Kamis, 07 Maret 2024

JANGAN BOSAN UNTUK BERDOA



Dalam kitab Bajuri jilid 1 hal 8 disebutkan:


 كل دعاء مجاب لكن اما بعين ما طلب او بخير مما طلب اما حالا او مألا او بثواب يحصل للداعي او بدفع ضر  منه


Artinya : Setiap doa di ijabah, tetapi adakalanya dengan sesuatu yang diminta, atau dengan yang lebih baik dari yang diminta, adakalanya masa itu juga atau masa akan datang, adakalanya dengan pahala yang didapatkan oleh orang yang berdoa atau dengan tertolak kemudharatan darinya.


Dapat kita katakan bahwa setiap doa yang panjatkan akan dikabulkan Allah. Tapi cara Allah mengabulkan itu ada dalam beberapa macam :

1.    Allah mengabulkan doa dengan apa yang diminta, misalnya berdoa agar kaya, maka Allah mengabulkannya sehingga seseorang kaya.

2.    Allah mengabulkan dengan sesuatu yang lebih baik dari yang diminta misalnya seseorang hanya meminta agar kaya, tetapi Allah memberikan kepadanya alim dan kaya.

3.    Allah mengabulkannya pada saat itu juga, artinya saat kita mengharapkan permintaan tersebut terwujud. Maksudnya bukan saat kita berdoa langsung terjadi seketika itu, tapi misalnya kita meminta tahun ini mendapat panen padi yang melimpah, maka tahun ini juga panen padi melimpah.

4.    Allah mengabulkannya, tetapi bukan pada waktu kita mengharapkan doa tersebut terwujud, akan akan terwujud dimasa yang akan datang yang kita tidak itu kapan akan terjadi.

5.    Allah tidak mengabulkan apa yang diminta, tetapi Allah memberikan pahala kepada orang yang berdoa karena dia sudah berdoa.

6. Allah tidak mengabulkan apa yang kita minta, tapi Allah menjaga kita dari kemudharatan dan bahaya lainnya.

Mudharat itu bisa jadi mudharat di hari akhirat seperti perbuatan maksiat di dunia ataupun bisa jadi mudharat duniawi seperti musibah atau sakit.

Maka jangan pernah bosan untuk berdoa yaaa...



والله اعلم

Selasa, 05 Maret 2024

MENULIS AL-QUR'AN DENGAN TULISAN LATIN



Terjadi perbedaan pendapat ulama tentang hukum menulis Alquran dengan selain bahasa Arab.


A. Ulama yang mengharamkan:


 

1. Ibnu Hajar Haitami yang di naqal oleh Sayyid Al-Bakri dalam kitab I'anatut thalibin:


ويحرم كتابته بالعجمية ورايت فى فتاوى العلامة ابن حجر انه سئل هل يحرم كتابة القران الكريم بالعجمية كقراءته فاجاب رحمه الله بقوله قضية ما فى المجموع عن الاصحاب التحريم

(اعانة الطالبين ج الاول ص ٦٧-٦٨)


Artinya: Dan diharamkan menulis Al-Qur’an dengan ajami(huruf selain hijaiyah). Saya pernah menemukan dalam kitab fatawi Ibnu Hajar, bahwa ia pernah ditanyakan tentang menulis Al-Qur’an dengan ajamiyah. Apakah hal tersebut termasuk hal yang di haramkan ?

Beliau menjawab, bahwa Imam Nawawi dalam Majmuknya menyimpulkan tentang keharamannya sesuai pendapat As-habussyafi’iyah.

( I'anatut thalibin, juz 1 hal.67-68 )



2. Syekh Yasin bin Isa


ان الترجمة هو تبيين الكلا م اواللغة بلغة اخرى

اى تحرم ترجمة القران بغير اللسان العربي بمعنى نقله الى لغة غير عربية مع الوفاء بجميع معا ثيه مقا صده فالمراد بالترجمة المحرمة هى الترجمة العرقية سواء كانت ترجمة حرفية ام تفسيرية فيحرم على الشخص مجاولتها.


(فيض الخبر/ص ٢٣)


Artinya: Tarjamah adalah menjelaskan ucapan atau bahasa dengan bahasa yang lain.

…..diharamkan menterjemahkan Al-Qur’an dengan bahasa selain bahasa arab dengan tanpa mengurangi makna dan maksud dari ayat tersebut,baik terjemahan yang berupa harfiyah atau tafsiriyah.

( Faidhul Kabir, hal.23 )


B. Ulama yang membolehkan 


1. Syekh Bujairimi


ويجوز كتابة القرآن بغير العربية بخلاف قراءته بغير العربية فيمتنع الى أن قال وفائدة كتابته بغير العربية مع حرمة القراءة بها أنه قد يحسنها من يقرأه بالعربية ويحرم مسه وحمله


( البجيرمي على الخطيب جزء ١ صفحة  ٣٢٩)


Artinya: Dan boleh menulis al qur'an dengan huruf selain arab ,lain halnya dengan membaca al qur'an dengan bahasa selain arab maka dilarang.

Dan faidah: menulis dengan bahasa selain arab dengan menjaga kehormatan al qur'an adalah sama baiknya dgn membaca al qur'an dengan bahasa arab maka haram juga menyentuh dan membawanya.

( Al bujairimi  jilid 1 hal 329 )


2. Syekh Sulaiman bin Jamal


وتجوز كتابته لاقراءته بغير العربية وللمكتوب حكم المصحف فى الحمل والمس


( حاشية الجمل على المنهج جزء ١ صفحة ٧٦)


Artinya; dan boleh menulis al qur'an dngan bahasa selain arab, tapi tidak boleh dalam hal membacanya dan untuk kitab yang ditulis itu sama hukumnya dengan mushhaf dalam hal menyentuhnya dan membawanya.

( Kitab Jamal ala Minhaj Juz I hal 76)


3. Syekh Ramli

سُئِلَ الشِّهَابُ الرَّمْلِيُّ هَلْ تَحْرُمُ كِتَابَةُ الْقُرْآنِ الْعَزِيزِ بِالْقَلَمِ الْهِنْدِيِّ, أَوْ غَيْرِهِ فَأَجَابَ بِأَنَّهُ لَا يَحْرُمُ لِأَنَّهَا دَالَّةٌ عَلَى لَفْظِهِ الْعَزِيزِ وَلَيْسَ فِيهَا تَغْيِيرٌ لَهُ بِخِلَافِ تَرْجَمَتِهِ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لِأَنَّ فِيهَا تَغْيِيرًا. وَعِبَارَةُ الْإِتْقَانِ لِلسُّيُوطِيِّ هَلْ يَحْرُمُ كِتَابَتُهُ بِقَلَمٍ غَيْرِ الْعَرَبِيِّ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ لَمْ أَرَ فِيهِ كَلَامًا لِأَحَدٍ مِنْ الْعُلَمَاءِ وَيَحْتَمِلُ الْجَوَازَ ; لِأَنَّهُ قَدْ يُحْسِنُهُ مَنْ يَقْرَؤُهُ, وَالْأَقْرَبُ الْمَنْعُ انْتَهَتْ, وَالْمُعْتَمَدُ الْأَوَّلُ ا هـ بِرْمَاوِيٌّ. وَعِبَارَةُ ق ل عَلَى الْمَحَلِّيِّ وَتَجُوزُ كِتَابَتُهُ لَا قِرَاءَتُهُ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ وَلِلْمَكْتُوبِ حُكْمُ الْمُصْحَفِ فِي الْحَمْلِ, وَالْمَسِّ انْتَهَتْ.

Artinya: Imam Syihab Ramli di tanya apakah haram menulis mushaf al qur'an yang mulia dengan bahasa hindiy atau selainnya.

Maka beliau menjawab: Sesungguhnya hal itu tidak di haramkan karena hal itu menunjukan terhadap lafad yang di tulis dan di situ tidak ada sesuatu yang berubah,berbeda dengan terjemahselain bahsa arab yang di dalamnya ada sesuaatu yang berubah.dan pada ibarat Al Itqan milik Imam Suyuthi apakah di haramkan menulis al qur'an dengan bahsa selain bahasa arab imam Zarkasyi menjawab:aku tidak melihat/menemukan pendapat satupun dari ulama dan pendapatnya Imam Zarkasyi memuat hukum di perbolehkan karena hal itu untuk membagusi orang yang membacanya.dan qaul yang aqrab yaitu di larang.namun yang mu'tamad adalah pendapat yang pertama.

Ibarat Imam Qalyubi boleh menulis al qur'an selain bahasa arab namun tidak membacanya, dan sesuatu yang ditulis dihukumi mushaf dalam hal membawanya dan menyentuhnya.

( Kitab Hasyiyah Jamal ala Minhaj Juz I hal 252)


و الله اعلم




Minggu, 03 Maret 2024

Syarat takbiratul ihram


Imam Nawawi Al Bantani menyebutkan ada 17 syarat yang harus terpenuhi ketika membaca takbiratul ihram, jika salah satunya tidak benar, maka shalat belum dianggap sah.

Disini saya ingin menyebut lima dulu dari 17 syarat tersebut.

1. Takbiratul Ihram harus terjadi dan dilakukan pada saat berdiri ( jika shalat fardhu )maksudnya, pada saat berdiri setelah posisi tubuh tegap berdiri.

2. Takbiratul Ihram diucapkan dengan menggunakan Bahasa Arab bagi orang yang mampu mengucapkan bahasa Arab.


3. Menggunakan lafadz Jalalah yaitu lafad الله

Oleh karena itu, tidak sah apabila mengucapkan الرحمن أكبر karena bukan lafadz Jalalah ( الله )


4. Takbiratul Ihram menggunakan lafad أكبر Oleh karena itu, tidak cukup dengan menggunakan الله كبير karena hilangnya sikap ta’dzim.


5. Tertib antara dua lafadz الله dan أكبر. Oleh karena itu, tidak boleh dengan mengatakan أكبر الله karena dapat menyalahi takbir.

Berbeda dengan salam, karena dalam salam diperbolehkan tidak tertib, yaitu dengan mendahulukan objek dari objek karena tidak menyalahi salam.

Apabila membaca lafadz أكبر dua kali, seperti ia mengucapkan أكبر الله أكبر maka apabila ia menyengaja lafadz (الله) sebagai permulaan maka takbirnya sah, jika tidak menyengaja demikian, maka tidak sah.


6. Tidak memanjangkan huruf hamzah pada lafadz Jalalah ( الله ).

Maka jika memanjangkan nya, maka shalatnya tidak sah karena ia telah merubah kalam insyai ( kenyataan) menjadi istifham (pertanyaan). Boleh menghilangkan membaca hamzah bila menyambungnya dengan lafadz sebelum lafadz Jalalah, seperti lafadz   إماما/ مأموماً الله أكبر, namun bacaan seperti ini tidak baik.

Berbeda dengan hamzah lafadz أكبر maka huruf hamzahnya tidak boleh dihilangkan saat membacanya ketika disambungkan dengan lafadz sebelumnya karena hamzahnya adalah hamzah qata'


7. Tidak memanjangkan bacaan huruf Ba' pada lafadz أكبر.

Apabila membaca "Allahu akbaar"/الله أكبار maka shalatnya belum terhitung, baik dengan membaca fatah atau kasrah pada huruf hamzahnya, karena lafadz "أكبار" dengan fatah pada huruf hamzah adalah bentuk jamak dari lafadz "كبر, baca:kabarun" seperti lafadz "سبب, baca: sababun, yang memiliki bentuk jamak أسباب Ia adalah nama gendang besar yang memiliki satu sisi.

Lafadz "كبر" juga memiliki jamak "كبار" seperti lafadz "جبل" memiliki bentuk jamak "جبال". Adapun lafadz "أكبار" kasrah pada huruf hamzah maka berarti salah satu nama bagi Haid.

Apabila sengaja membaca mad huruf hamzah maka ia kufur.


8. Tidak mentasydid Huruf Ba'. Kalau ia mentasydid seperti ia mengucapkan الله أكبر tidak sah shalatnya. 


9. Tidak menambahi huruf Waw sukun atau berharakat di antara dua lafadz takbiratul ihram. Jika menambah seperti ia mengucap اللاهو اكبر tidak sah shalatnya.

 

10. Tidak menambah huruf Waw sebelum lafadz Jalalah, maka jika ia menambahkannya seperti ia mengucapkan والله أكبر maka tidak sah.


Minggu, 11 Februari 2024

لا اله الا الله NAFI DALAM KALIMAT لا اله الا الله Apa mak



Apa makna Laa ilaaha ( tidak ada tuhan) yang dinafikan ( ditiadakan ) dalam kalimat tauhid لا اله الا الله??

Dalam kitab Kasyifatus Saja karangan Imam Nawawi Bantani halaman 68, beliau menukil pendapat Imam Sanusi dan Imam Al Yuusi bahwa yang dinafikan adalah tuhan yang disembah secara haq menurut keyakinan orang-orang yang menyembah berhala, matahari, dan bulan.

Tuhan yang disembah secara batil memiliki wujud zat di dunia nyata ini dan wujud di dalam hati orang mukmin dengan keyakinan bahwa tuhan yang disembah itu seperti berhala, matahari, dan lain lain adalah batil, tapi wujud

di dalam hati orang kafir dengan sifat keyakinan bahwa perkara perkara yang disembah itu adalah haq.

Dengan demikian, tuhan yang disembah selain Allah yang zat-zat tuhan tersebut wujud di dunia nyata tidak dinafikan karena yang namanya zat-zat itu tidak dapat dinafikan.

Begitu juga, tidak dinafikan adalah tuhan yang disembah selain Allah seperti berhala, matahari, bulan, dan lain lain dari segi wujudnya perkara tersebut di hati orang mukmin dengan keyakinan kalau Tuhan tersebut merupakan suatu kebatilan karena adanya tuhan -tuhan tersebut sebagai

sesembahan yang batil merupakan hal yang nyata yang tidak dapat dinafikan, karena apabila dapat dinafikan maka orang mukmin itu tadi tergolong orang yang bohong.

Adapun yang dinafikan adalah perkara yang selain Allah dari segi wujudnya perkara tersebut di dalam hati orang kafir dengan sifat keyakinan kalau perkara itu merupakan zat-zat yang disembah secara haq menurut orang kafir itu sendiri.

Istisna dalam kalimah " لا اله الا الله" adalah istisna muttasil. Begitu juga, yang dinafikan dalam kalimat لا اله الا الله bukanlah zat yang disembah secara bathil menurut hati orang kafir, karena menurut orang kafir, zat yang ia sembah secara bathil itu adalah Allah ta’ala. 

Dengan demikian makna tidak ada tuhan dalam kalimah " لا اله الا الله" adalah tuhan yang disembah secara haq menurut orang kafir selain Allah.

Tujuan dari penjelasan ini adalah untuk menolak iktikad orang yang mengatakan ada syirkah pada masalah ketuhanan 

و الله اعلم بالصواب





Kamis, 08 Februari 2024

LIMA PULUH WAKTU ATAU LIMA PULUH SHALAT??



Oleh: Tgk Dailami

Sering kita mendengar cerita pada momen peringatan isra mi'raj tentang perintah kewajiban shalat pada malam isra mikraj mulanya adalah 50 waktu, kemudian Nabi Muhammad bolak balik kepada Allah meminta keringanan menjadi 5 waktu.

Sebelum kita bahas the point, ada baiknya kita menyimak sebuah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim tentang malaikat Jibril yang mengajarkan Nabi Muhammad tentang waktu-waktu shalat.

أمني جبريل عليه السلام عند البيت مرتين، فصلى بي الظهر حين زالت الشمس، وكانت قدر الشراك، وصلى بي العصر حين كان ظله مثله، وصلى بي المغرب حين أفطر الصائم، وصلى بي العشاء حين غاب الشفق، وصلى بي الفجر حين حرم الطعام والشراب على الصائم، فلما كان الغد صلى بي الظهر حين كان ظله مثله، وصلى بي العصر حين كان ظله مثليه، وصلى بي المغرب حين أفطر الصائم، وصلى بي العشاء إلى ثلث الليل، وصلى بي الفجر فأسفر ثم التفت إلي فقال: «يا محمد، هذا وقت الأنبياء من قبلك، والوقت ما بين هذين الوقتين

Artinya: Jibril  mengimamiku di sisi Baitullah dua kali. Dia shalat Zhuhur bersamaku tatkala matahari tergelincir (condong) ke barat sepanjang tali sandal, kemudian shalat Ashar denganku tatkala panjang bayangan suatu benda sama dengannya, lalu shalat Maghrib bersamaku tatkala orang yang berpuasa berbuka, kemudian shalat Isya bersamaku tatkala syafaq merah telah hilang, dan shalat Shubuh bersamaku tatkala orang yang berpuasa dilarang makan dan minum. Maka keesokan harinya, dia shalat Zhuhur bersamaku tatkala bayangan suatu benda sama dengannya, lalu shalat Ashar bersamaku tatkala bayangan suatu benda sepanjang dua kali benda itu, kemudian shalat Maghrib bersamaku tatkala orang yang berpuasa berbuka, lalu shalat Isya bersamaku hingga sepertiga malam, dan shalat Shubuh bersamaku tatkala waktu pagi mulai bercahaya. Kemudian Jibril menoleh kapadaku seraya berkata; 'Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelum kamu, dan jarak waktu untuk shalat adalah antara dua waktu ini'.

Dari keterangan hadis ini bisa kita pahami bahwa waktu-waktu shalat semenjak para Nabi terdahulu selama sehari semalam (24 jam) adalah 5 waktu sesuai durasi masing-masing seperti yang tersebut dalam hadis diatas.

Selanjutnya apa yang diperintahkan oleh Allah pada malam tersebut?

Penjelasan mengenai hal ini bisa kita dapat secara jelas dan terang benderang dalam kitab Hasyiyah Bajuri pada bab ahkam shalat halaman 118.

Dalam kitab Al-Bajuri yang ditulis oleh Syaikh Ibrahim al Bajuri, beliau menukil sekaligus menjelaskan sebuah hadis tentang israk Mikraj yang hubungan dengan shalat yang Allah wajibkan pada malam isra kepada Rasulullah, hadisnya singkatnya yaitu  :

فرض الله علي و على امتى خمسين صلاة فلم ازل اراجعه ان اسئاله التخفيف حتى جعلها خمسا. 
 
Artinya: Allah mewajibkan kepadaku pada malam isra limapuluh shalat. Maka aku kembali untuk meminta keringanan hingga Allah menjadikan lima shalat. 

Penjelasan Selanjutnya:

فكان فى وقت الصبح عشر صلوات و فى وقت الظهر كذلك و هكذا و نسخت بمراجعته صلى الله عليه و سلم حتى صارت خمسا.

Artinya: Maka pada waktu shubuh 10 shalat, pada waktu Zhuhur juga demikian dan seterusnya. 
Dan dibatalkan ( 50 shalat ) dengan sebab permintaan Nabi hingga menjadi 5 shalat. 

Dari teks diatas dapat kita pahami bahwa perintah kewajiban shalat pada malam tersebut adalah 10 shalat pada waktu subuh,10 shalat pada waktu zhuhur, 10 shalat pada waktu asar, 10 shalat pada waktu magrib, dan10 shalat pada waktu isya, maka jumlah seluruh nya 50 shalat dalam 5 waktu, bukan 50 waktu.

Gambarannya seperti ini, jika shalat zuhur 4 rakaat, setelah salam pada rakaat keempat berarti kita baru menunaikan satu shalat, lalu shalat tersebut diulang lagi sampai 10 kali, begitu juga shalat asar dan lainnya, hingga sampai 50 shalat, seperti inilah gambaran 50 shalat dalam hadis isra mikraj tersebut dalam penjelasan kitab Bajuri.

Jadi sangat jauh perbedaan pemahaman antara perintah shalat dalam 50 waktu dengan perintah 50 shalat tetapi dalam 5 waktu.

Waktu-waktu  shalat itu memang sedari dulu sudah 5 waktu dengan lama durasi masing-masing berbeda. 

Maka kita kenal waktu shalat misal  waktu shubuh adalah shalat nabi adam, dhuhur adalah shalat Nabi Ibrahim, asar adalah shalat Nabi Yunus, Magrib Adalah Shalat Nabi Isa, dan Isya adalah Waktu shalat Nabi Musa, dan lainnya. 

Tapi para Nabi dahulu juga ada yang shalat pada satu waktu dan ada juga yang shalat dua waktu

Logikanya begini: kalau seandainya dipahami 50 waktu shalat, maka setiap 28 menit sekali selama 24 jam  kita harus shalat karena masuk waktu shalat. Ini berarti kita tidak ada punya waktu untuk kerja dan istirahat, apalagi istirahat malam. Ini rasanya mustahil sanggup dilaksanakan oleh  hambanya ( bukan para Nabi dan Rasul) karena pasti tidak akan sanggup. Sekarang saja satu kali shalat dalam 1 waktu masih banyak yang tidak sanggup, apalagi 10 kali dalam satu waktu.

Dan kalau dipahami 50 shalat dalam 5 waktu, walaupun berat tapi tidak mustahil untuk bisa dikerjakan, artinya 10 kali shalat tersebut jika menghabiskan waktu satu jam masih mungkin kita laksanakan, dan masih ada waktu tersisa untuk bekerja dan istirahat.

Tapi alhamdulillah dengan kemurahan Allah akhirnya yang diwajibkan bukan 10 kali shalat dalam satu waktu, tapi 1 kali shalat dalam 1 waktu atau 5 kali shalat dalam 5 waktu..

Langsa , 7 Februari 2024.

Rabu, 24 Januari 2024

ANTARA ISMA' DAN SIMA' SERTA ANTARA FI'LI DAN QUWWAH



( Pada bahasan memperdengarkan khutbah Jum'at)

By: Tgk Dailami Pirak.

Dalam bahasa Arab, kata سماع ( ada yang membaca dengan Fatah haraf sin dan ada yang membaca kasrah sin)
merupakan masdar sima'i yang diartikan dengan "mendengar"

Sedangkan kata اسماع ( baca isma' dengan kasrah Hamzah ) adalah Masdar dari sulasi mazid اسمع يسمع اسماعا yang diartikan "memperdengarkan"

Kata قوة ( baca quwwah ) adalah Masdar dari sulasi mujarad قوي يقوى قوة yang diartikan kekuatan atau kemampuan.

Sedangkan kata فعل ( baca fi'lun) adalah Masdar sima'i yang kadangkala diartikan perbuatan, dan kadang diartikan kejadian, kenyataan atau realita.

Maka dalam kitab Hasyiyah Bajuri jilid 2 halaman 219 ada dua hal yang bisa kita simpulkan tentang memperdengarkan khutbah Jum'at.

Pertama: اسماع بالفعل
Seorang khatib wajib memperdengarkan khutbah, maksudnya seorang khatib harus meninggikan/ mengeraskan suaranya seukuran sikira-kira jika di dengar oleh para jamaah akan terdengar secara riil dan nyata artinya suara khatib tidak boleh kecil sehingga para jamaah tak mampu menangkap suara yang keluar dari mulut khatib.

Kedua: سماع بالقوة
Para jamaah wajib mendengar khutbah secara quwwah, artinya para jamaah secara kenyataan punya kekuatan atau kemampuan pendengaran yang baik untuk mendengar bacaan khatib.

Jika seandainya pada waktu pembacaan khutbah terjadi kegaduhan/ kebisingan yang menyebabkan jamaah tidak bisa mendengar khutbah secara nyata( سماع بالفعل ) maka hal itu tidak menjadi masalah dan khutbah tetap sah.

Kesimpulannya:

1. Khatib wajib memperdengarkan secara riil ( اسماع بالفعل ), bukan kemampuan memperdengarkan ( اسماع بالقوة )
2. Jamaah bisa mendengar secara hukum/kemampuan ( سماع بالقوة ) walaupun tidak mampu mendengar secara nyata ( سماع بالفعل ) karena faktor keadaan lapangan yang bising.

و الله اعلم بالصواب

Referensi: Hasyiyah Bajuri jilid 1 hal 219.

Rabu, 06 Desember 2023

Hal -hal penyebab putus silaturahmi



Diantara dalil paling menakutkan terkait ancaman bagi pemutus silaturahmi adalahkabar dari Nabi Muhammad Saw yang bahwa orang yang memutus silaturahmi itu tidak masuk surga. Rasulullah ﷺ bersabda,

«لَا ‌يَدْخُلُ ‌الْجَنَّةَ ‌قَاطِعٌ.». [«صحيح البخاري» (8/ 5 ط السلطانية)]

Artinya,

“Pemutus (silaturahmi) tidak masuk surga.” (H.R.al-Bukhārī)

Kata al-Nawawī, makna hadis di atas mengandung dua pengertian.

Makna pertama, orang yang menghalalkan pemutusan silaturahmi, padahal tahu itu haram, maka statusnya kafir, dia tidak akan bisa masuk surga, masuk neraka dan kekal di dalamnya. Al-Nawawī berkata,

«مَنْ يَسْتَحِلُّ الْقَطِيعَةَ بِلَا سَبَبٍ وَلَا شُبْهَةٍ مَعَ عِلْمِهِ بِتَحْرِيمِهَا فَهَذَا كَافِرٌ يُخَلَّدُ فِي النَّارِ وَلَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَبَدًا». [«شرح النووي على مسلم» (16/ 113)]

Artinya,

“Barangsiapa menghalalkan pemutusan silaturahmi tanpa sebab atau syubhat, padahal dia tahu keharamannya, maka orang ini kafir, kekal di neraka dan tidak masuk surga sampai kapanpun.” (Syarḥu al-Nawawī ‘Alā Muslim, juz 16 hlm 113)

Makna kedua, orang mukmin yang memutus silaturahmi tidak bisa langsung masuk surga. Dia harus dihukum dulu. Bisa di siksa di neraka selama yang dikehendaki Allah. Bisa juga ditahan dulu di al-A‘rāf. Bisa juga dibuat lama dalam hisabnya. Al-Nawawī berkata,

«وَلَا يَدْخُلُهَا فِي أَوَّلِ الْأَمْرِ مَعَ السَّابِقِينَ بَلْ يُعَاقَبُ بِتَأَخُّرِهِ الْقَدْرِ الَّذِي يُرِيدُهُ اللَّهُ تَعَالَى». [«شرح النووي على مسلم» (16/ 114)]

Artinya,

“Dia tidak masuk surga sejak awal bersama orang-orang yang mendahului masuk surga. Tetapi dia dihukum dengan terlambat masuk surga dengan kadar waktu yang dikehendaki Allah.” (Syarḥu al-Nawawī ‘Alā Muslim, juz 16 hlm 114)

Kalau begitu, apa standarnya seseorang dikatakan telah memutus silaturahmi? Adakah kriteria khususnya? Adakah indikator yang menunjukkannya?

Jawaban untuk pertanyaan ini adalah sebagai berikut.

Sesungguhnya kriteria kapan seseorang dikatakan telah memutus silaturahmi itu perkara yang diperselisihkan ulama. Hal itu dikarenakan tidak ada dalil khusus yang menjelaskan perbuatan apa saja yang sudah digolongkan termasuk pemutusan silaturahmi. Al-Ṣan’ānī berkata,

«وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ أَيْضًا بِأَيِّ شَيْءٍ تَحْصُلُ الْقَطِيعَةُ لِلرَّحِمِ». [«سبل السلام» (2/ 629)]

Artinya,

“Para ulama juga berbeda pendapat terkait kriteria perbuatan yang tergolong pemutusan silaturahmi.” (Subulu al-Salām, juz 2 hlm 629)

Oleh karena perkara ini diperselisihkan, dalam tulisan ini saya merangkum semua pendapat tersebut agar bisa dihindari semuanya. Dengan begitu setiap muslim bisa beramal dalam bentuk yang paling warak, paling berhati-hati dan paling jauh dari kriteria pemutusan silaturahmi. Saya akan mengurutkan dari yang paling berat sampai yang paling “ringan”.

Ada tujuh hal yang bisa tergolong memutus silaturahmi.

Pertama, menjahati kerabat

Maksud menjahati kerabat adalah melakukan perbuatan apapun yang membuat kerabat terzalimi, terlukai, sakit, rugi, susah, sengsara dan semua mudarat serta keburukan apapun apalagi sampai level tertumpah darah. Semua dosa dan perbuatan buruk kepada kerabat termasuk jenis ini. Misalnya menipu, sengaja tidak membayar utang, memfitnah, memusuhi, menjelek-jelekkan dan move apapun yang sifatnya menyakiti apalagi sampai level melukai, menyiksa dan membunuh. Termasuk yang sifatnya “pasif” dengan semangat permusuhan seperti tidak mau bertemu, “nyatru” (muqāṭa’ah/hajr/hijrān), tidak mau berbicara dan semisalnya.

Biasanya urusan dunia yang menyebabkan pemutusan silaturahmi jenis ini. Yang paling sering urusan warisan. Bisa juga urusan utang piutang. Bisa juga masaalah kecemburuan, cinta, poligami dan perselingkuhan. Bisa juga semata-mata karena kedengkian, yakni ketidaksenangan saat kerabat mendapatkan nikmat tertentu dari Allah. Menjahati kerabat dan berbuat buruk kepada mereka seperti ini termasuk memutus silaturahmi. Al-Ṣan‘ānī menukil ucapan al-‘irāqī sebagai berikut,

«فَقَالَ الزَّيْنُ الْعِرَاقِيُّ: تَكُونُ بِالْإِسَاءَةِ إلَى الرَّحِمِ». [«سبل السلام» (2/ 629)]

Artinya,

“Al-Zain al-‘Irāqī berkata, ‘Pemutusan silaturahmi terwujud dengan menjahati kerabat.” (Subulu al-Salām, juz 2 hlm 629)

Kedua, dijahati kerabat lalu membalas menjahati

Termasuk memutus silaturahmi adalah saat membalas keburukan dengan keburukan serupa. Benar dia mungkin tidak memulai untuk berbuat jahat. Tetapi saat ada kerabat yang tidak mau berkunjung, dia membalas tidak mau berkunjung. Saat kerabat memaki-maki, dia membalas memaki-maki. Saat kerabat memfitnah, dia membalas memfitnah. Saat kerabat diundang tidak pernah datang dia membalas tidak mau datang saat diundang padahal mampu. Bahkan sekedar salam saja juga tidak mau. Sekadar menahan diri untuk tidak menyakiti saja juga tidak mau. Akhirnya karena saling berbalas kejahatan, sempurnalah taqāṭū’ (saling memutuskan hubungan) dan terwujudlah tadābur (saling membelakangi). Yang semacam ini kata Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī juga termasuk memutus silaturahmi. Beliau menulis,

«وَكَمَا ‌تَقَعُ ‌الْمُكَافَأَةُ ‌بِالصِّلَةِ ‌مِنَ ‌الْجَانِبَيْنِ كَذَلِك تقع بِالْمُقَاطَعَةِ مِنَ الْجَانِبَيْنِ فَمَنْ بَدَأَ حِينَئِذٍ فَهُوَ الْوَاصِلُ ». [«فتح الباري لابن حجر» (10/ 424)]

Artinya,

“Sebagaimana mukāfa’ah (membalas berbuat baik dengan setara) terealisasi dengan melaksanakan silaturahmi dari kedua belah pihak, demikian pula pemutusan silaturahmi juga bisa teralisasi dari keduabelah pihak (yakni keburukan dibalas keburukan). Siapapun yang memulai (membaiki kerabat) maka dia dikatakan menyambung silaturahmi.” (Fatḥu al-Bārī juz 10 hlm 424)

Ketiga, dibaiki kerabat lalu tidak mau membalas

Misalnya ada kerabat yang jauh-jauh datang ke rumah kita untuk berkunjung sekedar menyambung silaturahmi. Kita menerimanya dengan baik, tapi tidak ada niat untuk membalasnya. Hanya menerima kebaikan, tapi tidak pernah berfikir untuk memberi kebaikan. Hanya mau menerima dari kerabat tapi tidak pernah berfikir memberi. Tidak berfikir berbuat baik dan membalas walaupun hanya dengan mengucapkan salam dan mendoakan dari jauh. Yang seperti ini menurut al-Magribī sudah tergolong memutus silaturahmi. Al-Magribī berkata,

«وأقول: بالأولى ‌مَن ‌يُتفضل ‌عليه ‌ولا ‌يتفضل إنه قاطع». [«البدر التمام شرح بلوغ المرام ت الزبن» (10/ 200)]

Artinya,

“Saya berkata, tentu lebih layak dikatakan bahwa orang yang dibaiki dan tidak membalas membaiki, ia adalah pemutus silaturahmi.” (al-Badr al-Tamām juz 10 hlm 200)

Keempat, melalaikan kewajiban

Kadang-kadang membaiki kerabat itu levelnya sudah sampai wajib. Misalnya orang tua yang sudah tua renta dan tidak sanggup mencari nafkah, atau sakit parah, atau cacat, atau gila, atau idiot. Yang seperti ini menafkahi mereka sudah bukan lagi anjuran, tetapi sudah kewajiban. Termasuk yang semakna dengan orang tua adalah kakek/nenek, buyut, dan seterusnya terus ke atas selama masih ada. Jika ada di antara mereka yang sudah lemah tidak mampu mencari nafkah, maka anak atau cucu atau cicit dan seterusnya terus ke bawah wajib untuk menanggung nafkahnya.

Termasuk juga jika yang lemah itu anak, cucu, cicit dan seterusnya terus ke bawah. Selama mereka masih lemah dan belum sanggup mandiri maka menjadi kewajiban ayah/ibu, kakek/nenek dan seterusnya yang mampu untuk menanggung nafkah mereka.

Contoh lain kewajiban terhadap kerabat adalah memenuhi undangan walimah. Hukum memenuhi undangan walimah adalah wajib, lebih-lebih jika yang mengundang adalah kerabat, tentu haknya lebih kuat.

Contoh lain kewajiban adalah menjawab salam. Biasanya yang berat melaksanakan kewajiban ini adalah mereka yang diuji dengan hubungan yang tidak enak dengan kerabat yang memberi salam tersebut. Memulai salam hukumnya sunah, tapi menjawabnya adalah wajib. Jadi, jika ada kerabat yang mengucapkan salam maka wajib menjawabnya.

Contoh lain kewajiban adalah menyelamatkan kerabat dari kebinasaan/kematian. Misalnya kerabat kelaparan dan terancam mati, maka wajib memberinya makan. Kerabat tenggelam sementara kita bisa menyelamatkannya dengan berenang maka wajib menyelamatkannya. Di rumah kerabat ada ular berbisa dan kita bisa mengusirnya, maka wajib membantunya dengan mengusir ular tersebut.

Kewajiban-kewajiban seperti ini jika kita tidak melaksanakannya padahal tidak ada uzur syar’I, maka menurut al-Ba‘dānī sudah tergolong memutus silaturahmi. Beliau berkata,

« الذي يظهر أنَّ القطيعة تحصل بترك ما هو واجبٌ عليه فيهم بدون عذر». [«فتح العلام في دراسة أحاديث بلوغ المرام ط 4» (10/ 535 ط 4)]

Artinya,

“Zahirnya memutus silaturahmi terwujud dengan cara meninggalkan yang wajib baginya terhadap kerabat tanpa uzur.” (Fatḥu al-‘Allām juz 10 hlm 535)

Kelima, melalaikan kebaikan padahal mampu

Ini lebih ketat lagi. Tidak harus sampai levelnya wajib. Kebaikan apapun jika kita sebenarnya mampu melakukannya jika serius menyempatkannya, tapi tidak kita lakukan maka sudah terhitung memutus silaturahmi. Misalnya mampu mengucapkan salam dan ada kesempatan bertemu, tapi tidak mau melakukannya. Mampu untuk menyapa dan berwajah ramah di depan kerabat, tapi tidak mau menyapa. Mampu mengunjungi dan sebenarnya bisa menyempatkan waktu jika serius, tapi tidak mau mengunjungi. Mampu memberi hadiah atau sedekah atau menyantuni dengan harta karena punya harta berlebih, tetapi tidak mau menyantuni. Mampu untuk telpon atau kirim pesan tertulis via medsos, tapi tidak mau mengkontak . Yang seperti ini disebutkan oleh al-Nawawī mengutip al-Qāḍī ‘iyāḍ sebagai orang yang tidak menyambung silaturahmi. Al-Nawawī menulis,

« ‌وَلَوْ ‌قَصَّرَ ‌عَمَّا ‌يَقْدِرُ ‌عَلَيْهِ ‌وَيَنْبَغِي ‌لَهُ ‌لَا ‌يُسَمَّى ‌وَاصِلًا». [«شرح النووي على مسلم» (16/ 113)]

Artinya,

“Seandainya dia melalaikan yang sebenarnya ia mampu melakukannya dan memang sudah sepantasnya ia lakukan, maka ia tidak dikatakan penyambung silaturahmi.” (Syarḥu al-Nawawī ‘Alā Muslim, juz 16 hlm 113)

Keenam, menghentikan kebaikan yang terbiasa diberikan

Ini pendapat yang dibela dengan argumentasi serius oleh Ibnu Ḥajar al-Haitamī dalam kitab al-Zawājir. Jadi yang dijadikan standar adalah kebaikan yang biasa didapatkan oleh kerabat. Jika itu dihentikan, maka barulah dikatakan memutus. Tidak dikatakan memutus jika sebelumnya tidak ada “tali” kebaikan yang diberikan.

Ilustrasi terbaik di zaman Nabi ﷺ yang tergolong jenis ini adalah kisah Abu Bakar dengan Misṭaḥ (مِسْطَح). Dikisahkan Abu Bakar memberikan santunan rutin kepada kerabatnya yang miskin bernama Misṭaḥ. Lalu terjadilah peristiwa ḥadītsul ifki, yakni peristiwa fitnah terhadap Aisyah. Waktu itu Aisyah dituduh selingkuh dengan Sahabat yang bernama Ṣafwān bin al-Mu‘aṭṭal. Ternyata Misṭaḥ termasuk yang kena pengaruh dan menyebarkan fitnah tersebut. Akhirnya Abu Bakar bersumpah menghentikan santunannya. Tapi Allah langsung menegur Abu Bakar dan memerintahkan supaya nafkah rutin itu jangan disetop. Akhirnya Abu Bakar bersumpah tidak akan menyetop nafkah itu selamanya.

Itu contoh untuk kebaikan berupa santunan harta. Tapi kebaikan yang dimaksud di sini bukan dibatasi pada harta saja. Kebaikan apapun kepada kerabat, selama itu biasa diberikan maka menghentikannya adalah pemutusan silaturahmi. Kebaikan itu bisa sekedar kunjungan, korespondensi, komunikasi dan semisalnya. Jika diputus tanpa uzur syar’i maka dia dihukumi pemutus silaturahmi. Al-Haitamī berkata,

«قَطْعُ مَا أَلِفَ الْقَرِيبُ مِنْهُ مِنْ سَابِقِ الْوُصْلَةِ وَالْإِحْسَانِ لِغَيْرِ عُذْرٍ شَرْعِيٍّ». [«الزواجر عن اقتراف الكبائر» (2/ 127)]

Artinya,

“(memutus silaturahmi adalah) Menghentikan sesuatu yang kerabat sudah terbiasa mendapatkan sebelumnya, yakni hubungan baik dan kebaikan tanpa uzur syar’i.” (al-Zawājir, juz 2 hlm 127)

Ketujuh, tidak melakukan kebaikan yang menurut tradisi termasuk silaturahmi.

Standar yang ini berarti dikembalikan kepada ‘urf (tradisi/kebiasaan). Seperti di negeri kita, umumnya yang dijadikan ukuran memutus atau menyambung silaturahmi adalah kunjungan ke rumah/ziarah/sambang. Mereka yang menyempatkan berkunjung dinamakan menyambung silaturahmi. Tetapi jika tidak mau berkunjung dikatakan memutus silaturahmi. Termasuk juga mengenalkan diri. Jika ada kerabat tua yang mengetahui kerabat mudanya tidak pernah datang untuk mengenalkan diri atau mengenalkan suami/istrinya atau mengenalkan anak-anaknya, maka biasanya dianggap memutus silaturahmi. Termasuk juga tidak saling sapa, saling memalingkan muka saat bertemu, tidak sudi mengkontak dan semisalnya. Standar tradisi ini dikemukakan al-Munāwī dan disetujui oleh al-Ṣan‘ānī. Al-Munāwī berkata,

« ‌والواجب ‌منها ‌ما ‌يعد ‌به ‌في ‌العرف ‌واصلا وما زاد تفضل ومكرمة». [«فيض القدير» (6/ 448)]
Artinya,

“Yang wajib adalah yang menurut ‘urf/tradisi dihitung sebagai penyambungan silaturahmi. Yang lebih dari itu adalah kebaikan tambahan dan kemuliaan.” (Faiḍu al-Qadīr, juz 6 hlm 448)

Pirak Timu, 6 Desember 2023