«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ.». [«صحيح البخاري» (8/ 5 ط السلطانية)]
Artinya,
“Pemutus (silaturahmi) tidak masuk surga.” (H.R.al-Bukhārī)
Kata al-Nawawī, makna hadis di atas mengandung dua pengertian.
Makna pertama, orang yang menghalalkan pemutusan silaturahmi, padahal tahu itu haram, maka statusnya kafir, dia tidak akan bisa masuk surga, masuk neraka dan kekal di dalamnya. Al-Nawawī berkata,
«مَنْ يَسْتَحِلُّ الْقَطِيعَةَ بِلَا سَبَبٍ وَلَا شُبْهَةٍ مَعَ عِلْمِهِ بِتَحْرِيمِهَا فَهَذَا كَافِرٌ يُخَلَّدُ فِي النَّارِ وَلَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَبَدًا». [«شرح النووي على مسلم» (16/ 113)]
Artinya,
“Barangsiapa menghalalkan pemutusan silaturahmi tanpa sebab atau syubhat, padahal dia tahu keharamannya, maka orang ini kafir, kekal di neraka dan tidak masuk surga sampai kapanpun.” (Syarḥu al-Nawawī ‘Alā Muslim, juz 16 hlm 113)
Makna kedua, orang mukmin yang memutus silaturahmi tidak bisa langsung masuk surga. Dia harus dihukum dulu. Bisa di siksa di neraka selama yang dikehendaki Allah. Bisa juga ditahan dulu di al-A‘rāf. Bisa juga dibuat lama dalam hisabnya. Al-Nawawī berkata,
«وَلَا يَدْخُلُهَا فِي أَوَّلِ الْأَمْرِ مَعَ السَّابِقِينَ بَلْ يُعَاقَبُ بِتَأَخُّرِهِ الْقَدْرِ الَّذِي يُرِيدُهُ اللَّهُ تَعَالَى». [«شرح النووي على مسلم» (16/ 114)]
Artinya,
“Dia tidak masuk surga sejak awal bersama orang-orang yang mendahului masuk surga. Tetapi dia dihukum dengan terlambat masuk surga dengan kadar waktu yang dikehendaki Allah.” (Syarḥu al-Nawawī ‘Alā Muslim, juz 16 hlm 114)
Kalau begitu, apa standarnya seseorang dikatakan telah memutus silaturahmi? Adakah kriteria khususnya? Adakah indikator yang menunjukkannya?
Jawaban untuk pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Sesungguhnya kriteria kapan seseorang dikatakan telah memutus silaturahmi itu perkara yang diperselisihkan ulama. Hal itu dikarenakan tidak ada dalil khusus yang menjelaskan perbuatan apa saja yang sudah digolongkan termasuk pemutusan silaturahmi. Al-Ṣan’ānī berkata,
«وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ أَيْضًا بِأَيِّ شَيْءٍ تَحْصُلُ الْقَطِيعَةُ لِلرَّحِمِ». [«سبل السلام» (2/ 629)]
Artinya,
“Para ulama juga berbeda pendapat terkait kriteria perbuatan yang tergolong pemutusan silaturahmi.” (Subulu al-Salām, juz 2 hlm 629)
Oleh karena perkara ini diperselisihkan, dalam tulisan ini saya merangkum semua pendapat tersebut agar bisa dihindari semuanya. Dengan begitu setiap muslim bisa beramal dalam bentuk yang paling warak, paling berhati-hati dan paling jauh dari kriteria pemutusan silaturahmi. Saya akan mengurutkan dari yang paling berat sampai yang paling “ringan”.
Ada tujuh hal yang bisa tergolong memutus silaturahmi.
Pertama, menjahati kerabat
Maksud menjahati kerabat adalah melakukan perbuatan apapun yang membuat kerabat terzalimi, terlukai, sakit, rugi, susah, sengsara dan semua mudarat serta keburukan apapun apalagi sampai level tertumpah darah. Semua dosa dan perbuatan buruk kepada kerabat termasuk jenis ini. Misalnya menipu, sengaja tidak membayar utang, memfitnah, memusuhi, menjelek-jelekkan dan move apapun yang sifatnya menyakiti apalagi sampai level melukai, menyiksa dan membunuh. Termasuk yang sifatnya “pasif” dengan semangat permusuhan seperti tidak mau bertemu, “nyatru” (muqāṭa’ah/hajr/hijrān), tidak mau berbicara dan semisalnya.
