Rabu, 07 Juli 2021

BATASAN WAKTU BOLEH JAMAK DAN QASHAR SEMBAHYANG

 Oleh: Tgk Dailami, M.Pd

Bagi kita yang musafir/ berpergian jauh dalam agama kita diberikan keringanan boleh mengqasar dan jamak sembahyang. Terkait persoalan menjamak dan mengqashar sembahyang tentunya juga banyak persoalan yang wajib diketahui oleh kita yang ingin qashar dan jamak sembahyang, salah satunya tentang ketentuan sampai kapan kita masih boleh menjamak dan mengqashar sembahyang?apakah ketika kita sudah sampai di tempat tujuan atau bagaimana?

Dalam menjawab persoalan tersebut, hal pertama yang mesti dipahami adalah tentang batasan suatu perjalanan dianggap terputus ( انقطاع السفر). Sebab dengan terputusnya suatu perjalanan, maka seseorang yang bepergian sudah tidak lagi diperbolehkan untuk menjamak dan mengqashar sembahyang 

Untuk memahami  sampai dimana batasan perjalanan dianggap terputus maka kita bisa melihat didalam kitab Ianathutthalibin juzuk 2 halaman 101:

وحاصل ما يقال فيه أنه رجع بعد سفره من مسافة القصر إلى وطنه انتهى سفره بمجرد وصول السور إن كان، سواء نوى الاقامة به أم لا، كان له فيه حاجة أم لا. وأما إذا رجع إلى غير وطنه، ولم يكن له حاجة، ونوى قبل الوصول إليه إقامة مطلقا أو أربعة أيام صحاح، وكان وقت النية ماكثا مستقلا، انتهى سفره بمجرد وصول السور أيضا. أما إذا لم ينو أصلا، أو نوى إقامة أقل من أربعة أيام، فلا ينتهي سفره بوصول السور، وإنما ينتهي بإقامة أربعة أيام صحاح، غير يومي الدخول والخروج.  

Artinya: Kesimpulan tentang permasalahan terputusnya bepergian, bahwa jika musafir kembali dari bepergiannya dari jarak mengqashar sembahyang menuju tanah kelahirannya, maka terputus lah masa musafir nya dengan sampai di batas desa, jika memang ada batas desa. Baik dia niat mukim ataupun tidak. Baik ada keperluan hajat ataupun tidak. Adapun ketika seseorang kembali atau sampai ke selain tempat tinggalnya dan dia tidak ada hajat apa pun berkunjung di tempat tersebut dan sebelum sampai di tempat tersebut ia niat mukim secara mutlak, atau mukim selama empat hari secara utuh, dan ia dalam keadaan mandiri  maka bepergiannya dianggap terputus dengan melewati batas desa. Adapun ketika ia tidk niat sama sekali atau ia niat mukim kurang dari empat hari, maka bepergiannya tidak dianggap putus dengan melewati batas desa tersebut, tapi terputus dengan mukim di tempat tersebut selama empat hari selain hari ia sampai dan hari ia keluar dari tempat tersebut.

وأما إذا كان له حاجة، فإن لم يتوقع انقضاءها قبل أربعة أيام، بل جزم بأنها لا تقضى إلا بعد الاربعة، انتهى سفره بمجرد المكث والاستقرار، سواء نوى الاقامة بعد الوصول أم لا. فإن توقع انقضاءها كل يوم، لم ينته سفره إلا بعد ثمانية عشر يوما صحاحا.  

Artinya: “Dan adapun apabila ia berkunjung ke tempat selain tempat tinggalnya karena terdapat suatu keperluan (hajat), jika keperluannya tidak dapat selesai sebelum empat hari, tetapi butuh lebih dari empat hari, maka bepergiannya dianggap terputus dengan tempat tersebut. Baik ia melakukan niat mukim setelah sampai di tempat tersebut ataupun tidak. Jika keperluannya bisa saja selesai setiap hari, maka bepergiannya tidak terputus kecuali setelah ia berada di tempat tersebut selama delapan belas hari secara utuh

( I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 101)

Dari referensi diatas dapat diambil beberapa poin penjelasan terkait batasan kapan terputusnya masa musafir:

1. Kembali ke tempat tinggalnya. Dalam keadaan demikian, perjalanan musafir menjadi terputus tatkala ia telah melewati batas desa tempat tinggalnya, sehingga ketika ia telah masuk di desa tempat tinggalnya ia sudah tidak diperkenankan untuk menjamak dan mengqashar sembahyang. 

2. Ketika ia mampir di suatu tempat namun tidak ada keperluan hajat apa pun. Maka dalam keadaan demikian diperinci, jika ia niat bermukim atau menginap di tempat tersebut selama empat hari lebih atau hanya niat bermukim secara mutlak, maka perjalanannya dianggap terputus dengan melewati batas desa di tempat tersebut, seperti halnya pada permasalahan kembali di tempat tinggalnya.  

Sedangkan ketika seorang musafir tidak niat mukim atau niat menginap di tempat tersebut, atau ia niat mukim namun kurang dari empat hari, maka perjalanannya tidak langsung terputus dengan melewati batas masuk desa tempat tersebut, namun perjalanan menjadi terputus dengan ia tinggal atau menginap di tempat tersebut selama empat hari secara utuh, tanpa menghitung hari di mana ia sampai dan hari di mana ia pergi dari tempat tersebut.

3. Ketika ia mampir di suatu tempat dengan adanya suatu hajat. Maka dalam keadaan demikian, putusnya perjalanan dipandang dari batas selesainya keperluan musafir di tempat tersebut. Jika keperluannya tidak akan selesai dalam jangka waktu empat hari, maka perjalanannya dianggap terputus dengan sampainya dia di tempat tersebut. Baik ia melaksanakan niat mukim ataupun tidak.

Namun jika keperluannya bisa saja selesai setiap hari, sekiranya kurang dari empat hari. Maka perjalanannya tidak dihukumi terputus kecuali setelah melewati masa delapan belas hari.

Berdasarkan berbagai perincian putusnya perjalanan dalam permasalahan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketika kita terapkan dalam permasalahan bolehnya menjama’ dan mengqashar shalat di lokasi tujuan, tentunya terdapat berbagai perincian yang disesuaikan dengan keperluan (hajat) yang dilakukan oleh seseorang tatkala berada di tempat tujuan tersebut, sebab permasalahan ini hampir sama dengan keadaan ketiga dalam perincian hukum di atas.

Jika keperluannya di tempat tersebut lebih dari empat hari, maka tatkala ia sampai di tempat tujuannya ia dianggap terputus perjalanannya, sehingga sudah tidak boleh baginya melaksanakan shalat dengan cara jama’ dan qashar. Namun jika keperluannya dapat selesai kurang dari empat hari, maka ia dapat menjama’ dan mengqashar shalatnya sampai delapan belas hari, seandainya saja ia memutuskan untuk menginap di tempat tersebut lebih lama.

Berbeda halnya jika seorang musafir menginap di suatu tempat tanpa adanya keperluan apa pun, misalkan hanya sebatas transit di rumah temannya, karena tujuan perjalanan yang begitu jauh sehingga butuh istirahat, maka dalam keadaan demikian sama persis dengan perincian kedua dalam pembahasan yang telah dijelaskan di atas.

Demikian lah penjelasan mengenai batas terputusnya masa musafir, semoga bisa bermanfaat. 

و الله اعلم بالصواب

Tidak ada komentar:

Posting Komentar