Minggu, 26 Desember 2021

MENGETAHUI SEBAB ITU PENTING UNTUK MEMAHAMI HUKUM.


Untuk memahami sebuah persoalan hukum, tentu para santri wajib mengetahui sebab duduk persoalan nya, tanpa mengetahui duduk masalah pasti para santri tak bisa menjawab persoalan hukum, dalam ketentuan hukum hukum taklifi dalam agama, ada juga hukum wadh'i yg melatarbelakanginya, diantaranya yaitu " sabab". apa itu sabab?

Imam Zakaria Anshari dalam kitab nya ghayah wushul halaman 16 memberikan definisi sabab yaitu:

 وَالسَّبَبُ  وَصْفٌ ظَاهِرٌ مُنْضَبِطٌ مُعَرِّفٌ لِلْحُكْمِ

Sebab adalah washaf dhahir (sifat yang jelas) mundhabit ( terukur) dan memberitahu sebuah hukum.

Dari definisi beliau diatas bisa sedikit kita ambil pemahaman yaitu:

1. Washaf dhahir ( sifat yang jelas) ini hendaklah sesuatu yg mampu ditangkap baik oleh indera maupun akal pikiran. Artinya dapat diterima secara logis, misalnya sifat "memabukkan"yang dapat kita ketahui dengan jelas pada 

khamar atau minuman memabukkan lainnya.

Karena inilah, sifat yang tidak dhahir alias tersembunyi tidak dapat dijadikan sebagai sebab, seperti ‘uluq ( darah bakal bayi) tidak bisa dijadikan penyebab ‘iddah. ‘Uluq seorang wanita bukan suatu yang dhahir, karena mengetahui ada ‘uluq seorang wanita tidak dapat diketahui secara mudah oleh semua orang. Oleh karena itu, yang menjadi sebab ‘iddah adalah haruslah sesuatu yang dhahir, yaitu adanya thalaq.Dengan demikian, kapan ada thalaq, waktu itu ada ‘iddah, meskipun tidak ada ‘uluq.

2. Mundhabit ( terukur/akurat)

Artinya bahwa sebab itu adalah suatu sifat / keadaan yg terukur dan akurat.

Maksudnya, sifat mundhabit itu ada dan terukur pada setiap kasus, seperti perjalanan dengan jarak 16 farsakh merupakan sebab qashar shalat dan boleh berbuka puasa. Jadi kesukaran bukanlah menjadi sebab qashar shalat dan buka puasa, karena kesukaran kadang-kadang ada pada satu kasus, tetapi tidak wujud dalam kasus yang lain, seperti perjalanan dengan menggunakan pesawat pasti kita tidak mengalami kesukaran dalam perjalanan.

maka kita tidak bisa menjadikan masyaqqah 

(kesulitan) sebagai sebab atas bolehnya berbuka bagi 

musafir pada bulan Ramadhan, dikarenakan 

masyaqqah merupakan perkara yang tidak dapat diukur dan

dipastikan  antara satu dengan yang lainnya diantara musafir. 

Akan tetapi sebab boleh qashar shalat dan berbuka puasa bagi musafir 

pada bulan Ramadhan adalah safar itu sendiri.

3. Muarrifun lil hukmi

Sebab itu adalah suatu sifat yang memperkenalkan hukum atau sebab merupakan tanda yang dapat kita ketahui hukum dengan sebabnya. karena kalau sebab ini tidak ada maka kita tidak bisa mengetahui akan adanya hukum.

seperti yg disebutkan dalam qaidah:

الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما

Artinya: hukum itu bergantung pada keberadaan illah (sebab). Ada illah ada hukum, tak ada illah tak ada hukum..

و الله اعلم بالصواب

Minggu, 12 Desember 2021

NASEHAT KEPADA ORANG TUA YANG MENINGGAL ANAKNYA


Oleh: Tgk Dailami, M.Pd

Ayah bunda yang dimuliakan Allah Swt.
Hidup kita di dunia ini tidak lepas dari keadaan suka dan duka. Sebagai mukmin kita tahu bahwa suka dan duka adalah datangnya dari Allah Swt. Oleh karena itu ketika suka, kita harus banyak bersyukur kepada Allah Swt.
Dan ketika duka kita juga harus banyak bersabar, karena hakikatnya cobaan atau ujian yang sedang kita hadapi adalah peluang untuk kita mencapai derajat yang lebih tinggi.

Diantara cobaan yang paling berat dirasakan oleh orang tua adalah ketika orang tua diuji dengan meninggalnya sang anak, yang merupakan buah hati yang sangat di sayangi nya.

Ayah dan bunda ketahuilah bahwa Rasulullah juga diuji demikian berat dengan meninggalnya ketiga putera beliau di saat masih kecil, Bahkan 3 dari 4 puteri beliau juga meninggal semasa beliau masih hidup. Kecuali Fathimah yang meninggal  6 bulan setelah wafatnya Rasulullah Saw.

Sering kita mendengar kabar wafatnya seorang anak atau bayi, baik di rumah sakit maupun saat dalam pengasuhan dan pelukan orang tuanya. Penyebab meninggal pun bermacam-macam, di antaranya disebabkan sakit, meninggal mendadak karena kecelakaan, atau juga bisa terjadi akibat adanya masalah sejak dalam kandungan ataupun saat proses dilahirkan.
Kita menyakini, kematian, apa pun penyebabnya, merupakan takdir dari Allah SWT. Namun, bagi orang tua mana pun, kehilangan buah hati bukanlah hal yang mudah.

Banyak orang tua yang tidak mampu untuk menerima takdir kematian buah hatinya dan larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Terbayang, bayi mungil itu harus dilepaskan dari pelukan kasih sayang nya, dan kemudian harus dikuburkan sendirian untuk menjalani kehidupan di alam lain.

Rasa sedih berkepanjangan membuat banyak orang tua terus menyalahkan diri sendiri, menyalahkan pasangan, atau bahkan menyalahkan nasibnya. Perasaan  itu membuat orang tua terus terkungkung dalam penderitaan, hingga membuat dirinya kehilangan semangat hidup. dan Kesedihan tersebut ternyata tidak juga hilang, bahkan ketika sudah memiliki anak lagi.

Ayah bunda yang dimuliakan Allah,  Takdir Ilahi tak ada yang bisa menolaknya, sebab semua itu merupakan kehendak dari Sang Khalik Maha Pencipta. Kematian dan kehidupan adalah murni ketetapanNya, karena itu sebagai manusia beriman, kita diminta untuk bertawakal dan terus memohon petunjuk kepadaNya.


Bagimu yang pernah merasakan bahagianya melihat anak sedang lincah-lincahnya bermain, tapi pada akhirnya sang buah hati itu meninggal, maka cobalah untuk menghapus air matamu dan tata kembali hari kehidupanmu. Di luar sana, tidak sedikit orangtua yang juga pernah kehilangan buah hatinya dengan berbagai peristiwa.
Agar sedihmu tidak terus berlarut-larut, berikut ini ada lima nasihat untukmu yang pernah kehilangan buah hati tercinta, yang insyaallah akan mengobati rasa dukamu.

1. Anak adalah titipan ilahi, karena buah hati tak mungkin selamanya berada disisimu.

Sejatinya, hidup di dunia ini tidaklah abadi. Demikian juga dengan apa yang kita miliki dalam hidup seperti keluarga, harta, danp kedudukan. Ada masa di mana hal-hal tersebut akan hilang sekejap mata yang menandakan bahwa tak ada keabadian di dunia ini. Saat anak atau buah hati yang selama ini dinanti-nantikan pergi menghadap Ilahi begitu cepat, maka jangan sibuk meratapi keadaan atau menggerutu bahwa kehidupan ini tidak adil. Pahami dan yakini bahwa anak adalah titipan Sang Maha Kuasa, dengan begitu hati akan tenang dan tidak larut dalam duka lara ketika hari kehilangan itu tiba. Karena semua ini milik-Nya.

2. Kehilangan anak adalah ujian hidup, menerima dengan sabar dan ikhlas adalah jalan terbaik

Kehilangan buah hati yang sudah dinanti bertahun-tahun lamanya tentu menoreh sedih yang mendalam. Namun demikian jangan larut dan cobalah bangkit dari perasaan nelangsa yang menyelimuti diri. Terima kondi tersebut dengan sabar dan ikhlas, karena hanya dengan bersikap seperti itu, seorang manusia lebih mudah berdamai dengan keadaan yang menimpanya. Hapus air matamu, dan bangunlah dari selimut kesedihan.

3. Hapus duka laramu, masih ada hari esok yang menawarkan cerita baru.

Sang Maha Kuasa memberikan manusia lembaran baru di setiap harinya. Jika hari ini kamu merasa sangat sedih, maka buatlah sedih itu hilang di keesokan harinya. Hapus duka laramu, dan jalani hari esok dengan senyuman. Badai pasti berlalu, demikian juga momen kehilangan buah hati yang kamu cintai juga lambat laun akan menjadi kenangan duka yang pernah mampir dalam hidupmu. Selagi masih diberi kehidupan oleh Sang Maha Pencipta, sudah seharusnya kita bangkit dari kesedihan dan bersiaplah menoreh warna di hari-hari baru berikutnya.

4. Saat pikiran kehilangan sang buah hati timbul, maka berlapang dada lah.

Jika momen kehilangan buah hati yang sudah terjadi sekian lama dalam hidupmu terbayang kembali di benak, maka jangan buru-buru untuk meresponnya dengan menunjukkan rasa berang seolah tak ikhlas dengan peristiwa pilu itu. Biarlah kenangan itu mampir sejenak dalam kepalamu, cukup menanggapinya dengan lapang dada dan tidak mencela masa-masa itu sebagai bagian terburuk dalam hidupmu. Torehkan senyumanmu dan lantunkan syukur padaNya, karena setiap momen di dunia ini, termasuk jatuhnya daun dari pohon yang tinggi adalah bagian dari takdir yang telah Sang Khalik gariskan.

5. Tetaplah berjuang dan berharap kepadaNya agar diberi rezeki kelahiran buah hati.

Pada hakikatnya, manusia yang masih memiliki kesempatan untuk menjalani kehidupan tentu ingin hidupnya berangsur-angsur membaik dari hari-hari kemarin. Agar hari esok bisa lebih baik dari hari ini, tentu kamu perlu berjuang tanpa lelah dan terus berharap padaNya agar diberikan karunia memiliki buah hati kembali. Tak ada yang sulit bagi Sang Khalik untuk mewujudkan keinginanmu memiliki buah hati. Hanya saja butuh kesabaran dan keikhlasan untuk terus berdoa dan berikhtiar saban hari. Jangan takut untuk terus berharap, karena Sang Maha Pencipta tak akan mengecewakanmu.

Demikianlah lima nasihat untukmu yang pernah kehilangan buah hati tercinta. Jalani setiap episode kehidupan dengan tidak berhenti berdoa dan berikhtiar padaNya. Semoga di suatu hari yang indah kelak, Dia akan menitipkan kembali buah hati mungil di tengah-tengah kehidupanmu. Jangan patah arang dan teruslah semangat menghadapi hari-hari mu..

Senin, 29 November 2021

AIR HUJAN TURUN DARI LANGIT


Dalam al quran surat al furqan ayat 48 Allah berfirman:

وأنزلنا من السماء ماء طهورا

Artinya: kami turunkan dari langit akan air yang mensucikan. 

Dalam alquran Allah menyebutkan air hujan itu turun dari langit, lalu bagaimana teori yang kita pelajari disekolah bahwa air hujan itu berasal dari uap air dari laut kemudian menjadi hujan..

Untuk melihat persoalan ini mari kita coba membedah referensi berikut ini:l

وَمَا قِيْلَ مِنْ أَنَّ السَّحَابَ يَنْزُلُ فِي الْبَحْرِ الْمِلْحِ فَيَغْتَرِفُ مِنْهُ كَالسَّفِنْجِ ثُمَّ يَرْتَفِعُ وَيَنْعَصِرُ فَيَنْزُلُ مِنْهُ الْمَاءُ وَتَقْصَرُهُ الرِّيَاحُ فَيَخْلُو فَمِنْ زَعْمِ الْعَرَبِ وَلِذَلِكَ قَالَ الشَّاعِرُ *شَرِبْنَ بِمَاءِ الْبَحْرِ ثُمَّ تَرفَّعَتْ* اَلْبَيْتُ. وَهُوَ كَلَامُ الْمُعْتَزِلَةِ.

"Pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya awan bergerak turun di lautan yang asin, lalu menciduk air laut sebagaimana spon, lalu naik ke atas dan terperas sehingga turunlah hujan, lantas angin mengikis awan itu dan akhirnya hilang terurai, maka hal itu adalah persangkaan orang Arab. Dalam syair dikatakan: Mereka minum dari air laut lalu bergerak naik, ini merupakan ucapan kaum mu'tazillah." (Hasyiyah al-Bajuri, 1/34).

Kaum mu'tazillah di era tersebut berteori bahwa air hujan berasal dari awan yang melandai turun ke laut, menyerap airnya, dan naik lagi hingga tiba masanya turun hujan. Ini jelas berbeda dengan teori ilmu alam sekarang yang menyatakan hujan berasal dari kumpulan partikel air yang naik ke atas akibat perbedaan tekanan udara dan membentuk awan. Teori tersebut sudah diakui dan dikutipkan oleh ar-Razi ketika mengkaji ayat 'wa anzala minas sama-i ma-an'.

السؤال الثالث : قوله : {وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً} يقتضي نزول المطر من السماء وليس الأمر كذلك فإن الأمطار إنما تتولد من أبخرة ترتفع من الأرض وتتصاعد إلى الطبقة الباردة من الهواء فتجتمع هناك بسبب البرد وتنزل بعد اجتماعها وذلك هو المطر. والجواب من وجوه : أحدها : أن السماء إنما سميت سماء لسموها فكل ما سماك فهو سماء فإذا نزل من السحاب فقد نزل من السماء وثانيها : أن المحرك لإثارة تلك الأجزاء الرطبة من عمق الأرض الأجزاء الرطبة {أَنزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً} وثالثها : أن قول الله هو الصدق وقد أخبر أنه تعالى ينزل المطر من السماء ، فإذا علمنا أنه مع ذلك ينزل من السحاب فيجب أن يقال ينزل من السماء إلى السحاب ، ومن السحاب إلى الأرض.

"Pertanyaan ketiga: firman Allah 'dan Dia menurunkan air [hujan] dari langit' menuntut pemahaman turunnya hujan berasal dari langit padahal faktanya tidak demikian. Mengingat hujan timbul dari uap air yang naik dari bumi dan terus membumbung sampai pada lapisan udara yang dingin, lalu membentuk kumpulan akibat suhu dingin tadi, dan turun ke bumi dalam bentuk hujan.

Jawaban bisa dari beberapa sisi:

Pertama, bahwa langit dinamakan sama-u (langit) dikarenakan tingginya. Maka semua yang di atasmu dinamakan langit. Ketika diungkapkan hujan turun dari awan maka boleh juga diungkapkan hujan turun dari langit.

Kedua, bahwa faktor yang menggerakkan partikel basah dari sari bumi sebenarnya adalah partikel basah 'air yang Dia turunkan dari langit' [perbedaan tekanan udara, pen].Ketiga, bahwa maha benar firman Allah sementara Allah telah berfirman tentang turunnya air dari langit. Ketika kita sudah tahu bahwa hujan turun dari awan maka menjadi ketetapan untuk dikatakan hujan turun dari langit ke awan, dari awan ke bumi.". (Tafsir Fakhrur Razi, 1/266). Wallahu a'lam


Selasa, 02 November 2021

PERKARA YANG SUNNAH DILAKUKAN TERHADAP ORANG YANG SEDANG SAKRATUL MAUT.


Mungkin pernah kita melihat orang sakit yang sedang sakratul maut, mungkin keluarga kita sendiri atau boleh jadi orang lain,  tapi kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan ketika demikian, lebih-lebih terhadap keluarga kita sendiri, maka disini penulis ingin berbagi sedikit ilmu mengenai apa yang harus kita lakukan ketika menghadapi situasi yang demikian.

1. Menghadapkannya ke arah kiblat

Hal ini bisa dilakukan dengan cara membaringkannya pada lambung sebelah kanannya ( kepala di utara), jika tidak mampu maka dengan membaringkan pada lambung kirinya (kepala di selatan), dan bila hal ini tidak mampu maka dengan posisi diterlentangkandan memberi sejenis bantal dikepalanya agar bisa menghadap kiblat

2. Membacakan surat yasin dengan jihar dan surat Ar-Ra’du dengan lirih.

Jika keduanya mungkin di baca, namun jika hanya mungkin membaca salah satunya, maka dibacakan surat yasin untuk mengingatkannya pada urusan akhirat. Jika muhtadhar (orang yang sudah sekarat) sudah tidak mempunyai perasaan maka yang lebih utama di bacakan surat Ar-Ra’du, untuk mempermudah keluarnya ruh.

( مجموع شرح المهذب جزء ٥ صفحة ٢٢٥)

( اضواء البيان فى ايضاح القران بالقران جزء ٦ صفحة ٢٢٦)

3. Mentalkin (menuntun untuk membaca Laa ilaaha illallah)

Nabi bersabda :

« مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ »(رواه الحاكم)

“Barangsiapa yang akhir hayatnya membaca Laa ilaaha illallah maka ia akan masuk surga”.

Menurut qaul sahih penalkinan dilakukan satu kali (tidak perlu diulangi), kecuali apabila muhtadhar setelah ditalkin berbicara sekalipun masalah ukhrawi, maka talkin sunah untuk diulangi lagi. Menurut imam As Shamiri talkin tidak sunat diulangi selama muhtadhar tidak membicarakan urusan duniawi. Talkin untuk orang muslim tidak memakai lafadz tasbih dan ashadu, kedua lafadz tersebut digunakan untuk mentalkin orang kafir yang diharapkan masuk islam.

Orang yang melakukan talkin disunahkan bukan ahli waris, bukan musuhnya atau orang yang hasud/iri kepadanya, hal ini bertujuan untuk menghindari dugaan bahwa mereka mengharapkan kematian muhtadhar.

(سبل السلام جزء ٣ صفحة ١٥١)

Jika yang ada hanya ahli waris maka hendaknya yang metalkin adalah ahli waris yang paling saying kepadanya.

(,رياض الصالحين جزء ١ صفحة٤٧٧) 

Memberi minum kepada Muhtadhar (orang yang sakit sekarat)

Hal tersebut disunnahkan, terutama apabila ada tanda bahwa ia meminta minum, sebab pada waktu itu syetan menawarkan minum yang akan ditukar dengan keimanan.


Tanda baik dan buruknya mayyit 

Tanda-tanda mayyit yang baik :

1. Keningnya berkeringat

2. Kedua matanya mengeluarkan air mata

3. Janur hidungnya mengembang

4. Wajahnya ceria


Tanda- tanda mayit buruk:

1. Wajahnya kelihatan sedih dan takut.

2. Ruhnya sulit keluar, bahkan sampai seminggu

3. Kedua sudut bibirnya berbusa.

Tanda-tanda diatas bisa kelihatan semua, atau hanya sebagiannya saja.

التاج والإكليل لمختصر خليل جزء ٣ صفحة ٣

تفسير تنوير الأذهان جزء ٣ صفحة ١٢٥

أنوار المسالك شرح عمدة السالك صفحة ١٣٥

Apabila ada tanda yang baik maka sunnah untuk disiarkan kecuali jika mayyit dhohirnya ahli maksiat atau orang fasik, maka tidak boleh di siarkan, agar perilaku jeleknya tidak ditiru orang lain. Bila ada tanda yang jelek maka wajib dirahasiakan, kecuali dhohirnya mayit adalah orang yang ahli maksiat atau orang fasik, maka boleh untuk diberitahukan orang lain agar perilaku jeleknya tidak diikuti orang lain

وَلَا يَحْرُمُ عَلَى الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ حُضُورُ الْمُحْتَضَرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ خِلَافًا لِمَا فِي الْعُبَابِ وَالرَّوْضِ وَعَلَّلَهُ بِتَضَرُّرِهِ بِامْتِنَاعِ مَلَائِكَةِ الرَّحْمَةِ مِنْ الْحُضُورِ عِنْدَهُ بِسَبَبِهَا .

Dan tidak di haramkan bagi wanita yang haid dan nifas mendatangi seseorang yang dalam keadaan sekarat menurut pendapat yang mu'tamad, akan tetapi menurut ibnu hajar dalam kitab al ubab dan pendapat ibnu almuqri dalam kitab rhaudhatut thalib berbeda pendapat( mengharamkan) dengan memberi (illat) alasan dengan sebab hadirnya wanita yang haid dan nifas dapat mencegah hadirnya malaikat rahmah pada orang yang sekarat. 

( Khasiyah albujairimi ala alkhatib juz 1 hal 354)


Jumat, 15 Oktober 2021

BENARKAH KUTIPAN PESAN IMAM SYAFI’I TENTANG PANAH FITNAH

Belakangan ini beredar luas kutipan yang dikatakan berasal dari Imam Syafi’i tentang ulama mana yang harus kita ikuti. Dari kutipan baik berbentuk tulisan maupun meme (gambar) itu konon Imam Syafi’i menyarankan kepada muridnya untuk mengikuti ulama yang terkena fitnah atau dibenci oleh orang kafir.

Saya penasaran. Di kitab mana Imam Syafi’i mengatakan demikian? Saya telusuri sejumlah kitab karya Imam Syafi’i yang saya miliki, dari mulai ar-Risalah, al-Umm, Diwan dan Musnad, tapi saya tidak menjumpainya. Begitu juga sejumlah kitab yang ditulis oleh para murid Imam Syafi’i juga saya coba telusuri, namun saya tidak mendapatkan sanad kutipan tersebut.

Dalam bahasa Arab kutipan yang beredar itu begini teksnya:

‎سئل اﻹمام الشافعي رحمه الله : كيف نرى الحق من بين كل هذه الفتن ؟ ‎فقال :اتبع سهام العدو ترشدك إلى الحق

Imam Syafi’i ditanya: “Bagaimana kita mengetahui pengikut kebenaran di jaman yang penuh fitnah?”

Beliau menjawab: “Perhatikanlah panah-panah musuh (ditujukan kepada siapa), maka itu akan menunjukimu kepada siapa ‘Pengikut Kebenaran’ itu”.

Redaksi di atas telah dimodifikasi dalam berbagai versi yang viral sesuai kepentingan masing-masing. Misalnya yang saya temukan:

Versi pertama;

Imam Syafi’i berkata: “Carilah pemimpin yang banyak panah-panah FITNAH menuju kepadanya, IKUTILAH mereka yang banyak di FITNAH, Karena sesungguhnya mereka sedang berjuang di JALAN yang BENAR.”

Versi kedua:

Imam Syafi’i pernah berkata: Nanti di akhir zaman akan banyak Ulama yang membingungkan Umat, sehingga Umat bingung memilih mana Ulama Warasatul Anbiya dan mana Ulama Suu’ yang menyesatkan Umat.

Lantas murid Imam Syafi’i bertanya: “Ulama seperti apa yang kami harus ikuti di akhir zaman wahai guru?”

Beliau menjawab: “Ikutilah ulama yang dibenci kaum kafir, kaum munafiq, dan kaum fasik. Dan jauhilah ulama yang disenangi kaum kafir, kaum munafiq, dan kaum fasik, karena ia ia akan menyesatkanmu, menjauhimu dari Keridhaan Allah“.

Saya menemukan pula di internet bahwa kutipan senada yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i itu juga sering disandarkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan juga kepada Ibn Taimiyah. Jadi sebenarnya itu kutipan dari siapa? Wa Allahu a’lam.

Tapi yang jelas sejauh ini saya tidak menemukan rujukan dari kitab klasik manapun dan juga tidak mendapati sanad kutipan yang diklaim berasal dari pernyataan Imam Syafi’i. Terakhir, setelah usaha saya menelusuri lembaran kitab gagal, saya bertanya langsung kepada Syekh Ibrahim al-Shafie seorang ulama keturunan langsung dari Imam Syafi’i. Lewat WA beliau mengonfirmasi bahwa beliau pun tidak menemukan kutipan tersebut dalam kitab manapun baik dari Imam Syafi’i maupun dari murid-murid sang Imam.

Jadi, saya berani mengatakan bahwa kutipan di atas itu PALSU, sampai ada yang bisa menyebutkan sumber dan sanad kutipan tersebut dan kita verifikasi bersama kevalidannya.

Nah, kutipan di atas telah diviralkan sejumlah pihak sesuai kepentingannya. Para pendukung HRS misalnya mengatakan banyak fitnah terhadap HRS dari para musuh Islam dan itu membuktikan HRS sebagai ulama yang benar, berbeda dengan para ulama NU seperti Gus Dur dan Kiai Said Aqil Siradj yang justru disenangi oleh kaum kafir. Pendukung Gus Dur dan Kiai SAS juga melawan dengan menggunakan kutipan yang sama bahwa justru banyak sekali fitnah yang ditujukan kepada kedua kiai NU ini, dan itu menunjukkan mereka juga benar.

Yang mengejutkan ISIS pun ternyata memakai kutipan di atas dan mengatakan dulu panah musuh, sekarang pesawat tempur dan rudal musuh Islam ditujukan kepada mereka, maka merekalah kelompok yang benar dan harus diikuti umat Islam.

Saya ingin mengatakan bahwa kutipan di atas yang belum terverifikasi itu sudah menjadi BOLA LIAR dan dipakai untuk membela kepentingan masing-masing. Tapi jangan-jangan kita semua yang memakai kutipan di atas jadi turut berdusta atas nama Imam Syafi’i.

Dan kalau kita mau kaji lebih jauh, masak sih standar ‘kebenaran’ itu diukur dari berapa banyak fitnah yang ditujukan kepada ulama? Jangankan para ulama, lha wong saya saja yang bukan siapa-siapa sering kena fitnah dibilang liberal, Syi’ah, sesat, bahkan setiap saat akun saya di medsos diserang para haters. Apa otomatis itu menjadikan pendapat saya benar? Ya belum tentu. Ukuran kebenaran bukan semata-mata soal kebencian dan fitnah dari orang lain, tapi yang terutama adalah soal otoritas keilmuan dan kekuatan argumentasi berdasarkan Nash dan kitab-kitab rujukan.

Kembali ke masalah di atas. Saya tegaskan sekali lagi, bahwa klaim kutipan dari Imam Syafi’i di atas belum terverifikasi, dan harus kita anggap sebagai PALSU dan jangan lagi disebarkan selama belum ada sumber dan sanadnya. Kalau ada yang menyebarkannya, tanya saja: “di kitab apa Imam Syafi’i berkata demikian?” Jangan sampai kita dianggap berdusta atas nama Imam Syafi’i.

Wallahu a’lam..

BY: GNH

Kamis, 14 Oktober 2021

KENAPA BAGIAN ISTRI LEBIH KECIL


 Dalam ilmu Faraidh atau yang juga disebut dengan ilmu Mawaris, kita akan mendapati bahwa pembagian waris itu dibagi menjadi dua bagian; ada ahli waris yang mendapat bagian tertentu atau yang sering diungkap dengan istilah Ashabul furudh, dan ada juga ahli waris yang tidak mendapatkan bagian tertentu namun mereka mendapatkan sisa, atau dalam istilah fiqihnya dikenal dengan istilah 'Ashabah.

Dalam hal ini istri adalah salah satu ahli waris yang termasuk dalam katagori pertama, bahwa istri tidak mungkin mendapat sisa, istri pasti mendapatkan bagian tertentu, bagian tertentu yang dimaksud adalah bagian yang sudah Allah SWT tetapkan dalam Al-Quran, penentuannya Allah SWT langsung yang ‘turun tangan’, bukan hasil ijtihad ulama.

Contoh:

Ismail menikah dengan Hasanah, karena dari hasil pernikahan ini tidak menghasilkan anak, akhirnya mereka mengadopsi satu anak perempun bernama Maimunah yang sekarang sudah menikah dengan Darkasyi dan bahkan sudah mempunyai keturunan yang bernama Si Cut

Ismail mempunyai saudara tua yg bernama Abdullah, Abdullah ini mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Adhar, namun ternyata Abdullah sudah meninggal dunia sebelum  Ismail menikah.

Dan Ismail masih mempunyai satu saudara lainnya yang bernama muslem yang sekarang masih sehat walafiyat, dan beliua juga masih mempunyai satu saudari yang bernama ainsyah yang juga masih hidup.

Jika Ismail meningga dunia, siapa sajakah ahli warisnya? dan berapakah bagian mereka masing?

Bagian Masing-Masing

Hasanah (istri) mendapatkan seperempat (1/4), karena almarhum (suaminya) tidak mempunyai anak keturunan.

Maimunah bukan ahli waris, karena anak hasil adopsi bukan ahli waris. Adhar juga begitu, pun begitu dengan sicut, mereka semua bukan ahli waris.

Abdullah (sdr kandung Alm) tidak mendapatkan haknya, karena Abdullah sudah meninggal duluan sebelum meninggalnya Ismail.

Dan satu saudara serta satu saudari alm yaitu muslem dan ainsyah mendapatkan ashabah (sisa) yang jumlahnya tigaperempat (3/4), dengan catatan bahwa saudara laki-laki mendapat dua kali lipat dari saudari perempuan [للذكر مثل حظ الأنثيين]

Sedang Adhar (keponakan Alm) tidak mendapatkan apa-apa karena dia terhijab (tertutup) haknya dengan keberadaan saudara Alm muslem dan ainsyah yang masih hidup.  

Pada contoh diatas ada ahli waris yang mendapatkan waris dengan bagian tertentu (fardh) yaitu istri  alm, namun ada juga yang mendapatkan harta warisan melalui sisa (ashabah) yaitu saudara dan saudari mayyit.

Mengapa Bagian Istri lebih kecil?

Dari contoh kasus diatas ternyata bagian istri malah lebih kecil ketimbang bagian saudara, itu mengapa kadang ada pertanyaan yang muncul dari sebagian tentang pembagian seperti ini, kok sepertinya tidak adil, dan berat untuk dilakukan.

Mengapa bagian istri malah lebih kecil ketimbang bagian saudara, sedangkan dalam kenyataannya istrilah yang selalu hadir bersama al-marhum dalam aktivitas hariannya semasa hidup. Istri juga yang menyiapkan makan, minum, pakian, mengasuh anak-anak, dan sederet kerja-kerja penting lainnya, yang dilakukan free tanpa ada ‘gaji’ khusus.

Lalu tiba-tiba ketika suaminya meninggal dunia hanya mendapatkan seperempat (1/4) dari harta peninggalannya, dan sisanya yang tiga perempat (3/4) itu semuanya habis diperuntukkan untuk saudara-saudari mayyit.

Para ulama menuturkan bahwa sebab mendapatkan waris itu ada tiga hal:

1. Hubungan Nasab [النسب]

2. Hubungan Pernikahan   [ النكاح]

3. Al-Wala' (memerdekakan budak)

Dari ketiga sebab mendapatkan waris diatas, para ulama sepakat bahwa hubungan nasab itu adalah sebab yang paling kuat dalam hal mendapatkan waris, maka dari sini dapatlah kita simpulkan bahwa ternyata ikatan persaudaraan itu lebih kuat ketimbang istri dimana status hubungannya adalah pernikahan, tentunya kenyataan ini didasari dengan beberapa sebab dan alasan sebagai berikut:

1. Bahwa hubungan pertalian nasab itu lebih dahulu ada ketimbang hubungan pernikahan. Maka hubungan persaudaraan lebih dulu ada ketimbang hubungan pernikahan, bahwa saudara almarhum pada contoh diatas lebih dulu ada secara ikatan ketimbang istri.

2. Bahwa hubungan nasab itu tidak bisa hilang sama sekali, beda dengan hubungan pernikahn, karena cerai bisa menghilangkan status hubungan pernikahan.

Jadi seberapun bencinya almarhum dengan saudara-saudarinya tetap saja tidak bisa memutuskan hubungan persaudaraan mereka, dan kondisi ini sangat berbeda dalam kontek hubungan pernikahan,dimana suatu saat ketika ada sebab-sebab tertentu memungkin hubungan pernikahan ini diputus.

3. Karena pertalian nasab bisa mengurangi bagian waris mereka yang ada dalam pertalian pernikahan.

Sebagai contoh bahwa keberadaan anak yang nasabnya dari ayah kandungnya bisa mempengaruhi bagian ibunya (istrinya ayah), kadang kala istri mendapatkan bagian seperempat (1/4) ketika mayyit tidak ada anak, dan dilain waktu istri mendapatkan seperdelapan (1/8) jika mayyit meninggal dalam keadaan memiliki anak keturunan yang masih hidup. 

4. Bahwa mereka yang berada dalam pertalian nasab bisa mendapatkan harta waris dengan jalan furudh (bagia pasti) dan ashobah (sisa). Sedang istri atau suami hanya mendapat warisan dari satu jalur saja, yaitu jalur furudh, dan mereka berdua selamanya tidak akan pernah mendapkan sisa (ashabah).

Inilah beberapa alasan yang membuat hubugan pertalian nasab lebih kuat ketimbang hubungan pernikahan, walaupun kedua hubungan ini sama-sama menjadi sebab saling mewarisi satu dengan yang lainnya.

Maka dari itulah mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah SWT berikut:

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمْ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْن...

 

"dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu…" (QS. An-Nisa': 12).

Maka untuk itu juga Allah melanjutkan firmanNya dengan:

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa': 176)

Maka sadarlah kita mengapa istri dalam contoh kasus diatas malah lebih kecil bagiannya dari bagian yang diterima oleh saudara-saudara mayyit. Urusan pembagian ini sifatnya pemberian Allah, tidak ada wilayah ijtihad disini, bahwa bagian istri seperempat atau seperdelapan itu Allah SWT yang membaginya, bukan ulama. Inilah bentuk keadilan Allah SWT. Dan siapa lagi yang bisa lebih adil dari Allah SWT?


و الله اعلم باالصواب

Selasa, 12 Oktober 2021

PERKARA-PERKARA YANG MENYEBABKAN MURTAD


 Oleh: Tgk Dailami 

Dalam kitab  Mirqatu Shu'udittashdiq ( مرقاة صعود التصديق) yang merupakan syarahan dari kitab Sullamuttaufiq ( سلم التوفيق ) karangan dari Ulama besar Indonesia syaikh Nawawi Bantani pada halaman 11 beliau menerangkan perkara-perkara yang menyebabkan murtad, baik ucapan,perbuatan atau i'tiqad dalam hati. Di antara perkara yang menjatuhkan seorang muslim dalam kemurtadan adalah :

(او عزم علي الكفر في المستقبل) بان يعزم الان ان يكفر غدا فيكفر حالا لان استدامة الاسلام شرط فاذا عزم علي الكفر كفر حالا...(او علي فعل شيء ) اي او عزم علي اتيانه في الحال (مما ذكر) اي من الكفر بان نوي ان يكفر في الحال (او تردد فيه ) اي في الكفر ... كما اذا تردد هل يكفر اولا وانما كان التردد مكفرا....


( لا وسواسه ) اي الكفر اي حطوره علي باله وتحركه بان جري في فكره فلا يكفر لان الوسواس غير مناقض للجزم فان ذلك مما يبتلي به الموسوس كما افاده الشرقاوي

Artinya:

1.Azam ( cita-cita) akan kufur pada masa akan datang. 

Merencanakan akan kufur maka sesungguhnya ia telah kufur / murtad seketika itu juga. karena kekal dalam islam itu syarat, maka apabila bercita-cita atau merencanakan kufur, maka seketika itu juga menjadi kufur.

Contoh nya, jika hari ini, dengan doaku Allah tidak membantuku keluar dari masalah, maka besok aku akan memeluk agama lain, maka seketika kufur.

2. mencita-citakan akan memperbuat suatu perbuatan kufur, maka kufur seketika. 

3.  Taraddud.

Yaitu bimbang dalam hatinya, apakah ia kufur atau tidak ( tetap dalam islam atau kembali pada agama sebelumnya ).

Ragu-ragu seperti ini juga enyebabkan kufur..

4. Waswas kufur..

Waswas kufur tidak menjatuhkan nya pada kekufuran / kemurtadan.

Contoh nya seorang yang sedang mengaji kitab aqidah, ketika muthala'ah kembali, fikirannya berimajinasi tentang sifat allah begini dan begini, maka dia waswas / imajinasinya ini tidak menyebabkan kufur

Kamis, 12 Agustus 2021

ARRAZY HASYIM, ASWAJA ASY'ARIYAH ASAL TANAH MINANG

Ulama muda asal minangkabau ini sgt unik, unik karena beliau yg masih muda bahkan lebih muda tiga tahun dari saya tampil berani berbeda dgn kebanyakan orang di sekitar daerah kelahiran beliau sendiri, bahkan beliau mendapat celaan sampai fitnah dari kelompok yg menamakan dirinya "Minang Bertauhid" karena dianngap kajiannya tidak berdasarkan manhaj salaf. Tentu saja kelompok minang bertauhid ini adalah kelompok wahabi yg sangat kepanasan dengan kajian kajian beliau.
Beliau bukan alumni Timur Tengah ataupun eropa, murni produk asli dalam negeri, yaitu pesantren darussunnah pimpinan KH. Mustafa Yaqub.
Di usia muda menguasai banyak disiplin ilmu keislaman.
Secara akademik, beliau hasil kolaborasi  antara pesantren dan juga perguruan tinggi, menguasai ilmu aqidah atau teologi dan juga menguasai ilmu hadis di bawah bimbingan ulama KH. Ali Mustafa Yaqub.
Beliau juga berguru kepada Syekh Muḥammad Ḥasan Hitu. Di bawah bimbingan nya keilmuan arrazy semakin terasah terutama di bidang aqidah dan ushul.

Selain itu, dia juga mengagumi dan menjadi inspirasitornya adalah gurunya di Darus Sunnah yg merupakan ahli hadis , yaitu KH Ali Mustafa Yaqub. dan juga menjadi inspirasinya adalah Syekh Yasin Al Fadani, ulama berdarah Minang yang lahir di Makkah. Syekh Yasin Al Fadani juga pernah mengambil sanad ijazah Hadratussyekh Hasyim Asy’ari.

Saya sendiri mulai gemar menonton kajian Arrazy lewat Youtube beberapa waktu terakhir ini, terutama kajian salafi, Topik ini begitu dikuasainya, buktinya disertasinya sendiri mengambil judul Teologi Muslim Puritan, Genealogi dan Ajaran Salafi.
Dalam sejumlah ceramahnya, Arrazy mengkritik ajaran-ajaran Salafi terutama dalam hal aqidah atau teologi.
Selain soal aqidah, banyak hal yang dikritisi Arrazy mulai dari pemahaman salafi terhadap bid’ah, mengkafirkan sesama muslim yg tidak sepaham, seperti pemahaman sayid qutub terhadap alquran secara serampangan sampai menghalalkan darah sesama muslim, menurut beliau kajian sayid qutub lah yg dipakai wahabi isis di Suriah untuk fatwa jihad sesat mereka.
Sayid qutub ini merupakan tokoh ikhwanul muslimin mesir yg kemudian dilarang di mesir, kemudian pemahaman mereka menyebar ke berbagai negara dan kemudian berinfiltrasi lewat ormas dan partai, dan di Indonesia kader2 mereka setelah reformasi banyak bercokol dan bergabung pada sebuah partai nasional.
Beliau juga mengkaji pentingnya berguru dan bersanad dalam keilmuan, serta soal2 lain yang  bertentangan dengan pemahaman Salafi.
Beliau dalam satu ceramah nya menyampaikan bahwa beliau bukan kader organisasi NU, tapi sangat mencintai NU bahkan menyebut NU adakah salah satu sayap bangsa Indonesia yg tidak boleh patah, pemahaman beliau terhadap cinta bangsa dan tanah air sama persis sama dgn fikrah NU hubbul wathal minal iman, "ke-NU-an" beliau terhadap NU melebihi dari ke NU-an orang yg menyebut dirinya NU..

Beliau juga sering menyampaikan tema-tema tasawuf dalam kajiannya. Suatu tema ataupun istilah yang juga tidak disukai oleh Salafi. Baginya, menguasai ilmu aqidah, ilmu fiqih, ilmu hadits, dan seterusnya, belumlah cukup. Semua itu adalah ilmu lahir yang mesti dilengkapi dengan ilmu batin.
Maka tak heran, beliau sendiri memiliki ijazah dari sejumlah mursyid tarikat dan memberikan bimbingan zikir kepada para pencari makrifat.
Semoga suatu saat bisa berjumpa dengan beliau. Amiiinnn..

Rabu, 11 Agustus 2021

HUKUM MENJUAL BUAHAN MASIH DIPOHON

Untuk menjawab ini kita bisa melihat dalam kitab Tuhfah al Muhtaj karangan Ibnu Hajar al-Haitami, pada Jilid IV, Halaman 469 sebagai berikut:

( وَلَوْ بَيْعَ ثَمَرٍ ) أَوْ زَرْعٍ بَعْدَ بُدوِ الصَّلاحِ وَهُوَ مِمَّا يَنْدُرُ اخْتِلاطَهُ أَوْ يَتَسَاوَى فِيه الأَمْرَانِ أَوْ يَجْهَلُ حالَهُ صَحَّ بِشَرْطِ القَطْعِ والْإِبْقاءِ والْإِطْلاقِ أَوْ مِمَّا ( يَغْلِبُ تُلاحِقُهُ واخْتِلاطٌ حادِثَةٍ بِالْمَوْجُودِ ) بِحَيْثُ لَا يَتَمَيَّزانِ ( كَتينٍ وَقِثّاءٍ ) وَبِطّيخٍ ( لَمْ يَصِحَّ إِلَّا أَنْ يُشْتَرَطَ المُشْتَري ) يُعْنَى أَحَدَ المُتَعاقِديْنَ وَيوافِقُهُ الأُخَرَ ( قَطْعَ ثَمَرِهِ ) أَوْ زَرْعَهُ

Artinya: Dan seandainya dijual buah-buahan) atau tanaman yang sudah matang, dan termasuk buah-buahan atau tanaman yang jarang tercampur dengan yang lain, atau bisa tercampur dan tidak, atau tidak diketahui keadaannya, maka penjualannya sah dengan syarat dipetik, ditetapkan di pohon atau tanpa syarat apapun, sedangkan buah-buahan atau tanaman yang (biasanya matangnya beriringan, dan yang baru tercampur dengan yang sudah ada), sekira keduanya tidak dapat dibedakan), (seperti buah tir, ketimun), dan semangka, (maka penjualannya tidak sah, kecuali pembeli mensyaratkan) maksudnya salah satu pihak yang betransaksi dan pihak yang lain setuju (pemetik buah) atau tanamannya.”

Berdasarkan sumber rujukan di atas maka pembelian buahan yg sudah matang di pohon tersebut hukumnya sah.

و  الله اعلم بالصواب

S  umber: Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj , Jilid IV, Halaman 469

Sabtu, 31 Juli 2021

HUKUM BERKUNJUNG DAN BERIBADAH PADA TEMPAT IBADAH AGAMA LAIN

Bagaimana hukum kita bagi muslim menyangkut 2 hal berikut ini:

1. Memasuki tempat ibadah agama lain ( bukan untuk ibadah, tapi hanya wisata)


2. Beribadah ditempat ibadah agama lain ( seperti shalat)

Untuk menjawab pertanyaan nomor satu ini kita bisa melihat dari kitab referensi kitab ulama muktabar ahli tafsir dibawah ini

واعلم أن كون المؤمن موالياً للكافر يحتمل ثلاثة أوجه أحدها : أن يكون راضياً بكفره ويتولاه لأجله ، وهذا ممنوع منه لأن كل من فعل ذلك كان مصوباً له في ذلك الدين ، وتصويب الكفر كفر والرضا بالكفر كفر ، فيستحيل أن يبقى مؤمناً مع كونه بهذه الصفة . وثانيها : المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر ، وذلك غير ممنوع منه . والقسم الثالث : وهو كالمتوسط بين القسمين الأولين هو أن موالاة الكفار بمعنى الركون إليهم والمعونة ، والمظاهرة ، والنصرة إما بسبب القرابة ، أو بسبب المحبة مع اعتقاد أن دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر إلا أنه منهي عنه ، لأن الموالاة بهذا المعنى قد تجره إلى استحسان طريقته والرضا بدينه ، وذلك يخرجه عن الإسلام

Artinya: Ketahuilah bahwa orang mukmin menjalin sebuah ikatan dengan orang kafir berkisar pada tiga hal.
Pertama, ia rela atas kekufurannya dan menjalin ikatan karena factor tersebut, Hal ini dilarang karena kerelaan terhadap kekufuran merupakan bentuk kekufuran tersendiri.
Kedua, interaksi sosial yang baik dalam kehidupan di dunia sebatas dlahirnya saja.
Ketiga, tolong-menolong yang disebabkan jalinan kekerabatan atau karena kesenangan, disertai sebuah keyakinan bahwa agama kekafirannya adalah agama yang tidak benar. Hal tersebut tidak menjerumuskan seorang mukmin pada kekafiran, tetapi ia tidak diperbolehkan (menjalin ikatan di atas). Sebab jalinan yang semacam ini (nomor 3) terkadang memberi pengaruh untuk memuluskan jalan kekafiran dan kerelaan terhadapnya. Dan faktor inilah yang dapat mengeluarkannya dari Islam”

( Tafsir Nawawi Juzuk 1 halaman 94 dan Tafsir imam Arrazi juzuk 8 halaman 10-11.)

2. Dari kitab majmuk syarah muhazzab imam Nawawi juzuk 3 halaman 168 sebagai berikut:

تُكْرَهُ الصَّلَاةُ فِي الْكَنِيسَةِ وَالْبِيعَةِ حَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَمَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَنَقَلَ التَّرْخِيصَ فِيهَا عَنْ أَبِي مُوسَى وَالْحَسَنِ وَالشَّعْبِيِّ وَالنَّخَعِيِّ وَعُمَرَ بن عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْأَوْزَاعِيِّ وَسَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَهِيَ رِوَايَةٌ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَاخْتَارَهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ
الصلاة في مأوى الشيطان مكروهة بالاتفاق ، وذلك مثل مواضع الخمر والحانة ومواضع المكوس ونحوها من المعاصي الفاحشة ، والكنائس والبيع والحشوش ونحو ذلك ، فإن صلى في شيء من ذلك ولم يماس نجاسة بيده ولا ثوبه صحت صلاته مع الكراه

Artinya: Dimakruhkan shalat di gereja dan kuil yang diriwayatkan oleh Ibn al Umar ibn al-Khattab dan Ibn Abbas dan Malik ra dengan mereka dan menaqal akan rukhsah ( shalat pada gereja) dari Abu Musa al-Hasan dan Nakha'i dan Umar bin Abdul Aziz dan Auzai dan Said bin Abdul Aziz, sebuah riwayat dari Ibn Abbas dan telah memilih oleh Ibn al-Mundhir.
Sembahyang di tempat setan tidak disukai dengan ijma’, seperti tempat minuman anggur, tempat minum, tempat jalan, dan sejenisnya dari tempat maksiat, dan gereja,tempat jual beli, dan sejenisnya.
Jika dia shalat di salah satu dari itu dan tidak menyentuh najis dengan tangan atau pakaiannya, maka shalatnya sah, meskipun makruh.

Kesimpulan Hukumnya bisa Ditafsil / diperinci  sebagai berikut:

1. Boleh apabila kedatangannya kunjungan wisata sebatas melihat tanpa ada perasaan senang terhadap mereka atau agamanya atau kemungkaran-kemungkaran yang lain.

2. Haram bahkan bisa menjadi kufur apabila kedatangannya disertai perasaan senang kepada agama mereka.

3. Hukum shalat di tempat peribadatan non muslim adalah sah tapi makruh jika ada izin dari mereka, jika tanpa izin maka haram.

4. Tempat ibadah non muslim yang ada patung berhalanya maka haram masuk ke situ dan makruh sholatnya

5. Makruh membaca kalam illahi di tempat peribadatan non muslim.

6. Jika dalam keadaan darurat semisal panas, dingin, hujan, takut terhadap musuh atau takut hewan liar maka tidak makruh semua hal di atas.

و الله اعلم با الصواب

Kamis, 29 Juli 2021

APAKAH ANAK TIRI MENDAPATKAN HARTA WARISAN

 Dalam ilmu fikih, yang mendapat warisan hanya anak kandung saja. Sedangkan anak tiri, jelas tidak mendapat warisan. Karena anak tiri pada hakikatnya bukan anaknya, melainkan anak orang lain.

Yang termasuk anak tiri adalah anak orang lain, seperti seorang suami yang menikahi seorang janda yang sudah beranak. Anak dari janda yang kini telah menjadi isterinya itu jelas bukan anak si suami.

Maka kalau suami itu meninggal dunia, meski orang menyebut anak janda itu seolah sebagai anaknya, namum secara hukum syariah, biar bagaimana pun anak itu tetap bukan anaknya. Anak itu adalah anak dari suami janda itu sebelumnya. Maka kalau suami janda itu yang sebelumnya meninggal dunia, anak itu akan mendapat warisan dari dirinya.

Sedangkan laki-laki yang kini menjadi suami janda itu, jelas bukan ayah dari anak-anak itu, maka anak-anak itu tidak akan mendapat warisan dari dirinya.

Namun kalau kita melihat dengan pandangan yang lebih luas, sebenarnya alokasi dan distribusi harta dari seorang yang meninggal bukan semata-mata waris. Di luar waris, ada hibah dan ada juga wasiat, bahkan hutang dan biaya lainnya.

Seandainya sebelum meninggal almarhum pernah berwasiat untuk memberikan sebagian hartanya kepada anak tirinya, maka jelaslah si anak tiri itu pasti mendapat bagian juga. Tetapi bukan lewat 'jalur' warisan, melainkan lewat jalur wasiat.

Atau bisa juga lewat jalur satu lagi, yaitu jalur hibah. Bedanya dengan wasiat hanya masalah kapan diserahkannya harta itu. Hibah diberikan pada saat almarhum masih hidup. Sedangkan wasiat meski pernyataannya disampaikan ketika almarhum masih hidup, namun eksekusi penyerahan harta itu menunggu almarhum meninggal terlebih dahulu.

Kesalahan kita selama ini hanya memandang ilmu waris semata, tanpa melihat juga adanya hibah dan wasiat. Padahal Islam mengakui ketiga hal itu sebagai syariat dan sah dalam distribusi pembagian harta seorang yang meninggal dunia.


Rabu, 28 Juli 2021

Berqurban itu hukumnya sunat, bukan wajib..

 Ada penceramah yang dalam ceramahmya beretorika panjang lebar tentang besarnya kelebihan berqurban seolah olah hanya dengan berqurban lantas kita udah dapat kenderaan dan tiket masuk jalan "tol" ke surga.

Sebenarnya tak masalah menyampaikan hal hal seperti itu untuk tujuan menarik minat orang untuk berqurban, tapi jangan sampai juga melebelkan orang jadi buruk dan ternista gara-gara tidak berqurban.

Maka seorang penceramah harus proporsional dalam menyampaikan tentang kelebihan sebuah amaliah, jangan sampai ibadah sunat besar sekali gaung fadhilah nya sampai-sampai mengalahkan pentingnya hal-hal yang wajib.

Kenapa harus demikian? ya karena dalam keseharian, tanpa kita sadari di masyarakat terdapat hal yang wajib yang seharusnya dilakukan oleh orang orang yang mampu, yaitu menolong orang-orang fakir yang hukumnya sudah "wajib"  ditolong oleh orang yang punya kemampuan, bukan lagi sunat, siapa mereka? mereka adalah para fakir yang kadang makannya sehari hanya dua kali untuk hemat beras, ini lebih beruntung dari orang fakir yang waktu malamnya berfikir " besok apa yang bisa dimakan".hal hal seperti ini kurang tersentuh oleh para penceramah, ya mungkin ditempat tinggalnya tidak ada orang yang sampai demikian. 

Jadi hukum dasar qurban adalah sunnat muakkad, bukan wajib, dan kesunnahan ini tidak berlaku bagi setiap orang, melainkan bagi mereka yang masuk ke dalam kategori orang mampu, sehingga bagi mereka yang tidak tergolong mampu, tidak dituntut melakukan kurban. Di saat situasi ekonomi serba sulit seperti masa pandemi ini, banyak orang merasa tidak mampu berkurban. Lantas sejauh mana batasan orang yang mampu berkurban?

Seseorang dapat dikatakan mampu apabila ia memiliki dana yang cukup dibuat kurban yang melebihi kebutuhannya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi, selama hari raya kurban dan tiga hari tasyriq setelahnya (tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah). 

Berpijak dari hal tersebut, seseorang yang mempunyai uang senilai harga hewan kurban, akan tetapi kebutuhan pokok bagi dirinya dan pihak yang wajib dinafkahi akan kekurangan di saat hari raya Idul Adha atau hari tasyriq, maka ia bukan tergolong mampu berkurban.

Sebagian ulama hanya mensyaratkan harta yang ia gunakan untuk berkurban melebihi kebutuhan nafkah wajib di saat hari dan malam Idul Adha saja. Berpijak dari pendapat ini, seseorang yang mempunyai uang senilai harga hewan kurban, semisal tiga juta yang cukup untuk membeli kambing, akan tetapi kebutuhan pokok bagi dirinya dan keluarganya akan kekurangan di saat hari raya dan malamnya, maka ia bukan tergolong mampu berkurban. Apabila kebutuhan pokok di hari dan malam Idul Adha terpenuhi, namun tidak mencukupi untuk kebutuhan pokok di hari tasyriq, maka tergolong orang yang mampu berkurban.

Pengarang kitab Ianathutthalibin Syekh Sayyid Abu Bakat bin Sayyid Muhammad Syatha Al-Dimyati berkata:

 والمراد بمن يجب نفقته الزوجة والقريب والمملوك المحتاج لخدمته وأهل الضرورات من المسلمين ولو من غير أقاربه لما ذكروه في السير من أن دفع ضرورات المسلمين بإطعام جائع وكسوة عار ونحوهما فرض على من ملك أكثر من كفاية سنة وقد أهمل هذا غالب الناس حتى من ينتسب إلى الصلاح.

 “Yang dikehendaki dari orang yang wajib dinafkahi adalah istri, kerabat, budak yang dimilikinya yang dibutuhkan untuk melayaninya, dan orang-orang Islam yang sangat membutuhkan walaupun bukan kerabatnya karena alasan yang disebutkan dalam bab Al-Siir (jihad) bahwa membantu orang-orang Islam yang sangat membutuhkan dengan cara memberi makan orang yang kelaparan, memberi pakaian orang-orang yang telanjang (tidak punya pakaian) dan selainnya merupakan kewajiban bagi orang yang memiliki lebih dari kecukupan satu tahun. Mayoritas orang acuh terhadap hal ini, bahkan orang yang disebut-sebut saleh sekalipun.” 

(Syekh Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyati, I’anah At-Thalibin, al-Hidayah, juz 2, hal 282

Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi berkata:

وإنما تسن لمسلم قادر حر كله، أو بعضه والمراد بالقادر من ملك زائدا عما يحتاجه يوم العيد وليلته وأيام التشريق ما يحصل به الأضحية خلافا لمن نازع فيه وقال فاضلا عن يومه وليلته

Dan qurban disunahkan hanya bagi orang Islam yang mampu, merdeka seluruh dirinya ataupun hanya sebagian saja. Dan yang dikehendaki dengan orang yang mampu adalah orang yang memiliki harta yang cukup untuk berkurban yang melebihi dari kebutuhannya ketika hari raya, malamnya dan beberapa hari tasyriq. Berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang menyelisihi perihal standar mampu ini, menurutnya yang menjadi standar adalah harta yang melebihi kebutuhan di hari raya dan malamnya. 

(Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi, Hasyiyah al Bujairimi ‘Ala Syarh Manhaj al Thulab, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juzuk 4, hal 396).

Dalam keterangan yang lain, Syekh Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami berkata:

 هي سنة في حقنا لحر أو مبعض مسلم مكلف رشيد نعم للولي الأب أو الجد لا غير التضحية عن موليه من مال نفسه كما يأتي قادر بأن فضل عن حاجة ممونه ما مر في صدقة التطوع

  “Dan kurban disunnahkan dalam hak kita bagi orang yang merdeka atau sebagian dirinya saja yang merdeka, Muslim, mukallaf dan cakap mengelola harta. Bagi wali yaitu bapak atau kakek bukan selainnya boleh berkurban untuk orang yang berada dalam kekuasaannya dari hartanya seperti keterangan yang akan datang, yang mampu yakni hartanya melebihi kebutuhan orang yang wajib dinafkahi, seperti keterangan yang telah lewat dalam fasal sedekah Sunah. 

(Syekh Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah Al Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juzuk 12 hal 245-246).

Mengomentari referensi di atas, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani berkata:

  (قوله بأن فضل عن حاجة ممونه إلخ) ومنه نفسه

 “Ucapan Syekh Ibnu Hajar (yakni hartanya melebihi kebutuhan orang yang wajib dinafkahi), di antaranya adalah melebihi kebutuhan dirinya sendiri”. (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah Al Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 12, hal. 245-246). Termasuk orang yang wajib dinafkahi adalah fakir miskin yang membutuhkan kebutuhan pokok sandang-pangan, meski bukan dari kerabatnya. Sehingga orang disebut mampu berkurban apabila memiliki dana kurban yang melebihi tanggung jawab nafkah kaum dluafa. Kurban adalah ibadah sunah, sedangkan memenuhi kebutuhan darurat kaum lemah adalah wajib, perlu memahami skala prioritas di antara keduanya, dengan mendahulukan ibadah wajib atas ibadah sunat.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa batasan seseorang dapat di kategorikan mampu berkurban adalah orang yang mempunyai harta yang cukup untuk berkurban yang melebihi dari kebutuhan dirinya dan orang-orang yang wajib dinafkahi seperti keluarga dan fakir miskin yang mengalami darurat sandang pangan. Perihal durasi kecukupan yang dimaksud ulama berbeda pendapat. Pendapat yang kuat menyatakan terhitung sejak hari raya kurban sampai akhir hari tasyriq. Sebagian ulama mencukupkan di hari dan malam hari raya kurban saja. 

Rabu, 07 Juli 2021

BATASAN WAKTU BOLEH JAMAK DAN QASHAR SEMBAHYANG

 Oleh: Tgk Dailami, M.Pd

Bagi kita yang musafir/ berpergian jauh dalam agama kita diberikan keringanan boleh mengqasar dan jamak sembahyang. Terkait persoalan menjamak dan mengqashar sembahyang tentunya juga banyak persoalan yang wajib diketahui oleh kita yang ingin qashar dan jamak sembahyang, salah satunya tentang ketentuan sampai kapan kita masih boleh menjamak dan mengqashar sembahyang?apakah ketika kita sudah sampai di tempat tujuan atau bagaimana?

Dalam menjawab persoalan tersebut, hal pertama yang mesti dipahami adalah tentang batasan suatu perjalanan dianggap terputus ( انقطاع السفر). Sebab dengan terputusnya suatu perjalanan, maka seseorang yang bepergian sudah tidak lagi diperbolehkan untuk menjamak dan mengqashar sembahyang 

Untuk memahami  sampai dimana batasan perjalanan dianggap terputus maka kita bisa melihat didalam kitab Ianathutthalibin juzuk 2 halaman 101:

وحاصل ما يقال فيه أنه رجع بعد سفره من مسافة القصر إلى وطنه انتهى سفره بمجرد وصول السور إن كان، سواء نوى الاقامة به أم لا، كان له فيه حاجة أم لا. وأما إذا رجع إلى غير وطنه، ولم يكن له حاجة، ونوى قبل الوصول إليه إقامة مطلقا أو أربعة أيام صحاح، وكان وقت النية ماكثا مستقلا، انتهى سفره بمجرد وصول السور أيضا. أما إذا لم ينو أصلا، أو نوى إقامة أقل من أربعة أيام، فلا ينتهي سفره بوصول السور، وإنما ينتهي بإقامة أربعة أيام صحاح، غير يومي الدخول والخروج.  

Artinya: Kesimpulan tentang permasalahan terputusnya bepergian, bahwa jika musafir kembali dari bepergiannya dari jarak mengqashar sembahyang menuju tanah kelahirannya, maka terputus lah masa musafir nya dengan sampai di batas desa, jika memang ada batas desa. Baik dia niat mukim ataupun tidak. Baik ada keperluan hajat ataupun tidak. Adapun ketika seseorang kembali atau sampai ke selain tempat tinggalnya dan dia tidak ada hajat apa pun berkunjung di tempat tersebut dan sebelum sampai di tempat tersebut ia niat mukim secara mutlak, atau mukim selama empat hari secara utuh, dan ia dalam keadaan mandiri  maka bepergiannya dianggap terputus dengan melewati batas desa. Adapun ketika ia tidk niat sama sekali atau ia niat mukim kurang dari empat hari, maka bepergiannya tidak dianggap putus dengan melewati batas desa tersebut, tapi terputus dengan mukim di tempat tersebut selama empat hari selain hari ia sampai dan hari ia keluar dari tempat tersebut.

وأما إذا كان له حاجة، فإن لم يتوقع انقضاءها قبل أربعة أيام، بل جزم بأنها لا تقضى إلا بعد الاربعة، انتهى سفره بمجرد المكث والاستقرار، سواء نوى الاقامة بعد الوصول أم لا. فإن توقع انقضاءها كل يوم، لم ينته سفره إلا بعد ثمانية عشر يوما صحاحا.  

Artinya: “Dan adapun apabila ia berkunjung ke tempat selain tempat tinggalnya karena terdapat suatu keperluan (hajat), jika keperluannya tidak dapat selesai sebelum empat hari, tetapi butuh lebih dari empat hari, maka bepergiannya dianggap terputus dengan tempat tersebut. Baik ia melakukan niat mukim setelah sampai di tempat tersebut ataupun tidak. Jika keperluannya bisa saja selesai setiap hari, maka bepergiannya tidak terputus kecuali setelah ia berada di tempat tersebut selama delapan belas hari secara utuh

( I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 101)

Dari referensi diatas dapat diambil beberapa poin penjelasan terkait batasan kapan terputusnya masa musafir:

1. Kembali ke tempat tinggalnya. Dalam keadaan demikian, perjalanan musafir menjadi terputus tatkala ia telah melewati batas desa tempat tinggalnya, sehingga ketika ia telah masuk di desa tempat tinggalnya ia sudah tidak diperkenankan untuk menjamak dan mengqashar sembahyang. 

2. Ketika ia mampir di suatu tempat namun tidak ada keperluan hajat apa pun. Maka dalam keadaan demikian diperinci, jika ia niat bermukim atau menginap di tempat tersebut selama empat hari lebih atau hanya niat bermukim secara mutlak, maka perjalanannya dianggap terputus dengan melewati batas desa di tempat tersebut, seperti halnya pada permasalahan kembali di tempat tinggalnya.  

Sedangkan ketika seorang musafir tidak niat mukim atau niat menginap di tempat tersebut, atau ia niat mukim namun kurang dari empat hari, maka perjalanannya tidak langsung terputus dengan melewati batas masuk desa tempat tersebut, namun perjalanan menjadi terputus dengan ia tinggal atau menginap di tempat tersebut selama empat hari secara utuh, tanpa menghitung hari di mana ia sampai dan hari di mana ia pergi dari tempat tersebut.

3. Ketika ia mampir di suatu tempat dengan adanya suatu hajat. Maka dalam keadaan demikian, putusnya perjalanan dipandang dari batas selesainya keperluan musafir di tempat tersebut. Jika keperluannya tidak akan selesai dalam jangka waktu empat hari, maka perjalanannya dianggap terputus dengan sampainya dia di tempat tersebut. Baik ia melaksanakan niat mukim ataupun tidak.

Namun jika keperluannya bisa saja selesai setiap hari, sekiranya kurang dari empat hari. Maka perjalanannya tidak dihukumi terputus kecuali setelah melewati masa delapan belas hari.

Berdasarkan berbagai perincian putusnya perjalanan dalam permasalahan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketika kita terapkan dalam permasalahan bolehnya menjama’ dan mengqashar shalat di lokasi tujuan, tentunya terdapat berbagai perincian yang disesuaikan dengan keperluan (hajat) yang dilakukan oleh seseorang tatkala berada di tempat tujuan tersebut, sebab permasalahan ini hampir sama dengan keadaan ketiga dalam perincian hukum di atas.

Jika keperluannya di tempat tersebut lebih dari empat hari, maka tatkala ia sampai di tempat tujuannya ia dianggap terputus perjalanannya, sehingga sudah tidak boleh baginya melaksanakan shalat dengan cara jama’ dan qashar. Namun jika keperluannya dapat selesai kurang dari empat hari, maka ia dapat menjama’ dan mengqashar shalatnya sampai delapan belas hari, seandainya saja ia memutuskan untuk menginap di tempat tersebut lebih lama.

Berbeda halnya jika seorang musafir menginap di suatu tempat tanpa adanya keperluan apa pun, misalkan hanya sebatas transit di rumah temannya, karena tujuan perjalanan yang begitu jauh sehingga butuh istirahat, maka dalam keadaan demikian sama persis dengan perincian kedua dalam pembahasan yang telah dijelaskan di atas.

Demikian lah penjelasan mengenai batas terputusnya masa musafir, semoga bisa bermanfaat. 

و الله اعلم بالصواب

Selasa, 06 Juli 2021

TATA CARA NIAT SEMBAHYANG QASHAR DAN JAMAK

 Oleh Tgk Dailami

Kita mungkin sering bepergian yang berjarak hingga ukuran bisa untuk mengqashar dan menjamak sembahyang, maka dalam kondisi tertentu terkadang kita perlu untuk mengqashar sembahyang kita. Apalagi bila sulitnya perjalanan kita yang berhari-hari tentu saja kita mungkin kesukaran bila sebentar sebentar kita berhenti untuk sembahyang. 
Bila ada yang masih bingung bagaimana tatacara Niat jamak dan qasar, maka berikut ini adalah tata cara sembahyang qashar dan dijamak baik Taqdim maupun Takhir. 

A. Cara Niat Sembahyang Jamak Taqdim beserta Qashar

1. Dhuhur dengan 'Asar

أصلي فرض الظهر ركعتين قصرا مجموعا إليه العصر أداء لله تعالى


“Sahaja aku sembahyang fardhu dhuhur dua rakaat karena qashar dan dijamak kepadanya akan 'asar tunai karena Allah Taala”

. أصلي فرض العصر ركعتين قصرا مجموعا إلي الظهر أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu 'asar dua rakaat karena qashar dan dijamak kepada dhuhur tunai karena Allah Taala”.

2. Maghrib dengan 'Isya

أصلي فرض المغرب ثلاث ركعات مجموعا إليه العشاء أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu maghrib 3 rakaat dijamak kepadanya akan 'isya tunai karena Allah Taala”

أصلي فرض العشاء ركعتين قصرا مجموعا إلي المغرب أداء لله تعالى

"Sahaja aku sembahyang fardhu 'isya dua rakaat karna diqashar dan dijamak kepada maghrib tunai karena Allah Taala”

B. Jamak Takhir beserta Qasar

1. 'Asar dengan dhuhur

أصلي فرض العصر ركعتين قصرا مجموعا إليه الظهر أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu 'asar dua rakaat karna qashar dan dijamak kepadanya akan zuhur tunai karena Allah Taala”.

أصلي فرض الظهر ركعتين قصرا مجموعا إلي العصر أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu zuhur dua rakaat karna qashar dan dijamak kepada asar tunai karena Allah Taala”.

2. 'Isya dengan Maghrib

أصلي فرض العشاء ركعتين قصرا مجموعا إليه المغرب أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu 'isya dua rakaat karna qashar dan dijamak kepadanya akan maghrib tunai karena Allah Taala”.

أصلي فرض المغرب ثلاث ركعات مجموعا إلي العشاء أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu  maghrib 3 rakaat dijamak kepada 'isya tunai karena Allah Taala

Satu lagi yang harus dilakukan apabila kita sembahyang jamak takhir, yaitu kita harus azam( cita-cita) dalam hati bahwa akan melaksanakan sembahyang pada waktu kedua. 
Contoh nya begini: jika kita akan melakukan sembahyang jamak Takhir antara dhuhur dengan asar,  maka ketika dalam waktu dhuhur kita sudah Niat/ cita-cita dalam hati bahwa sembahyang dhuhur akan kita kerjakan dan jamak pada waktu asar, maka jika tidak dicita citakan seperti ini maka sembahyang dhuhur ini akan menjadi sembahyang qadha. 

Misal nya niat saat jam 14.30 WIB, pada jam tersebut masih cukup melaksanakan shalat dhuhur. Tidak sah pelaksaaan sembahyang jamak takhir bila niatnya di waktu shalat kedua atau di waktu shalat pertama tapi sudah tidak cukup lagi waktu untuk melaksanakan shalat pertama secara sempurna, misal nya niat di penghujung waktu dhuhur saat akan akan masuk waktu Ashar hanya berjarak 30 detik. Bila terjadi demikian, maka status sembahyang pertama akan berstatus seqadha dan musafir berdosa dengan sebab kesengajaannya mengakhirkan sembahyang.

و الله اعلم بالصواب

Senin, 05 Juli 2021

PERBEDAAN ANTARA 'ILLAT DAN SEBAB

Oleh: Tgk Dailami 

Dalam mempelajari ilmu ushul fikih terkadang kita bingung untuk memahami antara illat dan sebab, sehingga terkadang campur aduk ketika mencontohkan antara illat dan sebab, sehingga terjadi pada sebuah contoh itu kita katakan contoh dari illat dan contoh dari sebab juga. 

Mungkin tulisan pendek ini yang saya terjemahkan dari kitab yang berjudul:  كتاب الوجيز في اصول الفقه karya dari DR. Wahbah Dzuhaili pada maktabah Syamilah al Haditsah jilid satu halaman 379 bisa untuk membantu kita dalam memahami perbedaan antara illat dan sebab. 


 العلة أو السبب أمارة على وجود الحكم، كاإسكار الخمر أمارة على التحريم، والسفر في رمضان أمارة على جواز الإفطار، ولذا قال بعض علماء الأصول: إنهما بمعنى واحد، وقال آخرون: إنهما متغايران، وخصوا العلة بالأمارة المؤثرة التي تظهر فيها المناسبة بينها وبين الحكم، وخصوا السبب بالأمارة غير المؤثرة في الحكم.

وقال أكثر العلماء: إن السبب أعم من العلة مطلقًا، فكل علة سبب ولا عكس، وإن السبب يشمل الأسباب التي في المعاملات والعقوبات، ويشمل العلة التي تدرس في القياس، والفرق بينهما أن الصفة التي يرتبط بها الحكم إن كانت لا يدرك تأثيرها في الحكم بالعقل، ولا تكون من صنع المكلف، كالوقت للصلاة المكتوبة، فتسمى باسم السبب، أما إذا أدرك العقل تأثير الوصف بالحكم فيسمى علة ويسمى سببًا أيضًا،ا

Arti dan penjelasan:

Illat atau sebab adalah tanda/efek atas adanya hukum, seperti mabuk khamar adalah efek haramnya khamar, perjalanan ( jarak qashar) adalah efek atas boleh berbuka puasa ramadhan, karena demikian sebagian ulama ushul mengatakan bahwa antara illat dan sebab bermakna sama.

Ulama yang lain mengatakan bahwa antara illat dan sebab punya makna berbeda, mereka mengkhususkan illat sebagai tanda/ efek yang memberikan akibat  yang menampakkan hubungan antara efek dengan hukum. Dan mereka mengkhususkan sebab dengan sebuah efek yang tidak berakibat apapun pada hukum. 

Kebanyakan ulama mengatakan:

Sesungguhnya sebab itu lebih umum dari illat secara mutlak. Maka tiap tiap illat adalah sebab, dan tidak sebaliknya (tiap tiap sebab adalah illat). Dan sebab itu mencakup sebab yang ada pada urusan muamalat ( jual beli sebab pada boleh ambil manfaat barang) dan pada urusan 'uqubat( mencuri adalah sebab pada potong tangan).  Dan mencakup illat yang dipelajari pada persoalan qiyas.

Perbedaan antara illat dan sebab adalah,

Sebab adalah: sebuah sifat yang punya ikatan dengan hukum ( kejadian). Dan tidak diketahui akibat dari sifat tersebut secara akal, dan juga bukan hasil ciptaan dari manusia, seperti tergelincirnya matahari sebagai tanda masuk waktu shalat dzuhur dan jumat

 Illat adalah: sebuah sifat yang punya ikatan dengan hukum dan diketahui oleh akal akibat dari sifat tersebut, seperti sifat memabukkan adalah illat pada haram khamar. 

( DR, Wahbah Dzuhaili, Kitab Wajidz fii Ushulil fiqhi, Maktabah Syamilah al Haditsah, jilid 1 Halaman 379)

TAKRIF/PENGERTIAN MAKMUM MUWAFIQ DAN MASBUQ

Dalam sembahyang berjamaah, ada dua hal yang mesti dipahami bagi orang yang sembahyang berjamaah, terutama bagi seorang makmum,  yaitu bagaimana yang di katakan makmum muwafiq dan makmum masbuq.

Untuk mengetahui bagaimana pengertian masing-masing, maka kita bisa memahami dengan pengertian yang sudah dibuat oleh para ulama dalam kitab nya, yaitu:

Dalam kitab Tuhfah Muhtaj karya Ibnu Hajar al Haitami Jilid 2 halaman 348 disebutkan 

الموافق :هو من أدرك من قيام اﻹمام زمنا يسع الفاتحة بالنسبة إلى القراءة المعتدلة. ( ينظر تحفة المحتاج :۲/ ۳٤۸

Artinya:Muwafiq adalah orang yang mendapatkan waktu yang mencukupi untuk membaca fatihah selama imam masih berdiri dengan ukuran    bandingan bacaan orang pertengahan ( tidak cepat dan tidak lambat)

( Ibnu Hajar Haitami,  Tuhfah al Muhtaj jilid II halaman 348)


المسبوق: من لم يدرك من قيام اﻹمام زمنا يسع الفاتحة بالنسبة إلى القراءة المعتدلة.( تحفة المحتاج 2/348).

Artinya: masbuq adalah orang yang tidak mendapati cukup waktu untuk membaca fatihah selama imam masih berdiri dengan ukuran bacaan orang yang pertengahan ( tidak cepat dan tidak lambat)

( Ibnu Hajar Haitami: Tuhfah al Muhtaj: jilid II halaman 348).

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa yang dikatakan masbuq itu tidak mesti karena terlambat datang ke tempat sembahyang, orang yang datang lebih awal untuk azan pun bisa dikatakan masbuq jika dia masih asyik berdiri dan terlambat dalam takbiratul ihram dan ketika sudah melakukan takbir dan sudah masuk dalam sembahyang dan jika dia tidak mendapatkan waktu lagi yang mencukupi untuk membaca fatihah, maka dia walaupun orang azan tetap dihukumi orang masbuq. 

و الله اعلم بالصواب

NASBUQ DALAM SEMBAHYANG

 Ada tiga Macam masbuq dalam sembahyang sebagai berikut:


1.        Masbuq karena terlambat dalam raka’at. Artinya seorang makmum belum sempat takbiratul ihram, sementara imam sudah dalam raka’at  kedua atau lebih. Dalam hal ini masbuq boleh setelah melakukan takbiratul ihram langsung mengikuti perbuatan imam, kemudian rakaat yang kurang ditambah setelah imam melakukan salam.

2.        Masbuq karena seorang makmum ketika melakukan takbiratul ihram mendapatkan imamnya sedang ruku’, ketika itu makmum boleh langsung ruku’ bersama imam tanpa membaca fatihah. Raka’at yang tanpa membaca fatihah tersebut dianggap satu rakaat bagi makmum.

3.        Masbuq karena makmum belum habis membaca fatihah , tiba2 imam sudah ruku, maka makmum tidak perlu menghabiskan bacaan fatihah, tetapi langsung ruku’ mengikuti imam. Ini juga raka’at yang tanpa membaca fatihah secara sempurna tersebut dianggap satu rakaat bagi makmum.

Pengertian masbuq adalah makmum yang terlambat. Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang lebih tepat (kalau ingin memberi nama utk masbuq) untuk no 1 adalah masbuq rakaat dan untuk no 2 dan 3 adalah masbuq bacaan al-Fatihah. Disebut masbuq raka’at karena rakaatnya makmum ada yg tertinggal. Dan disebut masbuq al-al-fatihah karena tidak sempat membaca al-Fatihah semuanya atau sebagiannya. Sedangkan takbiratul ihram wajib dibaca dalam keadaan apapun pada waktu memulai shalat, meskipbun dia masbuq sekalipun. Karena itu tidak tepat dinamai dengan masbuq takbirarul ihram.

والله اعلم بالصواب


Minggu, 04 Juli 2021

PERBEDAAN SEBAB DENGAN ILLAT

Oleh: Tgk Dailami 

As-sabab (sebab) adalah tanda/indikator mengenai kapan hukum harus dilaksanakan. Sebagai contoh tergelincirnya matahari menjadi tanda atau indikator masuknya pelaksanaan waktu shalat jum’at. Sebagaimana hadist dari Salamah bin akwa’, dia berkata:

كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ
"Kami shalat Jum'at bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika matahari tergelincir. Setelah itu kami pulang dalam keadaan masih perlu mencari-cari naungan untuk tempat berlindung."(HR. Muslim no. 1423)
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa ‘illat adalah dasar/alasan pensyariatan hukum sedangkan as-sabab bukan alasan/dasar pensyaraiatan hukum melainkan hanya tanda kapan pelaksanaan hukum yang telah disyaraiatkan oleh dalil yang lain. Tergelincirnya waktu bukan menjadi pemicu/dasar mengenai wajibnya shalat jum’at. Akan tetapi kewajiban shalat jumat ditetapkan berdasarkan mantuq dari ayat 9 surah al-jumu’ah di atas.

Demikian pula tergelincirnya matahari merupakan sebab (waktu) pelaksanaan shalat dzuhur. Sebagaimana firman Allah SWT:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (QS. Al-Isra’[17]:78).
Akan tetapi wajibnya shalat lima waktu (termasuk dzuhur) tidak didasarkan pada tergelincirnya matahari akan tetapi berdasarkan dalil yang lain.

Contoh yang lain adalah terlihatnya hilal (bulan baru) merupan sebab kapan shaum ramadhan mesti dilaksanakan, berdasarkan hadist nabi:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
Berpuasalah kalian karena melihat hilal (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan hukum tentang wajibnya puasa tidak ditetapkan berdasarkan dalil ini, tetapi dengan dalil lain, diantaranya perintah Allah dalam surah al-Baqarah ayat 183.
Ditinjau dari segi hubungannya dengan hukum syariat dan konsekuensinya. ‘illat menempel pada hukum dengan konsekuensi jika ‘illatnya ada maka hukum berlaku, sedang jika ‘illatnya tidak ada maka hukum yang berkaitan dengan ‘illat tidak berlaku. Sedangkan sebab berada sebelum terwujudnya hukum. Jika sebab ada/terpenuhi maka hukum wajib dilaksanakan (jika status hukumnya wajib, seperti shalat dan puasa ramadhan). Akan tetapi jika sebab tidak ada maka pelaksanaan hukum saat itu tidak wajib, meski kewajiban tidak gugur (dalam arti jika sebab terpenuhi maka kewajiban tersebut tetap harus dilaksanakan). Sebagai contoh hukum shalat jum’at adalah wajib, hukum wajibnya shalat jumat senantiasa tetap mengikuti dalil yang menegaskan kewajibannya. Hanya saja kapan waktu wajib pelaksanaannya bergantung pada datangnya sebab yakni tergelincirnya matahari. Jika matahari telah tergelincir maka wajib pelaksanaanya telah jatuh, tetap jika matahari masih ditengah langit (belum tergelincir) maka waktu pelaksanaannya belum jatuh.
Ditinjau dari sisi cakupan pemberlakuannya. Cakupan pemberlakuan ‘illat tidak hanya terbatas pada hukum yang disebutkan dalam nash, akan tetapi dapat diterapkan pada kasus-kasus lain yang berkesesuaian ‘illatnya. Sebagai contoh ‘illat telalaikannya shalat jum’at tidak hanya berlaku untuk larangan jual-beli, akan tetapi juga kasus-kasus lain yang dapat menghalangi orang untuk melaksanakan shalat jumat seperti proses belajar mengajar, jasa taksi angkot, dsb. Sedangkan sebab hanya berlaku untuk kasus khusus yang tercantum dalam nash. Tergelincirnya matahari hanya menjadi sebab untuk jatuhnya pelaksanaan shalat dzuhur atau jum’at dan tidak bisa dijadikan sebab untuk waktu shalat yang lain.

Wallahu 'alam bissawab


Rabu, 30 Juni 2021

HAL-HAL YANG DISUNATKAN DALAM SEMBAHYANG

Oleh Tgk Dailami* 

            Puji syukur kepada Allah, Shalawat serta salam kepada Rasulullah Saw. Takzim dan kemuliaan kepada seluruh guru-guru saya.

Tulisan pendek ini untuk menyahuti permintaan teman saya untuk menuliskan hal-hal yang disunatkan dalam sembahyang dengan ringkas dan padat tanpa bertele-tele. Isi tulisan ini berdasarkan isi dari kitab I’anatutthalibin pada باب صفة الصلاة  jilid 1 dari halaman 126 sampai halaman 180.

Karena ringkasnya, maka hal-hal yang belum jelas boleh memberi tanggapan di kolom komentar atau menghubungi nomor Hp/Wa 085260001020.

Akhirnya saya berdoa semoga ringkasan pendek ini bermamfaat, yang benar datangnya dari Allah, yang salah adalah datangnya dari kebodohan saya sendiri.

Hal-hal yang disunatkan dalam sembahyang adalah sebagai berikut:

1. Sunat memasuki shalat dalam keadaan semangat/tidak ada rasa malas

2. Ketika niat sunat menghadirkan rasa ikhlas kepada Allah

3. Ketika niat Sunat menhadirkan menghadap ke arah kiblat

4. Ketika niat Sunat menghadirkan jumlah bilangan rakaat sembahyang

5. Sunat melafadkan niat sebelum takbiratul ihram

6. Sunnat dalam shalat berhati/dalam keadaan khusyuk dengan menghayati apa yang dibaca

7. Sunat mengeraskan suara seukuran terdengar oleh diri sendiri pada zikir-zikir atau bacaan sunat

8. Sunat membaca sukun haraf “Ra” pada bacaan takbir

9. Sunat Melihat kepada tempat sujud dan menundukkan kepala  sebelum takbiratul ihram

10. Sunat mengangkat kedua telapak tangan ketika membaca takbiratul ihram

11. Sunnat meletakkan tangan dibawah dada dan diatas pusat

12. Sunnat membaca Ta’awwuz ( اعوذ بالله )

13. Sunnat membaca doa iftitah

14. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara aaimiin dan baca surat

15. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara akhir surat dengan takbir rukuk

16. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara takbiratul ihram dengan doa iftitah

17. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara doa iftitah dengan Ta’awwuz

18. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara Ta’awwuz dengan bismillah

19. Sunat mengangkat tangan ketika membaca  takbir ketika akan rukuk

20. Sunnat mengangkat tangan ketika bangkit untuk berdiri dari rukuk

21. Sunnat mengangkat tangan ketika bangkit untuk berdiri dari tasyahud awal

22. Sunnat waqaf pada setiap  akhir ayat dari fatihah

23. Sunnat membaca “aamiinn” sesudah membaca fatihah

24. Sunnat bagi imam yang shalat jihar untuk diam sejenak setelah membaca aamiinn seukuran makmum selesai membaca fatihah

25. Sunnat pada waktu diam setelah fatihah untuk berdoa atau membaca ayat-ayat ( jangan di keraskan)

26. Sunnat membaca satu ayat atau lebih setelah fatihah pada rakaat pertama dan kedua

27. Sunnat pada rakaat pertama menbaca ayat yang lebih panjang daripada rakaat kedua

28. Sunnat membaca surat menurut tertib urutan mushaf

29. Sunnat bagi imam dan orang shalat sendirian untuk membaca secara jihar fatihah dan surat pada sembahyang magrib, isya, subuh, jumat, dan shalat qadha yang dilakukan di malam hari.

30. Sunnat bagi imam, makmum dan shalat sendirian untuk membaca takbir intiqal

31. Sunnat ketika bangkit dari rukuk membaca “Sami’allahu li man hamidah”

32. Sunnah memanjangkan takbir hingga sampai masuk rukun selanjutnya

33. Sunnah bagi imam menjiharkan suara pada takbir intiqal

34. Sunnah pada rukuk meluruskan punggung badan dengan kuduk/leher

35. Sunnah ketika rukuk memegang kedua lutut dengan tangan terbuka

36. Sunnah membaca tasbih pada ketika rukuk minimal satu kali dan maksimal 11 kali

37. Sunnah ketika I’tidal membaca Rabbana lakal hamdu… dst…

38. Sunnat membaca qunut pada ketika I’tidal pada shalat subuh

39. Sunnat bagi imam membaca doa qunut secara jihar walaupun dalam sembahyang sirriyah

40. Sunnah bagi makmum mengamini qunut imamnya dengan suara jihar

41. Sunnah ketika sujud meletakkan hidung pada tempat sujud

42. Sunnah awal  sujud dengan meletakkan dua lutut sejauh satu jengkal

43. Sunnat meletakkan dua telapak tangan sejajar dengan pundak dengan lengan terangkat dari tempat shalat/tanah/mushalla

44. Sunnah memisahkan dua tumit sejarak satu jengkal, menegakkannya dan menekukkan jari kaki menghadap kiblat

45. Sunnah membuka kedua mata ketika sujud

46. Sunnah duduk antara dua sujud, tahiyyat awal dengan duduk iftirasyi

47. Sunnah ketika berdiri dari sujud untuk berpegang/menekan dengan dua telapak tangan

48. Sunnah duduk istirahat seukuran duduk antara dua sujud

49. Sunnah pada membaca tasyahud menambahkan bacaan “almubarakatusshalawatutthaiyibatulillah”

50. Sunnah menambahkan membaca shalawat kepada keluaarga nabi pada tasyahud akhir

51. Sunnah sesudah membaca tasyahud dan shalawat pada tahiyyat akhir agar membaca doa yang warid/maksur

52. Disunnatkan bagi imam agar doa setelah tasyahud agar lebih pendek dari bacaan  tasyahud dan shalawat

53. Sunnah duduk tawarruk pada tasyahud akhir

54. Sunnah meletakkan dua tangan waktu duduk tasyahud pada pinggir lutut sehingga ujung jari sejajar dengan lutut

55. Sunnah mengangkat jari telunjuk tangan kanan diwaktu membaca hamzah pada “Illallah”

56. Sunnah melihat kepada jari telunjuk ketika mengangkatnya

57. Sunnah membaca / memberi salam dua kali kekanan dan kiri

58. Sunnah dalam salam membaca “wabarakatuh”

59. Sunnah memalingkan muka sampai dapat terlihat pipi

60. Sunat bagi orang yang baca salam agar meniatkan salamnya untuk orang yang ada pada arah berpalingnya

61. Sunnah setelah salam pertama agar segera menyambung dengan salam kedua

62. Sunat memulai salam dalam keadaan muka menghadap kiblat dan mengakhiri salam dalam keadaan muka berpaling sempurna

63. Sunnah bagi makmum agar memulai salam setelah selesai salam kedua imam.

64. Sunat untuk niat keluar dari sembahyang pada salam pertama

 

 

و الله اعلم بااصواب