Biasanya urusan dunia yang menyebabkan pemutusan silaturahmi jenis ini. Yang paling sering urusan warisan. Bisa juga urusan utang piutang. Bisa juga masaalah kecemburuan, cinta, poligami dan perselingkuhan. Bisa juga semata-mata karena kedengkian, yakni ketidaksenangan saat kerabat mendapatkan nikmat tertentu dari Allah. Menjahati kerabat dan berbuat buruk kepada mereka seperti ini termasuk memutus silaturahmi. Al-Ṣan‘ānī menukil ucapan al-‘irāqī sebagai berikut,
«فَقَالَ الزَّيْنُ الْعِرَاقِيُّ: تَكُونُ بِالْإِسَاءَةِ إلَى الرَّحِمِ». [«سبل السلام» (2/ 629)]
Artinya,
“Al-Zain al-‘Irāqī berkata, ‘Pemutusan silaturahmi terwujud dengan menjahati kerabat.” (Subulu al-Salām, juz 2 hlm 629)
Kedua, dijahati kerabat lalu membalas menjahati
Termasuk memutus silaturahmi adalah saat membalas keburukan dengan keburukan serupa. Benar dia mungkin tidak memulai untuk berbuat jahat. Tetapi saat ada kerabat yang tidak mau berkunjung, dia membalas tidak mau berkunjung. Saat kerabat memaki-maki, dia membalas memaki-maki. Saat kerabat memfitnah, dia membalas memfitnah. Saat kerabat diundang tidak pernah datang dia membalas tidak mau datang saat diundang padahal mampu. Bahkan sekedar salam saja juga tidak mau. Sekadar menahan diri untuk tidak menyakiti saja juga tidak mau. Akhirnya karena saling berbalas kejahatan, sempurnalah taqāṭū’ (saling memutuskan hubungan) dan terwujudlah tadābur (saling membelakangi). Yang semacam ini kata Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī juga termasuk memutus silaturahmi. Beliau menulis,
«وَكَمَا تَقَعُ الْمُكَافَأَةُ بِالصِّلَةِ مِنَ الْجَانِبَيْنِ كَذَلِك تقع بِالْمُقَاطَعَةِ مِنَ الْجَانِبَيْنِ فَمَنْ بَدَأَ حِينَئِذٍ فَهُوَ الْوَاصِلُ ». [«فتح الباري لابن حجر» (10/ 424)]
Artinya,
“Sebagaimana mukāfa’ah (membalas berbuat baik dengan setara) terealisasi dengan melaksanakan silaturahmi dari kedua belah pihak, demikian pula pemutusan silaturahmi juga bisa teralisasi dari keduabelah pihak (yakni keburukan dibalas keburukan). Siapapun yang memulai (membaiki kerabat) maka dia dikatakan menyambung silaturahmi.” (Fatḥu al-Bārī juz 10 hlm 424)
Ketiga, dibaiki kerabat lalu tidak mau membalas
Misalnya ada kerabat yang jauh-jauh datang ke rumah kita untuk berkunjung sekedar menyambung silaturahmi. Kita menerimanya dengan baik, tapi tidak ada niat untuk membalasnya. Hanya menerima kebaikan, tapi tidak pernah berfikir untuk memberi kebaikan. Hanya mau menerima dari kerabat tapi tidak pernah berfikir memberi. Tidak berfikir berbuat baik dan membalas walaupun hanya dengan mengucapkan salam dan mendoakan dari jauh. Yang seperti ini menurut al-Magribī sudah tergolong memutus silaturahmi. Al-Magribī berkata,
«وأقول: بالأولى مَن يُتفضل عليه ولا يتفضل إنه قاطع». [«البدر التمام شرح بلوغ المرام ت الزبن» (10/ 200)]
Artinya,
“Saya berkata, tentu lebih layak dikatakan bahwa orang yang dibaiki dan tidak membalas membaiki, ia adalah pemutus silaturahmi.” (al-Badr al-Tamām juz 10 hlm 200)
Keempat, melalaikan kewajiban
Kadang-kadang membaiki kerabat itu levelnya sudah sampai wajib. Misalnya orang tua yang sudah tua renta dan tidak sanggup mencari nafkah, atau sakit parah, atau cacat, atau gila, atau idiot. Yang seperti ini menafkahi mereka sudah bukan lagi anjuran, tetapi sudah kewajiban. Termasuk yang semakna dengan orang tua adalah kakek/nenek, buyut, dan seterusnya terus ke atas selama masih ada. Jika ada di antara mereka yang sudah lemah tidak mampu mencari nafkah, maka anak atau cucu atau cicit dan seterusnya terus ke bawah wajib untuk menanggung nafkahnya.
Termasuk juga jika yang lemah itu anak, cucu, cicit dan seterusnya terus ke bawah. Selama mereka masih lemah dan belum sanggup mandiri maka menjadi kewajiban ayah/ibu, kakek/nenek dan seterusnya yang mampu untuk menanggung nafkah mereka.
Contoh lain kewajiban terhadap kerabat adalah memenuhi undangan walimah. Hukum memenuhi undangan walimah adalah wajib, lebih-lebih jika yang mengundang adalah kerabat, tentu haknya lebih kuat.
Contoh lain kewajiban adalah menjawab salam. Biasanya yang berat melaksanakan kewajiban ini adalah mereka yang diuji dengan hubungan yang tidak enak dengan kerabat yang memberi salam tersebut. Memulai salam hukumnya sunah, tapi menjawabnya adalah wajib. Jadi, jika ada kerabat yang mengucapkan salam maka wajib menjawabnya.
Contoh lain kewajiban adalah menyelamatkan kerabat dari kebinasaan/kematian. Misalnya kerabat kelaparan dan terancam mati, maka wajib memberinya makan. Kerabat tenggelam sementara kita bisa menyelamatkannya dengan berenang maka wajib menyelamatkannya. Di rumah kerabat ada ular berbisa dan kita bisa mengusirnya, maka wajib membantunya dengan mengusir ular tersebut.
Kewajiban-kewajiban seperti ini jika kita tidak melaksanakannya padahal tidak ada uzur syar’I, maka menurut al-Ba‘dānī sudah tergolong memutus silaturahmi. Beliau berkata,
« الذي يظهر أنَّ القطيعة تحصل بترك ما هو واجبٌ عليه فيهم بدون عذر». [«فتح العلام في دراسة أحاديث بلوغ المرام ط 4» (10/ 535 ط 4)]
Artinya,
“Zahirnya memutus silaturahmi terwujud dengan cara meninggalkan yang wajib baginya terhadap kerabat tanpa uzur.” (Fatḥu al-‘Allām juz 10 hlm 535)
Kelima, melalaikan kebaikan padahal mampu
Ini lebih ketat lagi. Tidak harus sampai levelnya wajib. Kebaikan apapun jika kita sebenarnya mampu melakukannya jika serius menyempatkannya, tapi tidak kita lakukan maka sudah terhitung memutus silaturahmi. Misalnya mampu mengucapkan salam dan ada kesempatan bertemu, tapi tidak mau melakukannya. Mampu untuk menyapa dan berwajah ramah di depan kerabat, tapi tidak mau menyapa. Mampu mengunjungi dan sebenarnya bisa menyempatkan waktu jika serius, tapi tidak mau mengunjungi. Mampu memberi hadiah atau sedekah atau menyantuni dengan harta karena punya harta berlebih, tetapi tidak mau menyantuni. Mampu untuk telpon atau kirim pesan tertulis via medsos, tapi tidak mau mengkontak . Yang seperti ini disebutkan oleh al-Nawawī mengutip al-Qāḍī ‘iyāḍ sebagai orang yang tidak menyambung silaturahmi. Al-Nawawī menulis,
« وَلَوْ قَصَّرَ عَمَّا يَقْدِرُ عَلَيْهِ وَيَنْبَغِي لَهُ لَا يُسَمَّى وَاصِلًا». [«شرح النووي على مسلم» (16/ 113)]
Artinya,
“Seandainya dia melalaikan yang sebenarnya ia mampu melakukannya dan memang sudah sepantasnya ia lakukan, maka ia tidak dikatakan penyambung silaturahmi.” (Syarḥu al-Nawawī ‘Alā Muslim, juz 16 hlm 113)
Keenam, menghentikan kebaikan yang terbiasa diberikan
Ini pendapat yang dibela dengan argumentasi serius oleh Ibnu Ḥajar al-Haitamī dalam kitab al-Zawājir. Jadi yang dijadikan standar adalah kebaikan yang biasa didapatkan oleh kerabat. Jika itu dihentikan, maka barulah dikatakan memutus. Tidak dikatakan memutus jika sebelumnya tidak ada “tali” kebaikan yang diberikan.
Ilustrasi terbaik di zaman Nabi ﷺ yang tergolong jenis ini adalah kisah Abu Bakar dengan Misṭaḥ (مِسْطَح). Dikisahkan Abu Bakar memberikan santunan rutin kepada kerabatnya yang miskin bernama Misṭaḥ. Lalu terjadilah peristiwa ḥadītsul ifki, yakni peristiwa fitnah terhadap Aisyah. Waktu itu Aisyah dituduh selingkuh dengan Sahabat yang bernama Ṣafwān bin al-Mu‘aṭṭal. Ternyata Misṭaḥ termasuk yang kena pengaruh dan menyebarkan fitnah tersebut. Akhirnya Abu Bakar bersumpah menghentikan santunannya. Tapi Allah langsung menegur Abu Bakar dan memerintahkan supaya nafkah rutin itu jangan disetop. Akhirnya Abu Bakar bersumpah tidak akan menyetop nafkah itu selamanya.
Itu contoh untuk kebaikan berupa santunan harta. Tapi kebaikan yang dimaksud di sini bukan dibatasi pada harta saja. Kebaikan apapun kepada kerabat, selama itu biasa diberikan maka menghentikannya adalah pemutusan silaturahmi. Kebaikan itu bisa sekedar kunjungan, korespondensi, komunikasi dan semisalnya. Jika diputus tanpa uzur syar’i maka dia dihukumi pemutus silaturahmi. Al-Haitamī berkata,
«قَطْعُ مَا أَلِفَ الْقَرِيبُ مِنْهُ مِنْ سَابِقِ الْوُصْلَةِ وَالْإِحْسَانِ لِغَيْرِ عُذْرٍ شَرْعِيٍّ». [«الزواجر عن اقتراف الكبائر» (2/ 127)]
Artinya,
“(memutus silaturahmi adalah) Menghentikan sesuatu yang kerabat sudah terbiasa mendapatkan sebelumnya, yakni hubungan baik dan kebaikan tanpa uzur syar’i.” (al-Zawājir, juz 2 hlm 127)
Ketujuh, tidak melakukan kebaikan yang menurut tradisi termasuk silaturahmi.
Standar yang ini berarti dikembalikan kepada ‘urf (tradisi/kebiasaan). Seperti di negeri kita, umumnya yang dijadikan ukuran memutus atau menyambung silaturahmi adalah kunjungan ke rumah/ziarah/sambang. Mereka yang menyempatkan berkunjung dinamakan menyambung silaturahmi. Tetapi jika tidak mau berkunjung dikatakan memutus silaturahmi. Termasuk juga mengenalkan diri. Jika ada kerabat tua yang mengetahui kerabat mudanya tidak pernah datang untuk mengenalkan diri atau mengenalkan suami/istrinya atau mengenalkan anak-anaknya, maka biasanya dianggap memutus silaturahmi. Termasuk juga tidak saling sapa, saling memalingkan muka saat bertemu, tidak sudi mengkontak dan semisalnya. Standar tradisi ini dikemukakan al-Munāwī dan disetujui oleh al-Ṣan‘ānī. Al-Munāwī berkata,
“Yang wajib adalah yang menurut ‘urf/tradisi dihitung sebagai penyambungan silaturahmi. Yang lebih dari itu adalah kebaikan tambahan dan kemuliaan.” (Faiḍu al-Qadīr, juz 6 hlm 448)
Pirak Timu, 6 Desember 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar