Memulai puasa dan berhari raya dengan
cara berbeda dengan pemerintah itu hanyalah cerita yang terjadi satu-satunya di
dunia adalah di Indonesia. Pasalnya, karena masih saja ada pihak-pihak tertentu
yang menafikan peranan negara. Dan seringkali merasa dirinya atau kelompoknya
berhak untuk memutuskan sendiri ketetapan awal dan akhir Ramadhan.
Apapun metode penetapan awal
Ramadhan dan Syawwal, baik yang menggunakan hisab atau pun rukyah, sudah bisa
dipastikan hasilnya pasti berbeda-beda.
Jangan dikira kalau seluruh bangsa
Indonesia sudah kompak dan sepakat bulat pakai hisab, lantas hasilnya pasti
sama dan urusan jadi selesai.
Sebab ternyata di dalam sesama
aliran hisab sendiri ada begitu banyak aliran dan metode yang hasilnya bisa
dipastikan akan saling bertentangan. Padahal sama-sama berada dalam aliran
hisab.
Dan begitu juga sebaliknya, jangan
dikira kalau seluruh ormas sepakat meninggalkan aliran hisab dan
berbondong-bondong menggunakan metode rukyat, lantas bisa dipastikan akan
terjadi kesepakatan dari sisi hasilnya. Sebab sebagaimana kita tahu, tiap titik
di atas tanah negeri ini bisa saja menampilkan perbedaan hasil rukyat hilal.
Jadi meskipun kita sebangsa dan
setanah-air sepakat menggunakan salah satu dari sekian banyak versi penetapan
awal Ramadhan, hasilnya sudah bisa dipastikan akan berbeda-beda juga.
Yang sebenarnya jadi titik pangkal
permasalahan menurut hemat saya bukan pada pilihan metodenya. Tetapi ketika
semua pihak, termasuk ormas dan jamaah-jamaah yang jumlahnya tidak terhingga
itu, masing-masing merasa berwenang ikut-ikutan cawe-cawe (get involve)
mengurusi penetapan awal Ramadhan.
1. Domain Negara
Segala macam khilaf dalam penentuan
awal Ramadhan tidak akan pernah ada jalan keluarnya, selama tidak ada satu
pihak yang diakui bersama dan ditaati.
Nah, justru disinilah sumber titik
masalahnya. Umat Islam di negeri ini terlanjur menganggap pimpinan ormas dan
jamaah mereka sebagai pusat pimpinan. Kepada pimpinan masing-masing ormas dan
jamaah iniah mereka memberikan loyalitas dan segala ketaatan mutlak.
Padahal jumlah ormas dan jamaah di
negeri kita tidak terhingga bilangannya. Bisa ada sejuta ormas dengan sejuta
perbedaan masing-masing.
Padahal kalau kita kembalikan ke
dalam sejarah Islam, seharusnya satu-satunya pihak yang ditaaati bersama, minimal
dalam urusan penetapa awal Ramadhan itu adalah as-Sultan. Dan untuk dimensi
bangsa Indonesia saat ini, representasi dari sulthan ini tidak lain dan tidak
bukan adalah penguasa atau pemerintahan yang sah.
Dalam ilmu fiqih disebutkan bahwa
salah satu peran dan tugas penguasa negara adalah menjadi penengah yang
berwenang untuk menetapkan jatuhnya awal Ramadhan. Meski ada sekian banyak
kajian dan perselisihan para fuqaha di dalamnya, namun kata akhir kembali
kepada penguasa.
Dalilnya adalah apa yang terjadi di
masa Rasulullah SAW, meski ada orang yang melihat hilal, tetapi dia tidak boleh
menjadi penentu keputusan atas ketetapan awal Ramadhan. Dia harus melapor
kepada Rasulullah SAW, lalu beliau SAW yang nanti akan memproses kesimpulannya.
Ketuk palu ada di tangan Rasulullah
SAW, bukan semata-mata karena beliau seorang nabi yang mendapat wahyu,
melainkan dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara dan penguasa yang sah.
Kita tidak mengatakan bahwa
keputusan di tangan Rasulullah SAW karena beliau seorang nabi. Kalau sebagai
nabi, tentu beliau tidak perlu menunggu laporan dari para shahabat untuk
melihat hilal.
Cukup beliau bertanya saja kepada
malaikat Jibril, atau bertanya langsung kepada Allah SWT tentang kapan masuknya
Ramadhan, pasti bisa dengan mudah didapat jawabannya.
Namun kedudukan Rasulullah SAW
memang tidak hanya sebagai nabi tapi juga sebagai kepala negara.
Begitulah beliau mencontohkan kepada
kita, bahwa mekanisme penetapan bulan Ramadhan itu harus lewat proses
keteetapan oleh kepala negara. Orang-orang yang melihat hilal mendatangi
Rasulullah SAW dalam kedudukannya sebagai penguasa yang sah dan memberi kabar.
Lalu keputusan 100% berada di tangan kepala negara.
Hal itulah yang dilakukan oleh
Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu, tatkala beliau menyaksikan hilal Ramadhan.
تَرَاءَى
النَّاسُ الْهِلاَل فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ
النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Dari Abdullah bin Umar
radhiyallahuanhu bahwa orang-orang mencari-cari hilal. Aku memberitahukan Nabi
SAW bahwa diriku telah melihatnya, maka beliau berpuasa dan memerintahkan
orang-orang untuk berpuasa. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim)
Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu
bukan shahabat biasa. Beliau adalah ulama yang faqih di kalangan para shahabat.
Beliau termasuk orang yang menyaksikan hilal Ramadhan. Namun kita diajari oleh
sikap dan tindakan beliau yang memang seharusnya dilakukan.
Tidak mentang-mentang beliau merasa
melihat hilal, lantas beliau memutuskan sendiri kapan mulainya Ramadhan. Namun
beliau datang dulu kepada Rasulullah SAW untuk menyampaikan laporan pandangan
mata, dimana beliau menjadi saksi atas terlihatnya hilal bulan Ramadhan.
Perkara nanti apakah laporannya
diterima atau tidak oleh Rasulullah, maka wewenang itu sepenuhnya berada di
tangan Rasulullah SAW. Abdullah bin Umar tidak pernah memutuskan untuk berpuasa
sendirian, atau mengajak kelompok dan institusinya sendiri, hanya karena
dirinya merasa seorang pakar agama yang ilmunya selangit.
Yang beliau lakukan hanya sebatas
melaporkan hasil pantauan saja, bukan memutuskan kapan mulai Ramadhan. Dan
memang itulah yang seharusnya dilakukan oleh siapa pun yang melihat hilal.
Demikian juga hal yang dilakukan
oleh seorang a’rabi yang melihat hilal dari tengah padang pasir. Dia segera
mendatangi Nabi SAW dan melaporkan apa yang dilihatnya.
جَاءَ
أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ فَقَال : إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلاَل - يَعْنِي
رَمَضَانَ - قَال : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ؟ أَتَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُول اللَّهِ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : يَا بِلاَل أَذِّنْ فِي النَّاسِ
أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Seorang a’rabi datang kepada Nabi
SAW dan melapor, “Aku telah melihat hilal”. Rasulullah SAW bertanya, ”Apakah
kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah
utusan-Nya?”. Dia menjawab, ”Ya”. Beliau berkata, ”Bilal, umumkan kepada
orang-orang untuk mulai berpuasa besok”. (HR. Tirmizy dan An-Nasa’i)
Tidak ada sejarahnya di masa Nabi
SAW dan juga pada masa shahabat, bila seseorang merasa melihat hilal, lantas di
boleh berfatwa dan menetapkan keputusan sendirian.
2. Contoh Di Masa Shahabat
Demikian juga di masa-masa
berikutnya. Semua orang yang merasa melihat hilal Ramadhan, berkewajiban
melapor kepada Amirul Mukminin. Lalu Amirul Mukminin yang akan mengumumkan
kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan. Boleh jadi sebuah laporan diterima dan boleh
jadi ditolak dengan berbagai pertimbangan.
Dan itulah yang telah terjadi selama
kurun 14 abad ini. Umat Islam di seluruh dunia selalu mengacu kepada penguasa
tatkala memulai awal Ramadhan. Mereka tidak memulai puasa sendiri-sendiri atau
berdasarkan kelompok kecil-kecil.
Lain halnya bila umat Islam tinggal
di berbagai negeri yang saling berjauhan, seperti Madinah dan Damaskus.Kedua
negeri itu dipisahkan dengan jarak yang amat jauh. Kalau orang berjalan di awal
bulan Ramadhan dari Damaskus ke Madinah, dia baru akan sampai ketika bulan
Ramadhan hampir selesai.
Maka dalam kasus negeri yang
berjauhan, kita menemukan fakta terjadinya perbedaan penetapan awal Ramadhan di
masa para shahabat, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Kuraib berikut ini :
عَنْ كُرَيْبٍ
أَنَّ أُمَّ الفَضْلِ بِنْتَ الحَرْثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ
فَقَالَ: قَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتَهَلَّ عَلىَ رَمَضَان
وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الهِلاَلَ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ . ثُمَّ قَدِمْتُ
المَدِيْنَةَ فيِ آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنيِ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبَّاس ثُمَّ
ذَكَرَ الهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْتُهُ
لَيْلَةَ الجُمُعَةِ. فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ
النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. قَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ
السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا أَوْ
نَرَاهُ. فَقُلْتُ: أَلاَ تَكْتَفيِ بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَة ؟ فَقَالَ لاَ هَكَذَا
أَمَرَنَا النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ
Dari Kuraib radhiyallahuanhu bahwa
Ummul Fadhl telah mengutusnya pergi ke Syam, Kuraib berkata, "Aku tiba di
negeri Syam dan aku selesaikan tugasku, lalu datanglah hilal Ramadhan sementara
aku di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian aku pulang ke Madinah
di akhir bulan. Maka Abdullah bin Abbas bertanya padaku, "(Aku pun
menceritakan tentang hilal di Syam). Ibnu Abbas ra bertanya, "Kapan kamu
melihat hilal?". "Aku melihatnya malam Jumat", jawab Kuraib.
Ibnu Abbas bertanya lagi, "Kamu melihatnya sendiri?". "Ya,
orang-orang juga melihatnya dan mereka pun berpuasa, bahkan Mu'awiyah pun
berpuasa", jawab Kuraib. Ibnu Abbas berkata, "Tetapi kami (di
Madinah) melihat hilal malam Sabtu. Dan kami akan tetap berpuasa hingga 30 hari
atau kami melihat hilal". Kuraib bertanya, "Tidakkan cukup dengan
ru'yah Mu'awiyah?". Ibnu Abbas menjawab, "Tidak, demikianlah
Rasulullah SAW memerintahkan kami.” (HR. Muslim)
Maka di dalam fiqih Islam,
dimungkinkan adanya dua wilayah yang berjauhan dan berbeda dalam menetapkan
hasil ru'yah. Di Syam orang-orang telah melihat hilal malam Jumat, sedangkan di
Madinah orang-orang baru melihat hilal malam Sabtu.
Namun hal ini tidak boleh terjadi di
dalam satu negeri, dimana di dalamnya ada penguasa yang berdaulat secara sah
dan konstitusional. Keadaan ini dimungkinkan terjadi hanya bilamana kedua
negeri saling berjauhan.
3. Tetap Ikut Negara Meskipun
Bermusuhan
Di Saudi Arabia, ada begitu banyak
kelompok yang memusuhi negara dan pemerintahan. Dan tidak sedikit dari kelompok
itu yang dikejar-kejar dan ditangkapi oleh pemerintah. Sebagian dari mereka
dipenjara dan tidak sedikit yang mengalami tekanan dan siksaan.
Bahkan kelompok Al-Qaidah juga
diperangi oleh Kerajaan, dan sebagai balasannya, tidak sedikit dari tokoh-tokoh
mereka yang melakukan makar, sampai menjatuhkan vonis kafir kepada para
penguasa di Saudi Arabia.
Namun tidak ada satu pun dari
kelompok-kelompok itu yang berinisiatif untuk berpuasa sendiri dengan berbeda
dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Urusan mereka bermusuhan
dengan pemerintah adalah satu hal, tetapi urusan berpuasa tidak pernah
dibawa-bawa ke masalah politik.
Oleh karena itu maka wajar kalau
kita belum pernah mendengar di Saudi Arabia ada kelompok anti pemerintah yang
melakukan wuquf sendirian di tanggal 8 Dzulhijjah, misalnya gara-gara mereka
membenci pemerintah. Sebenci-bencinya mereka kepada pihak Kerajaan, tetap saja
mereka ikut wuquf di Arafah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh
negara.
Begitu juga dengan rakyat Mesir.
Sepanjang sejarah pergerakan, Mesir termasuk negeri yang paling sering
bergejolak. Ada begitu banyak kelompok yang anti Pemerintah di Mesir, sehingga
tidak sedikit dari mereka yang ditangkapi. Di masa lalu para tokoh aktifis
Al-Ikhwan Al-Muslimun memenuhi penjara Mesir. Bahkan ada kelompok yang
menjatuhkan vonis kafir kepada pemerintah Mesir, seperti Jamaah Takfir wal
Jihad.
Namun kita tidak pernah mendengar
ada kelompok yang berpuasa sendirian dan berbeda dengan apa yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Padahal ada dari mereka yang mengkafirkan
pemerintah.
Memulai puasa dengan cara berbeda
dengan pemerintah itu hanyalah cerita yang terjadi satu-satunya di dunia adalah
di Indonesia. Pasalnya, karena masih saja ada pihak-pihak tertentu yang merasa
dirinya lebih pandai dari orang lain dalam urusan rukyat atau hisab, lalu
menafikan peranan negara. Dan seringkali merasa dirinya atau kelompoknya berhak
untuk memutuskan sendiri ketetapan awal dan akhir Ramadhan.
Sikap seperti ini sebenarnya kurang
dilandasi dengan dalil-dalil yang bisa diandalkan. Sebab semua dalil yang kita
dapat, baik dari Al-Quran maupun dari As-Sunnah menunjukkan satu hal yang sama
dan telah disepakati sejak 14 abad berjalan ini, yaitu wewenang itu 100% berada
di tangan penguasa.
4. Wajib Diikuti Meski Ternyata
Salah
Seluruh umat Islam sepanjang 14 abad
ini telah menyerahkan urusan penetapan awal Ramadhan dan Syawal kepada
penguasa, karena domain itu memang milik penguasa.
Kita tidak pernah menemukan dalam
sejarah umat Islam dimana pun di dunia ini, adanya orang-orang tertentu, atau
kelompok tertentu yang merasa lebih berhak untuk menetapkan sendiri awal
Ramadhan dan juga awal Syawwal.
Bahkan meski pun terbukti pada
akhirnya apa yang diputuskan oleh penguasa itu salah, lantas kemudian dikoreksi
ulang. Hal itu pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, sebagaimana bisa kita
baca pada hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي
عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ حَدَّثَنِي عُمُومَةٌ لِي مِنَ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ
رَسُولِ اللَّهِ قَالَ : غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا
فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ
فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ أَنْ يُفْطِرُوا
مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ
Dari Abu Umair bin Anas, telah
menceritakan kepadaku kebanyakan para sahabat Anshar dari sahabat Rasulullah
bahwa ia berkata; "Hilal bulan Syawal telah tertutup awan, maka kami pun
berpuasa, lalu serombongan pengendara di akhir siang datang sambil bersaksi
dihadapan Rasulullah bahwa kemarin mereka telah menyaksikan hilal, kemudian
Rasulullah menyuruh orang-orang berbuka di hari itu, dan agar di esok hari
mereka keluar untuk berhari raya. (HR. Ahmad)
5. Berpuasa dan Berlebaran
Bersama-sama
Syariah Islam memang menetapkan
berbagai metode dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, baik melalui rukyahul
hilal, istikmal atau pun dengan hisab. Namun semua metode itu hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang memiliki ilmu dan keahlian, dan tidak semua orang
mampu untuk melakukannya.
Medote rukyahul-hilal misalnya,
meski kelihatannya sederhana, tetapi untuk berhasil melakukannya ternyata tidak
mudah juga.
Apalagi untuk kita yang tinggal di
kota-kota besar seperti Jakarta, ada begitu banyak hambatan atau halangan, baik
asap polusi, awan hujan, mendung, dan lain-lainnya. Sehingga kalau kita
cermati, team rukyahul hilal seringkali harus jauh-jauh pergi ke pantai di tepi
laut untuk melakukan tugas mereka. Artinya hal itu tidak mungkin dilakukan oleh
sembarang orang. Dan tidak setiap orang memiliki kesempatan untuk melakukan rukyahul
hilal dengan dirinya sendiri.
Maka dalam pada itu, cukuplah
pekerjaan itu dilakukan oleh mereka yang memang expert dan ahli di bidangnya,
sementara sebagian besar umat Islam ini sekedar menerima kabar saja dan tidak
perlu berangkat sendiri untuk melakukan rukyatul-hilal.
Lalu apa landasan dan pegangan buat
khalayak awam yang tidak punya kemampuan dan kemahiran dalam rukyahul-hilal?
Siapakah pihak berwenang yang dapat dijadikan patokan dalam hal ini?
Untuk itu mari kita cermati hadits nabawi
berikut ini :
الصَّوْمُ
يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ
تُضَحُّوْنَ
“Hari puasa adalah hari dimana semua
kalian berpuasa. Hari berbuka adalah hari dimana semua kalian berbuka. Dan hari
Adha adalah hari dimana semua kalian beridul-Adha.” (HR. At-Tirmizy)
Para ahli ilmu sepakat mengatakan
bahwa pengertian hadits ini menetapkan bahwa tidak boleh seseorang melawan arus
sendirian dalam menetapkan awal Ramadhan dan Syawal. Dia tidak dibenarkan
berijtihad sendirian yang hasilnya bertentangan dengan semua orang, lalu dia
melakukannya sendirian, sementara orang-orang tidak melakukannya.
Tetapi kecenderungan yang sering
Penulis saksikan di tengah kalangan yang bersemangat menjalankan agama, justru
semakin berbeda dengan masyarakat, malah semakin dikejar dan dijadikan pilihan
utama. Sehingga ada kesan, yang penting berbeda, unik dan tidak sama dengan apa
yang diputuskan oleh pemerintah
Padahal sikap-sikap seperti itu
justru tidak bijak menurut pandangan syariah. Berpuasa sendirian mendahului khalayak,
atau berlebaran sendirian mendahului jamaah yang banyak adalah contoh yang
kurang bijak dalam kehidupan karena akan menimbulkan kebingungan dalam
masyarakat awam
Kalau pun ada pendapat yang
membolehkan seseorang berpuasa sendiri, maka hanya bila orang tersebut dengan
mata kepalanya sendiri melihat hilal, bukan lewat informasi pendengarannya dari
orang lain, tanpa dinaik saksikan
tentang hilal tersebut..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar