Selasa, 06 Juli 2021

TATA CARA NIAT SEMBAHYANG QASHAR DAN JAMAK

 Oleh Tgk Dailami

Kita mungkin sering bepergian yang berjarak hingga ukuran bisa untuk mengqashar dan menjamak sembahyang, maka dalam kondisi tertentu terkadang kita perlu untuk mengqashar sembahyang kita. Apalagi bila sulitnya perjalanan kita yang berhari-hari tentu saja kita mungkin kesukaran bila sebentar sebentar kita berhenti untuk sembahyang. 
Bila ada yang masih bingung bagaimana tatacara Niat jamak dan qasar, maka berikut ini adalah tata cara sembahyang qashar dan dijamak baik Taqdim maupun Takhir. 

A. Cara Niat Sembahyang Jamak Taqdim beserta Qashar

1. Dhuhur dengan 'Asar

أصلي فرض الظهر ركعتين قصرا مجموعا إليه العصر أداء لله تعالى


“Sahaja aku sembahyang fardhu dhuhur dua rakaat karena qashar dan dijamak kepadanya akan 'asar tunai karena Allah Taala”

. أصلي فرض العصر ركعتين قصرا مجموعا إلي الظهر أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu 'asar dua rakaat karena qashar dan dijamak kepada dhuhur tunai karena Allah Taala”.

2. Maghrib dengan 'Isya

أصلي فرض المغرب ثلاث ركعات مجموعا إليه العشاء أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu maghrib 3 rakaat dijamak kepadanya akan 'isya tunai karena Allah Taala”

أصلي فرض العشاء ركعتين قصرا مجموعا إلي المغرب أداء لله تعالى

"Sahaja aku sembahyang fardhu 'isya dua rakaat karna diqashar dan dijamak kepada maghrib tunai karena Allah Taala”

B. Jamak Takhir beserta Qasar

1. 'Asar dengan dhuhur

أصلي فرض العصر ركعتين قصرا مجموعا إليه الظهر أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu 'asar dua rakaat karna qashar dan dijamak kepadanya akan zuhur tunai karena Allah Taala”.

أصلي فرض الظهر ركعتين قصرا مجموعا إلي العصر أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu zuhur dua rakaat karna qashar dan dijamak kepada asar tunai karena Allah Taala”.

2. 'Isya dengan Maghrib

أصلي فرض العشاء ركعتين قصرا مجموعا إليه المغرب أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu 'isya dua rakaat karna qashar dan dijamak kepadanya akan maghrib tunai karena Allah Taala”.

أصلي فرض المغرب ثلاث ركعات مجموعا إلي العشاء أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu  maghrib 3 rakaat dijamak kepada 'isya tunai karena Allah Taala

Satu lagi yang harus dilakukan apabila kita sembahyang jamak takhir, yaitu kita harus azam( cita-cita) dalam hati bahwa akan melaksanakan sembahyang pada waktu kedua. 
Contoh nya begini: jika kita akan melakukan sembahyang jamak Takhir antara dhuhur dengan asar,  maka ketika dalam waktu dhuhur kita sudah Niat/ cita-cita dalam hati bahwa sembahyang dhuhur akan kita kerjakan dan jamak pada waktu asar, maka jika tidak dicita citakan seperti ini maka sembahyang dhuhur ini akan menjadi sembahyang qadha. 

Misal nya niat saat jam 14.30 WIB, pada jam tersebut masih cukup melaksanakan shalat dhuhur. Tidak sah pelaksaaan sembahyang jamak takhir bila niatnya di waktu shalat kedua atau di waktu shalat pertama tapi sudah tidak cukup lagi waktu untuk melaksanakan shalat pertama secara sempurna, misal nya niat di penghujung waktu dhuhur saat akan akan masuk waktu Ashar hanya berjarak 30 detik. Bila terjadi demikian, maka status sembahyang pertama akan berstatus seqadha dan musafir berdosa dengan sebab kesengajaannya mengakhirkan sembahyang.

و الله اعلم بالصواب

Senin, 05 Juli 2021

PERBEDAAN ANTARA 'ILLAT DAN SEBAB

Oleh: Tgk Dailami 

Dalam mempelajari ilmu ushul fikih terkadang kita bingung untuk memahami antara illat dan sebab, sehingga terkadang campur aduk ketika mencontohkan antara illat dan sebab, sehingga terjadi pada sebuah contoh itu kita katakan contoh dari illat dan contoh dari sebab juga. 

Mungkin tulisan pendek ini yang saya terjemahkan dari kitab yang berjudul:  كتاب الوجيز في اصول الفقه karya dari DR. Wahbah Dzuhaili pada maktabah Syamilah al Haditsah jilid satu halaman 379 bisa untuk membantu kita dalam memahami perbedaan antara illat dan sebab. 


 العلة أو السبب أمارة على وجود الحكم، كاإسكار الخمر أمارة على التحريم، والسفر في رمضان أمارة على جواز الإفطار، ولذا قال بعض علماء الأصول: إنهما بمعنى واحد، وقال آخرون: إنهما متغايران، وخصوا العلة بالأمارة المؤثرة التي تظهر فيها المناسبة بينها وبين الحكم، وخصوا السبب بالأمارة غير المؤثرة في الحكم.

وقال أكثر العلماء: إن السبب أعم من العلة مطلقًا، فكل علة سبب ولا عكس، وإن السبب يشمل الأسباب التي في المعاملات والعقوبات، ويشمل العلة التي تدرس في القياس، والفرق بينهما أن الصفة التي يرتبط بها الحكم إن كانت لا يدرك تأثيرها في الحكم بالعقل، ولا تكون من صنع المكلف، كالوقت للصلاة المكتوبة، فتسمى باسم السبب، أما إذا أدرك العقل تأثير الوصف بالحكم فيسمى علة ويسمى سببًا أيضًا،ا

Arti dan penjelasan:

Illat atau sebab adalah tanda/efek atas adanya hukum, seperti mabuk khamar adalah efek haramnya khamar, perjalanan ( jarak qashar) adalah efek atas boleh berbuka puasa ramadhan, karena demikian sebagian ulama ushul mengatakan bahwa antara illat dan sebab bermakna sama.

Ulama yang lain mengatakan bahwa antara illat dan sebab punya makna berbeda, mereka mengkhususkan illat sebagai tanda/ efek yang memberikan akibat  yang menampakkan hubungan antara efek dengan hukum. Dan mereka mengkhususkan sebab dengan sebuah efek yang tidak berakibat apapun pada hukum. 

Kebanyakan ulama mengatakan:

Sesungguhnya sebab itu lebih umum dari illat secara mutlak. Maka tiap tiap illat adalah sebab, dan tidak sebaliknya (tiap tiap sebab adalah illat). Dan sebab itu mencakup sebab yang ada pada urusan muamalat ( jual beli sebab pada boleh ambil manfaat barang) dan pada urusan 'uqubat( mencuri adalah sebab pada potong tangan).  Dan mencakup illat yang dipelajari pada persoalan qiyas.

Perbedaan antara illat dan sebab adalah,

Sebab adalah: sebuah sifat yang punya ikatan dengan hukum ( kejadian). Dan tidak diketahui akibat dari sifat tersebut secara akal, dan juga bukan hasil ciptaan dari manusia, seperti tergelincirnya matahari sebagai tanda masuk waktu shalat dzuhur dan jumat

 Illat adalah: sebuah sifat yang punya ikatan dengan hukum dan diketahui oleh akal akibat dari sifat tersebut, seperti sifat memabukkan adalah illat pada haram khamar. 

( DR, Wahbah Dzuhaili, Kitab Wajidz fii Ushulil fiqhi, Maktabah Syamilah al Haditsah, jilid 1 Halaman 379)

TAKRIF/PENGERTIAN MAKMUM MUWAFIQ DAN MASBUQ

Dalam sembahyang berjamaah, ada dua hal yang mesti dipahami bagi orang yang sembahyang berjamaah, terutama bagi seorang makmum,  yaitu bagaimana yang di katakan makmum muwafiq dan makmum masbuq.

Untuk mengetahui bagaimana pengertian masing-masing, maka kita bisa memahami dengan pengertian yang sudah dibuat oleh para ulama dalam kitab nya, yaitu:

Dalam kitab Tuhfah Muhtaj karya Ibnu Hajar al Haitami Jilid 2 halaman 348 disebutkan 

الموافق :هو من أدرك من قيام اﻹمام زمنا يسع الفاتحة بالنسبة إلى القراءة المعتدلة. ( ينظر تحفة المحتاج :۲/ ۳٤۸

Artinya:Muwafiq adalah orang yang mendapatkan waktu yang mencukupi untuk membaca fatihah selama imam masih berdiri dengan ukuran    bandingan bacaan orang pertengahan ( tidak cepat dan tidak lambat)

( Ibnu Hajar Haitami,  Tuhfah al Muhtaj jilid II halaman 348)


المسبوق: من لم يدرك من قيام اﻹمام زمنا يسع الفاتحة بالنسبة إلى القراءة المعتدلة.( تحفة المحتاج 2/348).

Artinya: masbuq adalah orang yang tidak mendapati cukup waktu untuk membaca fatihah selama imam masih berdiri dengan ukuran bacaan orang yang pertengahan ( tidak cepat dan tidak lambat)

( Ibnu Hajar Haitami: Tuhfah al Muhtaj: jilid II halaman 348).

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa yang dikatakan masbuq itu tidak mesti karena terlambat datang ke tempat sembahyang, orang yang datang lebih awal untuk azan pun bisa dikatakan masbuq jika dia masih asyik berdiri dan terlambat dalam takbiratul ihram dan ketika sudah melakukan takbir dan sudah masuk dalam sembahyang dan jika dia tidak mendapatkan waktu lagi yang mencukupi untuk membaca fatihah, maka dia walaupun orang azan tetap dihukumi orang masbuq. 

و الله اعلم بالصواب

NASBUQ DALAM SEMBAHYANG

 Ada tiga Macam masbuq dalam sembahyang sebagai berikut:


1.        Masbuq karena terlambat dalam raka’at. Artinya seorang makmum belum sempat takbiratul ihram, sementara imam sudah dalam raka’at  kedua atau lebih. Dalam hal ini masbuq boleh setelah melakukan takbiratul ihram langsung mengikuti perbuatan imam, kemudian rakaat yang kurang ditambah setelah imam melakukan salam.

2.        Masbuq karena seorang makmum ketika melakukan takbiratul ihram mendapatkan imamnya sedang ruku’, ketika itu makmum boleh langsung ruku’ bersama imam tanpa membaca fatihah. Raka’at yang tanpa membaca fatihah tersebut dianggap satu rakaat bagi makmum.

3.        Masbuq karena makmum belum habis membaca fatihah , tiba2 imam sudah ruku, maka makmum tidak perlu menghabiskan bacaan fatihah, tetapi langsung ruku’ mengikuti imam. Ini juga raka’at yang tanpa membaca fatihah secara sempurna tersebut dianggap satu rakaat bagi makmum.

Pengertian masbuq adalah makmum yang terlambat. Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang lebih tepat (kalau ingin memberi nama utk masbuq) untuk no 1 adalah masbuq rakaat dan untuk no 2 dan 3 adalah masbuq bacaan al-Fatihah. Disebut masbuq raka’at karena rakaatnya makmum ada yg tertinggal. Dan disebut masbuq al-al-fatihah karena tidak sempat membaca al-Fatihah semuanya atau sebagiannya. Sedangkan takbiratul ihram wajib dibaca dalam keadaan apapun pada waktu memulai shalat, meskipbun dia masbuq sekalipun. Karena itu tidak tepat dinamai dengan masbuq takbirarul ihram.

والله اعلم بالصواب


Minggu, 04 Juli 2021

PERBEDAAN SEBAB DENGAN ILLAT

Oleh: Tgk Dailami 

As-sabab (sebab) adalah tanda/indikator mengenai kapan hukum harus dilaksanakan. Sebagai contoh tergelincirnya matahari menjadi tanda atau indikator masuknya pelaksanaan waktu shalat jum’at. Sebagaimana hadist dari Salamah bin akwa’, dia berkata:

كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ
"Kami shalat Jum'at bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika matahari tergelincir. Setelah itu kami pulang dalam keadaan masih perlu mencari-cari naungan untuk tempat berlindung."(HR. Muslim no. 1423)
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa ‘illat adalah dasar/alasan pensyariatan hukum sedangkan as-sabab bukan alasan/dasar pensyaraiatan hukum melainkan hanya tanda kapan pelaksanaan hukum yang telah disyaraiatkan oleh dalil yang lain. Tergelincirnya waktu bukan menjadi pemicu/dasar mengenai wajibnya shalat jum’at. Akan tetapi kewajiban shalat jumat ditetapkan berdasarkan mantuq dari ayat 9 surah al-jumu’ah di atas.

Demikian pula tergelincirnya matahari merupakan sebab (waktu) pelaksanaan shalat dzuhur. Sebagaimana firman Allah SWT:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (QS. Al-Isra’[17]:78).
Akan tetapi wajibnya shalat lima waktu (termasuk dzuhur) tidak didasarkan pada tergelincirnya matahari akan tetapi berdasarkan dalil yang lain.

Contoh yang lain adalah terlihatnya hilal (bulan baru) merupan sebab kapan shaum ramadhan mesti dilaksanakan, berdasarkan hadist nabi:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
Berpuasalah kalian karena melihat hilal (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan hukum tentang wajibnya puasa tidak ditetapkan berdasarkan dalil ini, tetapi dengan dalil lain, diantaranya perintah Allah dalam surah al-Baqarah ayat 183.
Ditinjau dari segi hubungannya dengan hukum syariat dan konsekuensinya. ‘illat menempel pada hukum dengan konsekuensi jika ‘illatnya ada maka hukum berlaku, sedang jika ‘illatnya tidak ada maka hukum yang berkaitan dengan ‘illat tidak berlaku. Sedangkan sebab berada sebelum terwujudnya hukum. Jika sebab ada/terpenuhi maka hukum wajib dilaksanakan (jika status hukumnya wajib, seperti shalat dan puasa ramadhan). Akan tetapi jika sebab tidak ada maka pelaksanaan hukum saat itu tidak wajib, meski kewajiban tidak gugur (dalam arti jika sebab terpenuhi maka kewajiban tersebut tetap harus dilaksanakan). Sebagai contoh hukum shalat jum’at adalah wajib, hukum wajibnya shalat jumat senantiasa tetap mengikuti dalil yang menegaskan kewajibannya. Hanya saja kapan waktu wajib pelaksanaannya bergantung pada datangnya sebab yakni tergelincirnya matahari. Jika matahari telah tergelincir maka wajib pelaksanaanya telah jatuh, tetap jika matahari masih ditengah langit (belum tergelincir) maka waktu pelaksanaannya belum jatuh.
Ditinjau dari sisi cakupan pemberlakuannya. Cakupan pemberlakuan ‘illat tidak hanya terbatas pada hukum yang disebutkan dalam nash, akan tetapi dapat diterapkan pada kasus-kasus lain yang berkesesuaian ‘illatnya. Sebagai contoh ‘illat telalaikannya shalat jum’at tidak hanya berlaku untuk larangan jual-beli, akan tetapi juga kasus-kasus lain yang dapat menghalangi orang untuk melaksanakan shalat jumat seperti proses belajar mengajar, jasa taksi angkot, dsb. Sedangkan sebab hanya berlaku untuk kasus khusus yang tercantum dalam nash. Tergelincirnya matahari hanya menjadi sebab untuk jatuhnya pelaksanaan shalat dzuhur atau jum’at dan tidak bisa dijadikan sebab untuk waktu shalat yang lain.

Wallahu 'alam bissawab


Rabu, 30 Juni 2021

HAL-HAL YANG DISUNATKAN DALAM SEMBAHYANG

Oleh Tgk Dailami* 

            Puji syukur kepada Allah, Shalawat serta salam kepada Rasulullah Saw. Takzim dan kemuliaan kepada seluruh guru-guru saya.

Tulisan pendek ini untuk menyahuti permintaan teman saya untuk menuliskan hal-hal yang disunatkan dalam sembahyang dengan ringkas dan padat tanpa bertele-tele. Isi tulisan ini berdasarkan isi dari kitab I’anatutthalibin pada باب صفة الصلاة  jilid 1 dari halaman 126 sampai halaman 180.

Karena ringkasnya, maka hal-hal yang belum jelas boleh memberi tanggapan di kolom komentar atau menghubungi nomor Hp/Wa 085260001020.

Akhirnya saya berdoa semoga ringkasan pendek ini bermamfaat, yang benar datangnya dari Allah, yang salah adalah datangnya dari kebodohan saya sendiri.

Hal-hal yang disunatkan dalam sembahyang adalah sebagai berikut:

1. Sunat memasuki shalat dalam keadaan semangat/tidak ada rasa malas

2. Ketika niat sunat menghadirkan rasa ikhlas kepada Allah

3. Ketika niat Sunat menhadirkan menghadap ke arah kiblat

4. Ketika niat Sunat menghadirkan jumlah bilangan rakaat sembahyang

5. Sunat melafadkan niat sebelum takbiratul ihram

6. Sunnat dalam shalat berhati/dalam keadaan khusyuk dengan menghayati apa yang dibaca

7. Sunat mengeraskan suara seukuran terdengar oleh diri sendiri pada zikir-zikir atau bacaan sunat

8. Sunat membaca sukun haraf “Ra” pada bacaan takbir

9. Sunat Melihat kepada tempat sujud dan menundukkan kepala  sebelum takbiratul ihram

10. Sunat mengangkat kedua telapak tangan ketika membaca takbiratul ihram

11. Sunnat meletakkan tangan dibawah dada dan diatas pusat

12. Sunnat membaca Ta’awwuz ( اعوذ بالله )

13. Sunnat membaca doa iftitah

14. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara aaimiin dan baca surat

15. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara akhir surat dengan takbir rukuk

16. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara takbiratul ihram dengan doa iftitah

17. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara doa iftitah dengan Ta’awwuz

18. Sunnat diam seukuran bacaan “Subhanallah” antara Ta’awwuz dengan bismillah

19. Sunat mengangkat tangan ketika membaca  takbir ketika akan rukuk

20. Sunnat mengangkat tangan ketika bangkit untuk berdiri dari rukuk

21. Sunnat mengangkat tangan ketika bangkit untuk berdiri dari tasyahud awal

22. Sunnat waqaf pada setiap  akhir ayat dari fatihah

23. Sunnat membaca “aamiinn” sesudah membaca fatihah

24. Sunnat bagi imam yang shalat jihar untuk diam sejenak setelah membaca aamiinn seukuran makmum selesai membaca fatihah

25. Sunnat pada waktu diam setelah fatihah untuk berdoa atau membaca ayat-ayat ( jangan di keraskan)

26. Sunnat membaca satu ayat atau lebih setelah fatihah pada rakaat pertama dan kedua

27. Sunnat pada rakaat pertama menbaca ayat yang lebih panjang daripada rakaat kedua

28. Sunnat membaca surat menurut tertib urutan mushaf

29. Sunnat bagi imam dan orang shalat sendirian untuk membaca secara jihar fatihah dan surat pada sembahyang magrib, isya, subuh, jumat, dan shalat qadha yang dilakukan di malam hari.

30. Sunnat bagi imam, makmum dan shalat sendirian untuk membaca takbir intiqal

31. Sunnat ketika bangkit dari rukuk membaca “Sami’allahu li man hamidah”

32. Sunnah memanjangkan takbir hingga sampai masuk rukun selanjutnya

33. Sunnah bagi imam menjiharkan suara pada takbir intiqal

34. Sunnah pada rukuk meluruskan punggung badan dengan kuduk/leher

35. Sunnah ketika rukuk memegang kedua lutut dengan tangan terbuka

36. Sunnah membaca tasbih pada ketika rukuk minimal satu kali dan maksimal 11 kali

37. Sunnah ketika I’tidal membaca Rabbana lakal hamdu… dst…

38. Sunnat membaca qunut pada ketika I’tidal pada shalat subuh

39. Sunnat bagi imam membaca doa qunut secara jihar walaupun dalam sembahyang sirriyah

40. Sunnah bagi makmum mengamini qunut imamnya dengan suara jihar

41. Sunnah ketika sujud meletakkan hidung pada tempat sujud

42. Sunnah awal  sujud dengan meletakkan dua lutut sejauh satu jengkal

43. Sunnat meletakkan dua telapak tangan sejajar dengan pundak dengan lengan terangkat dari tempat shalat/tanah/mushalla

44. Sunnah memisahkan dua tumit sejarak satu jengkal, menegakkannya dan menekukkan jari kaki menghadap kiblat

45. Sunnah membuka kedua mata ketika sujud

46. Sunnah duduk antara dua sujud, tahiyyat awal dengan duduk iftirasyi

47. Sunnah ketika berdiri dari sujud untuk berpegang/menekan dengan dua telapak tangan

48. Sunnah duduk istirahat seukuran duduk antara dua sujud

49. Sunnah pada membaca tasyahud menambahkan bacaan “almubarakatusshalawatutthaiyibatulillah”

50. Sunnah menambahkan membaca shalawat kepada keluaarga nabi pada tasyahud akhir

51. Sunnah sesudah membaca tasyahud dan shalawat pada tahiyyat akhir agar membaca doa yang warid/maksur

52. Disunnatkan bagi imam agar doa setelah tasyahud agar lebih pendek dari bacaan  tasyahud dan shalawat

53. Sunnah duduk tawarruk pada tasyahud akhir

54. Sunnah meletakkan dua tangan waktu duduk tasyahud pada pinggir lutut sehingga ujung jari sejajar dengan lutut

55. Sunnah mengangkat jari telunjuk tangan kanan diwaktu membaca hamzah pada “Illallah”

56. Sunnah melihat kepada jari telunjuk ketika mengangkatnya

57. Sunnah membaca / memberi salam dua kali kekanan dan kiri

58. Sunnah dalam salam membaca “wabarakatuh”

59. Sunnah memalingkan muka sampai dapat terlihat pipi

60. Sunat bagi orang yang baca salam agar meniatkan salamnya untuk orang yang ada pada arah berpalingnya

61. Sunnah setelah salam pertama agar segera menyambung dengan salam kedua

62. Sunat memulai salam dalam keadaan muka menghadap kiblat dan mengakhiri salam dalam keadaan muka berpaling sempurna

63. Sunnah bagi makmum agar memulai salam setelah selesai salam kedua imam.

64. Sunat untuk niat keluar dari sembahyang pada salam pertama

 

 

و الله اعلم بااصواب

 

Selasa, 18 Mei 2021

BIJAK DALAM MEMULAI PUASA DAN HARI RAYA

 

Memulai puasa dan berhari raya dengan cara berbeda dengan pemerintah itu hanyalah cerita yang terjadi satu-satunya di dunia adalah di Indonesia. Pasalnya, karena masih saja ada pihak-pihak tertentu yang menafikan peranan negara. Dan seringkali merasa dirinya atau kelompoknya berhak untuk memutuskan sendiri ketetapan awal dan akhir Ramadhan.

Apapun metode penetapan awal Ramadhan dan Syawwal, baik yang menggunakan hisab atau pun rukyah, sudah bisa dipastikan hasilnya pasti berbeda-beda.

Jangan dikira kalau seluruh bangsa Indonesia sudah kompak dan sepakat bulat pakai hisab, lantas hasilnya pasti sama dan urusan jadi selesai.

Sebab ternyata di dalam sesama aliran hisab sendiri ada begitu banyak aliran dan metode yang hasilnya bisa dipastikan akan saling bertentangan. Padahal sama-sama berada dalam aliran hisab.

Dan begitu juga sebaliknya, jangan dikira kalau seluruh ormas sepakat meninggalkan aliran hisab dan berbondong-bondong menggunakan metode rukyat, lantas bisa dipastikan akan terjadi kesepakatan dari sisi hasilnya. Sebab sebagaimana kita tahu, tiap titik di atas tanah negeri ini bisa saja menampilkan perbedaan hasil rukyat hilal.

Jadi meskipun kita sebangsa dan setanah-air sepakat menggunakan salah satu dari sekian banyak versi penetapan awal Ramadhan, hasilnya sudah bisa dipastikan akan berbeda-beda juga.

Yang sebenarnya jadi titik pangkal permasalahan menurut hemat saya bukan pada pilihan metodenya. Tetapi ketika semua pihak, termasuk ormas dan jamaah-jamaah yang jumlahnya tidak terhingga itu, masing-masing merasa berwenang ikut-ikutan cawe-cawe (get involve) mengurusi penetapan awal Ramadhan.

1. Domain Negara

Segala macam khilaf dalam penentuan awal Ramadhan tidak akan pernah ada jalan keluarnya, selama tidak ada satu pihak yang diakui bersama dan ditaati.

Nah, justru disinilah sumber titik masalahnya. Umat Islam di negeri ini terlanjur menganggap pimpinan ormas dan jamaah mereka sebagai pusat pimpinan. Kepada pimpinan masing-masing ormas dan jamaah iniah mereka memberikan loyalitas dan segala ketaatan mutlak.

Padahal jumlah ormas dan jamaah di negeri kita tidak terhingga bilangannya. Bisa ada sejuta ormas dengan sejuta perbedaan masing-masing.

Padahal kalau kita kembalikan ke dalam sejarah Islam, seharusnya satu-satunya pihak yang ditaaati bersama, minimal dalam urusan penetapa awal Ramadhan itu adalah as-Sultan. Dan untuk dimensi bangsa Indonesia saat ini, representasi dari sulthan ini tidak lain dan tidak bukan adalah penguasa atau pemerintahan yang sah.

Dalam ilmu fiqih disebutkan bahwa salah satu peran dan tugas penguasa negara adalah menjadi penengah yang berwenang untuk menetapkan jatuhnya awal Ramadhan. Meski ada sekian banyak kajian dan perselisihan para fuqaha di dalamnya, namun kata akhir kembali kepada penguasa.

Dalilnya adalah apa yang terjadi di masa Rasulullah SAW, meski ada orang yang melihat hilal, tetapi dia tidak boleh menjadi penentu keputusan atas ketetapan awal Ramadhan. Dia harus melapor kepada Rasulullah SAW, lalu beliau SAW yang nanti akan memproses kesimpulannya.

Ketuk palu ada di tangan Rasulullah SAW, bukan semata-mata karena beliau seorang nabi yang mendapat wahyu, melainkan dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara dan penguasa yang sah.

Kita tidak mengatakan bahwa keputusan di tangan Rasulullah SAW karena beliau seorang nabi. Kalau sebagai nabi, tentu beliau tidak perlu menunggu laporan dari para shahabat untuk melihat hilal.

Cukup beliau bertanya saja kepada malaikat Jibril, atau bertanya langsung kepada Allah SWT tentang kapan masuknya Ramadhan, pasti bisa dengan mudah didapat jawabannya.

Namun kedudukan Rasulullah SAW memang tidak hanya sebagai nabi tapi juga sebagai kepala negara.

Begitulah beliau mencontohkan kepada kita, bahwa mekanisme penetapan bulan Ramadhan itu harus lewat proses keteetapan oleh kepala negara. Orang-orang yang melihat hilal mendatangi Rasulullah SAW dalam kedudukannya sebagai penguasa yang sah dan memberi kabar. Lalu keputusan 100% berada di tangan kepala negara.

Hal itulah yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu, tatkala beliau menyaksikan hilal Ramadhan.

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَل فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bahwa orang-orang mencari-cari hilal. Aku memberitahukan Nabi SAW bahwa diriku telah melihatnya, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim)

Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bukan shahabat biasa. Beliau adalah ulama yang faqih di kalangan para shahabat. Beliau termasuk orang yang menyaksikan hilal Ramadhan. Namun kita diajari oleh sikap dan tindakan beliau yang memang seharusnya dilakukan.

Tidak mentang-mentang beliau merasa melihat hilal, lantas beliau memutuskan sendiri kapan mulainya Ramadhan. Namun beliau datang dulu kepada Rasulullah SAW untuk menyampaikan laporan pandangan mata, dimana beliau menjadi saksi atas terlihatnya hilal bulan Ramadhan.

Perkara nanti apakah laporannya diterima atau tidak oleh Rasulullah, maka wewenang itu sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Abdullah bin Umar tidak pernah memutuskan untuk berpuasa sendirian, atau mengajak kelompok dan institusinya sendiri, hanya karena dirinya merasa seorang pakar agama yang ilmunya selangit.

Yang beliau lakukan hanya sebatas melaporkan hasil pantauan saja, bukan memutuskan kapan mulai Ramadhan. Dan memang itulah yang seharusnya dilakukan oleh siapa pun yang melihat hilal.

Demikian juga hal yang dilakukan oleh seorang a’rabi yang melihat hilal dari tengah padang pasir. Dia segera mendatangi Nabi SAW dan melaporkan apa yang dilihatnya.

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ فَقَال : إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلاَل - يَعْنِي رَمَضَانَ - قَال : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ؟ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُول اللَّهِ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : يَا بِلاَل أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا

Seorang a’rabi datang kepada Nabi SAW dan melapor, “Aku telah melihat hilal”. Rasulullah SAW bertanya, ”Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya?”. Dia menjawab, ”Ya”. Beliau berkata, ”Bilal, umumkan kepada orang-orang untuk mulai berpuasa besok”. (HR. Tirmizy dan An-Nasa’i)

Tidak ada sejarahnya di masa Nabi SAW dan juga pada masa shahabat, bila seseorang merasa melihat hilal, lantas di boleh berfatwa dan menetapkan keputusan sendirian.

2. Contoh Di Masa Shahabat

Demikian juga di masa-masa berikutnya. Semua orang yang merasa melihat hilal Ramadhan, berkewajiban melapor kepada Amirul Mukminin. Lalu Amirul Mukminin yang akan mengumumkan kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan. Boleh jadi sebuah laporan diterima dan boleh jadi ditolak dengan berbagai pertimbangan.

Dan itulah yang telah terjadi selama kurun 14 abad ini. Umat Islam di seluruh dunia selalu mengacu kepada penguasa tatkala memulai awal Ramadhan. Mereka tidak memulai puasa sendiri-sendiri atau berdasarkan kelompok kecil-kecil.

Lain halnya bila umat Islam tinggal di berbagai negeri yang saling berjauhan, seperti Madinah dan Damaskus.Kedua negeri itu dipisahkan dengan jarak yang amat jauh. Kalau orang berjalan di awal bulan Ramadhan dari Damaskus ke Madinah, dia baru akan sampai ketika bulan Ramadhan hampir selesai.

Maka dalam kasus negeri yang berjauhan, kita menemukan fakta terjadinya perbedaan penetapan awal Ramadhan di masa para shahabat, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Kuraib berikut ini :

عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الفَضْلِ بِنْتَ الحَرْثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: قَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتَهَلَّ عَلىَ رَمَضَان وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الهِلاَلَ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ . ثُمَّ قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ فيِ آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنيِ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبَّاس ثُمَّ ذَكَرَ الهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْتُهُ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ. فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. قَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ: أَلاَ تَكْتَفيِ بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَة ؟ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ

Dari Kuraib radhiyallahuanhu bahwa Ummul Fadhl telah mengutusnya pergi ke Syam, Kuraib berkata, "Aku tiba di negeri Syam dan aku selesaikan tugasku, lalu datanglah hilal Ramadhan sementara aku di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan. Maka Abdullah bin Abbas bertanya padaku, "(Aku pun menceritakan tentang hilal di Syam). Ibnu Abbas ra bertanya, "Kapan kamu melihat hilal?". "Aku melihatnya malam Jumat", jawab Kuraib. Ibnu Abbas bertanya lagi, "Kamu melihatnya sendiri?". "Ya, orang-orang juga melihatnya dan mereka pun berpuasa, bahkan Mu'awiyah pun berpuasa", jawab Kuraib. Ibnu Abbas berkata, "Tetapi kami (di Madinah) melihat hilal malam Sabtu. Dan kami akan tetap berpuasa hingga 30 hari atau kami melihat hilal". Kuraib bertanya, "Tidakkan cukup dengan ru'yah Mu'awiyah?". Ibnu Abbas menjawab, "Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kami.” (HR. Muslim)

Maka di dalam fiqih Islam, dimungkinkan adanya dua wilayah yang berjauhan dan berbeda dalam menetapkan hasil ru'yah. Di Syam orang-orang telah melihat hilal malam Jumat, sedangkan di Madinah orang-orang baru melihat hilal malam Sabtu.

Namun hal ini tidak boleh terjadi di dalam satu negeri, dimana di dalamnya ada penguasa yang berdaulat secara sah dan konstitusional. Keadaan ini dimungkinkan terjadi hanya bilamana kedua negeri saling berjauhan.

3. Tetap Ikut Negara Meskipun Bermusuhan

Di Saudi Arabia, ada begitu banyak kelompok yang memusuhi negara dan pemerintahan. Dan tidak sedikit dari kelompok itu yang dikejar-kejar dan ditangkapi oleh pemerintah. Sebagian dari mereka dipenjara dan tidak sedikit yang mengalami tekanan dan siksaan.

Bahkan kelompok Al-Qaidah juga diperangi oleh Kerajaan, dan sebagai balasannya, tidak sedikit dari tokoh-tokoh mereka yang melakukan makar, sampai menjatuhkan vonis kafir kepada para penguasa di Saudi Arabia.

Namun tidak ada satu pun dari kelompok-kelompok itu yang berinisiatif untuk berpuasa sendiri dengan berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Urusan mereka bermusuhan dengan pemerintah adalah satu hal, tetapi urusan berpuasa tidak pernah dibawa-bawa ke masalah politik.

Oleh karena itu maka wajar kalau kita belum pernah mendengar di Saudi Arabia ada kelompok anti pemerintah yang melakukan wuquf sendirian di tanggal 8 Dzulhijjah, misalnya gara-gara mereka membenci pemerintah. Sebenci-bencinya mereka kepada pihak Kerajaan, tetap saja mereka ikut wuquf di Arafah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh negara.

Begitu juga dengan rakyat Mesir. Sepanjang sejarah pergerakan, Mesir termasuk negeri yang paling sering bergejolak. Ada begitu banyak kelompok yang anti Pemerintah di Mesir, sehingga tidak sedikit dari mereka yang ditangkapi. Di masa lalu para tokoh aktifis Al-Ikhwan Al-Muslimun memenuhi penjara Mesir. Bahkan ada kelompok yang menjatuhkan vonis kafir kepada pemerintah Mesir, seperti Jamaah Takfir wal Jihad.

Namun kita tidak pernah mendengar ada kelompok yang berpuasa sendirian dan berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Padahal ada dari mereka yang mengkafirkan pemerintah.

Memulai puasa dengan cara berbeda dengan pemerintah itu hanyalah cerita yang terjadi satu-satunya di dunia adalah di Indonesia. Pasalnya, karena masih saja ada pihak-pihak tertentu yang merasa dirinya lebih pandai dari orang lain dalam urusan rukyat atau hisab, lalu menafikan peranan negara. Dan seringkali merasa dirinya atau kelompoknya berhak untuk memutuskan sendiri ketetapan awal dan akhir Ramadhan.

Sikap seperti ini sebenarnya kurang dilandasi dengan dalil-dalil yang bisa diandalkan. Sebab semua dalil yang kita dapat, baik dari Al-Quran maupun dari As-Sunnah menunjukkan satu hal yang sama dan telah disepakati sejak 14 abad berjalan ini, yaitu wewenang itu 100% berada di tangan penguasa.

4. Wajib Diikuti Meski Ternyata Salah

Seluruh umat Islam sepanjang 14 abad ini telah menyerahkan urusan penetapan awal Ramadhan dan Syawal kepada penguasa, karena domain itu memang milik penguasa.

Kita tidak pernah menemukan dalam sejarah umat Islam dimana pun di dunia ini, adanya orang-orang tertentu, atau kelompok tertentu yang merasa lebih berhak untuk menetapkan sendiri awal Ramadhan dan juga awal Syawwal.

Bahkan meski pun terbukti pada akhirnya apa yang diputuskan oleh penguasa itu salah, lantas kemudian dikoreksi ulang. Hal itu pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, sebagaimana bisa kita baca pada hadits berikut ini :

عَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ حَدَّثَنِي عُمُومَةٌ لِي مِنَ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ قَالَ : غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ  أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ  أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ

Dari Abu Umair bin Anas, telah menceritakan kepadaku kebanyakan para sahabat Anshar dari sahabat Rasulullah bahwa ia berkata; "Hilal bulan Syawal telah tertutup awan, maka kami pun berpuasa, lalu serombongan pengendara di akhir siang datang sambil bersaksi dihadapan Rasulullah bahwa kemarin mereka telah menyaksikan hilal, kemudian Rasulullah menyuruh orang-orang berbuka di hari itu, dan agar di esok hari mereka keluar untuk berhari raya. (HR. Ahmad)

5. Berpuasa dan Berlebaran Bersama-sama

Syariah Islam memang menetapkan berbagai metode dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, baik melalui rukyahul hilal, istikmal atau pun dengan hisab. Namun semua metode itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki ilmu dan keahlian, dan tidak semua orang mampu untuk melakukannya.

Medote rukyahul-hilal misalnya, meski kelihatannya sederhana, tetapi untuk berhasil melakukannya ternyata tidak mudah juga.

Apalagi untuk kita yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, ada begitu banyak hambatan atau halangan, baik asap polusi, awan hujan, mendung, dan lain-lainnya. Sehingga kalau kita cermati, team rukyahul hilal seringkali harus jauh-jauh pergi ke pantai di tepi laut untuk melakukan tugas mereka. Artinya hal itu tidak mungkin dilakukan oleh sembarang orang. Dan tidak setiap orang memiliki kesempatan untuk melakukan rukyahul hilal dengan dirinya sendiri.

Maka dalam pada itu, cukuplah pekerjaan itu dilakukan oleh mereka yang memang expert dan ahli di bidangnya, sementara sebagian besar umat Islam ini sekedar menerima kabar saja dan tidak perlu berangkat sendiri untuk melakukan rukyatul-hilal.

Lalu apa landasan dan pegangan buat khalayak awam yang tidak punya kemampuan dan kemahiran dalam rukyahul-hilal? Siapakah pihak berwenang yang dapat dijadikan patokan dalam hal ini?

Untuk itu mari kita cermati hadits nabawi berikut ini :

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Hari puasa adalah hari dimana semua kalian berpuasa. Hari berbuka adalah hari dimana semua kalian berbuka. Dan hari Adha adalah hari dimana semua kalian beridul-Adha.” (HR. At-Tirmizy)

Para ahli ilmu sepakat mengatakan bahwa pengertian hadits ini menetapkan bahwa tidak boleh seseorang melawan arus sendirian dalam menetapkan awal Ramadhan dan Syawal. Dia tidak dibenarkan berijtihad sendirian yang hasilnya bertentangan dengan semua orang, lalu dia melakukannya sendirian, sementara orang-orang tidak melakukannya.

Tetapi kecenderungan yang sering Penulis saksikan di tengah kalangan yang bersemangat menjalankan agama, justru semakin berbeda dengan masyarakat, malah semakin dikejar dan dijadikan pilihan utama. Sehingga ada kesan, yang penting berbeda, unik dan tidak sama dengan apa yang diputuskan oleh pemerintah

Padahal sikap-sikap seperti itu justru tidak bijak menurut pandangan syariah. Berpuasa sendirian mendahului khalayak, atau berlebaran sendirian mendahului jamaah yang banyak adalah contoh yang kurang bijak dalam kehidupan karena akan menimbulkan kebingungan dalam masyarakat awam

Kalau pun ada pendapat yang membolehkan seseorang berpuasa sendiri, maka hanya bila orang tersebut dengan mata kepalanya sendiri melihat hilal, bukan lewat informasi pendengarannya dari orang lain,  tanpa dinaik saksikan tentang hilal tersebut..