Rabu, 24 Januari 2024

ANTARA ISMA' DAN SIMA' SERTA ANTARA FI'LI DAN QUWWAH



( Pada bahasan memperdengarkan khutbah Jum'at)

By: Tgk Dailami Pirak.

Dalam bahasa Arab, kata سماع ( ada yang membaca dengan Fatah haraf sin dan ada yang membaca kasrah sin)
merupakan masdar sima'i yang diartikan dengan "mendengar"

Sedangkan kata اسماع ( baca isma' dengan kasrah Hamzah ) adalah Masdar dari sulasi mazid اسمع يسمع اسماعا yang diartikan "memperdengarkan"

Kata قوة ( baca quwwah ) adalah Masdar dari sulasi mujarad قوي يقوى قوة yang diartikan kekuatan atau kemampuan.

Sedangkan kata فعل ( baca fi'lun) adalah Masdar sima'i yang kadangkala diartikan perbuatan, dan kadang diartikan kejadian, kenyataan atau realita.

Maka dalam kitab Hasyiyah Bajuri jilid 2 halaman 219 ada dua hal yang bisa kita simpulkan tentang memperdengarkan khutbah Jum'at.

Pertama: اسماع بالفعل
Seorang khatib wajib memperdengarkan khutbah, maksudnya seorang khatib harus meninggikan/ mengeraskan suaranya seukuran sikira-kira jika di dengar oleh para jamaah akan terdengar secara riil dan nyata artinya suara khatib tidak boleh kecil sehingga para jamaah tak mampu menangkap suara yang keluar dari mulut khatib.

Kedua: سماع بالقوة
Para jamaah wajib mendengar khutbah secara quwwah, artinya para jamaah secara kenyataan punya kekuatan atau kemampuan pendengaran yang baik untuk mendengar bacaan khatib.

Jika seandainya pada waktu pembacaan khutbah terjadi kegaduhan/ kebisingan yang menyebabkan jamaah tidak bisa mendengar khutbah secara nyata( سماع بالفعل ) maka hal itu tidak menjadi masalah dan khutbah tetap sah.

Kesimpulannya:

1. Khatib wajib memperdengarkan secara riil ( اسماع بالفعل ), bukan kemampuan memperdengarkan ( اسماع بالقوة )
2. Jamaah bisa mendengar secara hukum/kemampuan ( سماع بالقوة ) walaupun tidak mampu mendengar secara nyata ( سماع بالفعل ) karena faktor keadaan lapangan yang bising.

و الله اعلم بالصواب

Referensi: Hasyiyah Bajuri jilid 1 hal 219.

Rabu, 06 Desember 2023

Hal -hal penyebab putus silaturahmi



Diantara dalil paling menakutkan terkait ancaman bagi pemutus silaturahmi adalahkabar dari Nabi Muhammad Saw yang bahwa orang yang memutus silaturahmi itu tidak masuk surga. Rasulullah ﷺ bersabda,

«لَا ‌يَدْخُلُ ‌الْجَنَّةَ ‌قَاطِعٌ.». [«صحيح البخاري» (8/ 5 ط السلطانية)]

Artinya,

“Pemutus (silaturahmi) tidak masuk surga.” (H.R.al-Bukhārī)

Kata al-Nawawī, makna hadis di atas mengandung dua pengertian.

Makna pertama, orang yang menghalalkan pemutusan silaturahmi, padahal tahu itu haram, maka statusnya kafir, dia tidak akan bisa masuk surga, masuk neraka dan kekal di dalamnya. Al-Nawawī berkata,

«مَنْ يَسْتَحِلُّ الْقَطِيعَةَ بِلَا سَبَبٍ وَلَا شُبْهَةٍ مَعَ عِلْمِهِ بِتَحْرِيمِهَا فَهَذَا كَافِرٌ يُخَلَّدُ فِي النَّارِ وَلَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَبَدًا». [«شرح النووي على مسلم» (16/ 113)]

Artinya,

“Barangsiapa menghalalkan pemutusan silaturahmi tanpa sebab atau syubhat, padahal dia tahu keharamannya, maka orang ini kafir, kekal di neraka dan tidak masuk surga sampai kapanpun.” (Syarḥu al-Nawawī ‘Alā Muslim, juz 16 hlm 113)

Makna kedua, orang mukmin yang memutus silaturahmi tidak bisa langsung masuk surga. Dia harus dihukum dulu. Bisa di siksa di neraka selama yang dikehendaki Allah. Bisa juga ditahan dulu di al-A‘rāf. Bisa juga dibuat lama dalam hisabnya. Al-Nawawī berkata,

«وَلَا يَدْخُلُهَا فِي أَوَّلِ الْأَمْرِ مَعَ السَّابِقِينَ بَلْ يُعَاقَبُ بِتَأَخُّرِهِ الْقَدْرِ الَّذِي يُرِيدُهُ اللَّهُ تَعَالَى». [«شرح النووي على مسلم» (16/ 114)]

Artinya,

“Dia tidak masuk surga sejak awal bersama orang-orang yang mendahului masuk surga. Tetapi dia dihukum dengan terlambat masuk surga dengan kadar waktu yang dikehendaki Allah.” (Syarḥu al-Nawawī ‘Alā Muslim, juz 16 hlm 114)

Kalau begitu, apa standarnya seseorang dikatakan telah memutus silaturahmi? Adakah kriteria khususnya? Adakah indikator yang menunjukkannya?

Jawaban untuk pertanyaan ini adalah sebagai berikut.

Sesungguhnya kriteria kapan seseorang dikatakan telah memutus silaturahmi itu perkara yang diperselisihkan ulama. Hal itu dikarenakan tidak ada dalil khusus yang menjelaskan perbuatan apa saja yang sudah digolongkan termasuk pemutusan silaturahmi. Al-Ṣan’ānī berkata,

«وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ أَيْضًا بِأَيِّ شَيْءٍ تَحْصُلُ الْقَطِيعَةُ لِلرَّحِمِ». [«سبل السلام» (2/ 629)]

Artinya,

“Para ulama juga berbeda pendapat terkait kriteria perbuatan yang tergolong pemutusan silaturahmi.” (Subulu al-Salām, juz 2 hlm 629)

Oleh karena perkara ini diperselisihkan, dalam tulisan ini saya merangkum semua pendapat tersebut agar bisa dihindari semuanya. Dengan begitu setiap muslim bisa beramal dalam bentuk yang paling warak, paling berhati-hati dan paling jauh dari kriteria pemutusan silaturahmi. Saya akan mengurutkan dari yang paling berat sampai yang paling “ringan”.

Ada tujuh hal yang bisa tergolong memutus silaturahmi.

Pertama, menjahati kerabat

Maksud menjahati kerabat adalah melakukan perbuatan apapun yang membuat kerabat terzalimi, terlukai, sakit, rugi, susah, sengsara dan semua mudarat serta keburukan apapun apalagi sampai level tertumpah darah. Semua dosa dan perbuatan buruk kepada kerabat termasuk jenis ini. Misalnya menipu, sengaja tidak membayar utang, memfitnah, memusuhi, menjelek-jelekkan dan move apapun yang sifatnya menyakiti apalagi sampai level melukai, menyiksa dan membunuh. Termasuk yang sifatnya “pasif” dengan semangat permusuhan seperti tidak mau bertemu, “nyatru” (muqāṭa’ah/hajr/hijrān), tidak mau berbicara dan semisalnya.

Biasanya urusan dunia yang menyebabkan pemutusan silaturahmi jenis ini. Yang paling sering urusan warisan. Bisa juga urusan utang piutang. Bisa juga masaalah kecemburuan, cinta, poligami dan perselingkuhan. Bisa juga semata-mata karena kedengkian, yakni ketidaksenangan saat kerabat mendapatkan nikmat tertentu dari Allah. Menjahati kerabat dan berbuat buruk kepada mereka seperti ini termasuk memutus silaturahmi. Al-Ṣan‘ānī menukil ucapan al-‘irāqī sebagai berikut,

«فَقَالَ الزَّيْنُ الْعِرَاقِيُّ: تَكُونُ بِالْإِسَاءَةِ إلَى الرَّحِمِ». [«سبل السلام» (2/ 629)]

Artinya,

“Al-Zain al-‘Irāqī berkata, ‘Pemutusan silaturahmi terwujud dengan menjahati kerabat.” (Subulu al-Salām, juz 2 hlm 629)

Kedua, dijahati kerabat lalu membalas menjahati

Termasuk memutus silaturahmi adalah saat membalas keburukan dengan keburukan serupa. Benar dia mungkin tidak memulai untuk berbuat jahat. Tetapi saat ada kerabat yang tidak mau berkunjung, dia membalas tidak mau berkunjung. Saat kerabat memaki-maki, dia membalas memaki-maki. Saat kerabat memfitnah, dia membalas memfitnah. Saat kerabat diundang tidak pernah datang dia membalas tidak mau datang saat diundang padahal mampu. Bahkan sekedar salam saja juga tidak mau. Sekadar menahan diri untuk tidak menyakiti saja juga tidak mau. Akhirnya karena saling berbalas kejahatan, sempurnalah taqāṭū’ (saling memutuskan hubungan) dan terwujudlah tadābur (saling membelakangi). Yang semacam ini kata Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī juga termasuk memutus silaturahmi. Beliau menulis,

«وَكَمَا ‌تَقَعُ ‌الْمُكَافَأَةُ ‌بِالصِّلَةِ ‌مِنَ ‌الْجَانِبَيْنِ كَذَلِك تقع بِالْمُقَاطَعَةِ مِنَ الْجَانِبَيْنِ فَمَنْ بَدَأَ حِينَئِذٍ فَهُوَ الْوَاصِلُ ». [«فتح الباري لابن حجر» (10/ 424)]

Artinya,

“Sebagaimana mukāfa’ah (membalas berbuat baik dengan setara) terealisasi dengan melaksanakan silaturahmi dari kedua belah pihak, demikian pula pemutusan silaturahmi juga bisa teralisasi dari keduabelah pihak (yakni keburukan dibalas keburukan). Siapapun yang memulai (membaiki kerabat) maka dia dikatakan menyambung silaturahmi.” (Fatḥu al-Bārī juz 10 hlm 424)

Ketiga, dibaiki kerabat lalu tidak mau membalas

Misalnya ada kerabat yang jauh-jauh datang ke rumah kita untuk berkunjung sekedar menyambung silaturahmi. Kita menerimanya dengan baik, tapi tidak ada niat untuk membalasnya. Hanya menerima kebaikan, tapi tidak pernah berfikir untuk memberi kebaikan. Hanya mau menerima dari kerabat tapi tidak pernah berfikir memberi. Tidak berfikir berbuat baik dan membalas walaupun hanya dengan mengucapkan salam dan mendoakan dari jauh. Yang seperti ini menurut al-Magribī sudah tergolong memutus silaturahmi. Al-Magribī berkata,

«وأقول: بالأولى ‌مَن ‌يُتفضل ‌عليه ‌ولا ‌يتفضل إنه قاطع». [«البدر التمام شرح بلوغ المرام ت الزبن» (10/ 200)]

Artinya,

“Saya berkata, tentu lebih layak dikatakan bahwa orang yang dibaiki dan tidak membalas membaiki, ia adalah pemutus silaturahmi.” (al-Badr al-Tamām juz 10 hlm 200)

Keempat, melalaikan kewajiban

Kadang-kadang membaiki kerabat itu levelnya sudah sampai wajib. Misalnya orang tua yang sudah tua renta dan tidak sanggup mencari nafkah, atau sakit parah, atau cacat, atau gila, atau idiot. Yang seperti ini menafkahi mereka sudah bukan lagi anjuran, tetapi sudah kewajiban. Termasuk yang semakna dengan orang tua adalah kakek/nenek, buyut, dan seterusnya terus ke atas selama masih ada. Jika ada di antara mereka yang sudah lemah tidak mampu mencari nafkah, maka anak atau cucu atau cicit dan seterusnya terus ke bawah wajib untuk menanggung nafkahnya.

Termasuk juga jika yang lemah itu anak, cucu, cicit dan seterusnya terus ke bawah. Selama mereka masih lemah dan belum sanggup mandiri maka menjadi kewajiban ayah/ibu, kakek/nenek dan seterusnya yang mampu untuk menanggung nafkah mereka.

Contoh lain kewajiban terhadap kerabat adalah memenuhi undangan walimah. Hukum memenuhi undangan walimah adalah wajib, lebih-lebih jika yang mengundang adalah kerabat, tentu haknya lebih kuat.

Contoh lain kewajiban adalah menjawab salam. Biasanya yang berat melaksanakan kewajiban ini adalah mereka yang diuji dengan hubungan yang tidak enak dengan kerabat yang memberi salam tersebut. Memulai salam hukumnya sunah, tapi menjawabnya adalah wajib. Jadi, jika ada kerabat yang mengucapkan salam maka wajib menjawabnya.

Contoh lain kewajiban adalah menyelamatkan kerabat dari kebinasaan/kematian. Misalnya kerabat kelaparan dan terancam mati, maka wajib memberinya makan. Kerabat tenggelam sementara kita bisa menyelamatkannya dengan berenang maka wajib menyelamatkannya. Di rumah kerabat ada ular berbisa dan kita bisa mengusirnya, maka wajib membantunya dengan mengusir ular tersebut.

Kewajiban-kewajiban seperti ini jika kita tidak melaksanakannya padahal tidak ada uzur syar’I, maka menurut al-Ba‘dānī sudah tergolong memutus silaturahmi. Beliau berkata,

« الذي يظهر أنَّ القطيعة تحصل بترك ما هو واجبٌ عليه فيهم بدون عذر». [«فتح العلام في دراسة أحاديث بلوغ المرام ط 4» (10/ 535 ط 4)]

Artinya,

“Zahirnya memutus silaturahmi terwujud dengan cara meninggalkan yang wajib baginya terhadap kerabat tanpa uzur.” (Fatḥu al-‘Allām juz 10 hlm 535)

Kelima, melalaikan kebaikan padahal mampu

Ini lebih ketat lagi. Tidak harus sampai levelnya wajib. Kebaikan apapun jika kita sebenarnya mampu melakukannya jika serius menyempatkannya, tapi tidak kita lakukan maka sudah terhitung memutus silaturahmi. Misalnya mampu mengucapkan salam dan ada kesempatan bertemu, tapi tidak mau melakukannya. Mampu untuk menyapa dan berwajah ramah di depan kerabat, tapi tidak mau menyapa. Mampu mengunjungi dan sebenarnya bisa menyempatkan waktu jika serius, tapi tidak mau mengunjungi. Mampu memberi hadiah atau sedekah atau menyantuni dengan harta karena punya harta berlebih, tetapi tidak mau menyantuni. Mampu untuk telpon atau kirim pesan tertulis via medsos, tapi tidak mau mengkontak . Yang seperti ini disebutkan oleh al-Nawawī mengutip al-Qāḍī ‘iyāḍ sebagai orang yang tidak menyambung silaturahmi. Al-Nawawī menulis,

« ‌وَلَوْ ‌قَصَّرَ ‌عَمَّا ‌يَقْدِرُ ‌عَلَيْهِ ‌وَيَنْبَغِي ‌لَهُ ‌لَا ‌يُسَمَّى ‌وَاصِلًا». [«شرح النووي على مسلم» (16/ 113)]

Artinya,

“Seandainya dia melalaikan yang sebenarnya ia mampu melakukannya dan memang sudah sepantasnya ia lakukan, maka ia tidak dikatakan penyambung silaturahmi.” (Syarḥu al-Nawawī ‘Alā Muslim, juz 16 hlm 113)

Keenam, menghentikan kebaikan yang terbiasa diberikan

Ini pendapat yang dibela dengan argumentasi serius oleh Ibnu Ḥajar al-Haitamī dalam kitab al-Zawājir. Jadi yang dijadikan standar adalah kebaikan yang biasa didapatkan oleh kerabat. Jika itu dihentikan, maka barulah dikatakan memutus. Tidak dikatakan memutus jika sebelumnya tidak ada “tali” kebaikan yang diberikan.

Ilustrasi terbaik di zaman Nabi ﷺ yang tergolong jenis ini adalah kisah Abu Bakar dengan Misṭaḥ (مِسْطَح). Dikisahkan Abu Bakar memberikan santunan rutin kepada kerabatnya yang miskin bernama Misṭaḥ. Lalu terjadilah peristiwa ḥadītsul ifki, yakni peristiwa fitnah terhadap Aisyah. Waktu itu Aisyah dituduh selingkuh dengan Sahabat yang bernama Ṣafwān bin al-Mu‘aṭṭal. Ternyata Misṭaḥ termasuk yang kena pengaruh dan menyebarkan fitnah tersebut. Akhirnya Abu Bakar bersumpah menghentikan santunannya. Tapi Allah langsung menegur Abu Bakar dan memerintahkan supaya nafkah rutin itu jangan disetop. Akhirnya Abu Bakar bersumpah tidak akan menyetop nafkah itu selamanya.

Itu contoh untuk kebaikan berupa santunan harta. Tapi kebaikan yang dimaksud di sini bukan dibatasi pada harta saja. Kebaikan apapun kepada kerabat, selama itu biasa diberikan maka menghentikannya adalah pemutusan silaturahmi. Kebaikan itu bisa sekedar kunjungan, korespondensi, komunikasi dan semisalnya. Jika diputus tanpa uzur syar’i maka dia dihukumi pemutus silaturahmi. Al-Haitamī berkata,

«قَطْعُ مَا أَلِفَ الْقَرِيبُ مِنْهُ مِنْ سَابِقِ الْوُصْلَةِ وَالْإِحْسَانِ لِغَيْرِ عُذْرٍ شَرْعِيٍّ». [«الزواجر عن اقتراف الكبائر» (2/ 127)]

Artinya,

“(memutus silaturahmi adalah) Menghentikan sesuatu yang kerabat sudah terbiasa mendapatkan sebelumnya, yakni hubungan baik dan kebaikan tanpa uzur syar’i.” (al-Zawājir, juz 2 hlm 127)

Ketujuh, tidak melakukan kebaikan yang menurut tradisi termasuk silaturahmi.

Standar yang ini berarti dikembalikan kepada ‘urf (tradisi/kebiasaan). Seperti di negeri kita, umumnya yang dijadikan ukuran memutus atau menyambung silaturahmi adalah kunjungan ke rumah/ziarah/sambang. Mereka yang menyempatkan berkunjung dinamakan menyambung silaturahmi. Tetapi jika tidak mau berkunjung dikatakan memutus silaturahmi. Termasuk juga mengenalkan diri. Jika ada kerabat tua yang mengetahui kerabat mudanya tidak pernah datang untuk mengenalkan diri atau mengenalkan suami/istrinya atau mengenalkan anak-anaknya, maka biasanya dianggap memutus silaturahmi. Termasuk juga tidak saling sapa, saling memalingkan muka saat bertemu, tidak sudi mengkontak dan semisalnya. Standar tradisi ini dikemukakan al-Munāwī dan disetujui oleh al-Ṣan‘ānī. Al-Munāwī berkata,

« ‌والواجب ‌منها ‌ما ‌يعد ‌به ‌في ‌العرف ‌واصلا وما زاد تفضل ومكرمة». [«فيض القدير» (6/ 448)]
Artinya,

“Yang wajib adalah yang menurut ‘urf/tradisi dihitung sebagai penyambungan silaturahmi. Yang lebih dari itu adalah kebaikan tambahan dan kemuliaan.” (Faiḍu al-Qadīr, juz 6 hlm 448)

Pirak Timu, 6 Desember 2023

Jumat, 24 November 2023

Nazham Lam Yahtalim dan dalilnya

Nadham Lam yahtalim, demikianlah sebutannya yang popular di Aceh dan di Indonesia pada umumnya merupakan nadham yang sering diucapkan secara berirama sesudah shalat atau pada moment lainnya di Aceh. Nadham yang dinamakan juga dengan al-Syamail al-Muhammadiyah al-Syarifah ini mengandung penyebutan sifat-sifat mulia Nabi Muhammad SAW. Nadham ini antara lain telah disebut dalam kitab al-Maraqi al-Ubudiyah karangan Syeikh al-Nawawi al-Bantani pada halaman 3 versi terbitan Radja Murah Pekalongan. Nadham tersebut adalah :


لَمْ يَحْتَلِمْ قَطُّ طٰـهَ مُطْـلَقًا أَبَدًا        *         وَمَا تَثـَائَبَ أَصْـلاً فِىْ مَدَى الزَّمَنِ

مِنْهُ الدَّوَابُ فَـلَمْ تَهْرَبْ وَمَـا وَقَعَتْ        *ذُبَابَةٌ أَبَـدًا فِى جِسْمِـهِ الْحَسَنِ

بِخَلْـفِهِ كَأَمَـامٍ رُؤْيَةٌ ثَـــبَتَتْ            *     وَلَا يُرٰى أَثْـرُ بَوْلٍ مِـنْهُ فِيْ عَلَنِ

وَقَلْبُهُ لَمْ يَنَـمْ وَالْعَيْنُ قَدْ نَعَسَتْ       *       وَلَايَرٰى ظِـلَّهُ فِى الشَّمْسِ ذُوْ فَـطِنِ

كَـتْفَاهُ قَدْ عَلَـتَا قَوْمًا إِذَا جَلَسُوْا      *       عِنْـدَ الْوِلَادَةِ صِـفْ يَا ذَا بِمُخْتَتَنِ

هَذِه الْخَصَائِصَ فَاحْفَظْهَا تَكُنْ أٰمِنًا*        مِنْ شَرِّ نَـارٍ وَسُرَّاقٍ وَمِـنْ مِحَنِ

Terjemahannya lebih kurang sebagai berikut :

1.        Rasulullah SAW tidak pernah mimpi bersetubuh baik sebelum jadi nabi atau setelahnya. Beliau juga sama sekali tidak pernah menguap sepanjang masa,

2.        Tidak ada satupun binatang yang melarikan diri (liar) dari beliau. Tidak pernah ada lalat hinggap di tubuh beliau yang mulia.

3.        Beliau bisa mengetahui sesuatu yang ada di belakangnya, seperti beliau melihat sesuatu itu yang ada di hadapannya. Bekas air kencing beliau tidak pernah dilihat di permukaan bumi.

4.        Hati beliau tidak pernah tidur, walaupun mata beliau mengantuk. Bayangan beliau tidak pernah dapat dilihat oleh orang cerdas ketika beliau kena sinar matahari.

5.        Dua pundak beliau selalu terlihat lebih tinggi dari pundak orang-orang yang duduk bersama beliau. Ceritakanlah sifat beliau bahwa beliau telah dikhitan semenjak dilahirkan

6.        Ini semua merupakan keistimewaan beliau, hendaknya engkau hapalkan bait tersebut, niscaya engkau mendapat perlindungan dari bahaya kebakaran, pencurian dan musibah.

Dikalangan orang-orang Aceh, di dayah-dayah atau di masjid-masjid atau tempat ibadah lainnya, setelah melantunkan nadham Lam Yahtalim ini, biasanya diiringi pula dengan nadham Aceh yang merupakan terjemahan nadham Lam Yahtalim di atas, yakni :

1.      Nabi hantom neumeulumpo malam uroe selama-lama

Meuseungeup Nabi pih tan nibak zameun sepanjang masa

2.      Binatang kleut hantom jiplueng jimeuteumeung ngon sayyidina

Lalat jamok pih hantom roh nibak tuboh yang mulia

3.      Keu ngon likot deuh neu kalon hana teusom lemah nyata

Neutoh ik-ek beukasan tan wajeb taulan tapeucaya.

4.      Hate Nabi hantom teungeut nyang na teupet dua mata

Bubayang tan dalam uroe hireun lalo taeu rupa

5.      Watee neu duk lam kawan le manyang baho di Maulana

Watee wiladah bekasan tan kaleuh khatan yoh masa na

6.      Nyang siploh nyoe sifeut nabi beutaturi he saudara

So nyang hafai nyang siploh nyoe tutong karam tuhan peulara.

Sumber rujukan penyebutan sifat-sifat tersebut pada Nabi Muhammad SAW.

1.Tidak pernah ihtilam (mimpi basah)

Al-Yusuf  al-Nabhani telah menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-Mawahib al-Laduniyah[1]. Keterangan  keistimewaan ini datang dari Ibnu Abbas, beliau berkata :

مَا احْتَلَمَ نَبِيٌّ قَطُّ  إِنَّمَا الِاحْتِلَامُ منَ الشَّيْطَانِ

Artinya : Tidaklah seorang nabi bermimpi basah sama sekali, karena mimpi basah datang dari syaithan. (H.R. al-Thabrani)[2]

Al-Haitsami mengatakan, dalam sanad hadits ini terdapat Abd al-Aziz bin Abi Tsabit, sedangkan beliau ini ijmak atas dha’ifnya.[3]

2.  Tidak pernah menguap

Ibnu al-Mulaqqin telah menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, Ghayah al-Suul fi Khashais al-Rasul.[4]

Dalam Kitab Fathulbarri, Ibnu Hajar al-Asqalany menyebutkan :

وَمن الخصائص النَّبَوِيَّة مَا أخرجه بن أَبِي شَيْبَةَ وَالْبُخَارِيُّ فِي التَّارِيخِ مِنْ مُرْسَلِ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ قَالَ مَا تَثَاءَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطُّ وَأَخْرَجَ الْخَطَّابِيُّ مِنْ طَرِيقِ مَسْلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَرْوَانَ قَالَ مَا تَثَاءَبَ نَبِيٌّ قَطُّ وَمَسْلَمَةُ أَدْرَكَ بَعْضَ الصَّحَابَةِ وَهُوَ صَدُوقٌ وَيُؤَيِّدُ ذَلِكَ مَا ثَبَتَ أَنَّ التَّثَاؤُبَ مِنَ الشَّيْطَانِ

”Termasuk keistimewaan kenabian adalah yang telah ditakhrij oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al-Bukhari dalam al-Tarikh dari mursal Yazid bin al-Asham, beliau berkata : Nabi SAW tidak pernah menguap sama sekali. Al-Khathabi mengeluarkan dari jalur Maslamah bin Abd al-Malik bin Marwan, beliau berkata : seorang nabi tidak pernah menguap sama sekali. Sedangkan Maslamah ini pernah bertemu sebagian sahabat Nabi dan beliau adalah orang yang berkata benar. Riwayat ini juga didukung oleh riwayat yang shahih yang menjelaskan bahwa menguap datang dari syaithan.”[5]

3.   Tidak ada satupun binatang yang melarikan diri (liar) dari beliau

            Ibnu al-Mulaqqin telah menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, Ghayah al-Suul fi Khashais al-Rasul.[6]  Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan  dengan sanadnya sampai kepada Aisyah, beliau berkata :

كان عندنا داجن فاذا كان عندنا رسول الله صلعم قر وثبت مكانه فلم يجئ ولم يذهب واذا خرج رسول الله صلعم جاء وذهب

Artinya : Di sisi kami ada binatang jinak, apabila Rasulullah SAW bersama kami, maka binatang itu tenang dan tetap pada tempatnya, tidak datang dan pergi, tetapi apabila Rasulullah SAW keluar, maka biantang itu datang dan pergi. (H.R. Qadhi ‘Iyadh)[7]

 

            Dalam Kitab Dalail al-Nubuwah disebutkan riwayat dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata :

وَجَاءَ الذِّئْبُ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فَأَقْعَى بَيْنَ يَدَيْهِ، ثُمَّ جَعَلَ يُبَصْبِصُ بِذَنَبِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَذَا وَافِدُ الذِّئَابِ، جَاءَ يَسْأَلُكُمْ أَنْ تَجْعَلُوا لَهُ مِنْ أَمْوَالِكُمْ شَيْئًا ، قَالُوا: لَا وَاللهِ لَا نَفْعَلُ، وَأَخَذَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ حَجَرًا فَرَمَاهُ، فَأَدْبَرَ الذِّئْبُ وَلَهُ عُوَاءٌ

Artinya : Seekor seriga pernah datang kepada Rasulullah SAW duduk dan berjongkok di depan beliau, kemudian menggerak-gerak ekornya.  melihat itu Rasulullah SAW berkata, ini utusan serigala, yang datang meminta suatu makanan dari kalian. Mereka menjawab : tidak, Demi Allah tidak akan kami lakukan. Seorang dari mereka mengambil batu melemparnya, serigala itu pun pergi sambil menyalak. (H.R. al-Baihaqi)[8]

Kisah-kisah lain dimana binatang-binatang liar jinak dengan Nabi SAW banyak disebut dalam riwayat-riwayat yang terdapat dalam Kitab Dalail al-Nubuwah karya al-Baihaqi dan al-Syifa’ bi Ta’rif  Huquq al-Mushtafa karya Qadhi ‘Iyadh dan kitab-kitab lainnya yang berisi sekitar masalah kehidupan pribadi Nabi Muhammad SAW.

4.   Tidak pernah ada lalat hinggap di tubuh beliau yang mulia.

Ibnu al-Mulaqqin telah menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, Ghayah al-Suul fi Khashais al-Rasul.[9] Al-Yusuf  al-Nabhani juga menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-Mawahib al-Laduniyah.[10]  Dalam kitabnya al-Khashaish al-Kubra, al-Suyuthi mengatakan bahwa Qadhi ‘Iyadh dalam kitab al-Syifa dan al-‘Uzfi dalam al-Maulid-nya mengatakan termasuk keistimewaan Nabi SAW tidak pernah ada lalat hinggap di tubuh beliau dan ini juga telah disebut oleh Ibnu Sab’in dalam al-Khashaish-nya dengan lafazh : “Tidak jatuh lalat atas pakaiannya sama sekali.”[11]

 

5.   Bisa mengetahui sesuatu yang ada di belakangnya, seperti beliau melihat sesuatu itu yang ada di hadapannya

Al-Yusuf  al-Nabhani menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, al-Anwar  al-Muhammadiyah min al-Mawahib al-Laduniyah.[12]  Qadhi ‘Iyadh menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, al-Syifa’ bi Ta’rif  Huquq Al-Mushtafa.[13] Dalam Shahih Muslim disebut hadits dari Abu Hurairah, beliau berkata :

هَلْ تَرَوْنَ قِبْلَتِي هَا هُنَا؟ فَوَاللهِ مَا يَخْفَى عَلَيَّ رُكُوعُكُمْ، وَلَا سُجُودُكُمْ إِنِّي لَأَرَاكُمْ وَرَاءَ ظَهْرِي

Artinya : Apakah kalian melihat kiblatku  di sini?. Demi Allah tidak tersembunyi atasku rukuk dan sujud kalian. Sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari belakangku. (H.R Muslim)[14]

 

6.   Bekas air kencing beliau tidak pernah dilihat di permukaan bumi.

Ibnu al-Mulaqqin telah menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, Ghayah al-Suul fi Khashais al-Rasul.[15] Di dalam kitab ini, Ibnu al-Mulaqqin menyebut hadits dari Aisyah r.a. yang disebut dalam kitab al-Ayat al-Bainat, karya Ibnu Dahyah, Aisyah berkata :

يا رسول الله اني اراك تدخل الخلاء ثم يجئ الذي يدخل بعدك فلا يرى لما يخرج منك اثرا فقال يا عائشة ان الله تعالى امر الارض ان تبتلع ما خرج من الانبياء

Artinya : “Hai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat engkau memasuki jamban, kemudian masuk orang-orang sesudahmu. Tetapi orang itu tidak melihat bekas apapun yang keluar darimu.” Rasulullah SAW bersabda : “Hai Aisyah, sesungguhnya Allah Ta’ala memerintah bumi menelan apa yang keluar dari para nabi.”

 

Ibnu Dahyah mengatakan, sanadnya tsabit (maqbul)[16] al-Suyuthi setelah menyebut beberapa jalur riwayat hadits yang semakna dengan hadits di atas ini, beliau mengatakan, jalur ini (hadits di atas) adalah yang paling kuat dari jalur-jalur hadits ini.[17]

 

7.    Hati beliau tidak pernah tidur

Ibnu al-Mulaqqin telah menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, Ghayah al-Suul fi Khashais al-Rasul.[18] Ini berdasarkan hadits Aisyah, beliau berkata :

فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ، فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ، وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

Artinya : Aku mengatakan, Ya Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum witir ?. Rasulullah SAW bersabda : “Ya Aisyah, sesungguhnya dua mataku tertidur, tetapi hatiku tidak pernah tidur.” (H.R. Muslim)[19]

 

8.   Bayangan beliau tidak pernah dapat dilihat ketika kena sinar matahari.

Al-Yusuf  al-Nabhani menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, al-Anwar  al-Muhammadiyah min al-Mawahib al-Laduniyah.[20]  Dalam kitabnya al-Khashaish al-Kubra, al-Suyuthi mengatakan

اخْرج الْحَكِيم التِّرْمِذِيّ عَن ذكْوَان ان رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم لم يكن يرى لَهُ ظلّ فِي شمس وَلَا قمر قَالَ ابْن سبع من خَصَائِصه ان ظله كَانَ لَا يَقع على الأَرْض وَأَنه كَانَ نورا فَكَانَ إِذا مَشى فِي الشَّمْس أَو الْقَمَر لَا ينظر لَهُ ظلّ قَالَ بَعضهم وَيشْهد لَهُ حَدِيث قَوْله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فِي دُعَائِهِ واجعلني نورا

“Al-Hakim al-Turmidzi telah mentakhrij dari Zakwan, sesungguhnya Rasulullah SAW tidak dilihat bayangannya pada terik matahari dan tidak juga pada bulan. Ibnu Sab’i mengatakan, termasuk keistimewaan Nabi SAW bayangannya tidak jatuh di atas bumi, karena sesungguhnya beliau adalah cahaya. Karena itu, apabila berjalan pada terik matahari atau bulan, maka tidak dilihat bayangannya. Sebagian ulama mengatakan, riwayat ini didukung oleh hadits perkataan Nabi SAW dalam do’anya : “Jadikanlah aku sebagai cahaya.”[21]

9.   Dua pundak beliau selalu terlihat lebih tinggi dari pundak orang-orang yang duduk bersama beliau.

Ibnu al-Mulaqqin menyebut bahwa Ibnu Sab’in mengatakan, salah satu keistimewaan Nabi Muhammad SAW adalah apabila duduk, maka beliau nampak lebih tinggi dari orang-orang yang duduk di sekitar beliau.[22] Pernyataan Ibnu Sab’in ini juga telah dikutip oleh al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Khashaish al-Kubra.[23]

Dalam Kitab Syarah Al-Muwatha’, al-Zarqani mengatakan :

وَذَكَرَ رَزِينٌ وَغَيْرُهُ: كَانَ إِذَا جَلَسَ يَكُونُ كَتِفُهُ أَعْلَى مِنْ جَمِيعِ الْجَالِسِينَ، وَدَلِيلَهُ قَوْلُ عَلِيٍّ: ” إِذَا جَاءَ مَعَ الْقَوْمِ غَمَرَهُمْ"  إِذْ هُوَ شَامِلٌ لِلْمَشْيِ وَالْجُلُوسِ

”Raziin dan lainnya telah menyebutkan, Rasululullah SAW apabila duduk, bahunya nampak lebih tinggi dari semua orang-orang duduk. Dalilnya perkataan ‘Ali : ”Apabila Rasulullah SAW bersama kaum, beliau  melebihi mereka”. Karena ini mencakup apabila berjalan dan duduk.[24]

 

Perkataan Ali ini ditakhrij oleh Abdullah bin Ahmad dan al-Baihaqi dari ‘Ali.[25]

10.  Beliau telah dikhitan semenjak dilahirkan

Al-Thabrani dalam al-Ausath, Abu Na’im, al-Khathib dan Ibnu ‘Asakir telah mentakhrij dari beberapa jalur dari Anas dari Nabi SAW, bersabda :

من كَرَامَتِي على رَبِّي اني ولدت مختونا وَلم ير أحد سوأتي

Artinya : Sebagian dari kemulianku atas Tuhanku adalah aku dilahirkan dalam keadaan sudah dikhitan dan tidak ada yang melihat dua kemaluanku

Hadits ini telah dinyatakan shahih oleh al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah.[26] Al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak mengatakan, telah mutawatir hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Nabi SAW lahir dalam keadaan telah dikhitan.[27]

11.  Beliau pada ketika dilahirkan dalam keadaan bersih.

Al-Yusuf  al-Nabhani menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, al-Anwar  al-Muhammadiyah min al-Mawahib al-Laduniyah.[28]  Ibnu Sa’ad dengan sanadnya dari Ishaq bin Abdullah berkata, sesungguhnya ibu Nabi SAW berkata :

فولدته نظيفا مَا بِهِ قذر

Artinya : Aku melahirkannya dalam keadaan bersih yang tidak ada kotoran bersamanya. (H.R. Ibnu Sa’ad) [29]

[1] Al-Yusuf al-Nabhani, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-MawAhib al-Laduniyah, al-Mathba’ah al-Adabiyah, Hal. 310

[2] Al-Thabrani, al-Mu’jam  al-Kabir , Maktabah Syamilah, Juz. XI, Hal. 225

[3] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 267

[4] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 301

[5] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 613

[6] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 306

[7] Qadhi ‘Iyadh, al-Syifa’ bi Ta’rif  Huquq Al-Mushtafa, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Hal. 434-435

[8] Al-Baihaqi, Dalail al-Nubuwah, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 39

[9] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 303

[10] Al-Yusuf al-Nabhani, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-MawAhib al-Laduniyah, al-Mathba’ah al-Adabiyah, Hal. 311

[11] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 117

[12] Al-Yusuf al-Nabhani, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-MawAhib al-Laduniyah, al-Mathba’ah al-Adabiyah, Hal. 310

[13] Qadhi ‘Iyadh, al-Syifa’ bi Ta’rif  Huquq Al-Mushtafa, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Hal.92-93

[14] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 319, No. 424

[15] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 299-300

[16] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 299-300

[17] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 121

[18] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 177

[19] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 509, No. 738

[20] Al-Yusuf al-Nabhani, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-MawAhib al-Laduniyah, al-Mathba’ah al-Adabiyah, Hal. 311

[21] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 116

[22] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 306

[23] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 116

[24] Al-Zarqani, Syarah al-Muwatha’, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 441

[25] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 126

[26] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 90

[27] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 90

[28] Al-Yusuf al-Nabhani, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-MawAhib al-Laduniyah, al-Mathba’ah al-Adabiyah, Hal. 309

[29] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 79

Kamis, 23 November 2023

Membunuh Anjing



Imam Haramain menolak pendapat yang memerintahkan untuk membunuh anjing-anjing liar. Menurut beliau, anjing yang boleh dibunuh hanyalah anjing yang berbahaya bagi manusia. 'illah bolehnya membunuh anjing menurut Imam Haramain adalah dharar(bahaya) bukan karena najisnya atau tidak bermanfaat. Apa argumentasi yang melandasi pendapat Imam Haramain tersebut? Bagaimanakah Imam Haramain menyikapi hadis-hadis perintah untuk membunuh anjing yang kemudian dijadikan dalil bagi mereka yang menyerukan untuk membunuh anjing liar.
Jika kita cermati beliau berpendapat  demikian karena perintah dalam hadis membunuh anjing memiliki lafad yang berbeda. Pada satu kali perintah tersebut bersifat mutlak tanpa terkecuali. 
Namun, pada kali lain perintah tersebut 
dikaitkan dengan sifat tertentu. 
Maka sesuai kaidah Ushul bahwa lafad mutlak harus dihamalkan pada lafad muqayyad.

Sabtu, 11 November 2023

2 Qullah Air

Ukuran 2 قلة  (qullah) adalah ukuran volume yang digunakan oleh orang arab zaman Nabi dahulu.

Dua abad setelahnya, yaitu masa para ulama fiqih baik di Baghdad dan Mesir menggunakan istilah رطل ( rithil)

Tapi ukuran rithil tidak standar. Satu rithil air untuk orang Bagdad berbeda dengan satu rithil air untuk orang Mesir. 2 qullah bagi orang Baghdad lebih kurang 500 rithil air.

Tapi orang Mesir mengukur 2 qullah sama dengan 446 3/7 rithil air. Berbeda lagi dengan orang-orang Syam yang menyamakannya dengan ukuran 81 rithil.

Berikut sedikit gambaran ukuran dua qullah dalam kitab-kitab fiqh

1. Apabila wadah yang digunakan adalah wadah berbentuk persegi empat, maka panjang, lebar dan kedalaman wadah tersebut adalah 1 seperempat dzira’.( 1 dzira' adalah 48 cm )

2. Apabila tempat yang digunakan adalah wadah berbentuk persegi tiga, maka panjang ketiga sisinya adalah 2 setengah dzira’ dan kedalamannya 2 dzira’.

3. Apabila wadah yang digunakan berupa wadah berbentuk lingkaran, maka lebarnya adalah 1 dzira’ dan kedalamannya 2 setengah dzira’..

Terdapat perbedaan pendapat diantara para Ulama fiqh mengenai kadar air dua qullah.

1. Menurut Syekh Adil Ahmad Abdul Mawjud dan Ali Muhammad Mu'awwadl dalam ta'liq Raudhah ath-thalibin, 1 qullah sama dengan kuantitas air 95 liter.

2. Menurut Syekh Majid al-Hamawi dalam Ta'liq at-Taqrib dua qullah sama dengan air dalam wadah 60cm3 atau 21600 cm3 atau+ 216 liter.

3. Menurut Syekh al-Bugha dalam at-Tahdzib fi Adillah Matan Ghayah at-Taqrib 2 qullah adalah + 190 liter atau 58 cm3.

4. Menurut Syekh Abdul Aziz Uyun as-Suddi, 2 qullah adalah 162 kg.

5. Menurut versi Kiya Muhammad Ma'shum dalam risalahnya Fath al-Qadir fi Ajaib al-Maqadir, 2 qullah dengan versi kati al-Hamawi adalah174,580 liter atau 55,93cm. dan dengan kati versi ar-Rafi'i adalah 176,245 liter atau 56,13cm. sedangkan dengan versi kati Iraqi adalah 245,325 liter atau 63,43cm.3

6. Menurut keterangan dalam kitab Ghayatul Muna Syarah Safinatun Naja karya Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba ‘Athiyyah Ad-Du’ani, volume air 2 qullah adalah 216 liter.

7. Menurut keterangan dalam kitab At-taqrirat As-Sadidah, volume air 2 qullah adalah 217 liter.

8.  Menurut keterangan dalam kitab Al-fiqhul Islami Wa Adillatuh karya Syaikh Dr. Wahabah Az-Zuhaili, volume air 2 qullah adalah 270 liter.

Dari berbagai pendapat ulama diatas kita dapat mengetahui bahwa jumlah air dua qullah terbanyak ketika di konversi ke liter adalah pendapat Wahbah Zuhaili.
Jika kita ragu cukup atau tidak air dua qullah dalam bak dirumah kita, maka kita sukat air dalam bak air rumah sampai ia ada 270 liter dan kita beri tanda agar kita tidak terus berada dalam keraguan..

Jumat, 07 April 2023

ZIARAH KUBUR BAGI WANITA



Oleh: Tgk Dailami

Sebagian tokoh agama dalam masyarakat cenderung melarang wanita untuk ziarah kubur sekalipun kuburan kerabatnya, alasannya karena dalam kitab ianatutthalibin disebutkan bahwa dimakruhkan bagi wanita untuk ziarah kubur, illah yang disebutkan yaitu karena perempuan punya mazhinnah niyahah ( berpotensi untuk menangis, meratap, histeris dengan meninggikan suara, sedih yang berlebihan,dll ) serta alasan lainnya.

Bahkan ada alasan karena wanita dilarang safir tanpa mahram, padahal sebenarnya alasan itu tidak cocok karena yang dibahas adalah ziarah, bukan musafirnya, hukum musafir dan ziarah itu sudah lain pembahasan karena bisa jadi orang berziarah tanpa safir, karena tempat ziarahnya kuburan dekat dibelakang rumah.

Untuk menjawab persoalan ini bisa penulis uraikan sebagai berikut:

1. Dahulu Rasulullah pernah melarang ziarah kubur karena dulu masa awal awal Islam manusia masih dekat dengan kebiasaan orang-orang jahiliyah yang punya tradisi meratapi dan menangis  mengeluarkan suara yang histeris terhadap kematian keluarganya

2. Kalau kita perhatikan dalam kitab Ianatutthalibin tersebut serta kitab-kitab fikih Syafii lainnya seperti minhajutthalibin, mughni muhtaj ada tiga hukum ziarah kubur bagi wanita, yaitu makruh, haram dan mubah.
Hukum makruh dan haram keduanya berdasarkan pada illah yang disebutkan diatas. Dan hukum boleh ziarah berdasarkan pada hukum Asal

3. Didalam kitab Mughni Muhtaj jilid 2 halaman 79 disebutkan sebuah hadis Muttafaq alaihi

وَإِنَّمَا لَمْ تَحْرُمْ؛ لِأَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَرَّ بِامْرَأَةٍ عَلَى قَبْرٍ تَبْكِي عَلَى صَبِيٍّ لَهَا، فَقَالَ لَهَا: اتَّقِ اللَّهَ وَاصْبِرِي» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Artinya: Dan tidak haram karena Rasulullah mendapati seorang wanita yang menangis pada  kuburan anaknya, maka Rasulullah berkata kepada wanita itu"Bertaqwalah dan bersabarlah"

4. Dalam kitab Mughni tersebut juga disebutkan hadis yang lain riwayat Imam Muslim

وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا - قَالَتْ «كَيْفَ أَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ يَعْنِي إذَا زُرْتُ الْقُبُورَ، قَالَ: قُولِي السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ يَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Artinya: dari Aisyah berkata kepada Rasulullah:" Apa yang aku ucapkan wahai Rasulullah jika aku menziarahi kubur"
Nabi Menjawab;" Ucapkan sejahtera atas penghuni kuburan daripada mukminin dan muslimin, semoga Allah menyayangi orang-orang yang telah terdahulu dari kita dan orang-orang yang terakhir dari kita, dan insya Allah kita akan bertemu dengan mereka.( Mughni Muhtaj, Jilid 2 Halaman 79.

5. Dari dua hadis diatas Jika seandainya ziarah wanita itu dilarang, pasti Rasulullah akan melarang  Aisyah untuk ziarah dan juga melarang wanita yang menangisi anaknya dikuburan untuk ziarah.

6. Selanjutnya dalam kitab Mughni Muhtaj disebutkan bahwa Imam Arruyani menguatkan pendapat kebolehan ziarah kubur bagi wanita jika aman dari fitnah karena beramal dengan hukum asal yaitu boleh.

7. Dalam kitab mahalli, disebutkan bahwa musannif ( Imam Nawawi ) menyebutkan kebolehan ziarah bagi wanita, juga dalam raudhah dan majmu' syarah muhazzab.

8. Jika kita perhatikan dalam kitab-kitab fikih tersebut, maka hukum makruh dan haram ziarah kubur adalah tsubut berdasarkan illah, maka berdasarkan kaidah fikih,
الحكم يدور مع العلة وجودا و عداما

Jika illah itu maujud, maka maujudlah hukum, jika illah tidak maujud maka hukum tidak ada.

9. Berbeda halnya jika suatu hukum itu tsubut dengan dalil, maka sekalipun illahnya hilang maka hukum tersebut tetap berlaku, seperti haramnya babi yang berdasarkan dalil alquran, maka sekalipun penyakit akibat makan babi bisa dihilangkan, keharaman babi tetap kekal.

10 Juga halnya hukum menyapu sepatu pada wuduk tsubut berdasarkan dalil, sekalipun yang kotor adalah bagian bawah sepatu, tapi yang disapu adalah bagian atas sepatu.
Juga halnya orang kentut, ketika kentut maka berhadas dan harus wudhuk kembali, tidak mencuci lubung duburnya, karena hukum wajib wudhuk kembali itu tsubut dengan dalil, bukan illah.

11. Hukum makruh dan haram ziarah bagi wanita adalah tsubut dengan illah,  maka tergantung pada illahnya ada atau tidak.
Seandainya hukum ziarah bagi wanita tsubut dengan dalil, maka selamanya akan makruh atau haram.

12. Dewasa ini kita melihat wanita yang ziarah kepada kubur keluarganya tidak lagi seperti keadaan dahulu masa masa awal Islam yang mereka belum kuat ketauhidannya dalam menghadapi musibah kematian keluarganya.
Apalagi pada ahli kubur itu sudah puluhan tahun meninggal, jadi tidak ada kekhawatiran lagi seorang wanita akan meratap.

13. Ziarah kubur akan bermamfaat bagi seseorang untuk mengingat kematian dan hari akhirat yang akan menjadikan seseorang selalu siap untuk menghadapi kematian dan bertobat.

14. Berdasarkan uraian diatas tidak ada hal yang urgen untuk melarang wanita ziarah kuburan.

Dan seterusnya...

Semoga bermanfaat...


Selasa, 28 Maret 2023

POSISI KETIKA TALQIN JENAZAH


Ketika kita mengantar jenazah ke kuburan, diantara pengantar ada satu orang yang akan mentalqin jenazah, ketika jenazah sudah dikuburkan, lalu bagaimana sebenarnya posisi orang yang mentalqin jenazah?

Posisi orang yang mentalqin adalah *duduk* di depan kepala mayit sambil menghadap pada wajahnya. Posisi ini dianjurkan agar lebih bisa memperdengarkan bacaan talqin pada mayit. Anjuran ini berlaku baik pada mayit laki-laki maupun mayit perempuan.

Sedangkan bagi jamaah pengantar lainnya  disunnahkan untuk *berdiri*..

يسن ان يقف جماعة بعد دفنه عند قبره

 ساعة يسالون له التثبيت، لانه صلى الله عليه و سلم كان اذا فرغ من دفن الميت وقف عليه و قال استغفروا لاخيكم واسالوا له التثبيت فانه الان يسال..........و يقعد الملقن عند راس القبر

( Mughni Muhtaj ila Ma'rifati ma'ani alfazhi minhaji, Khatib Syarbini, Juzuk 2, hal 84 )