Selasa, 18 Mei 2021

BIJAK DALAM MEMULAI PUASA DAN HARI RAYA

 

Memulai puasa dan berhari raya dengan cara berbeda dengan pemerintah itu hanyalah cerita yang terjadi satu-satunya di dunia adalah di Indonesia. Pasalnya, karena masih saja ada pihak-pihak tertentu yang menafikan peranan negara. Dan seringkali merasa dirinya atau kelompoknya berhak untuk memutuskan sendiri ketetapan awal dan akhir Ramadhan.

Apapun metode penetapan awal Ramadhan dan Syawwal, baik yang menggunakan hisab atau pun rukyah, sudah bisa dipastikan hasilnya pasti berbeda-beda.

Jangan dikira kalau seluruh bangsa Indonesia sudah kompak dan sepakat bulat pakai hisab, lantas hasilnya pasti sama dan urusan jadi selesai.

Sebab ternyata di dalam sesama aliran hisab sendiri ada begitu banyak aliran dan metode yang hasilnya bisa dipastikan akan saling bertentangan. Padahal sama-sama berada dalam aliran hisab.

Dan begitu juga sebaliknya, jangan dikira kalau seluruh ormas sepakat meninggalkan aliran hisab dan berbondong-bondong menggunakan metode rukyat, lantas bisa dipastikan akan terjadi kesepakatan dari sisi hasilnya. Sebab sebagaimana kita tahu, tiap titik di atas tanah negeri ini bisa saja menampilkan perbedaan hasil rukyat hilal.

Jadi meskipun kita sebangsa dan setanah-air sepakat menggunakan salah satu dari sekian banyak versi penetapan awal Ramadhan, hasilnya sudah bisa dipastikan akan berbeda-beda juga.

Yang sebenarnya jadi titik pangkal permasalahan menurut hemat saya bukan pada pilihan metodenya. Tetapi ketika semua pihak, termasuk ormas dan jamaah-jamaah yang jumlahnya tidak terhingga itu, masing-masing merasa berwenang ikut-ikutan cawe-cawe (get involve) mengurusi penetapan awal Ramadhan.

1. Domain Negara

Segala macam khilaf dalam penentuan awal Ramadhan tidak akan pernah ada jalan keluarnya, selama tidak ada satu pihak yang diakui bersama dan ditaati.

Nah, justru disinilah sumber titik masalahnya. Umat Islam di negeri ini terlanjur menganggap pimpinan ormas dan jamaah mereka sebagai pusat pimpinan. Kepada pimpinan masing-masing ormas dan jamaah iniah mereka memberikan loyalitas dan segala ketaatan mutlak.

Padahal jumlah ormas dan jamaah di negeri kita tidak terhingga bilangannya. Bisa ada sejuta ormas dengan sejuta perbedaan masing-masing.

Padahal kalau kita kembalikan ke dalam sejarah Islam, seharusnya satu-satunya pihak yang ditaaati bersama, minimal dalam urusan penetapa awal Ramadhan itu adalah as-Sultan. Dan untuk dimensi bangsa Indonesia saat ini, representasi dari sulthan ini tidak lain dan tidak bukan adalah penguasa atau pemerintahan yang sah.

Dalam ilmu fiqih disebutkan bahwa salah satu peran dan tugas penguasa negara adalah menjadi penengah yang berwenang untuk menetapkan jatuhnya awal Ramadhan. Meski ada sekian banyak kajian dan perselisihan para fuqaha di dalamnya, namun kata akhir kembali kepada penguasa.

Dalilnya adalah apa yang terjadi di masa Rasulullah SAW, meski ada orang yang melihat hilal, tetapi dia tidak boleh menjadi penentu keputusan atas ketetapan awal Ramadhan. Dia harus melapor kepada Rasulullah SAW, lalu beliau SAW yang nanti akan memproses kesimpulannya.

Ketuk palu ada di tangan Rasulullah SAW, bukan semata-mata karena beliau seorang nabi yang mendapat wahyu, melainkan dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara dan penguasa yang sah.

Kita tidak mengatakan bahwa keputusan di tangan Rasulullah SAW karena beliau seorang nabi. Kalau sebagai nabi, tentu beliau tidak perlu menunggu laporan dari para shahabat untuk melihat hilal.

Cukup beliau bertanya saja kepada malaikat Jibril, atau bertanya langsung kepada Allah SWT tentang kapan masuknya Ramadhan, pasti bisa dengan mudah didapat jawabannya.

Namun kedudukan Rasulullah SAW memang tidak hanya sebagai nabi tapi juga sebagai kepala negara.

Begitulah beliau mencontohkan kepada kita, bahwa mekanisme penetapan bulan Ramadhan itu harus lewat proses keteetapan oleh kepala negara. Orang-orang yang melihat hilal mendatangi Rasulullah SAW dalam kedudukannya sebagai penguasa yang sah dan memberi kabar. Lalu keputusan 100% berada di tangan kepala negara.

Hal itulah yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu, tatkala beliau menyaksikan hilal Ramadhan.

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَل فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bahwa orang-orang mencari-cari hilal. Aku memberitahukan Nabi SAW bahwa diriku telah melihatnya, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim)

Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bukan shahabat biasa. Beliau adalah ulama yang faqih di kalangan para shahabat. Beliau termasuk orang yang menyaksikan hilal Ramadhan. Namun kita diajari oleh sikap dan tindakan beliau yang memang seharusnya dilakukan.

Tidak mentang-mentang beliau merasa melihat hilal, lantas beliau memutuskan sendiri kapan mulainya Ramadhan. Namun beliau datang dulu kepada Rasulullah SAW untuk menyampaikan laporan pandangan mata, dimana beliau menjadi saksi atas terlihatnya hilal bulan Ramadhan.

Perkara nanti apakah laporannya diterima atau tidak oleh Rasulullah, maka wewenang itu sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Abdullah bin Umar tidak pernah memutuskan untuk berpuasa sendirian, atau mengajak kelompok dan institusinya sendiri, hanya karena dirinya merasa seorang pakar agama yang ilmunya selangit.

Yang beliau lakukan hanya sebatas melaporkan hasil pantauan saja, bukan memutuskan kapan mulai Ramadhan. Dan memang itulah yang seharusnya dilakukan oleh siapa pun yang melihat hilal.

Demikian juga hal yang dilakukan oleh seorang a’rabi yang melihat hilal dari tengah padang pasir. Dia segera mendatangi Nabi SAW dan melaporkan apa yang dilihatnya.

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ فَقَال : إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلاَل - يَعْنِي رَمَضَانَ - قَال : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ؟ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُول اللَّهِ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : يَا بِلاَل أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا

Seorang a’rabi datang kepada Nabi SAW dan melapor, “Aku telah melihat hilal”. Rasulullah SAW bertanya, ”Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya?”. Dia menjawab, ”Ya”. Beliau berkata, ”Bilal, umumkan kepada orang-orang untuk mulai berpuasa besok”. (HR. Tirmizy dan An-Nasa’i)

Tidak ada sejarahnya di masa Nabi SAW dan juga pada masa shahabat, bila seseorang merasa melihat hilal, lantas di boleh berfatwa dan menetapkan keputusan sendirian.

2. Contoh Di Masa Shahabat

Demikian juga di masa-masa berikutnya. Semua orang yang merasa melihat hilal Ramadhan, berkewajiban melapor kepada Amirul Mukminin. Lalu Amirul Mukminin yang akan mengumumkan kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan. Boleh jadi sebuah laporan diterima dan boleh jadi ditolak dengan berbagai pertimbangan.

Dan itulah yang telah terjadi selama kurun 14 abad ini. Umat Islam di seluruh dunia selalu mengacu kepada penguasa tatkala memulai awal Ramadhan. Mereka tidak memulai puasa sendiri-sendiri atau berdasarkan kelompok kecil-kecil.

Lain halnya bila umat Islam tinggal di berbagai negeri yang saling berjauhan, seperti Madinah dan Damaskus.Kedua negeri itu dipisahkan dengan jarak yang amat jauh. Kalau orang berjalan di awal bulan Ramadhan dari Damaskus ke Madinah, dia baru akan sampai ketika bulan Ramadhan hampir selesai.

Maka dalam kasus negeri yang berjauhan, kita menemukan fakta terjadinya perbedaan penetapan awal Ramadhan di masa para shahabat, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Kuraib berikut ini :

عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الفَضْلِ بِنْتَ الحَرْثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: قَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتَهَلَّ عَلىَ رَمَضَان وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الهِلاَلَ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ . ثُمَّ قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ فيِ آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنيِ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبَّاس ثُمَّ ذَكَرَ الهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْتُهُ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ. فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. قَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ: أَلاَ تَكْتَفيِ بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَة ؟ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ

Dari Kuraib radhiyallahuanhu bahwa Ummul Fadhl telah mengutusnya pergi ke Syam, Kuraib berkata, "Aku tiba di negeri Syam dan aku selesaikan tugasku, lalu datanglah hilal Ramadhan sementara aku di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan. Maka Abdullah bin Abbas bertanya padaku, "(Aku pun menceritakan tentang hilal di Syam). Ibnu Abbas ra bertanya, "Kapan kamu melihat hilal?". "Aku melihatnya malam Jumat", jawab Kuraib. Ibnu Abbas bertanya lagi, "Kamu melihatnya sendiri?". "Ya, orang-orang juga melihatnya dan mereka pun berpuasa, bahkan Mu'awiyah pun berpuasa", jawab Kuraib. Ibnu Abbas berkata, "Tetapi kami (di Madinah) melihat hilal malam Sabtu. Dan kami akan tetap berpuasa hingga 30 hari atau kami melihat hilal". Kuraib bertanya, "Tidakkan cukup dengan ru'yah Mu'awiyah?". Ibnu Abbas menjawab, "Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kami.” (HR. Muslim)

Maka di dalam fiqih Islam, dimungkinkan adanya dua wilayah yang berjauhan dan berbeda dalam menetapkan hasil ru'yah. Di Syam orang-orang telah melihat hilal malam Jumat, sedangkan di Madinah orang-orang baru melihat hilal malam Sabtu.

Namun hal ini tidak boleh terjadi di dalam satu negeri, dimana di dalamnya ada penguasa yang berdaulat secara sah dan konstitusional. Keadaan ini dimungkinkan terjadi hanya bilamana kedua negeri saling berjauhan.

3. Tetap Ikut Negara Meskipun Bermusuhan

Di Saudi Arabia, ada begitu banyak kelompok yang memusuhi negara dan pemerintahan. Dan tidak sedikit dari kelompok itu yang dikejar-kejar dan ditangkapi oleh pemerintah. Sebagian dari mereka dipenjara dan tidak sedikit yang mengalami tekanan dan siksaan.

Bahkan kelompok Al-Qaidah juga diperangi oleh Kerajaan, dan sebagai balasannya, tidak sedikit dari tokoh-tokoh mereka yang melakukan makar, sampai menjatuhkan vonis kafir kepada para penguasa di Saudi Arabia.

Namun tidak ada satu pun dari kelompok-kelompok itu yang berinisiatif untuk berpuasa sendiri dengan berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Urusan mereka bermusuhan dengan pemerintah adalah satu hal, tetapi urusan berpuasa tidak pernah dibawa-bawa ke masalah politik.

Oleh karena itu maka wajar kalau kita belum pernah mendengar di Saudi Arabia ada kelompok anti pemerintah yang melakukan wuquf sendirian di tanggal 8 Dzulhijjah, misalnya gara-gara mereka membenci pemerintah. Sebenci-bencinya mereka kepada pihak Kerajaan, tetap saja mereka ikut wuquf di Arafah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh negara.

Begitu juga dengan rakyat Mesir. Sepanjang sejarah pergerakan, Mesir termasuk negeri yang paling sering bergejolak. Ada begitu banyak kelompok yang anti Pemerintah di Mesir, sehingga tidak sedikit dari mereka yang ditangkapi. Di masa lalu para tokoh aktifis Al-Ikhwan Al-Muslimun memenuhi penjara Mesir. Bahkan ada kelompok yang menjatuhkan vonis kafir kepada pemerintah Mesir, seperti Jamaah Takfir wal Jihad.

Namun kita tidak pernah mendengar ada kelompok yang berpuasa sendirian dan berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Padahal ada dari mereka yang mengkafirkan pemerintah.

Memulai puasa dengan cara berbeda dengan pemerintah itu hanyalah cerita yang terjadi satu-satunya di dunia adalah di Indonesia. Pasalnya, karena masih saja ada pihak-pihak tertentu yang merasa dirinya lebih pandai dari orang lain dalam urusan rukyat atau hisab, lalu menafikan peranan negara. Dan seringkali merasa dirinya atau kelompoknya berhak untuk memutuskan sendiri ketetapan awal dan akhir Ramadhan.

Sikap seperti ini sebenarnya kurang dilandasi dengan dalil-dalil yang bisa diandalkan. Sebab semua dalil yang kita dapat, baik dari Al-Quran maupun dari As-Sunnah menunjukkan satu hal yang sama dan telah disepakati sejak 14 abad berjalan ini, yaitu wewenang itu 100% berada di tangan penguasa.

4. Wajib Diikuti Meski Ternyata Salah

Seluruh umat Islam sepanjang 14 abad ini telah menyerahkan urusan penetapan awal Ramadhan dan Syawal kepada penguasa, karena domain itu memang milik penguasa.

Kita tidak pernah menemukan dalam sejarah umat Islam dimana pun di dunia ini, adanya orang-orang tertentu, atau kelompok tertentu yang merasa lebih berhak untuk menetapkan sendiri awal Ramadhan dan juga awal Syawwal.

Bahkan meski pun terbukti pada akhirnya apa yang diputuskan oleh penguasa itu salah, lantas kemudian dikoreksi ulang. Hal itu pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, sebagaimana bisa kita baca pada hadits berikut ini :

عَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ حَدَّثَنِي عُمُومَةٌ لِي مِنَ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ قَالَ : غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ  أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ  أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ

Dari Abu Umair bin Anas, telah menceritakan kepadaku kebanyakan para sahabat Anshar dari sahabat Rasulullah bahwa ia berkata; "Hilal bulan Syawal telah tertutup awan, maka kami pun berpuasa, lalu serombongan pengendara di akhir siang datang sambil bersaksi dihadapan Rasulullah bahwa kemarin mereka telah menyaksikan hilal, kemudian Rasulullah menyuruh orang-orang berbuka di hari itu, dan agar di esok hari mereka keluar untuk berhari raya. (HR. Ahmad)

5. Berpuasa dan Berlebaran Bersama-sama

Syariah Islam memang menetapkan berbagai metode dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, baik melalui rukyahul hilal, istikmal atau pun dengan hisab. Namun semua metode itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki ilmu dan keahlian, dan tidak semua orang mampu untuk melakukannya.

Medote rukyahul-hilal misalnya, meski kelihatannya sederhana, tetapi untuk berhasil melakukannya ternyata tidak mudah juga.

Apalagi untuk kita yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, ada begitu banyak hambatan atau halangan, baik asap polusi, awan hujan, mendung, dan lain-lainnya. Sehingga kalau kita cermati, team rukyahul hilal seringkali harus jauh-jauh pergi ke pantai di tepi laut untuk melakukan tugas mereka. Artinya hal itu tidak mungkin dilakukan oleh sembarang orang. Dan tidak setiap orang memiliki kesempatan untuk melakukan rukyahul hilal dengan dirinya sendiri.

Maka dalam pada itu, cukuplah pekerjaan itu dilakukan oleh mereka yang memang expert dan ahli di bidangnya, sementara sebagian besar umat Islam ini sekedar menerima kabar saja dan tidak perlu berangkat sendiri untuk melakukan rukyatul-hilal.

Lalu apa landasan dan pegangan buat khalayak awam yang tidak punya kemampuan dan kemahiran dalam rukyahul-hilal? Siapakah pihak berwenang yang dapat dijadikan patokan dalam hal ini?

Untuk itu mari kita cermati hadits nabawi berikut ini :

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Hari puasa adalah hari dimana semua kalian berpuasa. Hari berbuka adalah hari dimana semua kalian berbuka. Dan hari Adha adalah hari dimana semua kalian beridul-Adha.” (HR. At-Tirmizy)

Para ahli ilmu sepakat mengatakan bahwa pengertian hadits ini menetapkan bahwa tidak boleh seseorang melawan arus sendirian dalam menetapkan awal Ramadhan dan Syawal. Dia tidak dibenarkan berijtihad sendirian yang hasilnya bertentangan dengan semua orang, lalu dia melakukannya sendirian, sementara orang-orang tidak melakukannya.

Tetapi kecenderungan yang sering Penulis saksikan di tengah kalangan yang bersemangat menjalankan agama, justru semakin berbeda dengan masyarakat, malah semakin dikejar dan dijadikan pilihan utama. Sehingga ada kesan, yang penting berbeda, unik dan tidak sama dengan apa yang diputuskan oleh pemerintah

Padahal sikap-sikap seperti itu justru tidak bijak menurut pandangan syariah. Berpuasa sendirian mendahului khalayak, atau berlebaran sendirian mendahului jamaah yang banyak adalah contoh yang kurang bijak dalam kehidupan karena akan menimbulkan kebingungan dalam masyarakat awam

Kalau pun ada pendapat yang membolehkan seseorang berpuasa sendiri, maka hanya bila orang tersebut dengan mata kepalanya sendiri melihat hilal, bukan lewat informasi pendengarannya dari orang lain,  tanpa dinaik saksikan tentang hilal tersebut..

Rabu, 21 April 2021

MENJAWAB PERSOALAN TASYRIK (PENGGABUNGAN) NIAT

Oleh Tgk Dailami Yusuf Pirak*

          Ada pertanyaan dalam masyarakat tentang masalah hukum boleh tidak qadha sembahyang subuh pada taraweh?? Sebelum menjawabnya kita kaji dulu pembahasan tersebut dalam kitab. Dalam fikih ada pembahasan tentang masalah (تشريك النية ) artinya menggabungkan niat, yaitu menggabungkan dua niat ibadah pada satu perbuatan .

Imam Suyuthi dalam kitabnya, al Asybah wan Nadhair ( الاشباه و النظائر ) halaman 15, beliau menuliskan:

الاول ان ينوي مع العبادة ما ليس بعبادة فقد يبطلها

Artinya: Pertama, meniatkan satu ibadah dengan disertai niat lain yang bukan ibadah, maka terkadang dapat membatalkan ibadat itu sendiri.

Contoh kasusnya:

1.       menyembelih hewan ditujukan untuk Allah dan selain Allah, Ini bisa menyebabkan haramnya memakan sembelihan tersebut.

2.       Berwudhu’ atau mandi wajib yang bersamaan dengan niat menyegarkan badan, Namun menurut pendapat Ashah tidak membatalkan wudhuk atau mandi wajib, alasannya karena menyegarkan badan itu dapat tercapai dengan niat atau tanpa niat, maka tujuan menyegarkan badan tidak dianggap sebagai tasyrik dan meninggalkan keikhlasan.

3.       Qiraah dalam shalat dengan niat qiraah dan memberi tahu, Ini juga tidak batal shalatnya.

4.       Niat puasa ( puasa sunat) bersamaan dengan niat diet atau pengobatan, maka menurut pendapat Ashah sah puasanya.

5.       Musafir dengan tujuan melakukan ibadah haji dan tujuan berdagang. Ini juga sah, namun Ibnu Abdussalam mengatakan ibadah seperti itu tidak mendatangkan pahala secara mutlak, akan tetapi Imam Ghazali mengatakan dilihat dari mana motivasi atau niat yang lebih dominan, kalau yang lebih dominan adalah niat haji karena Allah daripada berdagang, maka tetap dapat pahala.

(Imam Suyuthi, al-Asybah wan-Nadhair, Haramain, hal. 15-16)

القسم الثانى ان ينوي مع العبادة المفروضة عبادة اخرى مندوبة

Artinya: kedua, meniatkan beserta ibadah fardlu dengan ibadah lain yang sunat.

Ibadah seperti ini ada yang sah keduanya (fardhu dan sunat),  dan ada yang sah fardhunya saja atau sah sunatnya saja dan ada juga yang tidak sah kedua-duanya

1.       Sah keduanya(fardhu dan sunat).

a.       Melaksanakan niat shalat fardlu ( subuh ) sekaligus niat sebagai tahiyyatul masjid. Menurut Imam Nawawi dalam kitab syarah al-Muhazzab tidak ada khilaf dalam mazhab Syafii bahwa keduanya sah dan mendapatkan pahala. Namun Imam Rafi’i dan Ibnu Shilah mengatakan tetap ada khilaf tentang sah dan tidak sah sebagaimana dalam persoalan niat wudhuk atau mandi dengan niat menyegarkan badan. Akan tetapi imam Nawawi mengatakan bahwa ada perbedaan yang jelas yaitu bahwa khilaf tidak sah pada niat menyegarkan badan karena disana terjadi tasyrik niat antara ibadah dengan yang bukan ibadah, sedangkan disini terjadi tasyrik niat antara fardhu dengan sunat yang keduanya sama-sama ibadah, yang salah satunya( shalat tahiyyat masjid) hasil dengan tanpa qasad, sebagaimana imam meninggikan suaranya ketika takbiratul ihram supaya makmum mendengarnya, maka sembahyang imam itu sah dengan ijmak walaupun ada dua tujuan ( takbir dan memperdengarkan) karena keduanya adalah qurbah ( wajib dan sunat).

b.       Seseorang yang niat mandi junub sekaligus dengan mandi hari jumat, maka sah keduanya dan mendapat pahala keduannya.

c.       Salam dengan niat untuk keluar dari sembahyang dan salam kepada orang yang hadir pada tempat tersebut, maka sah dan mendapatkan pahala keduanya.

d.       Niat melakukan haji fardhu dengan umrah sunat, sah keduanya dan berfahala

 

2.       Sah fardhunya.

a.       Orang berniat haji fardhu dan haji sunat, padahal dia belum pernah haji, maka yang sah haji fardhunya.

b.       Niat qadha shalat yang telah luput ( misalnya subuh) pada malam Ramadhan disertai niat shalat Tarawih, maka menurut Ibnu Shilah sah qadha shalatnya, tidak sah tarawih.

 

3.       Sah sunatnya

a.       Seseorang memberi uang kepada fakir miskin dengan niat zakat dan sedekah, maka yang sah sedekahnya bukan zakatnya.

b.       Orang yang tidak mampu membaca fatihah, kemudian hanya membaca doa iftitah dan ta’awwudz saja dengan niat sebagai sunnat dan sebagai ganti dari fatihah, maka tidak dianggap sah untuk fatihah.

 

4.       Tidak sah keduanya (fardhu dan sunat)

a.       Imam dalam shalat berjama’ah sudah dalam posisi rukuk, lalu seorang masbuq membaca satu takbir dengan niat sebagai takbiratul ihram dan sekaligus sebagai takbir intiqalat, maka tidak sah shalat simasbuq tersebut sama sekali, karena ada tasyrik pada niat.

b.       Shalat dengan niat shalat fardhu dengan sekaligus niat shalat rawatib, maka tidak sah keduanya sama sekali

( Imam Suyuthi, al-Asybah wan-Nadhair, Haramain, hal. 16-17)

 

القسم الثالث ان ينوي مع المفروضة فرضا اخر

Artinya:ketiga meniatkan ibadah fardhu dengan fardhu lain.

Ibnu Subki berkata : Ibadah demikian tidak sah kecuali masalah haji dan umrah, yaitu haji qiran, dimana didalamnya digabung ibadah umrah wajib dan haji wajib.

Menurut Suyuthi ada contoh lain yang sah yaitu mandi wajib sambil menyelam dengan niat wudhu. Ini sah kedua-duanya menurut pendapat yang ashah.

(Imam Suyuthi, al-Asybah wan-Nadhair, Haramain, hal. 17 )

الرابع ان ينوي مع النفل نفلا اخر 

Artinya: Keempat meniatkan ibadah sunat beserta ibadah sunnah lain.

Qufal mengatakan hukumnya tidak sah. Namun as-Suyuthi berkata bahwa pedapat itu bertentangan dengan hukum sah mandi dengan niat untuk jum’at dan hari raya sekaligus pada ketika hari raya jatuh pada hari Jum’at.

Contoh lainnya adalah bersamaan shalat hari raya dan gerhana, lalu dibaca dua khutbah dengan niat untuk keduanya, maka hukumnya adalah sah. Demikian juga sah menggabung shalat qabliyah dhuhur dan tahiyyatul masjid. Demikian lagi juga sah dengan ijmak ulama seorang imam shalat mengeraskan suaranya pada takbir dengan niat memperdengarkan kepada makmum.

( Imam Suyuthi, al-Asybah wan-Nadhair, Haramain, hal. 17 )

الخامس ان ينوي مع غير العبادة شيئا اخرغيرها و هما مختلفان فى الحكم

Artinya: Kelima Meniatkan pada yang bukan ibadah sesuatu yang bukan ibadah dan keduanya berbeda pada hukum

Contoh kasus yaitu seseorang yang berkata pada isterinya : “Engkau haram untukku” dengan niat thalaq dan zhihar sekaligus. Menurut pendapat ashah, suami tersebut boleh memilih antara keduanya yaitu thalaq atau zhihar. Menurut satu pendapat Qil jatuh thalaq karena kuatnya thalaq, menurut satu pendapat Qil jatuh zhihar karena asal adalah kekal nikah.

( Imam Suyuthi, al-Asybah wan-Nadhair, Haramain, hal. 17 )

Wallahu ‘a’lam bissawab

Selasa, 13 April 2021

AKHLAK MENYIKAPI PERBEDAAN PUASA

Oleh: Tgk Dailami Yusuf Pirak*

          Sama seperti tahun sebelumnya, tahun ini juga terjadi perbedaan awal puasa tahun1442 H, ada yang berpuasa hari selasa bertepatan tanggal 13 April 2021, ada juga yang mulai puasa hari Rabu tanggal 14 April 2021. Ini terjadi karena pada sore tanggal 29 syakban atau bertepatan tanggal 12 April tidak terjadi Rukyatul hilal (Observasi/nampak bulat sabit) yang diakibatkan cuaca mendung dan hujan lebat mengguyur Aceh, khususnya pada lokasi yang dijadikan sebagai tempat pengamatan hilal. Sedangkan pemerintah lewat kementerian agama sudah melaksanakan sidang Isbat dan memutuskan awal ramadhan jatuh pada hari Selasa tanggal 13 April 2021 karena hilal terlihat di Gresik Jawa Timur pada jam 17:30 WIB sampai 17:32 ( detiknews.com)

          Di Aceh secara garis besar terdapat dua macam pendapat ulama dalam menyikapi penentuan awal memulai puasa, kelompok ulama pertama yaitu kelompok yang mengikuti keputusan hasil sidang isbat dari pemerintah,jika pemerintah sudah memutuskan puasa pada hari tersebut maka kelompok ini taat terhadap keputusan pemerintah untuk memulai berpuasa. Dan kelompok ulama kedua yaitu kelompok yang tetap berpegang kepada rukyatul hilal, jika rukyatul hilal tidak berhasil pada kawasan yang sama mathla’ maka menyempurnakan bulan syakban 30 hari.

          Dalam tulisan kali ini penulis tidak membahas lagi perbedaan dalil terkait perbedaan memulai puasa karena sudah penulis bahas sebelumnya, pada kali penulis akan membahas bagaimana sikap kita dalam menyikapi perbedaan tersebut, dikarenakan didalam masyarakat kita khususnya didesa-desa yang  mengikuti pendapat ulama yang berbeda sering terjadi sikap saling mencemooh bahkan saling ejek bahkan mengklaim bahwa kelompok dirinyalah yang paling benar sedangkan kelompok lain salah. Hal seperti  ini tentu bisa membuat kelompok yang berbeda merasa sakit hati yang tentunya ini sangat tidak diinginkan apalagi di bulan yang suci ini yang seharusnya lebih saling menjaga lisan dan saling menghormati.

          Bahkan penulis mendapatkan kasus dimana sebagian masyarakat kampung sudah ada yang mulai berpuasa, ada sebagian yang lain masih belum puasa dan buka warung kopi disiang hari dan makan minum serta merokok dengan santai dengan alasan bahwa belum masuk bulan Ramadhan sambil menyindir bahwa orang yang puasa pada hari itu sebagai orang yang tidak ngaji lantaran tidak mengikuti pendapat bahwa puasa hanya dengan rukyatul hilal.

          Kejadian-kejadian seperti ini dalam masyarakat sangat tidak kita inginkan karena bisa membuat sakit hati seseorang dan bisa memutuskan tali silaturrahmi dan menghilangkan persatuan dalam masyarakat dan bisa menimbulkan bibit-bibit perpecahan apabila terus terjadi dan tidak disikapi dengan baik dengan cara saling menghormati terhadap perbedaan pendapat atau dalam mengikuti pendapat ulama tertentu.     

          Bagi orang yang belum memulai puasa dan pada saat yang sama ada saudaranya yang lain yang sudah melaksanakan puasa hari itu tentunya harus menghargai dan menghormatinya, tidak boleh mengatai atau menyindirnya yang dapat menyakiti perasaannya, dan juga sebaliknya yang sudah berpuasa pun tentunya juga harus menghormati dan menghargai orang lain yang belum memulai puasa yang karena memang mengikuti pendapat ulama tertentu.

          Dalam hal ini kita sebagai orang beriman seharusnya malu apabila kita mengambil pelajaran dari kisah seorang Majusi yang masuk surga karena menghormati orang yang berpuasa. Dalam kitab Zubdatul majalis halaman 17 disebutkan( Saheh tidaknya hikayah ini hanya Allah yang maha tahu):

حكى أن مجوسيا رأى ابنه في رمضان يأكل فى السوق فضربه وقال لم لم تحفظ حرمة المسلمين في رمضان؟

Artinya: Diriwayatkan, ada seorang Majusi melihat anak lelakinya sedang makan di pasar, maka ia memukulnya dan ia berkata pada anaknya, “Mengapa engkau tidak menjaga kehormatan orang muslimin dibulan Ramadhan?”( Zubdatul majalis halaman 17)

فمات المجوسي فرآه عالم في المنام على سرير العزة في الجنة فقال ألست مجوسيا ، فقال بلى ولكن سمعت وقت الموت نداء من فوقى يا ملائكة لا تتركوه مجوسيا فأكرموا بالإسلام بحرمته لرمضان.

 

Artinya: Kemudian orang majusi tersebut meninggal dunia. Lalu ada orang Alim memimpikan dia sedang berada di singgasana kemuliaan didalam surga. Di dalam mimpinya orang ‘Alim tersebut bertanya, “Bukankah engkau seorang majusi?” Ia menjawab, “Benar, namun pada saat maut menjelang, aku mendengar suara di atasku, “wahai malaikatku, jangan biarkan dia mati dalam keadaan majusi. Muliakanlah dia dengan islam sebab dia memuliakan Ramadhan”.

فالإشارة أن المجوسي لما احترم رمضان وجد الإيمان ، فكيف بمن صامه واحترمه؟ (زبدة المجالس)

Artinya: Maka sebagai isyarah atau pelajaran yang dapat diambil, bahwa sesungguh orang majusi saja ketika ia memuliakan Ramadhan, ia mendapatkan keimanan. Maka bagaimana dengan muslimin yang memuliakan saudaranya yang berpuasa??????( Kitab Zubdatul Majalis: Hal.17)

Terkait perbedaan pendapat ulama dalam memahami sebuah kasus, jangankan sekarang yang masanya sangat jauh dari Nabi, dulu masa para sahabat yang masih bersama Rasulullah saja bisa terjadi perbedaan dan kebingungan  dalam memahami maksud dari sebuah ucapan Nabi. Salah satunya adalah dalam kasus Shalat ‘Ashar di Bani Quraizhah. Cerita  ini bahkan sangat populer dan sering kita dengar. Ceritanya begini:

Setelah usai perang Khandaq, Rasulullah pulang ke Madinah dan meletakkan senjatanya. Namun ketika beliau sedang mandi di rumah Ummu Salamah, beliau didatangi oleh Malaikat Jibril dan Jibril mengatakan :

قَدْ وَضَعْتَ السِّلَاحَ وَاللَّهِ مَا وَضَعْنَاهُ فَاخْرُجْ إِلَيْهِمْ قَالَ فَإِلَى أَيْنَ قَالَ هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ

Artinya: Engkau sudah meletakkan senjata?Nabi menjawab: Demi Allah, kami belum meletakkannya. Lalu jibril memerintah: Maka keluarlah menuju mereka !.Rasulullah bertanya: “Kemana? Jibril  menjawab, ‘Kearah sini.’ Malaikat Jibril menunjukkan arah Bani Quraizhah. (HR Bukhari, No. 4117, Maktabah Syamilah)

Menerima perintah ini, Rasulullah bergegas untuk melaksanakannya dan menginstruksikan kepada para shahabatnya untuk segera bergerak ke arah Bani Quraizhah. Bahkan supaya cepat sampai tujuan, Rasulullah bersabda :

لَا يُصَلِّيَنَّ اَحَدُكُمْ الْعَصْرَ اِلّا فِى بَنِى قُرَيْظَة

Artinya: “Janganlah kalian shalat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah”.

Para sahabat sangat paham kata-kata Nabi ini, karena diucapkan dengan bahasa yang jelas dan tegas. Ini berarti bahwa shalat Ashar hanya boleh dilakukan di Bani Quraizhah. Dan itu berlaku bagi siapapun para sahabat Nabi yang ada di situ ketika itu. Tidak ada seorang pun ketika itu yang bertanya.

Maka merekapun berangkat menuju ke arah perkampungan Bani Quraidhah yang disarankan Nabi itu. Tetapi di tengah perjalanan mereka melihat ke langit bila shalat Ashar di laksanakan di tempat yg diperintahkan Nabi tadi maka waktu shalat Ashar habis. Bila perjalanan tetap dilanjutkan sampai ke Bani Quraizhah, waktu Ashar pasti habis dan masuk waktu shalat Maghrib.

Para sahabat bingung ketika itu, lalu masing-masing merenung: “Jika ikut perintah Nabi berarti harus shalat di Bani Quraizhah. Bukankah perintah Nabi wajib diikuti?. Tetapi akibatnya waktunya sudah lewat dan habis dan kita tidak boleh melaksanakannya di luar waktunya masing-masing. Bukankah al-Qur’an sudah menegaskan hal ini. Akan tetapi jika shalat Ashar dikerjakan di tengah perjalanan, akibatnya tidak menuruti perintah Nabi yang sudah sangat jelas itu. Jadi kita akan mengikuti siapa? Allah atau Nabi?. Tapi bagaimana mungkin itu boleh terjadi?.

Lalu apa yang kemudian terjadi, mereka berselisih pendapat mengenai hal tersebut, maka ada sahabat yang shalat di perjalanan, dan ada yang di kampung Bani Quraizhah, sesuai dengan dengan pemahaman masing-masing.

Manakala kemudian bertemu Nabi, mereka menceritakan kejadian itu, sambil meminta pandangan beliau tentang siapa di antara dua kelompok itu yang benar. Nabi tersenyum, tidak marah dan tidak menyalahkan siapapun. “Kalian telah berpikir keras dan untuk itu semua kalian mendapat pahala”.

Betapa bijaksana dan lembutnya Rasulullah Saw. Beliau tidak menyalahkan salah satu pikiran sahabat-sahabatnya, malahan memberikan penghargaan kepada keduanya atas usaha mencari kebenaran.

Maka dari cerita hikayah dan hadis Nabi yang saheh diatas sekiranya itu bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk tetap saling menghormati dan menghargai persoalan terkait penentuan awal puasa Ramadhan yang lebih kepada persoalan furuiyyah. Perbedaan pendapat akan tetap terus ada sampai kapanpun sampai kiamat tiba. Janganlah kita karena berbeda dalam persoalan yang hanya sepele seperti ini menciderai kesucian bulan Ramadhan dimana kita semua ingin mensucikan hati kita dari segala sifat tercela sambil meningkatkan ibadah kita supaya mendapatkan predikat orang-orang yang bertaqwa. Amiin Ya Rabbal Alamiin…

 

*Penulis adalah Dosen Ma’had Aly Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara

Senin, 12 April 2021

KHILAFIYAH TENTANG AWAL RAMADHAN

Oleh Tgk Dailami Yusuf Pirak*

Entah sejak kapan setiap menjelang bulan Ramadhan tiba, kita seringkali mendapatkan fenomena perbedaan pendapat terkait penetapan awal mulai puasa, dan perbedaan ini sering kali menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat serta saling klaim bahwa kelompoknya paling benar, sedangkan kelompok lain salah, bahkan kadang juga sampai saling mengejek antara pengikut nya masing-masing. Bulan suci yang seharusnya dijadikan sebagai bulan untuk amal ibadah dan amal shaleh justu ternoda oleh saling sindir dan ejek antar kelompok masyarakat.

A.      ANTARA RUKYAH DAN HISAB

          Pemerintah lewat Kementerian Agama sebagai lembaga yang punya wewenang dalam penetapan awal puasa, telah berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut dengan menggelar sidang isbat yang dihadiri oleh para ulama, juga ahli hisab-rukyat, dan perwakilan dari berbagai organisasi massa yang ada di Indonesia. Hanya saja, terkadang ada kelompok yang tidak mengikuti hasil sidang itsbat dimaksud dengan alasan mereka telah memiliki metode penetapan sendiri. Karenanya menjadi sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui metode-metode yang digunakan oleh para ulama dalam menetapkan awal bulan Ramadhan.

Dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, ulama berbeda pendapat, secara garis ada dua kelompok:

Pertama, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa awal bulan Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi/mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ    

Artinya: Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya.”

Dan juga hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari, hadits no. 1776).

Pada ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya mengkaitkan kewajiban berpuasa dengan melihat hilal. Artinya, kewajiban berpuasa hanya bisa ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. (Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, Juz 1980, hal. 210).

Kedua, sebagian ulama, meliputi Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal). Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 5:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu).”

Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Artinya: Jika kalian melihat hilal (hilal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka perkirakanlah ia.” 

Ayat di atas menerangkan bahwa tujuan penciptaan sinar matahari dan cahaya bulan serta penetapan tempat orbit keduanya adalah agar manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan kepada manusia agar menggunakan hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan Hijriyah. Sedangkan poin utama dari hadits di atas adalah kata “Faqdurû lah”. Menurut mereka, arti kata tersebut adalah perkirakanlah dengan menggunakan hitungan (hisab). Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kelompok pertama yang menyatakan bahwa awal Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan rukyat dan istikmal merupakan pendapat yang sangat kuat, karena dalil-dalil yang mereka kemukakan sangat jelas dan tegas menyatakan hal tersebut.

B.      RUKYAH DALAM MAZHAB SYAFI’I

Terkait dengan metode Rukyah Hilal dalam Imam Syafi’I ada beberapa pendapat Ulama:

1.       Imam Zainuddin al-Malibari.

Didalam kitab Fathul Mu’in Jilid 2 Halaman 218, beliau mengatakan :

“Apabila telah terjadi rukyah hilal pada satu balad, maka lazem rukyah hilal itu berlaku juga atas balad yang dekat, tidak berlaku atas balad yang jauh. Ketentuan jauhnya diketahui dengan sebab ikhtilaf mathala’ menurut pendapat yang ashah. Yang dimaksud dengan ikhtilaf mathala’ adalah saling berjauhan dua tempat, dengan ukuran sekira-kira kalau ada rukyah hilal pada salah satu balad/tempat, maka rukyah hilal tidak ada pada balad/tempat lain. Pendapat ini telah dikatakan dalam Kitab al-Anwar. Berkata al-Taj al-Tabrizy dan diakui oleh lainnya : “Tidak mungkin ikhtilaf mathali’ kurang dari dua puluh empat farsakh”.

Memberitahu oleh Subki dan mengikuti oleh lainnya bahwa ru’yah pada balad sebelah timur mewajibkan ru’yah pada balad sebelah barat, tidak sebaliknya karena malam masuk pada balad sebelah timur sebelum balad sebelah barat. Maksud yang dikehendaki dari kalam mereka (Subki dan yang mengikutinya) bahwa kapan saja ada ru’yah pada pihak timur, maka mewajibkan setiap orang yang berada di pihak barat dengan nisbah sebelah timur, beramal dengan ru’yah itu,meskipun ikhtilaf mathala’.

2.       Ibnu Hajar al-Haitami

Didalam kitab ‘Ianathut Thalibin Jilid II halaman 219, Sayyid Abubakar Syata menukil pendapat Ibnu Hajar al-Haitami yang ada didalam kitab Tuhfah yaitu:

“Kalam tersebut (Rukyah pada balad sebelah timur mewajibkan rukyah pada balad sebelah barat) bertentangan dengan kenyataannya. Maka untuk membenar kalam tersebut harus diartikan bahwa yang wajib itu wujud bukan rukyah, karena kadang-kadang hilal itu terhalang dengan suatu penghalang. Sedangkan kewajiban puasa bergantung pada rukyah hilal, bukan pada wujudnya hilal.( Ianathut Thalibin Jilid II halaman 219)

3.       Imam Nawawi.

Imam Nawawi berkata” Ukuran jauh (ukuran jauh satu balad dengan balad lainnya dimana ru’yah dalam satu balad tidak berlaku untuk balad lain yang jauh) adalah musafah qashar. Ada yang mengatakan ikhtilaf mathala’. Pendirianku : Ini (pendapat kedua) adalah yang lebih shahih,wallahua’lam. Karena urusan hilal tidak berhubungan dengan musafah qashar.

C.      KEWAJIBAN PUASA KARENA RUKYAH  DALAM SATU BALAD

          Dalil tentang kewajiban puasa penduduk negeri karena telah rukyah hilal, antara lain:

1.       Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 185 yaitu :فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه

Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu

Sisi pendalilannya ialah bahwasanya yang diwajibkan untuk berpuasa adalah orang-orang yang menyaksikan telah masuknya bulan Ramadhan. Maka demikianlah adanya dan orang-orang yang satu mathla’ dengannya, sementara wilayah lainnya yang tidak satu mathla’ tidak dikatakan menyaksikan, karena waktunya berbeda.

2.       Hadits

Didalam Kitab Shahih Muslim versi Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 765, No. Hadits : 1087 ada hadis yang diriwayatkan dari Kuraib yaitu:

عن كريب؛ أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية بالشام. قال: فقدمت الشام. فقضيت حاجتها. واستهل على رمضان وأنا بالشام. فرأيت الهلال ليلة الجمعة. ثم قدمت المدينة في آخر الشهر. فسألني عبدالله بن عباس رضي الله عنهما. ثم ذكر الهلال فقال: متى رأيتم الهلال فقلت: رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته ؟ فقلت: نعم. ورأه الناس. وصاموا وصام معاوية. فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت. فلا تزال نصوم حتى نكمل ثلاثين. أو نراه. فقلت: أو لا تكتفي برؤية معاوية وصيامه ؟ فقال: لا. هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم.

Artinya : Dari Kuraib bahwasanya Ummu Al-Fadl binti Harits mengutusnya untuk menemui Muawiyah di Syam, kemudian ia berkata, "Aku pun mendatanginya di Syam dan menyampaikan maksud kedatanganku. Kemudian datanglah hilal sebagai tanda datangnya bulan Ramadhan. Ketika itu aku berada di syam bertepatan dengan malam Jum'at. Kemudian aku pergi menuju Madinah pada akhir bulan, ketika itu Abdullah Ibnu Abbas ra. bertanya kepadaku tentang hilal, akupun menceritakan bahwa aku telah melihatnya." Ia bertanya kembali, "Kapan kamu melihatnya?" Aku menjawab, "Pada malam Jum'at." Kemudian ia bertanya kembali, "Kamu melihatnya sendiri?" Maka aku pun menjawab: "Ya, dan penduduk Syam juga telah melihatnya, mereka berpuasa termasuk Muawiyah." Maka ia berkata, "Di sini kita melihatnya pada malam Sabtu, maka kami masih berpuasa dan akan menyempurnakannya menjadi tiga puluh hari atau sampai kami melihat hilal" Maka akupun bertanya, "Apakah tidak cukup dengan hilal yang di lihat oleh Muawiyah dan puasa mereka sebagai bukti?" Ia menjawab: "Tidak, inilah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (HR. Muslim)

Imam Muslim menyebut hadits ini dalam “Bab penjelasan untuk setiap balad sesuai dengan rukyah mereka dan penduduk suatu balad apabila melihat hilal dalam baladnya, maka tidak berlaku untuk penduduk yang jauh dari mereka”.

Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim, menyebut beberapa pendapat ulama Syafiiyyah yang berbeda mengenai ini:

1.       Pendapat  mayoritas ulama Syafi’iyah yaitu bahwa rukyah pada suatu negeri tidak berlaku untuk setiap orang dibumi ini, tetapi dibatasi pada kawasan dibawah musafah qashar. Pendapat lain dibatasi pada kawasan yang sama mathali’nya. Pendapat lain lagi, dibatasi hanya pada yang sama iklimnya.

2.       pendapat sebagian ulama Syafiiyyah bahwa rukyah mewajibkan puasa semua penduduk bumi. Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini mengatakan bahwa Ibnu Abbas r.a. tidak mengamalkan ru’yah berdasarkan berita Kuraib adalah karena berita tersebut termasuk dalam kategori syahadah (kesaksian). Sedangkan syahadah tidak dapat ditetapkan hanya dengan kesaksian satu orang. Jadi bukan karena ru’yah negeri Syam tidak berlaku untuk negeri Madinah.

Namun Nawawi mengatakan: “Dhahir hadits ini, Ibnu Abbas menolak berita Kuraib bukan karena kesaksiannya hanya satu orang, tetapi karena ru’yah tidak berlaku bagi orang yang jauh.(An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. VII, Hal. 197)

Pendapat kedua ini juga merupakan pendapat yang masyhur dari ulama Malikiyah, tetapi Ibnu Abdulbar telah menghikayahkan ijmak sebaliknya.

3.       Apabila rukyah telah dinaiksaksikan di depan al-Imam al-a’dham (pemimpin tertinggi/presiden), maka rukyah tersebut berlaku untuk semua penduduk suatu negara, karena balad-balad pada hak al-imam al-a’dham sama dengan satu balad. Karena hukum al-imam al-a’dham berlaku atas seluruhnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu al-Majisun (Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz, IV, Hal. 123)

D.      SIDANG ISBAT RAMADHAN

          Sidang Isbat merupakan sidang yang dilakukan oleh pemerintah indonesia bersama ahli-ahli ilmu falak hingga ahli astronomi untuk menetapkan awal bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah seperti penetuan awal bulan ramadhan. Sidang isbat dilakukan pemerintah untuk menengahi perbedaan tentang awal ramadhan karena perbedaan pandangan fikih yang berbeda-beda.

          Sidang isbat ini dilakukan tanpa memperhatikan perbedaan mathla’, artinya apabila hilal sudah nampak pada suatu  wilayah republik Indonesia maka ditetapkanlah berpuasa untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.

          Terkait dengan sidang isbat yang demikian, bagaimana hukumnya bagi kita yang sebagian besar merupakan pengikut imam Syafi’i, apakah wajib mengikuti hasil sidang isbat ini atau tidak wajib?

          Didalam kitab Fatawa Imam Muhammad al-Khalili al-Syafi’i ditanyai:

“Kalau seorang hakim yang berbeda mazhab dengan mazhab Syafi’i menetapkan itsbat rukyat dalam keadaan berbeda mathala’, maka apakah wajib atas kita, pengikut Syafi’i berpuasa dengan berpedoman kepada pendapat hakim tersebut, yaitu apabila positif rukyat pada suatu kota, maka lazim rukyat pada kota lainnya. Sedangkan kita tidak berpendapat kepada lazimnya kecuali dalam satu mathala’. Dan apakah wajib atas kita mengqadha puasa hari yang telah ditetapkan rukyat ? dan apakah qadhanya tersebut dengan segera?. Jawab : Ya, wajib atas kita berpuasa dan wajib mengqadha puasa hari yang kita berbuka dengan berpedoman kepada itsbat hakim tersebut.( Fatawa al-Khalili, Jilid I  Hal. 111-112)

          Ibnu Hajar al-Haitamy menyatakan bahwa:“Apabila hakim yang berbeda dengan kita menetapkan hilal dalam keadaan berbeda mathala’, maka lazim atas kita beramal dengan kehendaki itsbatnya, karena hari itu menjadi termasuk Ramadhan sehingga berdasarkan atas qawa’id kita. Hal itu berdasarkan perkataan Kitab al-Majmu’ : Kedudukan khilaf dalam menerima kesaksian satu orang adalah selama tidak ditetapkan oleh hakim dengan kesaksian satu orang yang melihat hilal. Apabila tidak (sudah ditetapkan hakim dengan kesaksian satu orang), maka wajib berpuasa dan tidak gugur hukum hakim tersebut dengan ijmak.(Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj, Mathtaba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. III,Hal.383)

          Imam Nawawi di dalam kitab Majmu’ Syarah Muhazzab, mengatakan: “kalau bersaksi melihat hilal oleh dua orang atau satu orang, tetapi hakim menetapkan dengannya, maka tidak gugur hukum tersebut dengan ijmak dan wajib puasa denga ijmak”.( Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 294)

Sayyed Abubakar Syata mengatakan:

“Apabila hakim yang berbeda dengan kita menetapkan hilal dalam keadaan berbeda mathali’, maka lazim atas kita beramal dengan kehendaki itsbatnya.( I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang.Juz.II.Hal.221)

          Keterangan ulama tersebut di atas adalah berdasarkan qaidah fiqh yang berbunyi :

حكم الحاكم في المسائل المختلف فيها يرفع الخلاف

Artinya : Hukum hakim dalam masalah khilaf dapat menghilangkan khilaf

          Al-Qurafi menyebut qaidah di atas redaksi yang berbeda, yaitu :

ان حكم الحاكم في المسائل الاجتهاد يرفع الخلاف ويرجع المخالف عن مذهبه لمذهب الحاكم

Artinya : Sesungguhnya hukum hakim dalam masalah ijtihadiyah dapat menghilangkan khilaf dan orang yang berbeda dengan hakim, harus ruju’ dari mazhabnya dengan mengikuti mazhab hakim.( AL-Qurafi, al-Furuq, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 179)

          Sayyed Ali bin Ahmad al-Saqaf, menyebut qaidah tersebut dengan redaksi :

حكم الحاكم يرفع الخلاف في المسائل الخلافية ويصير الأمر متفقا عليه

Artinya : Hukum hakim dapat menghilangkan khilaf dalam masalah khilafiah dan perkara khilafiah tersebut menjadi sebuah kesepakatan(Sayyed Ali bin Ahmad al-Saqaf, al-Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam Sab’ah Kutub Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal. 70)

          Menurut Imam Zarkasyi dalam al-Mantsur fi al-Qawa’id dijelaskan sebagai berikut:

قالوا حكم الحاكم في المسائل المختلف فيها يرفع الخلاف وهذا مقيد بما لا ينقض فيه حكم الحاكم أما ما ينقض فيه فلا

الثالث مدار نقض الحكم على تبين الخطأ والخطأ إما في إجتهاد الحاكم في الحكم الشرعي حيث تبين النص أو الإجماع أو القايس الجلي بخلافه ويكون الحكم مرتبا على  صحيح وغما في السبب حيث يكون الحكم مرتبا على سبب باطل كشهادة الزور

Artinya: Mereka ( Para Ulama) mengatakan” Hukum/ penetapan hakim pada masalah-masalah yang khilafiyah dapat merafak (menghilangkan) khilaf, ini adalah apabila penetapan tersebut tidak dinyatakan gugur. Hukum hakim dapat dinyatakan gugur apabila hukum tersebut nyata-nyata salah. Kesalahan tersebut adakalanya terletak pada ijtihad hakim, yakni penetapan tersebut bertentangan dengan nash, ijmak dan qiyas yang terang, dan adakalanya kesalahannya terjadi pada sebab yang batil seperti kesaksian bohong.

(Imam Zarkasyi, Al-Mansur fi al-Qawaid, Juz. II, Hal. 69)

Demikianlah penjelasan yang dapat kami sampaikan, masukan dan saran serta kritikan dari guru-guru sangat kami harapkan demi penyempurnaan tulisan ini.

Wallahu ‘alam Bissawab