Selasa, 18 Mei 2021

BIJAK DALAM MEMULAI PUASA DAN HARI RAYA

 

Memulai puasa dan berhari raya dengan cara berbeda dengan pemerintah itu hanyalah cerita yang terjadi satu-satunya di dunia adalah di Indonesia. Pasalnya, karena masih saja ada pihak-pihak tertentu yang menafikan peranan negara. Dan seringkali merasa dirinya atau kelompoknya berhak untuk memutuskan sendiri ketetapan awal dan akhir Ramadhan.

Apapun metode penetapan awal Ramadhan dan Syawwal, baik yang menggunakan hisab atau pun rukyah, sudah bisa dipastikan hasilnya pasti berbeda-beda.

Jangan dikira kalau seluruh bangsa Indonesia sudah kompak dan sepakat bulat pakai hisab, lantas hasilnya pasti sama dan urusan jadi selesai.

Sebab ternyata di dalam sesama aliran hisab sendiri ada begitu banyak aliran dan metode yang hasilnya bisa dipastikan akan saling bertentangan. Padahal sama-sama berada dalam aliran hisab.

Dan begitu juga sebaliknya, jangan dikira kalau seluruh ormas sepakat meninggalkan aliran hisab dan berbondong-bondong menggunakan metode rukyat, lantas bisa dipastikan akan terjadi kesepakatan dari sisi hasilnya. Sebab sebagaimana kita tahu, tiap titik di atas tanah negeri ini bisa saja menampilkan perbedaan hasil rukyat hilal.

Jadi meskipun kita sebangsa dan setanah-air sepakat menggunakan salah satu dari sekian banyak versi penetapan awal Ramadhan, hasilnya sudah bisa dipastikan akan berbeda-beda juga.

Yang sebenarnya jadi titik pangkal permasalahan menurut hemat saya bukan pada pilihan metodenya. Tetapi ketika semua pihak, termasuk ormas dan jamaah-jamaah yang jumlahnya tidak terhingga itu, masing-masing merasa berwenang ikut-ikutan cawe-cawe (get involve) mengurusi penetapan awal Ramadhan.

1. Domain Negara

Segala macam khilaf dalam penentuan awal Ramadhan tidak akan pernah ada jalan keluarnya, selama tidak ada satu pihak yang diakui bersama dan ditaati.

Nah, justru disinilah sumber titik masalahnya. Umat Islam di negeri ini terlanjur menganggap pimpinan ormas dan jamaah mereka sebagai pusat pimpinan. Kepada pimpinan masing-masing ormas dan jamaah iniah mereka memberikan loyalitas dan segala ketaatan mutlak.

Padahal jumlah ormas dan jamaah di negeri kita tidak terhingga bilangannya. Bisa ada sejuta ormas dengan sejuta perbedaan masing-masing.

Padahal kalau kita kembalikan ke dalam sejarah Islam, seharusnya satu-satunya pihak yang ditaaati bersama, minimal dalam urusan penetapa awal Ramadhan itu adalah as-Sultan. Dan untuk dimensi bangsa Indonesia saat ini, representasi dari sulthan ini tidak lain dan tidak bukan adalah penguasa atau pemerintahan yang sah.

Dalam ilmu fiqih disebutkan bahwa salah satu peran dan tugas penguasa negara adalah menjadi penengah yang berwenang untuk menetapkan jatuhnya awal Ramadhan. Meski ada sekian banyak kajian dan perselisihan para fuqaha di dalamnya, namun kata akhir kembali kepada penguasa.

Dalilnya adalah apa yang terjadi di masa Rasulullah SAW, meski ada orang yang melihat hilal, tetapi dia tidak boleh menjadi penentu keputusan atas ketetapan awal Ramadhan. Dia harus melapor kepada Rasulullah SAW, lalu beliau SAW yang nanti akan memproses kesimpulannya.

Ketuk palu ada di tangan Rasulullah SAW, bukan semata-mata karena beliau seorang nabi yang mendapat wahyu, melainkan dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara dan penguasa yang sah.

Kita tidak mengatakan bahwa keputusan di tangan Rasulullah SAW karena beliau seorang nabi. Kalau sebagai nabi, tentu beliau tidak perlu menunggu laporan dari para shahabat untuk melihat hilal.

Cukup beliau bertanya saja kepada malaikat Jibril, atau bertanya langsung kepada Allah SWT tentang kapan masuknya Ramadhan, pasti bisa dengan mudah didapat jawabannya.

Namun kedudukan Rasulullah SAW memang tidak hanya sebagai nabi tapi juga sebagai kepala negara.

Begitulah beliau mencontohkan kepada kita, bahwa mekanisme penetapan bulan Ramadhan itu harus lewat proses keteetapan oleh kepala negara. Orang-orang yang melihat hilal mendatangi Rasulullah SAW dalam kedudukannya sebagai penguasa yang sah dan memberi kabar. Lalu keputusan 100% berada di tangan kepala negara.

Hal itulah yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu, tatkala beliau menyaksikan hilal Ramadhan.

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَل فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bahwa orang-orang mencari-cari hilal. Aku memberitahukan Nabi SAW bahwa diriku telah melihatnya, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim)

Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bukan shahabat biasa. Beliau adalah ulama yang faqih di kalangan para shahabat. Beliau termasuk orang yang menyaksikan hilal Ramadhan. Namun kita diajari oleh sikap dan tindakan beliau yang memang seharusnya dilakukan.

Tidak mentang-mentang beliau merasa melihat hilal, lantas beliau memutuskan sendiri kapan mulainya Ramadhan. Namun beliau datang dulu kepada Rasulullah SAW untuk menyampaikan laporan pandangan mata, dimana beliau menjadi saksi atas terlihatnya hilal bulan Ramadhan.

Perkara nanti apakah laporannya diterima atau tidak oleh Rasulullah, maka wewenang itu sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Abdullah bin Umar tidak pernah memutuskan untuk berpuasa sendirian, atau mengajak kelompok dan institusinya sendiri, hanya karena dirinya merasa seorang pakar agama yang ilmunya selangit.

Yang beliau lakukan hanya sebatas melaporkan hasil pantauan saja, bukan memutuskan kapan mulai Ramadhan. Dan memang itulah yang seharusnya dilakukan oleh siapa pun yang melihat hilal.

Demikian juga hal yang dilakukan oleh seorang a’rabi yang melihat hilal dari tengah padang pasir. Dia segera mendatangi Nabi SAW dan melaporkan apa yang dilihatnya.

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ فَقَال : إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلاَل - يَعْنِي رَمَضَانَ - قَال : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ؟ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُول اللَّهِ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : يَا بِلاَل أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا

Seorang a’rabi datang kepada Nabi SAW dan melapor, “Aku telah melihat hilal”. Rasulullah SAW bertanya, ”Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya?”. Dia menjawab, ”Ya”. Beliau berkata, ”Bilal, umumkan kepada orang-orang untuk mulai berpuasa besok”. (HR. Tirmizy dan An-Nasa’i)

Tidak ada sejarahnya di masa Nabi SAW dan juga pada masa shahabat, bila seseorang merasa melihat hilal, lantas di boleh berfatwa dan menetapkan keputusan sendirian.

2. Contoh Di Masa Shahabat

Demikian juga di masa-masa berikutnya. Semua orang yang merasa melihat hilal Ramadhan, berkewajiban melapor kepada Amirul Mukminin. Lalu Amirul Mukminin yang akan mengumumkan kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan. Boleh jadi sebuah laporan diterima dan boleh jadi ditolak dengan berbagai pertimbangan.

Dan itulah yang telah terjadi selama kurun 14 abad ini. Umat Islam di seluruh dunia selalu mengacu kepada penguasa tatkala memulai awal Ramadhan. Mereka tidak memulai puasa sendiri-sendiri atau berdasarkan kelompok kecil-kecil.

Lain halnya bila umat Islam tinggal di berbagai negeri yang saling berjauhan, seperti Madinah dan Damaskus.Kedua negeri itu dipisahkan dengan jarak yang amat jauh. Kalau orang berjalan di awal bulan Ramadhan dari Damaskus ke Madinah, dia baru akan sampai ketika bulan Ramadhan hampir selesai.

Maka dalam kasus negeri yang berjauhan, kita menemukan fakta terjadinya perbedaan penetapan awal Ramadhan di masa para shahabat, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Kuraib berikut ini :

عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الفَضْلِ بِنْتَ الحَرْثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: قَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتَهَلَّ عَلىَ رَمَضَان وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الهِلاَلَ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ . ثُمَّ قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ فيِ آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنيِ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبَّاس ثُمَّ ذَكَرَ الهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْتُهُ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ. فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. قَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ: أَلاَ تَكْتَفيِ بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَة ؟ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ

Dari Kuraib radhiyallahuanhu bahwa Ummul Fadhl telah mengutusnya pergi ke Syam, Kuraib berkata, "Aku tiba di negeri Syam dan aku selesaikan tugasku, lalu datanglah hilal Ramadhan sementara aku di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan. Maka Abdullah bin Abbas bertanya padaku, "(Aku pun menceritakan tentang hilal di Syam). Ibnu Abbas ra bertanya, "Kapan kamu melihat hilal?". "Aku melihatnya malam Jumat", jawab Kuraib. Ibnu Abbas bertanya lagi, "Kamu melihatnya sendiri?". "Ya, orang-orang juga melihatnya dan mereka pun berpuasa, bahkan Mu'awiyah pun berpuasa", jawab Kuraib. Ibnu Abbas berkata, "Tetapi kami (di Madinah) melihat hilal malam Sabtu. Dan kami akan tetap berpuasa hingga 30 hari atau kami melihat hilal". Kuraib bertanya, "Tidakkan cukup dengan ru'yah Mu'awiyah?". Ibnu Abbas menjawab, "Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kami.” (HR. Muslim)

Maka di dalam fiqih Islam, dimungkinkan adanya dua wilayah yang berjauhan dan berbeda dalam menetapkan hasil ru'yah. Di Syam orang-orang telah melihat hilal malam Jumat, sedangkan di Madinah orang-orang baru melihat hilal malam Sabtu.

Namun hal ini tidak boleh terjadi di dalam satu negeri, dimana di dalamnya ada penguasa yang berdaulat secara sah dan konstitusional. Keadaan ini dimungkinkan terjadi hanya bilamana kedua negeri saling berjauhan.

3. Tetap Ikut Negara Meskipun Bermusuhan

Di Saudi Arabia, ada begitu banyak kelompok yang memusuhi negara dan pemerintahan. Dan tidak sedikit dari kelompok itu yang dikejar-kejar dan ditangkapi oleh pemerintah. Sebagian dari mereka dipenjara dan tidak sedikit yang mengalami tekanan dan siksaan.

Bahkan kelompok Al-Qaidah juga diperangi oleh Kerajaan, dan sebagai balasannya, tidak sedikit dari tokoh-tokoh mereka yang melakukan makar, sampai menjatuhkan vonis kafir kepada para penguasa di Saudi Arabia.

Namun tidak ada satu pun dari kelompok-kelompok itu yang berinisiatif untuk berpuasa sendiri dengan berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Urusan mereka bermusuhan dengan pemerintah adalah satu hal, tetapi urusan berpuasa tidak pernah dibawa-bawa ke masalah politik.

Oleh karena itu maka wajar kalau kita belum pernah mendengar di Saudi Arabia ada kelompok anti pemerintah yang melakukan wuquf sendirian di tanggal 8 Dzulhijjah, misalnya gara-gara mereka membenci pemerintah. Sebenci-bencinya mereka kepada pihak Kerajaan, tetap saja mereka ikut wuquf di Arafah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh negara.

Begitu juga dengan rakyat Mesir. Sepanjang sejarah pergerakan, Mesir termasuk negeri yang paling sering bergejolak. Ada begitu banyak kelompok yang anti Pemerintah di Mesir, sehingga tidak sedikit dari mereka yang ditangkapi. Di masa lalu para tokoh aktifis Al-Ikhwan Al-Muslimun memenuhi penjara Mesir. Bahkan ada kelompok yang menjatuhkan vonis kafir kepada pemerintah Mesir, seperti Jamaah Takfir wal Jihad.

Namun kita tidak pernah mendengar ada kelompok yang berpuasa sendirian dan berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Padahal ada dari mereka yang mengkafirkan pemerintah.

Memulai puasa dengan cara berbeda dengan pemerintah itu hanyalah cerita yang terjadi satu-satunya di dunia adalah di Indonesia. Pasalnya, karena masih saja ada pihak-pihak tertentu yang merasa dirinya lebih pandai dari orang lain dalam urusan rukyat atau hisab, lalu menafikan peranan negara. Dan seringkali merasa dirinya atau kelompoknya berhak untuk memutuskan sendiri ketetapan awal dan akhir Ramadhan.

Sikap seperti ini sebenarnya kurang dilandasi dengan dalil-dalil yang bisa diandalkan. Sebab semua dalil yang kita dapat, baik dari Al-Quran maupun dari As-Sunnah menunjukkan satu hal yang sama dan telah disepakati sejak 14 abad berjalan ini, yaitu wewenang itu 100% berada di tangan penguasa.

4. Wajib Diikuti Meski Ternyata Salah

Seluruh umat Islam sepanjang 14 abad ini telah menyerahkan urusan penetapan awal Ramadhan dan Syawal kepada penguasa, karena domain itu memang milik penguasa.

Kita tidak pernah menemukan dalam sejarah umat Islam dimana pun di dunia ini, adanya orang-orang tertentu, atau kelompok tertentu yang merasa lebih berhak untuk menetapkan sendiri awal Ramadhan dan juga awal Syawwal.

Bahkan meski pun terbukti pada akhirnya apa yang diputuskan oleh penguasa itu salah, lantas kemudian dikoreksi ulang. Hal itu pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, sebagaimana bisa kita baca pada hadits berikut ini :

عَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ حَدَّثَنِي عُمُومَةٌ لِي مِنَ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ قَالَ : غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ  أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ  أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ

Dari Abu Umair bin Anas, telah menceritakan kepadaku kebanyakan para sahabat Anshar dari sahabat Rasulullah bahwa ia berkata; "Hilal bulan Syawal telah tertutup awan, maka kami pun berpuasa, lalu serombongan pengendara di akhir siang datang sambil bersaksi dihadapan Rasulullah bahwa kemarin mereka telah menyaksikan hilal, kemudian Rasulullah menyuruh orang-orang berbuka di hari itu, dan agar di esok hari mereka keluar untuk berhari raya. (HR. Ahmad)

5. Berpuasa dan Berlebaran Bersama-sama

Syariah Islam memang menetapkan berbagai metode dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, baik melalui rukyahul hilal, istikmal atau pun dengan hisab. Namun semua metode itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki ilmu dan keahlian, dan tidak semua orang mampu untuk melakukannya.

Medote rukyahul-hilal misalnya, meski kelihatannya sederhana, tetapi untuk berhasil melakukannya ternyata tidak mudah juga.

Apalagi untuk kita yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, ada begitu banyak hambatan atau halangan, baik asap polusi, awan hujan, mendung, dan lain-lainnya. Sehingga kalau kita cermati, team rukyahul hilal seringkali harus jauh-jauh pergi ke pantai di tepi laut untuk melakukan tugas mereka. Artinya hal itu tidak mungkin dilakukan oleh sembarang orang. Dan tidak setiap orang memiliki kesempatan untuk melakukan rukyahul hilal dengan dirinya sendiri.

Maka dalam pada itu, cukuplah pekerjaan itu dilakukan oleh mereka yang memang expert dan ahli di bidangnya, sementara sebagian besar umat Islam ini sekedar menerima kabar saja dan tidak perlu berangkat sendiri untuk melakukan rukyatul-hilal.

Lalu apa landasan dan pegangan buat khalayak awam yang tidak punya kemampuan dan kemahiran dalam rukyahul-hilal? Siapakah pihak berwenang yang dapat dijadikan patokan dalam hal ini?

Untuk itu mari kita cermati hadits nabawi berikut ini :

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Hari puasa adalah hari dimana semua kalian berpuasa. Hari berbuka adalah hari dimana semua kalian berbuka. Dan hari Adha adalah hari dimana semua kalian beridul-Adha.” (HR. At-Tirmizy)

Para ahli ilmu sepakat mengatakan bahwa pengertian hadits ini menetapkan bahwa tidak boleh seseorang melawan arus sendirian dalam menetapkan awal Ramadhan dan Syawal. Dia tidak dibenarkan berijtihad sendirian yang hasilnya bertentangan dengan semua orang, lalu dia melakukannya sendirian, sementara orang-orang tidak melakukannya.

Tetapi kecenderungan yang sering Penulis saksikan di tengah kalangan yang bersemangat menjalankan agama, justru semakin berbeda dengan masyarakat, malah semakin dikejar dan dijadikan pilihan utama. Sehingga ada kesan, yang penting berbeda, unik dan tidak sama dengan apa yang diputuskan oleh pemerintah

Padahal sikap-sikap seperti itu justru tidak bijak menurut pandangan syariah. Berpuasa sendirian mendahului khalayak, atau berlebaran sendirian mendahului jamaah yang banyak adalah contoh yang kurang bijak dalam kehidupan karena akan menimbulkan kebingungan dalam masyarakat awam

Kalau pun ada pendapat yang membolehkan seseorang berpuasa sendiri, maka hanya bila orang tersebut dengan mata kepalanya sendiri melihat hilal, bukan lewat informasi pendengarannya dari orang lain,  tanpa dinaik saksikan tentang hilal tersebut..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar