Senin, 12 April 2021

KHILAFIYAH TENTANG AWAL RAMADHAN

Oleh Tgk Dailami Yusuf Pirak*

Entah sejak kapan setiap menjelang bulan Ramadhan tiba, kita seringkali mendapatkan fenomena perbedaan pendapat terkait penetapan awal mulai puasa, dan perbedaan ini sering kali menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat serta saling klaim bahwa kelompoknya paling benar, sedangkan kelompok lain salah, bahkan kadang juga sampai saling mengejek antara pengikut nya masing-masing. Bulan suci yang seharusnya dijadikan sebagai bulan untuk amal ibadah dan amal shaleh justu ternoda oleh saling sindir dan ejek antar kelompok masyarakat.

A.      ANTARA RUKYAH DAN HISAB

          Pemerintah lewat Kementerian Agama sebagai lembaga yang punya wewenang dalam penetapan awal puasa, telah berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut dengan menggelar sidang isbat yang dihadiri oleh para ulama, juga ahli hisab-rukyat, dan perwakilan dari berbagai organisasi massa yang ada di Indonesia. Hanya saja, terkadang ada kelompok yang tidak mengikuti hasil sidang itsbat dimaksud dengan alasan mereka telah memiliki metode penetapan sendiri. Karenanya menjadi sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui metode-metode yang digunakan oleh para ulama dalam menetapkan awal bulan Ramadhan.

Dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, ulama berbeda pendapat, secara garis ada dua kelompok:

Pertama, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa awal bulan Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi/mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ    

Artinya: Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya.”

Dan juga hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari, hadits no. 1776).

Pada ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya mengkaitkan kewajiban berpuasa dengan melihat hilal. Artinya, kewajiban berpuasa hanya bisa ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. (Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, Juz 1980, hal. 210).

Kedua, sebagian ulama, meliputi Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal). Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 5:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu).”

Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Artinya: Jika kalian melihat hilal (hilal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka perkirakanlah ia.” 

Ayat di atas menerangkan bahwa tujuan penciptaan sinar matahari dan cahaya bulan serta penetapan tempat orbit keduanya adalah agar manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan kepada manusia agar menggunakan hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan Hijriyah. Sedangkan poin utama dari hadits di atas adalah kata “Faqdurû lah”. Menurut mereka, arti kata tersebut adalah perkirakanlah dengan menggunakan hitungan (hisab). Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kelompok pertama yang menyatakan bahwa awal Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan rukyat dan istikmal merupakan pendapat yang sangat kuat, karena dalil-dalil yang mereka kemukakan sangat jelas dan tegas menyatakan hal tersebut.

B.      RUKYAH DALAM MAZHAB SYAFI’I

Terkait dengan metode Rukyah Hilal dalam Imam Syafi’I ada beberapa pendapat Ulama:

1.       Imam Zainuddin al-Malibari.

Didalam kitab Fathul Mu’in Jilid 2 Halaman 218, beliau mengatakan :

“Apabila telah terjadi rukyah hilal pada satu balad, maka lazem rukyah hilal itu berlaku juga atas balad yang dekat, tidak berlaku atas balad yang jauh. Ketentuan jauhnya diketahui dengan sebab ikhtilaf mathala’ menurut pendapat yang ashah. Yang dimaksud dengan ikhtilaf mathala’ adalah saling berjauhan dua tempat, dengan ukuran sekira-kira kalau ada rukyah hilal pada salah satu balad/tempat, maka rukyah hilal tidak ada pada balad/tempat lain. Pendapat ini telah dikatakan dalam Kitab al-Anwar. Berkata al-Taj al-Tabrizy dan diakui oleh lainnya : “Tidak mungkin ikhtilaf mathali’ kurang dari dua puluh empat farsakh”.

Memberitahu oleh Subki dan mengikuti oleh lainnya bahwa ru’yah pada balad sebelah timur mewajibkan ru’yah pada balad sebelah barat, tidak sebaliknya karena malam masuk pada balad sebelah timur sebelum balad sebelah barat. Maksud yang dikehendaki dari kalam mereka (Subki dan yang mengikutinya) bahwa kapan saja ada ru’yah pada pihak timur, maka mewajibkan setiap orang yang berada di pihak barat dengan nisbah sebelah timur, beramal dengan ru’yah itu,meskipun ikhtilaf mathala’.

2.       Ibnu Hajar al-Haitami

Didalam kitab ‘Ianathut Thalibin Jilid II halaman 219, Sayyid Abubakar Syata menukil pendapat Ibnu Hajar al-Haitami yang ada didalam kitab Tuhfah yaitu:

“Kalam tersebut (Rukyah pada balad sebelah timur mewajibkan rukyah pada balad sebelah barat) bertentangan dengan kenyataannya. Maka untuk membenar kalam tersebut harus diartikan bahwa yang wajib itu wujud bukan rukyah, karena kadang-kadang hilal itu terhalang dengan suatu penghalang. Sedangkan kewajiban puasa bergantung pada rukyah hilal, bukan pada wujudnya hilal.( Ianathut Thalibin Jilid II halaman 219)

3.       Imam Nawawi.

Imam Nawawi berkata” Ukuran jauh (ukuran jauh satu balad dengan balad lainnya dimana ru’yah dalam satu balad tidak berlaku untuk balad lain yang jauh) adalah musafah qashar. Ada yang mengatakan ikhtilaf mathala’. Pendirianku : Ini (pendapat kedua) adalah yang lebih shahih,wallahua’lam. Karena urusan hilal tidak berhubungan dengan musafah qashar.

C.      KEWAJIBAN PUASA KARENA RUKYAH  DALAM SATU BALAD

          Dalil tentang kewajiban puasa penduduk negeri karena telah rukyah hilal, antara lain:

1.       Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 185 yaitu :فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه

Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu

Sisi pendalilannya ialah bahwasanya yang diwajibkan untuk berpuasa adalah orang-orang yang menyaksikan telah masuknya bulan Ramadhan. Maka demikianlah adanya dan orang-orang yang satu mathla’ dengannya, sementara wilayah lainnya yang tidak satu mathla’ tidak dikatakan menyaksikan, karena waktunya berbeda.

2.       Hadits

Didalam Kitab Shahih Muslim versi Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 765, No. Hadits : 1087 ada hadis yang diriwayatkan dari Kuraib yaitu:

عن كريب؛ أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية بالشام. قال: فقدمت الشام. فقضيت حاجتها. واستهل على رمضان وأنا بالشام. فرأيت الهلال ليلة الجمعة. ثم قدمت المدينة في آخر الشهر. فسألني عبدالله بن عباس رضي الله عنهما. ثم ذكر الهلال فقال: متى رأيتم الهلال فقلت: رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته ؟ فقلت: نعم. ورأه الناس. وصاموا وصام معاوية. فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت. فلا تزال نصوم حتى نكمل ثلاثين. أو نراه. فقلت: أو لا تكتفي برؤية معاوية وصيامه ؟ فقال: لا. هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم.

Artinya : Dari Kuraib bahwasanya Ummu Al-Fadl binti Harits mengutusnya untuk menemui Muawiyah di Syam, kemudian ia berkata, "Aku pun mendatanginya di Syam dan menyampaikan maksud kedatanganku. Kemudian datanglah hilal sebagai tanda datangnya bulan Ramadhan. Ketika itu aku berada di syam bertepatan dengan malam Jum'at. Kemudian aku pergi menuju Madinah pada akhir bulan, ketika itu Abdullah Ibnu Abbas ra. bertanya kepadaku tentang hilal, akupun menceritakan bahwa aku telah melihatnya." Ia bertanya kembali, "Kapan kamu melihatnya?" Aku menjawab, "Pada malam Jum'at." Kemudian ia bertanya kembali, "Kamu melihatnya sendiri?" Maka aku pun menjawab: "Ya, dan penduduk Syam juga telah melihatnya, mereka berpuasa termasuk Muawiyah." Maka ia berkata, "Di sini kita melihatnya pada malam Sabtu, maka kami masih berpuasa dan akan menyempurnakannya menjadi tiga puluh hari atau sampai kami melihat hilal" Maka akupun bertanya, "Apakah tidak cukup dengan hilal yang di lihat oleh Muawiyah dan puasa mereka sebagai bukti?" Ia menjawab: "Tidak, inilah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (HR. Muslim)

Imam Muslim menyebut hadits ini dalam “Bab penjelasan untuk setiap balad sesuai dengan rukyah mereka dan penduduk suatu balad apabila melihat hilal dalam baladnya, maka tidak berlaku untuk penduduk yang jauh dari mereka”.

Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim, menyebut beberapa pendapat ulama Syafiiyyah yang berbeda mengenai ini:

1.       Pendapat  mayoritas ulama Syafi’iyah yaitu bahwa rukyah pada suatu negeri tidak berlaku untuk setiap orang dibumi ini, tetapi dibatasi pada kawasan dibawah musafah qashar. Pendapat lain dibatasi pada kawasan yang sama mathali’nya. Pendapat lain lagi, dibatasi hanya pada yang sama iklimnya.

2.       pendapat sebagian ulama Syafiiyyah bahwa rukyah mewajibkan puasa semua penduduk bumi. Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini mengatakan bahwa Ibnu Abbas r.a. tidak mengamalkan ru’yah berdasarkan berita Kuraib adalah karena berita tersebut termasuk dalam kategori syahadah (kesaksian). Sedangkan syahadah tidak dapat ditetapkan hanya dengan kesaksian satu orang. Jadi bukan karena ru’yah negeri Syam tidak berlaku untuk negeri Madinah.

Namun Nawawi mengatakan: “Dhahir hadits ini, Ibnu Abbas menolak berita Kuraib bukan karena kesaksiannya hanya satu orang, tetapi karena ru’yah tidak berlaku bagi orang yang jauh.(An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. VII, Hal. 197)

Pendapat kedua ini juga merupakan pendapat yang masyhur dari ulama Malikiyah, tetapi Ibnu Abdulbar telah menghikayahkan ijmak sebaliknya.

3.       Apabila rukyah telah dinaiksaksikan di depan al-Imam al-a’dham (pemimpin tertinggi/presiden), maka rukyah tersebut berlaku untuk semua penduduk suatu negara, karena balad-balad pada hak al-imam al-a’dham sama dengan satu balad. Karena hukum al-imam al-a’dham berlaku atas seluruhnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu al-Majisun (Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz, IV, Hal. 123)

D.      SIDANG ISBAT RAMADHAN

          Sidang Isbat merupakan sidang yang dilakukan oleh pemerintah indonesia bersama ahli-ahli ilmu falak hingga ahli astronomi untuk menetapkan awal bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah seperti penetuan awal bulan ramadhan. Sidang isbat dilakukan pemerintah untuk menengahi perbedaan tentang awal ramadhan karena perbedaan pandangan fikih yang berbeda-beda.

          Sidang isbat ini dilakukan tanpa memperhatikan perbedaan mathla’, artinya apabila hilal sudah nampak pada suatu  wilayah republik Indonesia maka ditetapkanlah berpuasa untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.

          Terkait dengan sidang isbat yang demikian, bagaimana hukumnya bagi kita yang sebagian besar merupakan pengikut imam Syafi’i, apakah wajib mengikuti hasil sidang isbat ini atau tidak wajib?

          Didalam kitab Fatawa Imam Muhammad al-Khalili al-Syafi’i ditanyai:

“Kalau seorang hakim yang berbeda mazhab dengan mazhab Syafi’i menetapkan itsbat rukyat dalam keadaan berbeda mathala’, maka apakah wajib atas kita, pengikut Syafi’i berpuasa dengan berpedoman kepada pendapat hakim tersebut, yaitu apabila positif rukyat pada suatu kota, maka lazim rukyat pada kota lainnya. Sedangkan kita tidak berpendapat kepada lazimnya kecuali dalam satu mathala’. Dan apakah wajib atas kita mengqadha puasa hari yang telah ditetapkan rukyat ? dan apakah qadhanya tersebut dengan segera?. Jawab : Ya, wajib atas kita berpuasa dan wajib mengqadha puasa hari yang kita berbuka dengan berpedoman kepada itsbat hakim tersebut.( Fatawa al-Khalili, Jilid I  Hal. 111-112)

          Ibnu Hajar al-Haitamy menyatakan bahwa:“Apabila hakim yang berbeda dengan kita menetapkan hilal dalam keadaan berbeda mathala’, maka lazim atas kita beramal dengan kehendaki itsbatnya, karena hari itu menjadi termasuk Ramadhan sehingga berdasarkan atas qawa’id kita. Hal itu berdasarkan perkataan Kitab al-Majmu’ : Kedudukan khilaf dalam menerima kesaksian satu orang adalah selama tidak ditetapkan oleh hakim dengan kesaksian satu orang yang melihat hilal. Apabila tidak (sudah ditetapkan hakim dengan kesaksian satu orang), maka wajib berpuasa dan tidak gugur hukum hakim tersebut dengan ijmak.(Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj, Mathtaba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. III,Hal.383)

          Imam Nawawi di dalam kitab Majmu’ Syarah Muhazzab, mengatakan: “kalau bersaksi melihat hilal oleh dua orang atau satu orang, tetapi hakim menetapkan dengannya, maka tidak gugur hukum tersebut dengan ijmak dan wajib puasa denga ijmak”.( Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 294)

Sayyed Abubakar Syata mengatakan:

“Apabila hakim yang berbeda dengan kita menetapkan hilal dalam keadaan berbeda mathali’, maka lazim atas kita beramal dengan kehendaki itsbatnya.( I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang.Juz.II.Hal.221)

          Keterangan ulama tersebut di atas adalah berdasarkan qaidah fiqh yang berbunyi :

حكم الحاكم في المسائل المختلف فيها يرفع الخلاف

Artinya : Hukum hakim dalam masalah khilaf dapat menghilangkan khilaf

          Al-Qurafi menyebut qaidah di atas redaksi yang berbeda, yaitu :

ان حكم الحاكم في المسائل الاجتهاد يرفع الخلاف ويرجع المخالف عن مذهبه لمذهب الحاكم

Artinya : Sesungguhnya hukum hakim dalam masalah ijtihadiyah dapat menghilangkan khilaf dan orang yang berbeda dengan hakim, harus ruju’ dari mazhabnya dengan mengikuti mazhab hakim.( AL-Qurafi, al-Furuq, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 179)

          Sayyed Ali bin Ahmad al-Saqaf, menyebut qaidah tersebut dengan redaksi :

حكم الحاكم يرفع الخلاف في المسائل الخلافية ويصير الأمر متفقا عليه

Artinya : Hukum hakim dapat menghilangkan khilaf dalam masalah khilafiah dan perkara khilafiah tersebut menjadi sebuah kesepakatan(Sayyed Ali bin Ahmad al-Saqaf, al-Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam Sab’ah Kutub Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal. 70)

          Menurut Imam Zarkasyi dalam al-Mantsur fi al-Qawa’id dijelaskan sebagai berikut:

قالوا حكم الحاكم في المسائل المختلف فيها يرفع الخلاف وهذا مقيد بما لا ينقض فيه حكم الحاكم أما ما ينقض فيه فلا

الثالث مدار نقض الحكم على تبين الخطأ والخطأ إما في إجتهاد الحاكم في الحكم الشرعي حيث تبين النص أو الإجماع أو القايس الجلي بخلافه ويكون الحكم مرتبا على  صحيح وغما في السبب حيث يكون الحكم مرتبا على سبب باطل كشهادة الزور

Artinya: Mereka ( Para Ulama) mengatakan” Hukum/ penetapan hakim pada masalah-masalah yang khilafiyah dapat merafak (menghilangkan) khilaf, ini adalah apabila penetapan tersebut tidak dinyatakan gugur. Hukum hakim dapat dinyatakan gugur apabila hukum tersebut nyata-nyata salah. Kesalahan tersebut adakalanya terletak pada ijtihad hakim, yakni penetapan tersebut bertentangan dengan nash, ijmak dan qiyas yang terang, dan adakalanya kesalahannya terjadi pada sebab yang batil seperti kesaksian bohong.

(Imam Zarkasyi, Al-Mansur fi al-Qawaid, Juz. II, Hal. 69)

Demikianlah penjelasan yang dapat kami sampaikan, masukan dan saran serta kritikan dari guru-guru sangat kami harapkan demi penyempurnaan tulisan ini.

Wallahu ‘alam Bissawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar