Rabu, 07 Juli 2021

BATASAN WAKTU BOLEH JAMAK DAN QASHAR SEMBAHYANG

 Oleh: Tgk Dailami, M.Pd

Bagi kita yang musafir/ berpergian jauh dalam agama kita diberikan keringanan boleh mengqasar dan jamak sembahyang. Terkait persoalan menjamak dan mengqashar sembahyang tentunya juga banyak persoalan yang wajib diketahui oleh kita yang ingin qashar dan jamak sembahyang, salah satunya tentang ketentuan sampai kapan kita masih boleh menjamak dan mengqashar sembahyang?apakah ketika kita sudah sampai di tempat tujuan atau bagaimana?

Dalam menjawab persoalan tersebut, hal pertama yang mesti dipahami adalah tentang batasan suatu perjalanan dianggap terputus ( انقطاع السفر). Sebab dengan terputusnya suatu perjalanan, maka seseorang yang bepergian sudah tidak lagi diperbolehkan untuk menjamak dan mengqashar sembahyang 

Untuk memahami  sampai dimana batasan perjalanan dianggap terputus maka kita bisa melihat didalam kitab Ianathutthalibin juzuk 2 halaman 101:

وحاصل ما يقال فيه أنه رجع بعد سفره من مسافة القصر إلى وطنه انتهى سفره بمجرد وصول السور إن كان، سواء نوى الاقامة به أم لا، كان له فيه حاجة أم لا. وأما إذا رجع إلى غير وطنه، ولم يكن له حاجة، ونوى قبل الوصول إليه إقامة مطلقا أو أربعة أيام صحاح، وكان وقت النية ماكثا مستقلا، انتهى سفره بمجرد وصول السور أيضا. أما إذا لم ينو أصلا، أو نوى إقامة أقل من أربعة أيام، فلا ينتهي سفره بوصول السور، وإنما ينتهي بإقامة أربعة أيام صحاح، غير يومي الدخول والخروج.  

Artinya: Kesimpulan tentang permasalahan terputusnya bepergian, bahwa jika musafir kembali dari bepergiannya dari jarak mengqashar sembahyang menuju tanah kelahirannya, maka terputus lah masa musafir nya dengan sampai di batas desa, jika memang ada batas desa. Baik dia niat mukim ataupun tidak. Baik ada keperluan hajat ataupun tidak. Adapun ketika seseorang kembali atau sampai ke selain tempat tinggalnya dan dia tidak ada hajat apa pun berkunjung di tempat tersebut dan sebelum sampai di tempat tersebut ia niat mukim secara mutlak, atau mukim selama empat hari secara utuh, dan ia dalam keadaan mandiri  maka bepergiannya dianggap terputus dengan melewati batas desa. Adapun ketika ia tidk niat sama sekali atau ia niat mukim kurang dari empat hari, maka bepergiannya tidak dianggap putus dengan melewati batas desa tersebut, tapi terputus dengan mukim di tempat tersebut selama empat hari selain hari ia sampai dan hari ia keluar dari tempat tersebut.

وأما إذا كان له حاجة، فإن لم يتوقع انقضاءها قبل أربعة أيام، بل جزم بأنها لا تقضى إلا بعد الاربعة، انتهى سفره بمجرد المكث والاستقرار، سواء نوى الاقامة بعد الوصول أم لا. فإن توقع انقضاءها كل يوم، لم ينته سفره إلا بعد ثمانية عشر يوما صحاحا.  

Artinya: “Dan adapun apabila ia berkunjung ke tempat selain tempat tinggalnya karena terdapat suatu keperluan (hajat), jika keperluannya tidak dapat selesai sebelum empat hari, tetapi butuh lebih dari empat hari, maka bepergiannya dianggap terputus dengan tempat tersebut. Baik ia melakukan niat mukim setelah sampai di tempat tersebut ataupun tidak. Jika keperluannya bisa saja selesai setiap hari, maka bepergiannya tidak terputus kecuali setelah ia berada di tempat tersebut selama delapan belas hari secara utuh

( I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 101)

Dari referensi diatas dapat diambil beberapa poin penjelasan terkait batasan kapan terputusnya masa musafir:

1. Kembali ke tempat tinggalnya. Dalam keadaan demikian, perjalanan musafir menjadi terputus tatkala ia telah melewati batas desa tempat tinggalnya, sehingga ketika ia telah masuk di desa tempat tinggalnya ia sudah tidak diperkenankan untuk menjamak dan mengqashar sembahyang. 

2. Ketika ia mampir di suatu tempat namun tidak ada keperluan hajat apa pun. Maka dalam keadaan demikian diperinci, jika ia niat bermukim atau menginap di tempat tersebut selama empat hari lebih atau hanya niat bermukim secara mutlak, maka perjalanannya dianggap terputus dengan melewati batas desa di tempat tersebut, seperti halnya pada permasalahan kembali di tempat tinggalnya.  

Sedangkan ketika seorang musafir tidak niat mukim atau niat menginap di tempat tersebut, atau ia niat mukim namun kurang dari empat hari, maka perjalanannya tidak langsung terputus dengan melewati batas masuk desa tempat tersebut, namun perjalanan menjadi terputus dengan ia tinggal atau menginap di tempat tersebut selama empat hari secara utuh, tanpa menghitung hari di mana ia sampai dan hari di mana ia pergi dari tempat tersebut.

3. Ketika ia mampir di suatu tempat dengan adanya suatu hajat. Maka dalam keadaan demikian, putusnya perjalanan dipandang dari batas selesainya keperluan musafir di tempat tersebut. Jika keperluannya tidak akan selesai dalam jangka waktu empat hari, maka perjalanannya dianggap terputus dengan sampainya dia di tempat tersebut. Baik ia melaksanakan niat mukim ataupun tidak.

Namun jika keperluannya bisa saja selesai setiap hari, sekiranya kurang dari empat hari. Maka perjalanannya tidak dihukumi terputus kecuali setelah melewati masa delapan belas hari.

Berdasarkan berbagai perincian putusnya perjalanan dalam permasalahan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketika kita terapkan dalam permasalahan bolehnya menjama’ dan mengqashar shalat di lokasi tujuan, tentunya terdapat berbagai perincian yang disesuaikan dengan keperluan (hajat) yang dilakukan oleh seseorang tatkala berada di tempat tujuan tersebut, sebab permasalahan ini hampir sama dengan keadaan ketiga dalam perincian hukum di atas.

Jika keperluannya di tempat tersebut lebih dari empat hari, maka tatkala ia sampai di tempat tujuannya ia dianggap terputus perjalanannya, sehingga sudah tidak boleh baginya melaksanakan shalat dengan cara jama’ dan qashar. Namun jika keperluannya dapat selesai kurang dari empat hari, maka ia dapat menjama’ dan mengqashar shalatnya sampai delapan belas hari, seandainya saja ia memutuskan untuk menginap di tempat tersebut lebih lama.

Berbeda halnya jika seorang musafir menginap di suatu tempat tanpa adanya keperluan apa pun, misalkan hanya sebatas transit di rumah temannya, karena tujuan perjalanan yang begitu jauh sehingga butuh istirahat, maka dalam keadaan demikian sama persis dengan perincian kedua dalam pembahasan yang telah dijelaskan di atas.

Demikian lah penjelasan mengenai batas terputusnya masa musafir, semoga bisa bermanfaat. 

و الله اعلم بالصواب

Selasa, 06 Juli 2021

TATA CARA NIAT SEMBAHYANG QASHAR DAN JAMAK

 Oleh Tgk Dailami

Kita mungkin sering bepergian yang berjarak hingga ukuran bisa untuk mengqashar dan menjamak sembahyang, maka dalam kondisi tertentu terkadang kita perlu untuk mengqashar sembahyang kita. Apalagi bila sulitnya perjalanan kita yang berhari-hari tentu saja kita mungkin kesukaran bila sebentar sebentar kita berhenti untuk sembahyang. 
Bila ada yang masih bingung bagaimana tatacara Niat jamak dan qasar, maka berikut ini adalah tata cara sembahyang qashar dan dijamak baik Taqdim maupun Takhir. 

A. Cara Niat Sembahyang Jamak Taqdim beserta Qashar

1. Dhuhur dengan 'Asar

أصلي فرض الظهر ركعتين قصرا مجموعا إليه العصر أداء لله تعالى


“Sahaja aku sembahyang fardhu dhuhur dua rakaat karena qashar dan dijamak kepadanya akan 'asar tunai karena Allah Taala”

. أصلي فرض العصر ركعتين قصرا مجموعا إلي الظهر أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu 'asar dua rakaat karena qashar dan dijamak kepada dhuhur tunai karena Allah Taala”.

2. Maghrib dengan 'Isya

أصلي فرض المغرب ثلاث ركعات مجموعا إليه العشاء أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu maghrib 3 rakaat dijamak kepadanya akan 'isya tunai karena Allah Taala”

أصلي فرض العشاء ركعتين قصرا مجموعا إلي المغرب أداء لله تعالى

"Sahaja aku sembahyang fardhu 'isya dua rakaat karna diqashar dan dijamak kepada maghrib tunai karena Allah Taala”

B. Jamak Takhir beserta Qasar

1. 'Asar dengan dhuhur

أصلي فرض العصر ركعتين قصرا مجموعا إليه الظهر أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu 'asar dua rakaat karna qashar dan dijamak kepadanya akan zuhur tunai karena Allah Taala”.

أصلي فرض الظهر ركعتين قصرا مجموعا إلي العصر أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu zuhur dua rakaat karna qashar dan dijamak kepada asar tunai karena Allah Taala”.

2. 'Isya dengan Maghrib

أصلي فرض العشاء ركعتين قصرا مجموعا إليه المغرب أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu 'isya dua rakaat karna qashar dan dijamak kepadanya akan maghrib tunai karena Allah Taala”.

أصلي فرض المغرب ثلاث ركعات مجموعا إلي العشاء أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu  maghrib 3 rakaat dijamak kepada 'isya tunai karena Allah Taala

Satu lagi yang harus dilakukan apabila kita sembahyang jamak takhir, yaitu kita harus azam( cita-cita) dalam hati bahwa akan melaksanakan sembahyang pada waktu kedua. 
Contoh nya begini: jika kita akan melakukan sembahyang jamak Takhir antara dhuhur dengan asar,  maka ketika dalam waktu dhuhur kita sudah Niat/ cita-cita dalam hati bahwa sembahyang dhuhur akan kita kerjakan dan jamak pada waktu asar, maka jika tidak dicita citakan seperti ini maka sembahyang dhuhur ini akan menjadi sembahyang qadha. 

Misal nya niat saat jam 14.30 WIB, pada jam tersebut masih cukup melaksanakan shalat dhuhur. Tidak sah pelaksaaan sembahyang jamak takhir bila niatnya di waktu shalat kedua atau di waktu shalat pertama tapi sudah tidak cukup lagi waktu untuk melaksanakan shalat pertama secara sempurna, misal nya niat di penghujung waktu dhuhur saat akan akan masuk waktu Ashar hanya berjarak 30 detik. Bila terjadi demikian, maka status sembahyang pertama akan berstatus seqadha dan musafir berdosa dengan sebab kesengajaannya mengakhirkan sembahyang.

و الله اعلم بالصواب

Senin, 05 Juli 2021

PERBEDAAN ANTARA 'ILLAT DAN SEBAB

Oleh: Tgk Dailami 

Dalam mempelajari ilmu ushul fikih terkadang kita bingung untuk memahami antara illat dan sebab, sehingga terkadang campur aduk ketika mencontohkan antara illat dan sebab, sehingga terjadi pada sebuah contoh itu kita katakan contoh dari illat dan contoh dari sebab juga. 

Mungkin tulisan pendek ini yang saya terjemahkan dari kitab yang berjudul:  كتاب الوجيز في اصول الفقه karya dari DR. Wahbah Dzuhaili pada maktabah Syamilah al Haditsah jilid satu halaman 379 bisa untuk membantu kita dalam memahami perbedaan antara illat dan sebab. 


 العلة أو السبب أمارة على وجود الحكم، كاإسكار الخمر أمارة على التحريم، والسفر في رمضان أمارة على جواز الإفطار، ولذا قال بعض علماء الأصول: إنهما بمعنى واحد، وقال آخرون: إنهما متغايران، وخصوا العلة بالأمارة المؤثرة التي تظهر فيها المناسبة بينها وبين الحكم، وخصوا السبب بالأمارة غير المؤثرة في الحكم.

وقال أكثر العلماء: إن السبب أعم من العلة مطلقًا، فكل علة سبب ولا عكس، وإن السبب يشمل الأسباب التي في المعاملات والعقوبات، ويشمل العلة التي تدرس في القياس، والفرق بينهما أن الصفة التي يرتبط بها الحكم إن كانت لا يدرك تأثيرها في الحكم بالعقل، ولا تكون من صنع المكلف، كالوقت للصلاة المكتوبة، فتسمى باسم السبب، أما إذا أدرك العقل تأثير الوصف بالحكم فيسمى علة ويسمى سببًا أيضًا،ا

Arti dan penjelasan:

Illat atau sebab adalah tanda/efek atas adanya hukum, seperti mabuk khamar adalah efek haramnya khamar, perjalanan ( jarak qashar) adalah efek atas boleh berbuka puasa ramadhan, karena demikian sebagian ulama ushul mengatakan bahwa antara illat dan sebab bermakna sama.

Ulama yang lain mengatakan bahwa antara illat dan sebab punya makna berbeda, mereka mengkhususkan illat sebagai tanda/ efek yang memberikan akibat  yang menampakkan hubungan antara efek dengan hukum. Dan mereka mengkhususkan sebab dengan sebuah efek yang tidak berakibat apapun pada hukum. 

Kebanyakan ulama mengatakan:

Sesungguhnya sebab itu lebih umum dari illat secara mutlak. Maka tiap tiap illat adalah sebab, dan tidak sebaliknya (tiap tiap sebab adalah illat). Dan sebab itu mencakup sebab yang ada pada urusan muamalat ( jual beli sebab pada boleh ambil manfaat barang) dan pada urusan 'uqubat( mencuri adalah sebab pada potong tangan).  Dan mencakup illat yang dipelajari pada persoalan qiyas.

Perbedaan antara illat dan sebab adalah,

Sebab adalah: sebuah sifat yang punya ikatan dengan hukum ( kejadian). Dan tidak diketahui akibat dari sifat tersebut secara akal, dan juga bukan hasil ciptaan dari manusia, seperti tergelincirnya matahari sebagai tanda masuk waktu shalat dzuhur dan jumat

 Illat adalah: sebuah sifat yang punya ikatan dengan hukum dan diketahui oleh akal akibat dari sifat tersebut, seperti sifat memabukkan adalah illat pada haram khamar. 

( DR, Wahbah Dzuhaili, Kitab Wajidz fii Ushulil fiqhi, Maktabah Syamilah al Haditsah, jilid 1 Halaman 379)

TAKRIF/PENGERTIAN MAKMUM MUWAFIQ DAN MASBUQ

Dalam sembahyang berjamaah, ada dua hal yang mesti dipahami bagi orang yang sembahyang berjamaah, terutama bagi seorang makmum,  yaitu bagaimana yang di katakan makmum muwafiq dan makmum masbuq.

Untuk mengetahui bagaimana pengertian masing-masing, maka kita bisa memahami dengan pengertian yang sudah dibuat oleh para ulama dalam kitab nya, yaitu:

Dalam kitab Tuhfah Muhtaj karya Ibnu Hajar al Haitami Jilid 2 halaman 348 disebutkan 

الموافق :هو من أدرك من قيام اﻹمام زمنا يسع الفاتحة بالنسبة إلى القراءة المعتدلة. ( ينظر تحفة المحتاج :۲/ ۳٤۸

Artinya:Muwafiq adalah orang yang mendapatkan waktu yang mencukupi untuk membaca fatihah selama imam masih berdiri dengan ukuran    bandingan bacaan orang pertengahan ( tidak cepat dan tidak lambat)

( Ibnu Hajar Haitami,  Tuhfah al Muhtaj jilid II halaman 348)


المسبوق: من لم يدرك من قيام اﻹمام زمنا يسع الفاتحة بالنسبة إلى القراءة المعتدلة.( تحفة المحتاج 2/348).

Artinya: masbuq adalah orang yang tidak mendapati cukup waktu untuk membaca fatihah selama imam masih berdiri dengan ukuran bacaan orang yang pertengahan ( tidak cepat dan tidak lambat)

( Ibnu Hajar Haitami: Tuhfah al Muhtaj: jilid II halaman 348).

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa yang dikatakan masbuq itu tidak mesti karena terlambat datang ke tempat sembahyang, orang yang datang lebih awal untuk azan pun bisa dikatakan masbuq jika dia masih asyik berdiri dan terlambat dalam takbiratul ihram dan ketika sudah melakukan takbir dan sudah masuk dalam sembahyang dan jika dia tidak mendapatkan waktu lagi yang mencukupi untuk membaca fatihah, maka dia walaupun orang azan tetap dihukumi orang masbuq. 

و الله اعلم بالصواب

NASBUQ DALAM SEMBAHYANG

 Ada tiga Macam masbuq dalam sembahyang sebagai berikut:


1.        Masbuq karena terlambat dalam raka’at. Artinya seorang makmum belum sempat takbiratul ihram, sementara imam sudah dalam raka’at  kedua atau lebih. Dalam hal ini masbuq boleh setelah melakukan takbiratul ihram langsung mengikuti perbuatan imam, kemudian rakaat yang kurang ditambah setelah imam melakukan salam.

2.        Masbuq karena seorang makmum ketika melakukan takbiratul ihram mendapatkan imamnya sedang ruku’, ketika itu makmum boleh langsung ruku’ bersama imam tanpa membaca fatihah. Raka’at yang tanpa membaca fatihah tersebut dianggap satu rakaat bagi makmum.

3.        Masbuq karena makmum belum habis membaca fatihah , tiba2 imam sudah ruku, maka makmum tidak perlu menghabiskan bacaan fatihah, tetapi langsung ruku’ mengikuti imam. Ini juga raka’at yang tanpa membaca fatihah secara sempurna tersebut dianggap satu rakaat bagi makmum.

Pengertian masbuq adalah makmum yang terlambat. Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang lebih tepat (kalau ingin memberi nama utk masbuq) untuk no 1 adalah masbuq rakaat dan untuk no 2 dan 3 adalah masbuq bacaan al-Fatihah. Disebut masbuq raka’at karena rakaatnya makmum ada yg tertinggal. Dan disebut masbuq al-al-fatihah karena tidak sempat membaca al-Fatihah semuanya atau sebagiannya. Sedangkan takbiratul ihram wajib dibaca dalam keadaan apapun pada waktu memulai shalat, meskipbun dia masbuq sekalipun. Karena itu tidak tepat dinamai dengan masbuq takbirarul ihram.

والله اعلم بالصواب


Minggu, 04 Juli 2021

PERBEDAAN SEBAB DENGAN ILLAT

Oleh: Tgk Dailami 

As-sabab (sebab) adalah tanda/indikator mengenai kapan hukum harus dilaksanakan. Sebagai contoh tergelincirnya matahari menjadi tanda atau indikator masuknya pelaksanaan waktu shalat jum’at. Sebagaimana hadist dari Salamah bin akwa’, dia berkata:

كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ
"Kami shalat Jum'at bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika matahari tergelincir. Setelah itu kami pulang dalam keadaan masih perlu mencari-cari naungan untuk tempat berlindung."(HR. Muslim no. 1423)
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa ‘illat adalah dasar/alasan pensyariatan hukum sedangkan as-sabab bukan alasan/dasar pensyaraiatan hukum melainkan hanya tanda kapan pelaksanaan hukum yang telah disyaraiatkan oleh dalil yang lain. Tergelincirnya waktu bukan menjadi pemicu/dasar mengenai wajibnya shalat jum’at. Akan tetapi kewajiban shalat jumat ditetapkan berdasarkan mantuq dari ayat 9 surah al-jumu’ah di atas.

Demikian pula tergelincirnya matahari merupakan sebab (waktu) pelaksanaan shalat dzuhur. Sebagaimana firman Allah SWT:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (QS. Al-Isra’[17]:78).
Akan tetapi wajibnya shalat lima waktu (termasuk dzuhur) tidak didasarkan pada tergelincirnya matahari akan tetapi berdasarkan dalil yang lain.

Contoh yang lain adalah terlihatnya hilal (bulan baru) merupan sebab kapan shaum ramadhan mesti dilaksanakan, berdasarkan hadist nabi:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
Berpuasalah kalian karena melihat hilal (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan hukum tentang wajibnya puasa tidak ditetapkan berdasarkan dalil ini, tetapi dengan dalil lain, diantaranya perintah Allah dalam surah al-Baqarah ayat 183.
Ditinjau dari segi hubungannya dengan hukum syariat dan konsekuensinya. ‘illat menempel pada hukum dengan konsekuensi jika ‘illatnya ada maka hukum berlaku, sedang jika ‘illatnya tidak ada maka hukum yang berkaitan dengan ‘illat tidak berlaku. Sedangkan sebab berada sebelum terwujudnya hukum. Jika sebab ada/terpenuhi maka hukum wajib dilaksanakan (jika status hukumnya wajib, seperti shalat dan puasa ramadhan). Akan tetapi jika sebab tidak ada maka pelaksanaan hukum saat itu tidak wajib, meski kewajiban tidak gugur (dalam arti jika sebab terpenuhi maka kewajiban tersebut tetap harus dilaksanakan). Sebagai contoh hukum shalat jum’at adalah wajib, hukum wajibnya shalat jumat senantiasa tetap mengikuti dalil yang menegaskan kewajibannya. Hanya saja kapan waktu wajib pelaksanaannya bergantung pada datangnya sebab yakni tergelincirnya matahari. Jika matahari telah tergelincir maka wajib pelaksanaanya telah jatuh, tetap jika matahari masih ditengah langit (belum tergelincir) maka waktu pelaksanaannya belum jatuh.
Ditinjau dari sisi cakupan pemberlakuannya. Cakupan pemberlakuan ‘illat tidak hanya terbatas pada hukum yang disebutkan dalam nash, akan tetapi dapat diterapkan pada kasus-kasus lain yang berkesesuaian ‘illatnya. Sebagai contoh ‘illat telalaikannya shalat jum’at tidak hanya berlaku untuk larangan jual-beli, akan tetapi juga kasus-kasus lain yang dapat menghalangi orang untuk melaksanakan shalat jumat seperti proses belajar mengajar, jasa taksi angkot, dsb. Sedangkan sebab hanya berlaku untuk kasus khusus yang tercantum dalam nash. Tergelincirnya matahari hanya menjadi sebab untuk jatuhnya pelaksanaan shalat dzuhur atau jum’at dan tidak bisa dijadikan sebab untuk waktu shalat yang lain.

Wallahu 'alam bissawab


Rabu, 30 Juni 2021

HAL-HAL YANG DISUNATKAN DALAM SEMBAHYANG

Oleh Tgk Dailami* 

            Puji syukur kepada Allah, Shalawat serta salam kepada Rasulullah Saw. Takzim dan kemuliaan kepada seluruh guru-guru saya.

Tulisan pendek ini untuk menyahuti permintaan teman saya untuk menuliskan hal-hal yang disunatkan dalam sembahyang dengan ringkas dan padat tanpa bertele-tele. Isi tulisan ini berdasarkan isi dari kitab I’anatutthalibin pada باب صفة الصلاة  jilid 1 dari halaman 126 sampai halaman 180.

Karena ringkasnya, maka hal-hal yang belum jelas boleh memberi tanggapan di kolom komentar atau menghubungi nomor Hp/Wa 085260001020.

Akhirnya saya berdoa semoga ringkasan pendek ini bermamfaat, yang benar datangnya dari Allah, yang salah adalah datangnya dari kebodohan saya sendiri.

Hal-hal yang disunatkan dalam sembahyang adalah sebagai berikut:

1. Sunat memasuki shalat dalam keadaan semangat/tidak ada rasa malas

2. Ketika niat sunat menghadirkan rasa ikhlas kepada Allah

3. Ketika niat Sunat menhadirkan menghadap ke arah kiblat

4. Ketika niat Sunat menghadirkan jumlah bilangan rakaat sembahyang

5. Sunat melafadkan niat sebelum takbiratul ihram

6. Sunnat dalam shalat berhati/dalam keadaan khusyuk dengan menghayati apa yang dibaca

7. Sunat mengeraskan suara seukuran terdengar oleh diri sendiri pada zikir-zikir atau bacaan sunat

8. Sunat membaca sukun haraf “Ra” pada bacaan takbir

9. Sunat Melihat kepada tempat sujud dan menundukkan kepala  sebelum takbiratul ihram

10. Sunat mengangkat kedua telapak tangan ketika membaca takbiratul ihram

11. Sunnat meletakkan tangan dibawah dada dan diatas pusat

12. Sunnat membaca Ta’awwuz ( اعوذ بالله )

13. Sunnat membaca doa iftitah

14. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara aaimiin dan baca surat

15. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara akhir surat dengan takbir rukuk

16. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara takbiratul ihram dengan doa iftitah

17. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara doa iftitah dengan Ta’awwuz

18. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara Ta’awwuz dengan bismillah

19. Sunat mengangkat tangan ketika membaca  takbir ketika akan rukuk

20. Sunnat mengangkat tangan ketika bangkit untuk berdiri dari rukuk

21. Sunnat mengangkat tangan ketika bangkit untuk berdiri dari tasyahud awal

22. Sunnat waqaf pada setiap  akhir ayat dari fatihah

23. Sunnat membaca “aamiinn” sesudah membaca fatihah

24. Sunnat bagi imam yang shalat jihar untuk diam sejenak setelah membaca aamiinn seukuran makmum selesai membaca fatihah

25. Sunnat pada waktu diam setelah fatihah untuk berdoa atau membaca ayat-ayat ( jangan di keraskan)

26. Sunnat membaca satu ayat atau lebih setelah fatihah pada rakaat pertama dan kedua

27. Sunnat pada rakaat pertama menbaca ayat yang lebih panjang daripada rakaat kedua

28. Sunnat membaca surat menurut tertib urutan mushaf

29. Sunnat bagi imam dan orang shalat sendirian untuk membaca secara jihar fatihah dan surat pada sembahyang magrib, isya, subuh, jumat, dan shalat qadha yang dilakukan di malam hari.

30. Sunnat bagi imam, makmum dan shalat sendirian untuk membaca takbir intiqal

31. Sunnat ketika bangkit dari rukuk membaca “Sami’allahu li man hamidah”

32. Sunnah memanjangkan takbir hingga sampai masuk rukun selanjutnya

33. Sunnah bagi imam menjiharkan suara pada takbir intiqal

34. Sunnah pada rukuk meluruskan punggung badan dengan kuduk/leher

35. Sunnah ketika rukuk memegang kedua lutut dengan tangan terbuka

36. Sunnah membaca tasbih pada ketika rukuk minimal satu kali dan maksimal 11 kali

37. Sunnah ketika I’tidal membaca Rabbana lakal hamdu… dst…

38. Sunnat membaca qunut pada ketika I’tidal pada shalat subuh

39. Sunnat bagi imam membaca doa qunut secara jihar walaupun dalam sembahyang sirriyah

40. Sunnah bagi makmum mengamini qunut imamnya dengan suara jihar

41. Sunnah ketika sujud meletakkan hidung pada tempat sujud

42. Sunnah awal  sujud dengan meletakkan dua lutut sejauh satu jengkal

43. Sunnat meletakkan dua telapak tangan sejajar dengan pundak dengan lengan terangkat dari tempat shalat/tanah/mushalla

44. Sunnah memisahkan dua tumit sejarak satu jengkal, menegakkannya dan menekukkan jari kaki menghadap kiblat

45. Sunnah membuka kedua mata ketika sujud

46. Sunnah duduk antara dua sujud, tahiyyat awal dengan duduk iftirasyi

47. Sunnah ketika berdiri dari sujud untuk berpegang/menekan dengan dua telapak tangan

48. Sunnah duduk istirahat seukuran duduk antara dua sujud

49. Sunnah pada membaca tasyahud menambahkan bacaan “almubarakatusshalawatutthaiyibatulillah”

50. Sunnah menambahkan membaca shalawat kepada keluaarga nabi pada tasyahud akhir

51. Sunnah sesudah membaca tasyahud dan shalawat pada tahiyyat akhir agar membaca doa yang warid/maksur

52. Disunnatkan bagi imam agar doa setelah tasyahud agar lebih pendek dari bacaan  tasyahud dan shalawat

53. Sunnah duduk tawarruk pada tasyahud akhir

54. Sunnah meletakkan dua tangan waktu duduk tasyahud pada pinggir lutut sehingga ujung jari sejajar dengan lutut

55. Sunnah mengangkat jari telunjuk tangan kanan diwaktu membaca hamzah pada “Illallah”

56. Sunnah melihat kepada jari telunjuk ketika mengangkatnya

57. Sunnah membaca / memberi salam dua kali kekanan dan kiri

58. Sunnah dalam salam membaca “wabarakatuh”

59. Sunnah memalingkan muka sampai dapat terlihat pipi

60. Sunat bagi orang yang baca salam agar meniatkan salamnya untuk orang yang ada pada arah berpalingnya

61. Sunnah setelah salam pertama agar segera menyambung dengan salam kedua

62. Sunat memulai salam dalam keadaan muka menghadap kiblat dan mengakhiri salam dalam keadaan muka berpaling sempurna

63. Sunnah bagi makmum agar memulai salam setelah selesai salam kedua imam.

64. Sunat untuk niat keluar dari sembahyang pada salam pertama

 

 

و الله اعلم بااصواب