و الله اعلم بالصواب
Selasa, 06 Juli 2021
TATA CARA NIAT SEMBAHYANG QASHAR DAN JAMAK
Senin, 05 Juli 2021
PERBEDAAN ANTARA 'ILLAT DAN SEBAB
Oleh: Tgk Dailami
Dalam mempelajari ilmu ushul fikih terkadang kita bingung untuk memahami antara illat dan sebab, sehingga terkadang campur aduk ketika mencontohkan antara illat dan sebab, sehingga terjadi pada sebuah contoh itu kita katakan contoh dari illat dan contoh dari sebab juga.
Mungkin tulisan pendek ini yang saya terjemahkan dari kitab yang berjudul: كتاب الوجيز في اصول الفقه karya dari DR. Wahbah Dzuhaili pada maktabah Syamilah al Haditsah jilid satu halaman 379 bisa untuk membantu kita dalam memahami perbedaan antara illat dan sebab.
العلة أو السبب أمارة على وجود الحكم، كاإسكار الخمر أمارة على التحريم، والسفر في رمضان أمارة على جواز الإفطار، ولذا قال بعض علماء الأصول: إنهما بمعنى واحد، وقال آخرون: إنهما متغايران، وخصوا العلة بالأمارة المؤثرة التي تظهر فيها المناسبة بينها وبين الحكم، وخصوا السبب بالأمارة غير المؤثرة في الحكم.
وقال أكثر العلماء: إن السبب أعم من العلة مطلقًا، فكل علة سبب ولا عكس، وإن السبب يشمل الأسباب التي في المعاملات والعقوبات، ويشمل العلة التي تدرس في القياس، والفرق بينهما أن الصفة التي يرتبط بها الحكم إن كانت لا يدرك تأثيرها في الحكم بالعقل، ولا تكون من صنع المكلف، كالوقت للصلاة المكتوبة، فتسمى باسم السبب، أما إذا أدرك العقل تأثير الوصف بالحكم فيسمى علة ويسمى سببًا أيضًا،ا
Arti dan penjelasan:
Illat atau sebab adalah tanda/efek atas adanya hukum, seperti mabuk khamar adalah efek haramnya khamar, perjalanan ( jarak qashar) adalah efek atas boleh berbuka puasa ramadhan, karena demikian sebagian ulama ushul mengatakan bahwa antara illat dan sebab bermakna sama.
Ulama yang lain mengatakan bahwa antara illat dan sebab punya makna berbeda, mereka mengkhususkan illat sebagai tanda/ efek yang memberikan akibat yang menampakkan hubungan antara efek dengan hukum. Dan mereka mengkhususkan sebab dengan sebuah efek yang tidak berakibat apapun pada hukum.
Kebanyakan ulama mengatakan:
Sesungguhnya sebab itu lebih umum dari illat secara mutlak. Maka tiap tiap illat adalah sebab, dan tidak sebaliknya (tiap tiap sebab adalah illat). Dan sebab itu mencakup sebab yang ada pada urusan muamalat ( jual beli sebab pada boleh ambil manfaat barang) dan pada urusan 'uqubat( mencuri adalah sebab pada potong tangan). Dan mencakup illat yang dipelajari pada persoalan qiyas.
Perbedaan antara illat dan sebab adalah,
Sebab adalah: sebuah sifat yang punya ikatan dengan hukum ( kejadian). Dan tidak diketahui akibat dari sifat tersebut secara akal, dan juga bukan hasil ciptaan dari manusia, seperti tergelincirnya matahari sebagai tanda masuk waktu shalat dzuhur dan jumat
Illat adalah: sebuah sifat yang punya ikatan dengan hukum dan diketahui oleh akal akibat dari sifat tersebut, seperti sifat memabukkan adalah illat pada haram khamar.
( DR, Wahbah Dzuhaili, Kitab Wajidz fii Ushulil fiqhi, Maktabah Syamilah al Haditsah, jilid 1 Halaman 379)
TAKRIF/PENGERTIAN MAKMUM MUWAFIQ DAN MASBUQ
Dalam sembahyang berjamaah, ada dua hal yang mesti dipahami bagi orang yang sembahyang berjamaah, terutama bagi seorang makmum, yaitu bagaimana yang di katakan makmum muwafiq dan makmum masbuq.
Untuk mengetahui bagaimana pengertian masing-masing, maka kita bisa memahami dengan pengertian yang sudah dibuat oleh para ulama dalam kitab nya, yaitu:
Dalam kitab Tuhfah Muhtaj karya Ibnu Hajar al Haitami Jilid 2 halaman 348 disebutkan
الموافق :هو من أدرك من قيام اﻹمام زمنا يسع الفاتحة بالنسبة إلى القراءة المعتدلة. ( ينظر تحفة المحتاج :۲/ ۳٤۸
Artinya:Muwafiq adalah orang yang mendapatkan waktu yang mencukupi untuk membaca fatihah selama imam masih berdiri dengan ukuran bandingan bacaan orang pertengahan ( tidak cepat dan tidak lambat)
( Ibnu Hajar Haitami, Tuhfah al Muhtaj jilid II halaman 348)
المسبوق: من لم يدرك من قيام اﻹمام زمنا يسع الفاتحة بالنسبة إلى القراءة المعتدلة.( تحفة المحتاج 2/348).
Artinya: masbuq adalah orang yang tidak mendapati cukup waktu untuk membaca fatihah selama imam masih berdiri dengan ukuran bacaan orang yang pertengahan ( tidak cepat dan tidak lambat)
( Ibnu Hajar Haitami: Tuhfah al Muhtaj: jilid II halaman 348).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa yang dikatakan masbuq itu tidak mesti karena terlambat datang ke tempat sembahyang, orang yang datang lebih awal untuk azan pun bisa dikatakan masbuq jika dia masih asyik berdiri dan terlambat dalam takbiratul ihram dan ketika sudah melakukan takbir dan sudah masuk dalam sembahyang dan jika dia tidak mendapatkan waktu lagi yang mencukupi untuk membaca fatihah, maka dia walaupun orang azan tetap dihukumi orang masbuq.
و الله اعلم بالصواب
NASBUQ DALAM SEMBAHYANG
Ada tiga Macam masbuq dalam sembahyang sebagai berikut:
1. Masbuq karena terlambat dalam raka’at. Artinya seorang makmum belum sempat takbiratul ihram, sementara imam sudah dalam raka’at kedua atau lebih. Dalam hal ini masbuq boleh setelah melakukan takbiratul ihram langsung mengikuti perbuatan imam, kemudian rakaat yang kurang ditambah setelah imam melakukan salam.
2. Masbuq karena seorang makmum ketika melakukan takbiratul ihram mendapatkan imamnya sedang ruku’, ketika itu makmum boleh langsung ruku’ bersama imam tanpa membaca fatihah. Raka’at yang tanpa membaca fatihah tersebut dianggap satu rakaat bagi makmum.
3. Masbuq karena makmum belum habis membaca fatihah , tiba2 imam sudah ruku, maka makmum tidak perlu menghabiskan bacaan fatihah, tetapi langsung ruku’ mengikuti imam. Ini juga raka’at yang tanpa membaca fatihah secara sempurna tersebut dianggap satu rakaat bagi makmum.
Pengertian masbuq adalah makmum yang terlambat. Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang lebih tepat (kalau ingin memberi nama utk masbuq) untuk no 1 adalah masbuq rakaat dan untuk no 2 dan 3 adalah masbuq bacaan al-Fatihah. Disebut masbuq raka’at karena rakaatnya makmum ada yg tertinggal. Dan disebut masbuq al-al-fatihah karena tidak sempat membaca al-Fatihah semuanya atau sebagiannya. Sedangkan takbiratul ihram wajib dibaca dalam keadaan apapun pada waktu memulai shalat, meskipbun dia masbuq sekalipun. Karena itu tidak tepat dinamai dengan masbuq takbirarul ihram.
والله اعلم بالصواب
Minggu, 04 Juli 2021
PERBEDAAN SEBAB DENGAN ILLAT
Oleh: Tgk Dailami
As-sabab (sebab) adalah tanda/indikator mengenai kapan hukum harus dilaksanakan. Sebagai contoh tergelincirnya matahari menjadi tanda atau indikator masuknya pelaksanaan waktu shalat jum’at. Sebagaimana hadist dari Salamah bin akwa’, dia berkata:
كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ
"Kami shalat Jum'at bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika matahari tergelincir. Setelah itu kami pulang dalam keadaan masih perlu mencari-cari naungan untuk tempat berlindung."(HR. Muslim no. 1423)
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa ‘illat adalah dasar/alasan pensyariatan hukum sedangkan as-sabab bukan alasan/dasar pensyaraiatan hukum melainkan hanya tanda kapan pelaksanaan hukum yang telah disyaraiatkan oleh dalil yang lain. Tergelincirnya waktu bukan menjadi pemicu/dasar mengenai wajibnya shalat jum’at. Akan tetapi kewajiban shalat jumat ditetapkan berdasarkan mantuq dari ayat 9 surah al-jumu’ah di atas.
Demikian pula tergelincirnya matahari merupakan sebab (waktu) pelaksanaan shalat dzuhur. Sebagaimana firman Allah SWT:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (QS. Al-Isra’[17]:78).
Akan tetapi wajibnya shalat lima waktu (termasuk dzuhur) tidak didasarkan pada tergelincirnya matahari akan tetapi berdasarkan dalil yang lain.
Contoh yang lain adalah terlihatnya hilal (bulan baru) merupan sebab kapan shaum ramadhan mesti dilaksanakan, berdasarkan hadist nabi:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
Berpuasalah kalian karena melihat hilal (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan hukum tentang wajibnya puasa tidak ditetapkan berdasarkan dalil ini, tetapi dengan dalil lain, diantaranya perintah Allah dalam surah al-Baqarah ayat 183.
Ditinjau dari segi hubungannya dengan hukum syariat dan konsekuensinya. ‘illat menempel pada hukum dengan konsekuensi jika ‘illatnya ada maka hukum berlaku, sedang jika ‘illatnya tidak ada maka hukum yang berkaitan dengan ‘illat tidak berlaku. Sedangkan sebab berada sebelum terwujudnya hukum. Jika sebab ada/terpenuhi maka hukum wajib dilaksanakan (jika status hukumnya wajib, seperti shalat dan puasa ramadhan). Akan tetapi jika sebab tidak ada maka pelaksanaan hukum saat itu tidak wajib, meski kewajiban tidak gugur (dalam arti jika sebab terpenuhi maka kewajiban tersebut tetap harus dilaksanakan). Sebagai contoh hukum shalat jum’at adalah wajib, hukum wajibnya shalat jumat senantiasa tetap mengikuti dalil yang menegaskan kewajibannya. Hanya saja kapan waktu wajib pelaksanaannya bergantung pada datangnya sebab yakni tergelincirnya matahari. Jika matahari telah tergelincir maka wajib pelaksanaanya telah jatuh, tetap jika matahari masih ditengah langit (belum tergelincir) maka waktu pelaksanaannya belum jatuh.
Ditinjau dari sisi cakupan pemberlakuannya. Cakupan pemberlakuan ‘illat tidak hanya terbatas pada hukum yang disebutkan dalam nash, akan tetapi dapat diterapkan pada kasus-kasus lain yang berkesesuaian ‘illatnya. Sebagai contoh ‘illat telalaikannya shalat jum’at tidak hanya berlaku untuk larangan jual-beli, akan tetapi juga kasus-kasus lain yang dapat menghalangi orang untuk melaksanakan shalat jumat seperti proses belajar mengajar, jasa taksi angkot, dsb. Sedangkan sebab hanya berlaku untuk kasus khusus yang tercantum dalam nash. Tergelincirnya matahari hanya menjadi sebab untuk jatuhnya pelaksanaan shalat dzuhur atau jum’at dan tidak bisa dijadikan sebab untuk waktu shalat yang lain.
Wallahu 'alam bissawab
Rabu, 30 Juni 2021
HAL-HAL YANG DISUNATKAN DALAM SEMBAHYANG
Oleh Tgk Dailami*
Puji syukur kepada Allah, Shalawat serta salam kepada
Rasulullah Saw. Takzim dan kemuliaan kepada seluruh guru-guru saya.
Tulisan
pendek ini untuk menyahuti permintaan teman saya untuk menuliskan hal-hal yang
disunatkan dalam sembahyang dengan ringkas dan padat tanpa bertele-tele. Isi
tulisan ini berdasarkan isi dari kitab I’anatutthalibin pada باب صفة الصلاة jilid 1 dari halaman 126 sampai
halaman 180.
Karena
ringkasnya, maka hal-hal yang belum jelas boleh memberi tanggapan di kolom
komentar atau menghubungi nomor Hp/Wa 085260001020.
Akhirnya
saya berdoa semoga ringkasan pendek ini bermamfaat, yang benar datangnya dari
Allah, yang salah adalah datangnya dari kebodohan saya sendiri.
Hal-hal
yang disunatkan dalam sembahyang adalah sebagai berikut:
1. Sunat memasuki
shalat dalam keadaan semangat/tidak ada rasa malas
2. Ketika niat sunat
menghadirkan rasa ikhlas kepada Allah
3. Ketika niat Sunat
menhadirkan menghadap ke arah kiblat
4. Ketika niat Sunat
menghadirkan jumlah bilangan rakaat sembahyang
5. Sunat melafadkan niat
sebelum takbiratul ihram
6. Sunnat dalam shalat
berhati/dalam keadaan khusyuk dengan menghayati apa yang dibaca
7. Sunat mengeraskan
suara seukuran terdengar oleh diri sendiri pada zikir-zikir atau bacaan sunat
8. Sunat membaca sukun
haraf “Ra” pada bacaan takbir
9. Sunat Melihat kepada
tempat sujud dan menundukkan kepala
sebelum takbiratul ihram
10. Sunat mengangkat
kedua telapak tangan ketika membaca takbiratul ihram
11. Sunnat meletakkan
tangan dibawah dada dan diatas pusat
12. Sunnat membaca
Ta’awwuz (
اعوذ بالله )
13. Sunnat membaca doa
iftitah
14. Sunnat diam
seukuran bacaan “Subhanallah” antara aaimiin dan baca surat
15. Sunnat diam
seukuran bacaan “Subhanallah” antara akhir surat dengan takbir rukuk
16. Sunnat diam
seukuran bacaan “Subhanallah” antara takbiratul ihram dengan doa iftitah
17. Sunnat diam
seukuran bacaan “Subhanallah” antara doa iftitah dengan Ta’awwuz
18. Sunnat diam
seukuran bacaan “Subhanallah” antara Ta’awwuz dengan bismillah
19. Sunat mengangkat
tangan ketika membaca takbir ketika akan
rukuk
20. Sunnat mengangkat
tangan ketika bangkit untuk berdiri dari rukuk
21. Sunnat mengangkat
tangan ketika bangkit untuk berdiri dari tasyahud awal
22. Sunnat waqaf pada
setiap akhir ayat dari fatihah
23. Sunnat membaca
“aamiinn” sesudah membaca fatihah
24. Sunnat bagi imam
yang shalat jihar untuk diam sejenak setelah membaca aamiinn seukuran makmum
selesai membaca fatihah
25. Sunnat pada waktu
diam setelah fatihah untuk berdoa atau membaca ayat-ayat ( jangan di keraskan)
26. Sunnat membaca satu
ayat atau lebih setelah fatihah pada rakaat pertama dan kedua
27. Sunnat pada rakaat
pertama menbaca ayat yang lebih panjang daripada rakaat kedua
28. Sunnat membaca
surat menurut tertib urutan mushaf
29. Sunnat bagi imam
dan orang shalat sendirian untuk membaca secara jihar fatihah dan surat pada
sembahyang magrib, isya, subuh, jumat, dan shalat qadha yang dilakukan di malam
hari.
30. Sunnat bagi imam,
makmum dan shalat sendirian untuk membaca takbir intiqal
31. Sunnat ketika
bangkit dari rukuk membaca “Sami’allahu li man hamidah”
32. Sunnah memanjangkan
takbir hingga sampai masuk rukun selanjutnya
33. Sunnah bagi imam
menjiharkan suara pada takbir intiqal
34. Sunnah pada rukuk
meluruskan punggung badan dengan kuduk/leher
35. Sunnah ketika rukuk
memegang kedua lutut dengan tangan terbuka
36. Sunnah membaca
tasbih pada ketika rukuk minimal satu kali dan maksimal 11 kali
37. Sunnah ketika
I’tidal membaca Rabbana lakal hamdu… dst…
38. Sunnat membaca
qunut pada ketika I’tidal pada shalat subuh
39. Sunnat bagi imam
membaca doa qunut secara jihar walaupun dalam sembahyang sirriyah
40. Sunnah bagi makmum
mengamini qunut imamnya dengan suara jihar
41. Sunnah ketika sujud
meletakkan hidung pada tempat sujud
42. Sunnah awal sujud dengan meletakkan dua lutut sejauh satu
jengkal
43. Sunnat meletakkan
dua telapak tangan sejajar dengan pundak dengan lengan terangkat dari tempat
shalat/tanah/mushalla
44. Sunnah memisahkan
dua tumit sejarak satu jengkal, menegakkannya dan menekukkan jari kaki
menghadap kiblat
45. Sunnah membuka
kedua mata ketika sujud
46. Sunnah duduk antara
dua sujud, tahiyyat awal dengan duduk iftirasyi
47. Sunnah ketika
berdiri dari sujud untuk berpegang/menekan dengan dua telapak tangan
48. Sunnah duduk
istirahat seukuran duduk antara dua sujud
49. Sunnah pada membaca
tasyahud menambahkan bacaan “almubarakatusshalawatutthaiyibatulillah”
50. Sunnah menambahkan
membaca shalawat kepada keluaarga nabi pada tasyahud akhir
51. Sunnah sesudah
membaca tasyahud dan shalawat pada tahiyyat akhir agar membaca doa yang warid/maksur
52. Disunnatkan bagi
imam agar doa setelah tasyahud agar lebih pendek dari bacaan tasyahud dan shalawat
53. Sunnah duduk
tawarruk pada tasyahud akhir
54. Sunnah meletakkan
dua tangan waktu duduk tasyahud pada pinggir lutut sehingga ujung jari sejajar
dengan lutut
55. Sunnah mengangkat
jari telunjuk tangan kanan diwaktu membaca hamzah pada “Illallah”
56. Sunnah melihat
kepada jari telunjuk ketika mengangkatnya
57. Sunnah membaca / memberi
salam dua kali kekanan dan kiri
58. Sunnah dalam salam
membaca “wabarakatuh”
59. Sunnah memalingkan
muka sampai dapat terlihat pipi
60. Sunat bagi orang
yang baca salam agar meniatkan salamnya untuk orang yang ada pada arah
berpalingnya
61. Sunnah setelah
salam pertama agar segera menyambung dengan salam kedua
62. Sunat memulai salam
dalam keadaan muka menghadap kiblat dan mengakhiri salam dalam keadaan muka
berpaling sempurna
63. Sunnah bagi makmum
agar memulai salam setelah selesai salam kedua imam.
64. Sunat untuk niat
keluar dari sembahyang pada salam pertama
و
الله اعلم بااصواب
Selasa, 18 Mei 2021
BIJAK DALAM MEMULAI PUASA DAN HARI RAYA
Memulai puasa dan berhari raya dengan
cara berbeda dengan pemerintah itu hanyalah cerita yang terjadi satu-satunya di
dunia adalah di Indonesia. Pasalnya, karena masih saja ada pihak-pihak tertentu
yang menafikan peranan negara. Dan seringkali merasa dirinya atau kelompoknya
berhak untuk memutuskan sendiri ketetapan awal dan akhir Ramadhan.
Apapun metode penetapan awal
Ramadhan dan Syawwal, baik yang menggunakan hisab atau pun rukyah, sudah bisa
dipastikan hasilnya pasti berbeda-beda.
Jangan dikira kalau seluruh bangsa
Indonesia sudah kompak dan sepakat bulat pakai hisab, lantas hasilnya pasti
sama dan urusan jadi selesai.
Sebab ternyata di dalam sesama
aliran hisab sendiri ada begitu banyak aliran dan metode yang hasilnya bisa
dipastikan akan saling bertentangan. Padahal sama-sama berada dalam aliran
hisab.
Dan begitu juga sebaliknya, jangan
dikira kalau seluruh ormas sepakat meninggalkan aliran hisab dan
berbondong-bondong menggunakan metode rukyat, lantas bisa dipastikan akan
terjadi kesepakatan dari sisi hasilnya. Sebab sebagaimana kita tahu, tiap titik
di atas tanah negeri ini bisa saja menampilkan perbedaan hasil rukyat hilal.
Jadi meskipun kita sebangsa dan
setanah-air sepakat menggunakan salah satu dari sekian banyak versi penetapan
awal Ramadhan, hasilnya sudah bisa dipastikan akan berbeda-beda juga.
Yang sebenarnya jadi titik pangkal
permasalahan menurut hemat saya bukan pada pilihan metodenya. Tetapi ketika
semua pihak, termasuk ormas dan jamaah-jamaah yang jumlahnya tidak terhingga
itu, masing-masing merasa berwenang ikut-ikutan cawe-cawe (get involve)
mengurusi penetapan awal Ramadhan.
1. Domain Negara
Segala macam khilaf dalam penentuan
awal Ramadhan tidak akan pernah ada jalan keluarnya, selama tidak ada satu
pihak yang diakui bersama dan ditaati.
Nah, justru disinilah sumber titik
masalahnya. Umat Islam di negeri ini terlanjur menganggap pimpinan ormas dan
jamaah mereka sebagai pusat pimpinan. Kepada pimpinan masing-masing ormas dan
jamaah iniah mereka memberikan loyalitas dan segala ketaatan mutlak.
Padahal jumlah ormas dan jamaah di
negeri kita tidak terhingga bilangannya. Bisa ada sejuta ormas dengan sejuta
perbedaan masing-masing.
Padahal kalau kita kembalikan ke
dalam sejarah Islam, seharusnya satu-satunya pihak yang ditaaati bersama, minimal
dalam urusan penetapa awal Ramadhan itu adalah as-Sultan. Dan untuk dimensi
bangsa Indonesia saat ini, representasi dari sulthan ini tidak lain dan tidak
bukan adalah penguasa atau pemerintahan yang sah.
Dalam ilmu fiqih disebutkan bahwa
salah satu peran dan tugas penguasa negara adalah menjadi penengah yang
berwenang untuk menetapkan jatuhnya awal Ramadhan. Meski ada sekian banyak
kajian dan perselisihan para fuqaha di dalamnya, namun kata akhir kembali
kepada penguasa.
Dalilnya adalah apa yang terjadi di
masa Rasulullah SAW, meski ada orang yang melihat hilal, tetapi dia tidak boleh
menjadi penentu keputusan atas ketetapan awal Ramadhan. Dia harus melapor
kepada Rasulullah SAW, lalu beliau SAW yang nanti akan memproses kesimpulannya.
Ketuk palu ada di tangan Rasulullah
SAW, bukan semata-mata karena beliau seorang nabi yang mendapat wahyu,
melainkan dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara dan penguasa yang sah.
Kita tidak mengatakan bahwa
keputusan di tangan Rasulullah SAW karena beliau seorang nabi. Kalau sebagai
nabi, tentu beliau tidak perlu menunggu laporan dari para shahabat untuk
melihat hilal.
Cukup beliau bertanya saja kepada
malaikat Jibril, atau bertanya langsung kepada Allah SWT tentang kapan masuknya
Ramadhan, pasti bisa dengan mudah didapat jawabannya.
Namun kedudukan Rasulullah SAW
memang tidak hanya sebagai nabi tapi juga sebagai kepala negara.
Begitulah beliau mencontohkan kepada
kita, bahwa mekanisme penetapan bulan Ramadhan itu harus lewat proses
keteetapan oleh kepala negara. Orang-orang yang melihat hilal mendatangi
Rasulullah SAW dalam kedudukannya sebagai penguasa yang sah dan memberi kabar.
Lalu keputusan 100% berada di tangan kepala negara.
Hal itulah yang dilakukan oleh
Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu, tatkala beliau menyaksikan hilal Ramadhan.
تَرَاءَى
النَّاسُ الْهِلاَل فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ
النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Dari Abdullah bin Umar
radhiyallahuanhu bahwa orang-orang mencari-cari hilal. Aku memberitahukan Nabi
SAW bahwa diriku telah melihatnya, maka beliau berpuasa dan memerintahkan
orang-orang untuk berpuasa. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim)
Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu
bukan shahabat biasa. Beliau adalah ulama yang faqih di kalangan para shahabat.
Beliau termasuk orang yang menyaksikan hilal Ramadhan. Namun kita diajari oleh
sikap dan tindakan beliau yang memang seharusnya dilakukan.
Tidak mentang-mentang beliau merasa
melihat hilal, lantas beliau memutuskan sendiri kapan mulainya Ramadhan. Namun
beliau datang dulu kepada Rasulullah SAW untuk menyampaikan laporan pandangan
mata, dimana beliau menjadi saksi atas terlihatnya hilal bulan Ramadhan.
Perkara nanti apakah laporannya
diterima atau tidak oleh Rasulullah, maka wewenang itu sepenuhnya berada di
tangan Rasulullah SAW. Abdullah bin Umar tidak pernah memutuskan untuk berpuasa
sendirian, atau mengajak kelompok dan institusinya sendiri, hanya karena
dirinya merasa seorang pakar agama yang ilmunya selangit.
Yang beliau lakukan hanya sebatas
melaporkan hasil pantauan saja, bukan memutuskan kapan mulai Ramadhan. Dan
memang itulah yang seharusnya dilakukan oleh siapa pun yang melihat hilal.
Demikian juga hal yang dilakukan
oleh seorang a’rabi yang melihat hilal dari tengah padang pasir. Dia segera
mendatangi Nabi SAW dan melaporkan apa yang dilihatnya.
جَاءَ
أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ فَقَال : إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلاَل - يَعْنِي
رَمَضَانَ - قَال : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ؟ أَتَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُول اللَّهِ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : يَا بِلاَل أَذِّنْ فِي النَّاسِ
أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Seorang a’rabi datang kepada Nabi
SAW dan melapor, “Aku telah melihat hilal”. Rasulullah SAW bertanya, ”Apakah
kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah
utusan-Nya?”. Dia menjawab, ”Ya”. Beliau berkata, ”Bilal, umumkan kepada
orang-orang untuk mulai berpuasa besok”. (HR. Tirmizy dan An-Nasa’i)
Tidak ada sejarahnya di masa Nabi
SAW dan juga pada masa shahabat, bila seseorang merasa melihat hilal, lantas di
boleh berfatwa dan menetapkan keputusan sendirian.
2. Contoh Di Masa Shahabat
Demikian juga di masa-masa
berikutnya. Semua orang yang merasa melihat hilal Ramadhan, berkewajiban
melapor kepada Amirul Mukminin. Lalu Amirul Mukminin yang akan mengumumkan
kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan. Boleh jadi sebuah laporan diterima dan boleh
jadi ditolak dengan berbagai pertimbangan.
Dan itulah yang telah terjadi selama
kurun 14 abad ini. Umat Islam di seluruh dunia selalu mengacu kepada penguasa
tatkala memulai awal Ramadhan. Mereka tidak memulai puasa sendiri-sendiri atau
berdasarkan kelompok kecil-kecil.
Lain halnya bila umat Islam tinggal
di berbagai negeri yang saling berjauhan, seperti Madinah dan Damaskus.Kedua
negeri itu dipisahkan dengan jarak yang amat jauh. Kalau orang berjalan di awal
bulan Ramadhan dari Damaskus ke Madinah, dia baru akan sampai ketika bulan
Ramadhan hampir selesai.
Maka dalam kasus negeri yang
berjauhan, kita menemukan fakta terjadinya perbedaan penetapan awal Ramadhan di
masa para shahabat, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Kuraib berikut ini :
عَنْ كُرَيْبٍ
أَنَّ أُمَّ الفَضْلِ بِنْتَ الحَرْثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ
فَقَالَ: قَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتَهَلَّ عَلىَ رَمَضَان
وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الهِلاَلَ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ . ثُمَّ قَدِمْتُ
المَدِيْنَةَ فيِ آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنيِ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبَّاس ثُمَّ
ذَكَرَ الهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْتُهُ
لَيْلَةَ الجُمُعَةِ. فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ
النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. قَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ
السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا أَوْ
نَرَاهُ. فَقُلْتُ: أَلاَ تَكْتَفيِ بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَة ؟ فَقَالَ لاَ هَكَذَا
أَمَرَنَا النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ
Dari Kuraib radhiyallahuanhu bahwa
Ummul Fadhl telah mengutusnya pergi ke Syam, Kuraib berkata, "Aku tiba di
negeri Syam dan aku selesaikan tugasku, lalu datanglah hilal Ramadhan sementara
aku di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian aku pulang ke Madinah
di akhir bulan. Maka Abdullah bin Abbas bertanya padaku, "(Aku pun
menceritakan tentang hilal di Syam). Ibnu Abbas ra bertanya, "Kapan kamu
melihat hilal?". "Aku melihatnya malam Jumat", jawab Kuraib.
Ibnu Abbas bertanya lagi, "Kamu melihatnya sendiri?". "Ya,
orang-orang juga melihatnya dan mereka pun berpuasa, bahkan Mu'awiyah pun
berpuasa", jawab Kuraib. Ibnu Abbas berkata, "Tetapi kami (di
Madinah) melihat hilal malam Sabtu. Dan kami akan tetap berpuasa hingga 30 hari
atau kami melihat hilal". Kuraib bertanya, "Tidakkan cukup dengan
ru'yah Mu'awiyah?". Ibnu Abbas menjawab, "Tidak, demikianlah
Rasulullah SAW memerintahkan kami.” (HR. Muslim)
Maka di dalam fiqih Islam,
dimungkinkan adanya dua wilayah yang berjauhan dan berbeda dalam menetapkan
hasil ru'yah. Di Syam orang-orang telah melihat hilal malam Jumat, sedangkan di
Madinah orang-orang baru melihat hilal malam Sabtu.
Namun hal ini tidak boleh terjadi di
dalam satu negeri, dimana di dalamnya ada penguasa yang berdaulat secara sah
dan konstitusional. Keadaan ini dimungkinkan terjadi hanya bilamana kedua
negeri saling berjauhan.
3. Tetap Ikut Negara Meskipun
Bermusuhan
Di Saudi Arabia, ada begitu banyak
kelompok yang memusuhi negara dan pemerintahan. Dan tidak sedikit dari kelompok
itu yang dikejar-kejar dan ditangkapi oleh pemerintah. Sebagian dari mereka
dipenjara dan tidak sedikit yang mengalami tekanan dan siksaan.
Bahkan kelompok Al-Qaidah juga
diperangi oleh Kerajaan, dan sebagai balasannya, tidak sedikit dari tokoh-tokoh
mereka yang melakukan makar, sampai menjatuhkan vonis kafir kepada para
penguasa di Saudi Arabia.
Namun tidak ada satu pun dari
kelompok-kelompok itu yang berinisiatif untuk berpuasa sendiri dengan berbeda
dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Urusan mereka bermusuhan
dengan pemerintah adalah satu hal, tetapi urusan berpuasa tidak pernah
dibawa-bawa ke masalah politik.
Oleh karena itu maka wajar kalau
kita belum pernah mendengar di Saudi Arabia ada kelompok anti pemerintah yang
melakukan wuquf sendirian di tanggal 8 Dzulhijjah, misalnya gara-gara mereka
membenci pemerintah. Sebenci-bencinya mereka kepada pihak Kerajaan, tetap saja
mereka ikut wuquf di Arafah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh
negara.
Begitu juga dengan rakyat Mesir.
Sepanjang sejarah pergerakan, Mesir termasuk negeri yang paling sering
bergejolak. Ada begitu banyak kelompok yang anti Pemerintah di Mesir, sehingga
tidak sedikit dari mereka yang ditangkapi. Di masa lalu para tokoh aktifis
Al-Ikhwan Al-Muslimun memenuhi penjara Mesir. Bahkan ada kelompok yang
menjatuhkan vonis kafir kepada pemerintah Mesir, seperti Jamaah Takfir wal
Jihad.
Namun kita tidak pernah mendengar
ada kelompok yang berpuasa sendirian dan berbeda dengan apa yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Padahal ada dari mereka yang mengkafirkan
pemerintah.
Memulai puasa dengan cara berbeda
dengan pemerintah itu hanyalah cerita yang terjadi satu-satunya di dunia adalah
di Indonesia. Pasalnya, karena masih saja ada pihak-pihak tertentu yang merasa
dirinya lebih pandai dari orang lain dalam urusan rukyat atau hisab, lalu
menafikan peranan negara. Dan seringkali merasa dirinya atau kelompoknya berhak
untuk memutuskan sendiri ketetapan awal dan akhir Ramadhan.
Sikap seperti ini sebenarnya kurang
dilandasi dengan dalil-dalil yang bisa diandalkan. Sebab semua dalil yang kita
dapat, baik dari Al-Quran maupun dari As-Sunnah menunjukkan satu hal yang sama
dan telah disepakati sejak 14 abad berjalan ini, yaitu wewenang itu 100% berada
di tangan penguasa.
4. Wajib Diikuti Meski Ternyata
Salah
Seluruh umat Islam sepanjang 14 abad
ini telah menyerahkan urusan penetapan awal Ramadhan dan Syawal kepada
penguasa, karena domain itu memang milik penguasa.
Kita tidak pernah menemukan dalam
sejarah umat Islam dimana pun di dunia ini, adanya orang-orang tertentu, atau
kelompok tertentu yang merasa lebih berhak untuk menetapkan sendiri awal
Ramadhan dan juga awal Syawwal.
Bahkan meski pun terbukti pada
akhirnya apa yang diputuskan oleh penguasa itu salah, lantas kemudian dikoreksi
ulang. Hal itu pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, sebagaimana bisa kita
baca pada hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي
عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ حَدَّثَنِي عُمُومَةٌ لِي مِنَ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ
رَسُولِ اللَّهِ قَالَ : غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا
فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ
فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ أَنْ يُفْطِرُوا
مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ
Dari Abu Umair bin Anas, telah
menceritakan kepadaku kebanyakan para sahabat Anshar dari sahabat Rasulullah
bahwa ia berkata; "Hilal bulan Syawal telah tertutup awan, maka kami pun
berpuasa, lalu serombongan pengendara di akhir siang datang sambil bersaksi
dihadapan Rasulullah bahwa kemarin mereka telah menyaksikan hilal, kemudian
Rasulullah menyuruh orang-orang berbuka di hari itu, dan agar di esok hari
mereka keluar untuk berhari raya. (HR. Ahmad)
5. Berpuasa dan Berlebaran
Bersama-sama
Syariah Islam memang menetapkan
berbagai metode dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, baik melalui rukyahul
hilal, istikmal atau pun dengan hisab. Namun semua metode itu hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang memiliki ilmu dan keahlian, dan tidak semua orang
mampu untuk melakukannya.
Medote rukyahul-hilal misalnya,
meski kelihatannya sederhana, tetapi untuk berhasil melakukannya ternyata tidak
mudah juga.
Apalagi untuk kita yang tinggal di
kota-kota besar seperti Jakarta, ada begitu banyak hambatan atau halangan, baik
asap polusi, awan hujan, mendung, dan lain-lainnya. Sehingga kalau kita
cermati, team rukyahul hilal seringkali harus jauh-jauh pergi ke pantai di tepi
laut untuk melakukan tugas mereka. Artinya hal itu tidak mungkin dilakukan oleh
sembarang orang. Dan tidak setiap orang memiliki kesempatan untuk melakukan rukyahul
hilal dengan dirinya sendiri.
Maka dalam pada itu, cukuplah
pekerjaan itu dilakukan oleh mereka yang memang expert dan ahli di bidangnya,
sementara sebagian besar umat Islam ini sekedar menerima kabar saja dan tidak
perlu berangkat sendiri untuk melakukan rukyatul-hilal.
Lalu apa landasan dan pegangan buat
khalayak awam yang tidak punya kemampuan dan kemahiran dalam rukyahul-hilal?
Siapakah pihak berwenang yang dapat dijadikan patokan dalam hal ini?
Untuk itu mari kita cermati hadits nabawi
berikut ini :
الصَّوْمُ
يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ
تُضَحُّوْنَ
“Hari puasa adalah hari dimana semua
kalian berpuasa. Hari berbuka adalah hari dimana semua kalian berbuka. Dan hari
Adha adalah hari dimana semua kalian beridul-Adha.” (HR. At-Tirmizy)
Para ahli ilmu sepakat mengatakan
bahwa pengertian hadits ini menetapkan bahwa tidak boleh seseorang melawan arus
sendirian dalam menetapkan awal Ramadhan dan Syawal. Dia tidak dibenarkan
berijtihad sendirian yang hasilnya bertentangan dengan semua orang, lalu dia
melakukannya sendirian, sementara orang-orang tidak melakukannya.
Tetapi kecenderungan yang sering
Penulis saksikan di tengah kalangan yang bersemangat menjalankan agama, justru
semakin berbeda dengan masyarakat, malah semakin dikejar dan dijadikan pilihan
utama. Sehingga ada kesan, yang penting berbeda, unik dan tidak sama dengan apa
yang diputuskan oleh pemerintah
Padahal sikap-sikap seperti itu
justru tidak bijak menurut pandangan syariah. Berpuasa sendirian mendahului khalayak,
atau berlebaran sendirian mendahului jamaah yang banyak adalah contoh yang
kurang bijak dalam kehidupan karena akan menimbulkan kebingungan dalam
masyarakat awam
Kalau pun ada pendapat yang
membolehkan seseorang berpuasa sendiri, maka hanya bila orang tersebut dengan
mata kepalanya sendiri melihat hilal, bukan lewat informasi pendengarannya dari
orang lain, tanpa dinaik saksikan
tentang hilal tersebut..