Kamis, 17 Oktober 2024

DALIL AKAL TENTANG WUJUD TUHAN

 

Para pemikir dari kalangan Mutakallimin dan Filsuf klasik sampai pada kesimpulan yang sama bahwa Tuhan itu wajibul wujud. Istilah wajibul wujud ini adalah istilah filsafat-kalam, meski sering juga digunakan oleh orang yang antipati terhadap filsafat atau ilmu kalam tanpa disadari bahwa itu adalah produk khas ilmu yang dia tolak. Wajibul wujud berarti keberadaannya dipastikan secara rasional atau dengan kata lain rasio yang lurus tidak mungkin membayangkan adanya kondisi di mana Tuhan tidak ada.


Namun, mari kita lihat argumen first cause ini dan kita uji kritik terhadapnya.


Argumen First Cause berisi:

1) Segala hal yang ada pasti ada sebabnya; 

2.)Tidak ada sesuatu pun yang menjadi sebab bagi dirinya sendiri; 

3) Tidak mungkin ada rangkaian sebab-akibat yang tanpa akhir; 

4) Maka ada satu "sebab pertama'" yang tidak disebabkan; 

5) Kalau "sebab pertama" itu dapat didefinisikan sebagai Tuhan; 

6) Berarti Tuhan ada


Lalu kita uji kritiknya sebagai berikut:


1. PREMIS 2 DAN 4, KONTRADIKSI


Ya, premis 2 dan 4 betul kontradiksi, tapi itu hanya kalau diasumsikan bahwa apa yang dinafikan di presmis 2 adalah satu jenis dengan apa yang ditetapkan dalam premis 4. Kenyataannya apa yang dinafikan di premis dua tidak sama dengan premis 4 dengan bukti adanya premis 3 yang memastikan ketidaksamaan tersebut. 


Yang dinafikan adalah keberadaan sesuatu secara umum yang bisa ada sendiri tanpa ada sebab di luar dirinya yang menyebabkan dia ada. Namun ketika dinalar secara logis, ternyata harus ada satu keberadaan yang pasti ada tanpa disebabkan keberadaan lain dengan bukti kemustahilan adanya rangkaian sebab-akibat tanpa akhir. 


Jadi, premis 4 adalah pengecualian dari premis 2. Pengecualian tidaklah dianggap sebagai kontradiksi dalam logika. Pengecualian adalah hal yang wajar. Hasil penalaran tersebut sama dengan perkataan: 


"Semua hal ada karena disebabkan oleh hal lain, kecuali eksistensi pertama"


Dengan demikian, kritik di poin 1 ini tidak tepat sebab secara mutlak menganggap pengecualian sebagai kontradisksi.


2. PREMIS 3: DASARNYA APA?_PREMIS INI BIASANYA DIAWALI DARI ASUMSI BAHWA'RANGKAIAN ANGKA' YANG RASANYA TIDAK TERBATAS ITU PASTI ADA BATASNYA,HANYA AKAL TIDAK BISA MENJANGKAU. PADAHAL ADA PERBEDAAN SIGNIFIKAN ANTARA ANGKA DAN PERISTIWA; ANGKA SIFATNYA ABSTRAK DAN IMAJINER, SEMENTARA PERISTIWA ATAU SESUATU SIFATNYA KONGKRIT, DAN SEGALA YANG KONGKRIT PASTI MEMILIKI PENJELASAN TERHADAP SEBABNYA.


Dasar premis 3 yang menyatakan kemustahilan adanya rangkaian sebab-akibat tanpa akhir bukanlah berdasarkan pada asumsi. Bukan pula berdasarkan angka yang wujudnya imajiner-konseptual. Jadi pengkritik salah paham.


Dasar premis 3 adalah fakta bahwa bila diandaikan ada keberadaan rangkaian sebab-akibat tanpa akhir, maka akan selalu menghasilkan kesimpulan "tidak wujud". Contoh:


Bila A hanya bisa ada setelah diciptakan oleh B, lalu B hanya bisa ada setelah diciptakan oleh C, lalu C hanya bisa ada setelah diciptakan oleh D, dan seterusnya tanpa akhir, maka kesimpulan akhirnya pastilah A tidak mungkin wujud sampai kapan pun sebab keberadaannya digantungkan pada keberadaan sesuatu yang sesuatu itu pun tidak ada ujung wujudnya attau dengan kata lain tidak bakalan ada selamanya. Nah, ketika sekarang secara faktual A betul-betul ada, maka artinya tidak ada rangkaian sebab-akibat tanpa akhir. Ini adalah satu-satunya kesimpulan logis.


Karena semesta ini nyata sudah ada, maka pastilah tidak ada rangkaian sebab-akibat yang tidak berujung. Di ujung terakhir pastilah ada sebab pertama yang memulai segalanya sehingga semesta bisa ada seperti sekarang. Andai ada rangkaian sebab-akibat tanpa akhir, maka semesta mustahil ada sekarang ini sebab keberadaannya tergantung pada keberadaan hal lain yang tidak ada ujung wujudnya. Ini dasar logis yang tidak mungkin dibantah.


3. KOMPOSISI ARGUMEN INI TIDAK MEMUNGKIRI ADANYA LEBIH DARI SATU SEBAB. BERARTI ADA LEBIH DARI SATU TUHAN?


Kritik ini mencampur adukkan istilah "sebab" dan istilah "Tuhan", padahal keduanya berbeda. Yang dianggap Tuhan dalam argumen first cause ini hanyalah sebab pertama saja, sesuai namanya, bukan sebab kedua dan seterusnya. Jadi, tidak dapat dismpulkan bahwa masing-masing sebab dianggap Tuhan.


4. KOMPOSISI ARGUMEN INI JUGA TIDAK MEMBAWA IMPLIKASI TUHAN YANG MAHABAIK ATAU MAHA TAHU.


Betul, komposisi ini tidak membawa implikasi tersebut atau implikasi Tuhan Maha Kuasa, Maha Melihat, Maha Mendengar dan seterusnya. Kenapa demikian, sebab memang argumen first cause tidak dimaksudkan untuk membuktikan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat tersebut tapi hanya dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa Tuhan itu ada. 


Jadi, pengkritik sama sekali tidak paham fungsi argumen first cause sehingga mengkritiknya sebab tidak menghasilkan kesimpulan yang di luar fungsinya. Untuk mengatakan bahwa Tuhan Maha Tahu dan seterusnya ada argumennya sendiri, bukan argumen First Cause. Membuktikan siapa nama Tuhan juga tidak bisa dicapai dengan argumen first cause ini, butuh argumen lain.


Dengan demikian, seluruh poin kritik pada tangkap layar slide yang dilampirkan ini semuanya lemah. Kritik tersebut tidak dapat meruntuhkan argumen first cause sepenuhnya, meskipun harus diakui bahwa ini bukanlah argumen yang paling kuat. Argumen paling kuat adalah argumen ala Mutakallim yang disebut sebagai argumen huduts al-alam sebagai berikut:


1. Semua alam (selain Allah) mengalami perubahan

2. Segala yang mengalami perubahan pastilah desain (muhdats)

3. Segala desain berarti ada desainernya (muhditsnya)


Atau argumen ala Filsuf yang disebut sebagai argumen imkan sebagai berikut:


1. Secara probabilitas, keberadaan alam adalah setara dengan ketiadaannya 

2. Ketika ternyata alam terbukti ada dan bukannya tidak ada, maka pasti ada faktor luar yang membuatnya ada sebab tidak mungkin ada keunggulan dalam dua opsi yang setara tanpa adanya faktor luar yang membuat keunggulan tersebut.


Saya harus mengakhiri tulisan ini agar tidak panjang. Tujuan utamanya sekedar menguji kekuatan kritik terhadap First Cause sebagaimana terlampir. Hasilnya, kritiknya tidak kuat.


والله اعلم بالصواب

Rabu, 16 Oktober 2024

TINGKATAN/ MARTABAH NIAT

 



Sering kita mendengar bahwa meniatkan perbuatan baik saja sudah mendapatkan pahala walaupun tidak mengerjakan nya, sedangkan meniatkan perbuatan buruk tidak mendapatkan dosa kecuali sampai melakukan nya.

Dalam sebuah hadits sahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang terdapat dalam kitab Matan Arba'in syarah Majalisus saniyah, Nabi bersabda:


فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمائَةِ ضِعْفٍ إِلىَ أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ. وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ له سَيِّئَةً وَاحِدَةً( رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)

( Syarah Majalisus Saniyah, hal 111)


Artinya: Barangsiapa berniat untuk mengerjakan kebaikan namun belum terlaksana, maka Allah akan catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Dan jika dia berniat untuk kebaikan dan mengerjakannya,  maka Allah akan catat baginya dengan 10 kebaikan hingga 700 kali lipat, bahkan sampai berlipat–lipat banyaknya. Sebaliknya, apabila dia berniat untuk mengerjakan amalan keburukan namun belum terlaksana, maka Allah akan catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Dan apabila dia berniat untuk kejelekan dan mengerjakannya, maka Allah akan mencatat baginya satu kejelekan saja.” (HR.  Al Bukhari dan Muslim).


Penjelasan:

Di dalam Syarah/penjelasan tentang hadits tersebut, bahwa niat itu punya martabah/tingkatan atau berlevel-level, bukan hanya satu tingkat/macam saja. Masing-masing level memiliki konsekuensi yang berbeda dengan yang lainnya.


Level 1.

Level pertama disebut HAJIS (الهاجس).

Hajis adalah goresan hati yang berkelebat sejenak dalam hati/pikiran.


Level 2

Level kedua disebut KHATHIR (الخاطر).

Khathir adalah goresan hati yang sudah sampai pada level membayangkan


Level 3

Level ketiga disebut HADITSUN NAFSI (حديث النفس).

Haditsun nafsi adalah goresan hati yang sudah mulai dipertimbangkan antara dilakukan ataukah tidak. Tetapi masih belum pasti. Masih 50-50 antara melakukan ataukah tidak. Bisa saja dilakukan bisa juga tidak.


Level 4

Level keempat adalah HAMMU/ HIMMAH (الهمّ / همة).

Hammu/ himmah adalah goresan hati yang sudah mulai menguat dan sudah menjelma menjadi sebuah keinginan yang sifatnya sudah jelas condrong untuk melakukan. Sudah lebih dari 50 % tapi belum sampai 100 %.


Level 5

Level kelima disebut 'AZAM(العزم).

Azam adalah goresan hati yang sudah bukat mengkristal dan menguat menjadi niat teguh dan tekad yang dipastikan akan dilakukan. Ini levelnya sudah 100%.


Pertama: Niat berbuat baik.


Jika seseorang terlintas dalam hatinya atau tiba-tiba saja tergores dalam hatinya ingin berbuat baik, misalnya untuk bersedekah, maka lintasan dalam hatinya ini dinamakan HAJIS.


Jika keinginan bersedekah itu sudah mulai mengalir dalam hati dan membayangkan dalam hatinya , maka lintasan hati seperti itu dinamakan KHATHIR.


Jika keinginan bersedekah itu semakin timbul dalam hatinya tetapi masih 50-50, antara jadi atau tidak, maka lintasan hati seperti itu dinamakan HADITSUN NAFSI.


Jika keinginan bersedekah itu sudah menguat dalam hatinya, sudah lebih dari 50 % dan sudah condong untuk segera melakukannya, maka keinginan bersedekah itu dinamakan HAMMUN/ HIMMAH.

Niat pada level himmah ini, seseorang sudah mendapatkan satu pahala kebaikan walaupun niatnya itu belum bisa terlaksana.


Adapun jika keinginan bersedekah itu sudah bulat 100%, dan bahkan dia sudah masuk dalam mukaddimah/ langkah nyata untuk segera bersedekah, misalnya sudah membawa uang untuk di masukkan dalam celengan masjid, maka niat bersedekah ini sudah level 'AZAM.


Lintasan hati untuk berbuat baik pada level 'azam ini, maka dia pasti mendapatkan pahala walaupun tidak terlaksana karena ada sebab lain, misalnya uangnya jatuh atau hilang, jika sampai dilaksanakan, maka dia mendapatkan pahala 10 kali lipat sampai tak terbatas.


Kedua: Niat berbuat buruk/ jahat.


Jika seorang tiba-tiba terlintas dalam hatinya untuk mencuri, maka goresan yang datang sekelebat dalam hatinya itu disebut dengan HAJIS.


Jika goresan hati untuk mencuri itu sudah mulai mengalir, membayangkan dan memiliki durasi waktu lebih dari sekelebat, maka goresan hati seperti itu dinamakan KHATHIR.


Jika bayangan untuk mencuri itu sudah mulai mendorongnya untuk melakukannya, tapi masih 50-50 atau setengah-setengah, masih bimbang antara resiko dan keuntungan, masih berfikir antara kesempatan dan hambatan, maka lintasan hati seperti itu dinamakan HADITSUN NAFSI.


Jika keinginan mencuri itu sudah pasti dengan hilang keraguannya dan dia jelas ingin segera melaksanakan keinginan mencuri, akan tetapi masih ada peluang dibatalkan meski kecil, maka keinginannya seperti ini dinamakan HAMMUN/ HIMMAH.


Jika keinginan mencuri itu sudah bulat dan menjadi tekad, dan tidak ada niat lagi untuk dibatalkan, dan dia sudah masuk dalam mukaddimah mencuri, seperti sudah menyiapkan alat-alat untuk mencuri, dan mendatangi benda yang ingin dicuri, maka keinginan seperti itu sudah dinamakan AZAM.


Goresan atau hati untuk berbuat maksiat jika masih berupa level hajis, maka ia di maafkan, karena lintasan jenis hajis ini hampir mustahil dicegah pada hati manusia.


Lintasan hati berupa khathir dan haditsun nafsi jika ditolak maka juga dimaafkan, selama belum dikerjakan atau diucapkan. Al-Bukhari meriwayatkan,


 إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ (صحيح البخاري)


Artinya: Sesungguhnya Allah mengampuni umatku apa yang dibicarakan oleh hatinya selama belum dilakukan atau diucapkan” (H.R.Al-Bukhari)


Untuk azam maksiat, maka dia sudah pasti mendapatkan dosa dan akan dihukum meski tidak mampu melaksanakannya. Contohnya seperti orang yang berniat mencuri tadi, dia sudah menyiapkan alat dan mendatangi barang yang hendak di curi, tapi tidak terlaksana karena ada pemiliknya, maka pada level ini dia sudah berdosa, walaupun mencuri tidak berhasil dilakukan.


Contoh lainnya niat membunuh seseorang orang, kemudian dia mendatangi orang yang akan dibunuh, kemudian terjadi perlawanan, pada akhirnya dia sendiri yang terbunuh, maka dia yang terbunuh berdosa karena niatnya membunuh sudah level azam.


و الله اعلم بالصواب


SMAN 3 PUTRA BANGSA, LHOKSUKON 

16 Oktober 2024

Sabtu, 12 Oktober 2024

Kenapa Mesti Lafadh Bi?




Kenapa dalam Al-Qur'an surat Isra ayat 23 pada kalimat “و بالوالدين احسانا ” digunakan lafadh "bi" ( ب ) yang diartikan dalam bahasa Indonesia dengan arti"dengan". Padahal secara kebahasaan boleh juga digunakan lafadh "ila" ( الى) yang artinya "ke" atau lafadh “li” (ل) yang artinya "untuk"..


Kenapa redaksi Al-Qur'an mesti digunakan lafadh "bi" tersebut daripada lafadh lainnya?


Jawaban nya dapat kita temukan dalam pembahasan kitab-kitab Nahwu bahwa salah satu faedah huruf jar “bi ” adalah “ ilshaq” (إلصاق), yang artinya melekat, yakni menunjukkan hubungan kedekatan yang erat dan dekat antara dua objek atau lebih.


Sedangkan penggunaan lafadh “ila” yang artinya "ke", itu mengandung faedah " intiha' ( انتهاء ) yang artinya jarak, misalnya contoh: ذهبت من مكة الى المدينة yang artinya: saya pergi dari Makkah ke Madinah. Ini menunjukkan ada jarak antara kedua kota tersebut.


Dengan demikian dapat kita pahami bahwa dari sudut bahasa saja, penggunaan lafadh “bi”, bukan “ ila”, menunjukkan Allah seperti nya tidak menghendaki jarak walau sedikitpun dalam hubungan berbakti kepada kedua orang tua.


Allah menghendaki hubungan yang sangat erat dan dekat, bahkan lekat, antara anak dengan orang tuanya. Kedekatan ini bukan hanya dimaknai secara fisik, tapi juga secara kejiwaan..


Dari situ juga kita dapat memahami juga bahwa tidak digunakan lafadh “li” dalam ayat tersebut karena manfaat dalam berbakti kepada orang tua itu pada hakikatnya bukan untuk kepentingan orang tua, tetapi untuk kepentingan anak itu sendiri. Itu sebabnya tidak dipilih lafadh “li” yang bermakna "untuk"..


Semoga bermanfaat 


و الله اعلم بالصواب

Kamis, 10 Oktober 2024

Apa Makna اف Dalam Al-Qur'an?



Kalimat اف ( uffin ) dalam Surat Al Isra ayat 23 menurut tafsir Khazin adalah sebuah kalimat yang mengandung makna "sesuatu yang tidak disukai/dibenci".


Pada mulanya kalimat اف tersebut digunakan ketika misalnya debu atau tanah atau kotoran lainnya mengenai pakaian atau badan kita, lalu kita menghembusnya supaya hilang debu tersebut, ketika kita hembus akan keluar bunyi dari mulut dengan suara "uff"


Dalam tafsir Khazin isem ini terjadi dari makna fiil mudhari' yang bermakna أتضجر (aku tidak suka, aku malas” dan makna sejenis nya. 


Kemudian orang orang Arab meluaskan penyebutan kalimat uffin tersebut kepada sesuatu apapun yang di benci yang menimpa mereka sehingga disebut juga dengan اسم الفعل ( isem fiil ) yaitu isem yang berasal dari fiil, dan disebut juga dengan اسم الصوت ( isem suara ) yaitu kalimat isem yang diambil dari bunyi suara..


Ini adalah makna-makna yang menunjukkan rasa ketidaksukaan dan kekesalan sehingga terekspresi atau diekspresikan dengan mengeluarkan suara..


Misalnya ketika kita mengucapkan suatu suara yang khas untuk menggambarkan perasaan kita seperti “ihhh” ( untuk menunjukkan rasa jijik) atau “yahh” (untuk menunjukkan rasa kecewa), atau "ssstttt" (untuk menunjukkan perintah jangan ribut), atau "aahh" ( untuk menunjukkan rasa malas), atau “hahh..??"( untuk menunjukkan rasa kaget), atau "yehh" dalam bahasa Aceh ( untuk menunjukkan rasa kaget), dan lain lain.


Sepertinya semua negara dan suku bangsa punya suara khas nya masing untuk menunjukkan sebuah ekspresi perasaan.


Jadi kalimat  أف  dalam bahasa arab digunakan untuk mengungkapkan ekspresi rasa ketidaksukaan itu..


Maka dalam Al-Qur'an Allah melarang kita mengatakan suatu kalimat yang menunjukkan ekspresi rasa ketidaksukaan dan kekesalan kepada orang tua, dan ini tidak terbatas pada kalimat uffin dalam bahasa Arab saja, semua kalimat atau bahasa  yang menunjukkan ekspresi rasa tidak suka dan kesal di larang di tunjukkan kepada orang tua..

Semoga bermanfaat 

والله اعلم بالصواب