakaat, sebagaimana disebutkan dalam hadis Ibnu Umar. Maka, jumlah rakaat dalam bulan Ramadan dilipatgandakan, karena waktu tersebut adalah masa untuk lebih bersungguh-sungguh dalam ibadah dan meningkatkan amal saleh.


Beliau berkata: Bisa jadi juga diambil dari dasar yang lain, yaitu: kebanyakan salat malam Nabi ﷺ di luar Ramadan adalah 11 rakaat, dengan witir sebagai penutupnya. 

Maka, para sahabat menjadikan jumlah ini sebagai dasar, kemudian melipatgandakannya dalam bulan Ramadan karena Nabi ﷺ sendiri telah mensyariatkan salat malam di bulan tersebut. Ketika ibadah qiyamullail di bulan Ramadan dianjurkan lebih kuat, jumlah rakaatnya pun diperbanyak, dari yang sebelumnya 10 rakaat menjadi 20 rakaat. 

Demikianlah pendapat Al-Halimi.


ولا شك فيه (۳) احتمال، واحتمال أن يكون ذلك مأخوذاً عن رسول الله ، وأن يكون عمر اجتهد فيه :

- لما كانت الزيادة في قيام الليل غير ممنوعة.

- وفَتْحُ النَّبيِّ ﷺ الزيادة بصلاته إحدى عشرة في وقت، وثلاث عشرة في وقت، إن لم يُثبت عدد أزيد.


Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan kemungkinan yang masuk akal.


Selain itu, bisa jadi jumlah tersebut berasal dari petunjuk Rasulullah ﷺ, atau hasil ijtihad Umar:

(1) Karena penambahan jumlah rakaat dalam salat malam bukanlah sesuatu yang terlarang.

(2) Nabi ﷺ membuka peluang untuk menambah jumlah rakaat dengan pernah mengerjakan salat malam sebanyak sebelas rakaat di suatu waktu, dan tiga belas rakaat di waktu lain, jika memang tidak ada riwayat valid yang menunjukkan jumlah lebih dari itu.


فإن قلت : أليس يكون ذلك مخالفاً لما ثبت في الصحيح، عن أبي سلمة بن عبد الرحمن، أنه سأل عائشة هنا ، كيف كانت صلاة رسول الله في رمضان؟، فقالت : مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعَاً ، فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعَاً، فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثَاً ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، تَنَام قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ، فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ، وَلَا يَنَامُ [٤٤ / ب] قَلْبِي (١)؟


Jika engkau bertanya: Bukankah ini bertentangan dengan hadis yang sahih dari Abu Salamah bin Abdurrahman, yang bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'anha tentang salat Nabi ﷺ di bulan Ramadan?


Aisyah menjawab:


"Rasulullah ﷺ tidak pernah menambah dalam salat malamnya, baik di bulan Ramadan maupun di luar Ramadan, lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat, jangan tanyakan tentang keindahan dan panjangnya, lalu beliau salat empat rakaat lagi, jangan tanyakan tentang keindahan dan panjangnya, kemudian beliau salat tiga rakaat witir. Aisyah berkata: Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum berwitir?' Maka beliau menjawab, 'Wahai Aisyah, kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.’"


قلت : لا مخالفة؛ لأنَّ المخالفة ترك مأمور أو فعل منهي، واقتصاره على ذلك العدد لم يكن لمنع الزيادة ولا لكراهتها، نعم، موافقته أولى لو تحققنا أنه طول حياته لم يزد على ذلك، ولا أشار إلى الزيادة، ولا دل عليها دليل، وهذا لا سبيل إليه مع اتفاق الصحابة على إقامة هذا العدد.


Aku jawab:

Tidak ada pertentangan dalam hal ini. Karena pertentangan (mukhālafah) hanya terjadi jika ada perintah yang ditinggalkan atau larangan yang dilanggar. Sedangkan Nabi ﷺ membatasi jumlah itu bukan karena melarang adanya penambahan rakaat, atau karena tidak menyukainya. Benar, mengikuti jumlah sebelas rakaat memang lebih utama jika kita benar-benar yakin bahwa beliau tidak pernah menambahnya sepanjang hidupnya, tidak pernah memberi isyarat tentang penambahan, dan tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya menambahnya. Namun, hal ini tidak mungkin, karena para sahabat justru sepakat menambah jumlah rakaat dalam salat tarawih.


وإن لم نسلم اتفاق الصحابة، فاتفاق من بعدهم، وإجماع المسلمين في كل عصر حجة، ولم يكن الله ليجمع عباده على خطأ، ونحن لسنا على يقين من أنَّ النَّبِيَّ ﷺ لم يزد على ذلك، وعائشة لم تكن معه في تلك الليالي التي صلى بالناس في المسجد فيها ، فكيف انضبط لها عدد صلاته؟


Dan jika kita tidak bisa memastikan bahwa para sahabat sepakat atas jumlah tertentu, maka kesepakatan generasi setelah mereka serta ijma’ umat Islam di setiap zaman adalah hujjah (dalil kuat).


Allah tidak mungkin membiarkan umat-Nya bersepakat dalam kesalahan.


Selain itu, kita juga tidak memiliki kepastian bahwa Nabi ﷺ tidak pernah menambah dari jumlah sebelas rakaat. Aisyah tidak selalu bersama Nabi ﷺ di setiap malam saat beliau mengimami para sahabat di masjid. Bagaimana mungkin ia bisa memastikan jumlah rakaat tersebut secara pasti?


ولحديثها المذكور محامل :

أحدها : أن الغالب من أحواله ذلك .

الثاني : أن يكون مرادها الوتر الذي كان يصليه بعد قيامه من النوم،

Hadis Sayyidah Aisyah ini bisa dipahami dalam beberapa kemungkinan:

(1) Bahwa yang paling sering beliau lakukan adalah sebelas rakaat, tetapi bukan berarti beliau tidak pernah menambahnya.

(2) Yang dimaksud Sayyidah Aisyah adalah salat witir yang Nabi ﷺ kerjakan setelah bangun dari tidur.


~Bersambung~

Lanjutan Penjelasan Hadits Riwayat Sayyidah Aisyah Vs Riwayat-riwayat yang lain

 

ولا أعني بالخلاف في ذلك، أنَّ مِنَ العلماء من جعلها إحدى عشرة بعد أن استقرت عشرين في زمن عمر، وإنما أشرت إلى الفعل الأول في زمن عمر، على ما تقدم في اختلاف الرواية فيه، وإلى ما نقل عن مالك أنه قال في مختصر ما ليس في المختصر : الذي يأخذ بنفسي في ذلك، الذي جمع عليه عمر الناس، إحدى عشرة ركعة بالوتر، وهي صلاة النبي ، وإحدى عشرة من ثلاث عشرة قريب (۱) ، قال (۲) اللخمي من المالكية .


Dan yang saya maksud dengan perbedaan dalam hal ini bukanlah bahwa ada di antara para ulama yang menjadikannya sebelas rakaat setelah jumlahnya tetap dua puluh (rakaat) pada masa Umar. Akan tetapi, saya merujuk pada praktik awal di masa Umar, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya mengenai perbedaan riwayat tentang hal itu, serta pada apa yang dinukil dari Imam Malik bahwa beliau berkata dalam Mukhtashar Ma Laysa fi al-Mukhtashar: "Yang aku pegang dalam hal ini adalah apa yang Umar kumpulkan orang-orang atasnya, yaitu sebelas rakaat dengan witir, dan itulah shalat Nabi. Sebelas rakaat tidak jauh dari tiga belas." Demikian pendapat Al-Lakhmi dari mazhab Maliki.


والذي عليه الناس اليوم مذهب الشافعي وأهل العراق.

وذكر ابن حبيب عن عمر أنه [١/٤٦] كان أمر أن يقام في رمضان بإحدى عشرة، ثم رجع إلى ثلاث وعشرين (۳).


Sementara itu, mazhab yang diikuti oleh orang-orang hari ini adalah mazhab Syafi'i dan penduduk Irak.


Sedangkan, Ibnu Habib meriwayatkan dari Umar bahwa beliau awalnya memerintahkan agar shalat di bulan Ramadan dilakukan dengan sebelas rakaat, kemudian beliau kembali kepada jumlah dua puluh tiga rakaat."


قلت : وكذلك هو عمل السلف، وهو رواية يزيد بن رومان كما تقدم في الموطأ» ويزيد بن رومان لم يدرك زمان عمر ، لكنه عالم كبير، واعتضد برواية السائب بن يزيد عن عمر في عشرين، وقد تقدم أنها صحيحة، وبعمل السلف.


Komentarku:

Demikian pula itulah amalan para salaf, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yazid bin Ruman, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dalam Al-Muwaththa'. Yazid bin Ruman sendiri tidak sempat hidup pada zaman Umar, namun ia adalah seorang ulama besar. Riwayatnya diperkuat dengan riwayat As-Sa'ib bin Yazid dari Umar mengenai dua puluh rakaat, yang telah disebutkan sebelumnya bahwa riwayat tersebut sahih, serta diperkuat pula dengan amalan para salaf.


وروى أبو بكر بن أبي شيبة ، ثنا وكيع عن مالك بن أنس، عن يحيى بن سعيد : «أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَابِ الله [أَمَرَ رَجُلاً أَنْ يُصَلِّيَ بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً (٥) ، هذا مرسل كمرسل يزيد بن رومان ويحيى بن سعيد عالم كبير أيضاً .


Abu Bakr bin Abi Syaibah meriwayatkan, dari Waki', dari Malik bin Anas, dari Yahya bin Sa'id:


"Bahwa Umar bin Khattab memerintahkan seseorang untuk mengimami mereka dengan dua puluh rakaat."


Riwayat ini berstatus mursal, sebagaimana riwayat mursal Yazid bin Ruman. Yahya bin Sa'id juga merupakan seorang ulama besar.


أخبرنا بهذا عن يحيى بن سعيد، أبو البقاء، صالح بن مختار ()، قراءة عليه وأنا أسمع، أنا أبو العباس أحمد بن عبد الدائم بن نعمة المقدسي (7)، قراءة عليه وأنا أسمع، أنا أبو الفرج، يحيى بن محمود بن سعد الثقفي (١) ، قراءة عليه وأنا أسمع، أنا الحافظ أبو القاسم، إسماعيل بن محمد بن الفضل التيمي (٢) الأصبهاني (۳) ، أنا أحمد بن علي بن خلف (٤)، أنا حمزة بن عبد العزيز المهلبي (٥) ، أنا أبو القاسم عبيد الله بن إبراهيم بن بالويه (٦)، أبنا أبو زكريا، يحيى بن محمد بن يحيى (٧) ، ثنا أبو بكر ابن أبي شيبة، ثنا وكيع، عن مالك بن أنس، عن يحيى بن سعيد فذكره.


Riwayat ini disampaikan kepada kami dari Yahya bin Sa‘id oleh Abu al-Baqa’ Shalih bin Mukhtar—dibacakan di hadapannya sementara aku mendengar—dari Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Da’im bin Ni‘mah al-Maqdisi—dibacakan di hadapannya sementara aku mendengar—dari Abu al-Faraj Yahya bin Mahmud bin Sa‘d al-Tsaqafi—dibacakan di hadapannya sementara aku mendengar—dari al-Hafizh Abu al-Qasim Isma‘il bin Muhammad bin al-Fadl al-Taimi al-Asbahani—dari Ahmad bin ‘Ali bin Khalf—dari Hamzah bin ‘Abd al-‘Aziz al-Mahlabi—dari Abu al-Qasim ‘Ubaidullah bin Ibrahim bin Baluwaih—dari Abu Zakariya Yahya bin Muhammad bin Yahya—dari Abu Bakr bin Abi Shaybah—dari Waki‘—dari Malik bin Anas—dari Yahya bin Sa‘id, lalu ia menyebutkan riwayat tersebut.


وبالإسناد إلى وكيع، عن حسن بن صالح، عن عمرو بن قيس، عن أبي الحسناء: «أَنَّ عَلِيَّاً له أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةٌ ) .


Dan dengan sanad yang bersambung hingga Waki‘, dari Hasan bin Shalih, dari ‘Amr bin Qais, dari Abu al-Hasna’:


"Bahwa Ali memerintahkan seseorang untuk mengimami mereka dalam shalat di bulan Ramadan sebanyak dua puluh rakaat."


وبالإسناد الأول إلى ابن أبي شيبة، ثنا حميد بن عبد الرحمن، عن حسن يعني بن صالح ، عن عبد العزيز بن رفيع قال : «كَانَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ له يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً (1) .


Dan dengan sanad yang sama hingga Ibnu Abi Syaibah, dari Hamid bin Abdurrahman, dari Hasan—yaitu Ibn Shalih—dari Abdul Aziz bin Rafi‘, ia berkata:


"Ubay bin Ka‘b biasa mengimami orang-orang dalam shalat di bulan Ramadan dengan dua puluh rakaat."


وبه إلى وكيع، عن نافع قال : «كَانَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِين (۲) (۳) .


Dan dengan sanad yang sama hingga Waki‘, dari Nafi‘, ia berkata:


"Ibnu Abi Mulaykah biasa mengimami kami dalam shalat di bulan Ramadan dengan dua puluh rakaat."


وروى ابن أبي شيبة في مصنفه»، ثنا وكيع، عن سفيان، عن أبي إسحاق، عن عبد الله بن قيس، عن شُتَيرِ بنِ شَكَلٍ : أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالوِتْرَ (٤) .


Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al-Mushannaf, dari Waki‘, dari Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Abdullah bin Qais, dari Shutayr bin Shakal:


"Bahwa ia biasa shalat di bulan Ramadan dengan dua puluh rakaat, ditambah witir."


وعن غندر، عن شعبة، عن خلف عن ربيع - وأثنى عليه خيراً ـ، عن أبي البَحْتَرِي : «أَنَّهُ يُصَلِّي خَمْسَ تَرْوِيحَاتٍ فِي رَمَضَانَ، وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ (٥) .


Dan dari Ghundar, dari Syu‘bah, dari Khalf, dari Rabi‘—dan ia memujinya dengan kebaikan—dari Abu al-Bakhtari:


"Bahwa ia biasa shalat lima tarwihat (yaitu dua puluh rakaat) di bulan Ramadan, dan berwitir dengan tiga rakaat."


وعن ابن نمير، عن عبد الملك، عن عطاء قال : «أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ (٦) يُصَلُّونَ ثَلَاثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةٌ بِالوِتْرِ) (7) .


Dan dari Ibnu Numayr, dari Abdul Malik, dari ‘Atha’, ia berkata:


"Aku mendapati orang-orang shalat sebanyak dua puluh tiga rakaat dengan witir."


وعن الفضل بن دكين عن سعيد بن أبي عبيد : أَنَّ عَلِيَّ بْنَ رَبِيعَةَ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ فِي رَمَضَانَ خَمْسَ تَرْوِيْحَاتٍ، وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ ) .


Dan dari Al-Fadl bin Dukayn, dari Sa‘id bin Abi ‘Ubayd:


"Bahwa Ali bin Rabi‘ah biasa mengimami mereka dalam shalat di bulan Ramadan dengan lima tarwihat (yaitu dua puluh rakaat) dan berwitir dengan tiga rakaat."


وروى سعيد بن منصور في مصنفه»، عن هشيم، أنا يونس بن عبيد، قال : شَهِدْتُ النَّاسَ بِالبَصْرَةِ قَبْلَ فِتْنَةِ ابْنِ الْأَشْعَثِ، [٤٦ / ب] وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ - صَاحِبِ رَسُولَ الله ﷺ - يَؤُمُّهُمْ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، وَسَعِيدُ بْنُ أَبِي الحَسَنِ، وَعَمْرُانُ العَبْدِيُّ، فَكَانُوا يُصَلُّونَ خَمْسَ تَرْوِيْحَاتٍ، وَكَانُوا لَا يَقْنُتُونَ (١) إِلَّا فِي النِّصْفِ الثَّانِي، وَكَانُوا يَخْتِمُونَ القُرْآنَ مَرَّتَيْنِ (۲) ، قوله : يَخْتِمُونَ القُرْآنَ مَرَّتَيْنِ»، يعني في الشهر .


Sa‘id bin Mansur meriwayatkan dalam Al-Mushannaf, dari Hushaym, dari Yunus bin ‘Ubayd, ia berkata:


"Aku menyaksikan orang-orang di Basrah sebelum fitnah Ibnu al-Ash‘ath, ketika Abdurrahman bin Abi Bakrah—sahabat Rasulullah ﷺ—mengimami mereka dalam shalat di bulan Ramadan, bersama Sa‘id bin Abi al-Hasan dan ‘Imran al-‘Abdi. Mereka biasa shalat lima tarwihat (yaitu dua puluh rakaat), dan mereka tidak berqunut kecuali di paruh kedua. Mereka juga biasa mengkhatamkan Al-Qur’an dua kali."


Maksud dari "mengkhatamkan Al-Qur’an dua kali" adalah dalam satu bulan Ramadan.


وروى سعيد بن منصور أيضاً، عن أبي معاوية، ثنا حجاج، عن أبي إسحاق، عن الحارث : «أَنَّهُ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِاللَّيْلِ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً، وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ، وَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ (۳)، وكذا رواه ابن أبي شيبة.


Dan Sa‘id bin Mansur juga meriwayatkan, dari Abu Ma‘awiyah, dari Hajjaj, dari Abu Ishaq, dari al-Harits:


"Bahwa ia biasa mengimami kaumnya di bulan Ramadan pada malam hari dengan dua puluh rakaat, berwitir dengan tiga rakaat, dan berqunut sebelum ruku‘."


Riwayat ini juga sama seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah.


فانظر هذه الآثار العظيمة، كلها على عشرين، مع الرواية الصحيحة عن السائب بن يزيد .


Oleh karena itu, perhatikanlah bahwa semua riwayat agung ini menunjukkan jumlah dua puluh rakaat, sejalan dengan riwayat yang sahih dari As-Sa'ib bin Yazid.


فالرواية عن السائب إذا صحت :


. إما مرجوحة؛ لكثرة الرواة بخلافها .


. وإما محمولة على ما قاله ابن حبيب أنها كانت في أول الأمر، ثم ترجع إلى ثلاث وعشرين، فهذا هو الذي استقر عليه الأمر .


Jika riwayat dari As-Sa'ib bin Yazid sahih, maka:


Bisa dianggap lemah (marjuh) karena banyaknya para perawi yang menyebutkan riwayat yang berbeda.


Atau bisa ditafsirkan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Habib bahwa riwayat tersebut berlaku pada awalnya, kemudian jumlah rakaat kembali menjadi dua puluh tiga, dan inilah yang akhirnya menjadi amalan yang tetap.


وقول مالك في مختصر ما ليس في المختصر : الذي يأخذ بنفسي»، إلى آخره، ليس نفياً للثلاث والعشرين، وإنَّما قَصَد: الذي جمع عليه عُمَرُ، كما دل عليه أول كلامه، وعبر عنه بإحدى عشرة؛ لأنها إحدى الروايتين وقَصَد بجملة كلامه إلى استكراه ما نشأ عليه فوجده بالمدينة من التسع والثلاثين، وقال: «لا أدري من أحدث هذا الركوع الكثير»، ومع ذلك أخذ به ونهى عن تركه لأنه وجد الناس عليه .


Sedangkan pendapat Imam Malik dalam Mukhtasar Ma Laysa fi al-Mukhtasar: "Yang aku pegang dalam hal ini..." dan seterusnya, bukanlah penolakan terhadap jumlah dua puluh tiga rakaat, tetapi yang dimaksud adalah jumlah yang dikumpulkan oleh Umar, sebagaimana yang dijelaskan dalam awal perkataannya. Ia menyebutkan sebelas rakaat karena itu adalah salah satu dari dua riwayat. Dengan keseluruhan pernyataannya, ia bermaksud mengkritik apa yang ia temui di Madinah, yaitu amalan 39 rakaat, dan berkata: "Aku tidak tahu siapa yang memulai banyaknya ruku' ini." Namun demikian, ia tetap mengikuti dan melarang meninggalkannya karena ia melihat bahwa itulah amalan yang dilakukan oleh banyak orang.


أما الثلاث والعشرون - مع العلم بأنها عن عمر - فمعاذ الله أن يرغب عنها مالك، أو أن يأخذ بنفسه غيرها، وهو من أشد الناس اتباعاً لعمر . فإذا رأينا شخصاً في هذا الزمان أخذ بإحدى عشرة في حق نفسه، لم تنكر عليه في فعله ؛ لأن ذلك من النوافل، من شاء زاد ومن شاء نقص أو ترك، لكنا نحذره من الرغبة عما فعله عمر أو اعتقاد أنه ليس من السُّنَّة ؛ لأنَّ في ذلك إزراء عليه وعلى سائر الصحابة، وعلى السلف والخلف . 


Adapun dua puluh tiga rakaat—yang diketahui bahwa itu berasal dari Sidna Umar—maka tidak mungkin bagi Imam Malik untuk menolaknya atau berpegang pada pendapat yang berbeda, karena beliau adalah salah seorang yang paling kuat mengikuti Umar. Jika kita melihat seseorang di zaman ini melaksanakan sebelas rakaat untuk dirinya sendiri, maka kita tidak akan mengingkari perbuatannya, karena itu termasuk dalam kategori sunnah, yang mana seseorang boleh menambah, mengurangi, atau meninggalkan sesuai kehendaknya. Namun, kita harus memperingatkan orang tersebut untuk tidak meninggalkan apa yang dilakukan oleh Umar atau berkeyakinan bahwa itu bukan bagian dari sunnah, karena hal tersebut akan merendahkan Umar, para sahabat, serta para salaf dan khalaf.


وأما إذا أراد شخص أن يأخذ بذلك في المساجد العامة، ويغير ما عليه العمل من ثلاث وعشرين إلى إحدى عشرة منعناه وأخذنا على يديه، ونسبناه إلى الجهل بآثار السلف والبدعة لمجانبته سنة الخلفاء الراشدين .


Adapun jika seseorang ingin melaksanakan hal tersebut di masjid-masjid umum, dan mengganti apa yang telah menjadi amalan (shalat tarawih + witir) dua puluh tiga rakaat menjadi sebelas rakaat, maka kami akan melarangnya dan menghentikan tindakannya. Kami akan menganggapnya sebagai orang yang tidak mengetahui jejak-jejak salaf dan sebagai pengikut bid'ah karena menjauhi sunnah Khulafaur Rasyidin.


وأنا أعذر من فتح عينيه ولم يسمع إلا حديث عائشة : «أَنَّهُ ﷺ مَا زَادَ عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ، » إذا استشكل ما عليه الناس إذا طلب له دليلاً، أما بعد سماع هذه الآثار والعلم بأن ذلك شعار [١/٤٧] جميع الأمصار في جميع الأعصار، فلا عذر.


Aku bisa memaklumi orang yang membuka kedua matanya dan hanya mendengar hadits Aisyah: "Bahwa Rasulullah ﷺ tidak menambah lebih dari sebelas rakaat," jika ia merasa musykil/bingung dengan amalan yang dilakukan oleh orang banyak dan mencari dalil untuk itu. Namun, setelah mendengar semua riwayat ini dan mengetahui bahwa amalan tersebut adalah syiar yang diterapkan lintas kota dan masa, maka tidak ada alasan lagi untuk mengingkarinya.

 Harus anti bid'ah, tapi jangan membabibuta seperti Wahabi.

Harus toleran, tapi jangan kebablasan seperti kelompok liberal.

Harus cinta ahlul bait, tapi jangan fanatik buta seperti Syiah.

Harus nahi mungkar, tapi jangan menjadi ekstrem dan radikal.

Harus lemah lembut, tapi jangan menjadi permisif dan tidak tegas.

Harus mengikuti perkembangan, tapi jangan mengabaikan nilai-nilai.

Semua harus proporsional, jangan berlebihan...

Profesi Di Masa Khulafaur Rasyidin, Sebuah Kritik Terhadap Zakat Profesi

 

Syaikh Yusuf Qardhawi dan yang sepemikiran dengan beliau sering berkata bahwa di zaman dahulu profesi jasa tidak terkena zakat sebab hasilnya sedikit, beda dengan profesi di zaman sekarang. Saya tidak tahu profesi yang dimaksud itu apa, mungkin tukang bangunan dan pekerja kasar lainnya yang itu pun sampai sekarang memang rendah gajinya.


Namun yang jelas, tampaknya mereka semua lupa bahwa profesi yang terhormat dari dulu hingga kini tidak pernah kecil bayarannya.  Kita lihat misalnya profesi hakim di masa Khulafaur Rasyidin sebagaimana disebutkan dalam buku 'Ashr al-Khilafah al-Rasyidah Muhawalah Linaqd al-Riwayah al-Tarikhiyah Wifqa Manhaj al-Muhadditsin karya Akram al-Umari, gaji bulanannya sebagai berikut:


1. Salman bin Rabi'ah al-Bahili di Kufah digaji 500 dirham

2. Syuraih di Kufah digaji 100 dirham

3. Abdullah bin Mas'ud di Kufah 100 dirham per bulan plus daging seperempat kambing per hari 

4. Utsman bin Qais di Mesir digaji 200 dinar

5. Qais bin Abi al-Ash di Mesir digaji 200 dinar


Bila memakai kurs sekarang, satu dirham setara kurang lebih 3 gram perak. Harga perak saat ini sekitar 52.000 per gram. Jadi gaji Salman adalah 3 x 500 x 52.000 = 78.000.000. Sedangkan gaji Syuraih dan Ibnu Mas'ud sebanyak 3 x 100 x 52.000 = 15.600.000.


Adapun gaji Hakim Mesir sebanyak memakai dinar yang setara emas seberat 4,25 gr. Kalau memakai kurs harga emas sekarang, bisa sangat fantastis nilainya. Dengan harga emas 1.700.000, berarti gaji mereka adalah 340.000.000. Kalau kita memakai kurs dinar dan dirham di masa Nabi, menurut Ibnu Khaldun satu dinar setara 12 dirham sehingga 200 dinar sama dengan 200 x 3 x 52000 x 12 =  374.400.000,- makin besar lagi. 


Karena nama-nama di atas bukan hakim biasa, coba kita bandingkan mereka dengan hakim agung saat ini. Di Indonesia sekarang, menurut data google, hakim agung bisa membawa pulang gaji sebesar 500 juta per bulannya karena adanya Tunjangan Penanganan Perkara. Artinya dari dulu hingga kini gaji hakim memang besar.


Itu baru hakim, belum lagi para gubernur yang secara de facto menjadi raja-raja kecil saat itu. Meski saya tidak menemukan besaran pastinya, namun pastinya gaji mereka jauh lebih besar. 


Apakah mereka semua yang gajinya sangat jauh di atas UMR itu dikenakan potongan zakat profesi? jawabannya, tidak. Sebesar apa pun gajinya, tidak ada yang namanya zakat profesi selama lebih dari 1 milenium sejarah umat islam. Bukan karena para ulama tidak tahu bahwa ada beberapa profesi bergaji fantastis, tapi karena mereka tahu tidak ada landasan syariat untuk mengambil paksa harta mereka atas nama zakat. Karena itu, alasan pengusung zakat profesi terlalu dibesar-besarkan untuk mengesankan pekerjaan jasa di masa lalu hampir seluruhnya kecil. Padahal, baik sekarang atau pun dulu, gaji bulanan pegawai negara memang relatif besar bila dibanding buruh kasar. 


Sekarang, dengan diperkenalkannya pungutan bid'ah bernama zakat profesi, maka seluruh gaji pegawai dipotong atas nama zakat. Meskipun teorinya hanya untuk mereka yang gajinya mencapai nishab emas, tapi faktanya di lapangan sering tidak ada nishab-nishaban; Yang gajinya di bawah 2 juta pun ada yang terkena potongan. Ditambah lagi banyak yang perhitungannya dihitung dari bruto, bukan netto gaji yang dikurangi kebutuhan hidup, dengan mengikuti fatwa sesat seorang ustadz, sehingga zakat profesi sangat tidak adil. Yang begini ini bukan lagi zakat tapi PPN namanya. 


Selain itu, sebenarnya tidak perlu data rumit untuk memahami kelemahan zakat profesi. Cukup logika sederhana saja sudah terlihat bahwa basisnya adalah khayalan bukan realitas. Lihat saja misalnya seorang pegawai yang mendapat take home pay sebesar 10 juta per bulan. Ini secara teori sudah mencapai nishab emas bila gajinya dikalkulasi selama satu tahun. Dengan mengutip keterangan di situs Baznas yang berjudul "zakat penghasilan", untuk contoh gaji 10 juta per bulan pada tahun 2025, terkena zakat sebanyak 2,5% per tahun yang dibayarkan setiap bulan sebesar 250.000,-/ bulan. Kalkulasi Baznas ini mengandaikan orang tersebut mempunyai investasi emas senilai lebih dari 85 gram yang tersimpan selama satu tahun (haul). Coba tanya di mana wujud investasi emas itu? Tidak ada, sebab itu hanya khayalan. Realistasnya, tabungan orang itu di akhir tahun paling hanya beberapa juta saja, kalau tidak habis. Jangankan benar-benar punya investasi emas senilai 85 gram, berkhayal pun si pegawai tersebut tidak sanggup, tapi rupanya khayalan itu pun menjadi basis dia terkena pungutan zakat. Kalau bukan sesat pikir maka apa namanya ini?


Kalau kita beralih ke konsep zakat profesi yang "lebih waras", tidak sesesat yang tadi, zakat profesi dihitung dari netto. Jadi, yang dikalkulasi adalah sisa penghasilan setelah dikurangi semua kebutuhan bulanan. Bila misalnya gaji 10 juta per bulan hanya tersisa satu juta per bulan, maka setahun hanya terkumpul 12 juta sehingga tidak wajib zakat. Bila setahun sisa gaji seseorang betul-betul terkumpul uang senilai minimal emas 85 gram, barulah wajib zakat. Namun, ini sama-sama mengkhayal punya emas 85 gram lebih sebagai investasi. Kenyataannya, semua tahu bahwa uang senilai emas tidak sama dengan punya barang emas itu sendiri. Uang itu mengalami penurunan harga, beda dengan emas yang memang instrumen investasi. Ujungnya sama-sama mengkhayal punya emas padahal emasnya tidak ada. 


Belum lagi, secara fikih aturan zakat emas adalah emasnya harus mengendap selama satu tahun penuh. Kalau misalnya anda membeli emas seberat 85 gram lalu setelah delapan bulan dijual untuk dibelikan emas lain, maka hitungan haulnya harus direset menjadi nol bulan kembali. Dalam zakat profesi, reset haul ini tidak ada sebab basisnya adalah khayalan. Pokoknya dikhayalkan setahun terkumpul endapan gaji senilai 85 gram emas, maka wajib zakat meskipun realitasnya tidak pernah ada endapan uang tersebut sebab uangnya selalu mengalir keluar masuk. Ohya, reset haul ini sangat penting dalam fikih sehingga di literatur fikih dijelaskan bahwa orang yang memiliki puluhan kilo emas tidak wajib zakat emas bila masing-masing emasnya selalu terjual sebelum setahun dan berganti barang emas lain. Jadi, kaidah haul ini harus berbasis realitas barangnya benar-benar ada dan dimiliki secara penuh selama setahun penuh, barulah wajib zakat.


Selain itu, mewajibkan zakat profesi sama artinya menuduh para ulama islam selama lebih dari satu milenium tidak paham fungsi zakat. Selain itu, mereka juga menuduh umat islam sepanjang sejarah yang punya gaji banyak telah memakan harta haram sebab tidak menunaikan zakatnya. Ini adlah konsekuensi dari membuat aturan kewajiban baru yang tidak dikenal sebelumnya dalam sejarah.


Mungkin ada sebagian yang mengatakan bahwa pemikiran saya ini jumud terlalu terpaku pada teks fikih di masa lalu. Sebenarnya bukan demikian, kasusnya adalah saya, dan demikian juga para ulama sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga seabad lalu, tidak mau ada orang yang memakan harta orang lain tanpa status kehalalan yang jelas. Zakat itu bersifat paksaan, bukan sukarela. Mewajibkan zakat pada seseorang sama dengan mewajibkan "merampas" harta orang tersebut dan itu dosa besar bila tanpa dasar hukum syariat yang jelas, apalagi kalau hanya berbasis khayalan seolah orang tersebut mempunyai investasi berupa emas sebanyak 85 gram yang mengendap selama setahun, padahal emasnya tidak ada. Sangat mengherankan bagaimana bisa banyak orang sekarang begitu terobsesinya untuk merampas harta orang lain dan makan dari harta orang kaya tanpa ada legalitas nash syariat sehingga menuduh penentang zakat profesi sebagai pemikir jumud? 


Selasa, 04 Maret 2025

Doa Kamilin

Ini doa yang disebut doa kamilin yang di baca setelah shalat tarawih:


اَلحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَمْداً يُوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ. يَا رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ وَلَكَ الشُّكْرُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اٰلِهٖ وَ صَحْبِهٖ اَجْمَعِيْنَ 

اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ، وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ، وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ، وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ، وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ، وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ، وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ، وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ، وَفِي الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ، وَفِي الْاٰخِرَةِ رَاغِبِيْنَ، وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ، وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ، وَعَلَى الْبَلَاءِ صَابِرِيْنَ، وَتَحْتَ لِوَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ، وَاِلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْن، وَإِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ، وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ، وَعَلَى سَرِيْرِ الْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ، وَبِحُوْرٍعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ، وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ، وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ، وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفَّيْنِ شَارِبِيْنَ، بِأَكْوَابٍ وَّأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْنٍ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيْقًا، ذٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا فِي هٰذِهِ لَيْلَةِ الشَّهْرِ الشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ، وَلَا تَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ، وَصَلَّى اللّٰهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اٰلِه وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ ، وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

الْفَاتِحَة

Sabtu, 01 Maret 2025

PUASA DAN KISAH MAJUSI



Miris, mungkin inilah kata yang menggambarkan keadaan orang yang berpuasa hari ini, ada yang sudah terawih tapi tidak jadi puasa, karena ada berita tidak terlihat hilal, ada yang sudah puasa tapi kemudian membuka puasanya karena orang bilang tidak sah puasa karena belum masuk waktu, lalu di warung orang duduk ngopi kembali sambil mensyiarkan bahwa tidak ada puasa hari ini.


Ada sebuah kisah dalam kitab "Durratun Nasihin", walaupun kesahihan kisah ini bisa diperdebatkan , tapi setidaknya bisa menjadi iktibar pelajaran bagi kita untuk saling hormat menghormati terutama kepada orang yang sedang menjalankan puasa.

Begini ceritanya:


Pada suatu hari di bulan Ramadhan yang terik, ada seorang lelaki Majusi (penyembah api) yang pergi ke pasar bersama anaknya. Siang itu, matahari Ramadhan begitu menyengat sehingga membuat suhu udara kota semakin panas, menambah rasa lelah dan haus bagi kaum Muslimin yang sedang menjalankan ibadah puasa.


Di tengah kesibukan pasar dan hiruk pikuknya aktivitas jual beli, anak si Majusi tersebut tanpa sengaja makan di depan umum. Bagi anak itu, makan di siang hari adalah hal yang biasa karena mereka bukan pemeluk agama Islam dan tidak menjalankan ibadah puasa. Namun, hal ini justru mendapat perhatian dari sang ayah.


Ketika melihat putranya menyantap makanan dengan lahapnya tanpa menghiraukan kaum Muslim di sekitar yang sedang menahan lapar dan dahaga, sang ayah lantas memukul anaknya. Ia memarahi anaknya dengan berkata, "Mengapa engkau tidak menjaga kehormatan kaum Muslimin pada bulan Ramadhan? Seharusnya engkau pandai menghormati umat Islam yang sedang menjalankan puasa, tapi mengapa kamu tidak tahu diri dengan cara makan di tengah pasar?


Tindakan sang ayah Majusi ini menunjukkan sikap penghormatan yang tinggi terhadap umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa. Meskipun ia bukan seorang Muslim, ia memahami pentingnya menghormati praktik keagamaan orang lain dan mengajarkan nilai-nilai tersebut kepada anaknya. Inilah bentuk etika sosial yang tinggi, yang menunjukkan bahwa menghormati perbedaan adalah bagian dari nilai-nilai kemanusiaan.


Tak lama setelah kejadian tersebut, lelaki Majusi itu meninggal dunia. Pada malam harinya, ada seorang ulama yang bermimpi melihat lelaki Majusi tersebut berada di surga, dikelilingi nikmat yang tiada tara. Melihat pemandangan ini, sang ulama merasa heran dan bertanya, "Wahai fulan, bukankah engkau seorang Majusi (penyembah api)? Mengapa engkau bisa berada di surga?"


Lelaki yang dahulu Majusi itu menjawab, "Memang benar, dulu aku adalah seorang Majusi. Tetapi, saat tiba waktu kematian, aku mendengar suara dari atas, 'Wahai para Malaikat-Ku, jangan kalian biarkan orang itu sebagai Majusi. Muliakanlah dia dengan Islam karena telah menghormati bulan Ramadhan'. Sebelum aku meninggal, Allah memuliakanku dengan memberi hidayah sehingga aku memeluk agama Islam sebab aku memuliakan bulan Ramadhan dengan menjaga kehormatan kaum Muslimin yang menjalankan ibadah puasa."


Kisah ini menegaskan bahwa orang Majusi yang bukan Islam saja bisa menghormati orang yang sedang berpuasa, lalu kenapa kita yang sesama Islam tidak bisa menghargai sesama Islam, karena semua tahu bahwa hari ini ada orang yang puasa ada yang tidak, apa susahnya sekedar menghormati saja mereka yang berpuasa, ini yang sangat kita sayangkan kenapa harus ada embel embel orang yang puasa hari ini puasanya tidak sah dan sebagainya yang membuat orang yang berpuasa jadi kacau dan membatalkan puasa nya.

Miris...


Pirak Timu, 1 Maret 2025

Kamis, 02 Januari 2025

DOA UNTUK ARWAH

Berikut ini adalah doa untuk arwah yang biasa di baca pada acara samadiah.

 أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، 

الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ، حَمْدَ الشَّاكِرِيْنَ حَمْدَ النَّاعِمِيْنَ، حَمْدًا يُّوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ، 

يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ

اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَّعَلَى اٰلِهٖ وَصَحْبِهٖ اَجْمَعِيْنَ

اللَّهُمَّ اَوْصِلْ مِثْلَ ثَوَاَبِ مَا قَرَأْنَاهُ مِنْ الْقُرْاَنِ الْعَظِيْمِ وَمَا هَلَلْنَا مِنْ لاَ اِلٰهَ اِلاَّ اللّٰهُ وَمَا صَلَّيْنَا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةً مِنَّا وَاصِلَةً وَرَحْمَةً مِنْكَ نَازِلَةً وَبَرَكَةً اِلَى حَضْرَةِ سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

 وَاِلَى حَضَرَاتٍ جَمِيْعِ إِخْوَانِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَ اِلَى  الْمَلاَءِىكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ مِنْ مَشَارِقِ الْاَرْضِ إِلَى مَغَارِبِهَا بَرِّهَا وَبَحْرِهَا، خُصُوْصًا إِلَى رُوْحِ ................بِنْ 

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَ فِتْنَتِهٖ وَ مِنْ عَذَابِ النَّارِ

اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَا بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَحِيمٌ.

اَللَّهُمَّ اِنْ كَانَ مُحْسِنًا فَزِدْ فِيْ اِحْسَانِهِ وَاِنْ كَانَ مُسِيْئًا فَتَجَاوَزْ عَنْهُ

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ قَبْرَهُ رَوْضَةً مِنْ رِيَاضِ الْجِنَانِ وَلاَ تَجْعَلْ قَبْرَهُ حُفْرَةً مِنْ حُفَرِ النِّيْرَانِ

 اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيْنَا وميتنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغَيْرنَا وَكَبِيْرنَا وَذَكَرنَا وَأَنْثَنَا 

اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الإِسْلَامِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الإِيْمَانِ

رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِى الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، سًبْحَانَ رَبَّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ، وَصَلَّى اللهُ علَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ. اَلْفَاتِحَةْ