Sabtu, 11 April 2020

Sujud sahwi

Sebagaimana dimaklumi menurut mazhab Syafi’i, qunut merupakan amalan yang disunnatkan dalam shalat Subuh. Apabila qunut ini lupa dibaca pada tempat pembacaannya, yakni waktu melakukan i’tidal, maka disunnatkan sujud sahwi sebagai penggantinya. Anjuran sujud sahwi ketika tertinggal qunut ini berdasarkan analogi (qiyas) kepada anjuran sujud sahwi pada ketika tertinggal tasyahud awal dalam shalat dengan ‘illah (alasan hukum) sama-sama merupakan amalan sunnat maqshudah, sehingga perlu ditempel dengan sujud sahwi. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tidak haram sujud sahwi karena meninggalkan qunut subuh, bahkan itu dianjurkan.
Yang dimaksud dengan sunnat maqshudah adalah amalan sunnat dalam shalat yang berdiri sendiri, bukan sebagai penyempurna amalan lain. Ini berbeda dengan takbir, tasbih, jihar, duduk tawarruk dalam tasyahud akhir, duduk iftiras dalam duduk tahyat awal dan lainnya.[1] Takbir merupakan zikir intiqalat (berpindah) dari satu rukun kepada rukun lain, tasbih merupakan zikir untuk menyempurnakan ruku’ dan sujud dan seterusnya.
Adapun dalil yang menjelaskan kepada kita sunnat sujud sahwi apabila tertinggal tasyahud awal antara lain adalah hadits Abdullah bin Buhainah berbunyi :
صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ركعتين ثم قام فلم يجلس فقام الناس معه فلما قضى صلاته وانتظرنا تسليمه كبر فسجد سجدتين وهو جالس قبل التسليم ثم سلم.
Artinya : Rasulullah SAW shalat dengan kami dua raka’at. Kemudian beliau berdiri dan tidak duduk. Orang-orangpun berdiri mengikuti beliau. Tatkala beliau menyelesaikan shalatnya dan kami menunggu bacaan salam beliau, maka beliau bertakbir dan sujud dua kali dan beliau duduk sebelum salam dan kemudian baru melakukan salam.(al-imam al-sittah)[2]
Al-Khutabi mengatakan bahwa hadits ini termasuk dalam hadits mu’tamad (menjadi pegangan) para ahli ilmu [3]  Dalam hadits ini, Rasulullah SAW meninggalkan tasyahud awal karena lupa, namun beliau tidak mengulanginya lagi, tetapi hanya beliau melakukan sujud sahwi.
Dalam kitab beliau, al-Muhazzab, al-Syairazi, mengatakan :
والثانى أن يترك القنوت ساهيا فيسجد للسهو لانه سنة مقصودة في محلها فتعلق السجود بتركها كالتشهد الاول
“Yang kedua, seseorang meningalkan qunut dalam keadaan lupa, maka hendaknya ia sujud sahwi, karena qunut merupakan sunnat maqshudah pada tempatnya, karena itu dihubungkan sujud dengan sebab meninggalkannya sama seperti tasyahud awal.[4]
Catatan :
Kitab al-Muhazzab merupakan matan dari kita Majmu’ Syarh al-Muhazzab karya Imam al-Nawawi seorang ulama besar dari kalangan mazhab Syafi’i.


[1] Al-Syairazi, al-Muhazzab, (Dicetak dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab), terbitan : Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. IV, Hal. 52
[2] Jamaluddin al-Zaila’i, Takhrij Ahadits al-Kasyaf, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 297
[3] Al-Khuthabi, Ma’alim al-Sunan, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 238
[4] Al-Syairazi, al-Muhazzab, (Dicetak dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab), terbitan : Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. IV, Hal. 52
 
Sumber: kitabkunengblogspot


Kisah Ashabul Kahfi

Mereka adalah para pemuda yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala serta Dia mengilhami mereka keimanan, sehingga mereka mengenal Allah dan mengingkari keyakinan kaum mereka yang menyembah berhala. Mereka mengadakan pertemuan untuk membicarakan masalah akidah mereka disertai dengan perasaan takut akan kekejaman dan kekerasan kaum mereka, seraya berkata, artinya,

“Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru Ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian ،K.” (Al-Kahfi: 14), yakni jika seruan kami ditujukan kepada selain-Nya, ،§maka sungguh kami telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.” (Al-Kahfi: 14), yakni perkataan keji, dusta dan zhalim. Sedangkan “kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah.” (Al-Kahfi: 15).
Setelah mereka sepakat mengenai keyakinan tersebut dan menyadari bahwa mereka tidak mungkin menjelaskannya kepada kaum mereka, maka mereka memohon kepada Allah Ta’ala supaya dimudahkan urusan mereka, artinya, “Wahai Rabb kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (Al-Kahfi: 10).
Kemudian mereka berlindung ke gua, lalu Allah Subhannahu wa Ta’ala memudahkan urusan mereka, melapangkan lubang gua serta menempatkan pintunya di sebelah utara, sehingga tidak terkena sinar matahari; baik ketika terbit maupun saat terbenam, dan mereka tertidur dalam gua di bawah penjagaan serta perlindungan Allah Subhannahu wa Ta’ala selama tiga ratus sembilan tahun. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah melindungi mereka dari rasa takut, karena posisi mereka (gua) berdekatan dengan kota kaum mereka.
Allah Subhannahu wa Ta’ala senantiasa menjaga dan melindungi mereka dalam gua tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,artinya, “Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri” (Al-Kahfi: 18), supaya bumi tidak membusukan tubuh mereka.
Kemudian Allah Subhannahu wa Ta’ala membangunkan mereka setelah tertidur dalam jangka waktu yang cukup lama “supaya mereka saling bertanya diantara mereka sendiri.” (Al-Kahfi: 19). Akhirnya mereka menemukan jawaban yang sesungguhnya, sebagaimana hal tersebut ditegaskan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, artinya,
“Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini).” Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang lain lagi): “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini.” (Al-Kahfi: 19). Allah Subhannahu wa Ta’ala menjelaskan kisah ini hingga akhir.
Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Dan Faidah-Faidah Yang Dapat Diambil Dari Kisah Tersebut
Di dalam kisah tersebut terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Subhannahu wa Ta’ala dan faidah-faidah yang bermanfaat, di antaranya:
* Bahwa kisah ashhabul kahfi, meskipun sangat mengagumkan, tetapi bukan merupakan tanda kekuasaan Allah Subhannahu wa Ta’ala yang paling mengagumkan, karena Allah Subhannahu wa Ta’ala memiliki tanda-tanda kekuasaan tersendiri dan kisah-kisah lain yang di dalamnya terdapat pelajaran berharga bagi orang-orang yang berkenan merenungkannya.
* bahwa orang yang memohon perlindungan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala, maka Allah akan melindungi dan menyayanginya, dan menjadikan nya sebab-sebab untuk menunjukkan orang-orang yang sesat. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah melindungi ashhabul kahfi dalam tidur mereka yang cukup lama dengan memelihara keimanan dan tubuh mereka dari gangguan serta pembunuhan kaum mereka dan Allah Subhannahu wa Ta’ala menjadikan bangunnya mereka dari tidur mereka sebagai tanda kesempurnaan kekuasaan-Nya, kebaikan-Nya yang banyak dan bermacam-macam, supaya hamba-hamba-Nya mengetahui bahwa janji Allah Subhannahu wa Ta’ala pasti benar.
* Adalah perintah menuntut ilmu-ilmu yang bermanfaat dan mendiskusikannya, karena Allah Ta’ala telah mengutus mereka untuk tujuan tersebut dan mengilhami mereka untuk berdiskusi di antara mereka seputar keyakinan mereka dan pengetahuan masyarakat mengenai keyakinan atau perilaku mereka sehingga diperoleh bukti-bukti dan pengetahuan bahwa janji Allah pasti benar dan sesungguhnya kiamat itu pasti terjadi tanpa ada keraguan di dalamnya.
* Adalah berkenaan dengan etika seseorang yang merasa samar mengenai sesuatu ilmu, maka hendaklah ia mengembalikannya kepada gurunya dan berusaha untuk memahami dengan seksama pelajaran yang telah diketahuinya.
* Bahwa sah mewakilkan dan mengadakan kerja sama dalam jual beli. Hal tersebut merujuk perkataan mereka,artinya, “Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini”, kemudian “،K maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu.” (Al-Kahfi: 19).
* Bahwa diperbolehkannya memakan makanan yang baik-baik dan memilih makanan-makanan yang layak dan sesuai dengan selera seseorang selama tidak melebihi batas-batas kewajaran. Sedang jika melebihi batas-batas kewajaran maka hal tersebut termasuk perbuatan yang dilarang. Hal itu didasarkan kepada perkataan salah seorang dari mereka,artinya, “،K dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu.” (Al-Kahfi: 19).
* Adalah berkenaan dengan anjuran supaya memelihara, melindungi serta menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat menimbulkan fitnah dalam urusan agama dan harus menyembunyikan ilmu yang mendorong manusia berbuat jahat.
* Adalah berkenaan dengan keterangan yang menjelaskan perhatian dan kecintaan para pemuda itu kepada agama yang benar, pelarian mereka untuk menjauhkan diri dari semua fitnah dalam urusan agama mereka dan pengasingan diri mereka dengan meninggalkan kampung halaman serta kebiasaan mereka untuk menempuh jalan Allah Subhannahu wa Ta’ala.
* Adalah berkenaan dengan keterangan yang menjelaskan hal-hal yang tercakup dalam kejahatan, seperti kemadharatan dan kerusakan yang mengundang kemurkaan Allah ƒ¹ dan kewajiban meninggalkannya, dan meniggalkannya merupakan jalan yang harus ditempuh oleh kaum mukminin.
* Bahwa firman Allah Subhannahu wa Ta’ala,artinya, “Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.” (Al-Kahfi: 21) menunjukkan bahwa orang-orang yang berkuasa yang dimaksud ialah para penguasa ketika mereka dibangunkan dari tidur mereka yaitu para penguasa yang telah beragama dengan agama yang benar, karena para penguasa itu mengagungkan dan memuliakan mereka, sehingga para penguasa tersebut berniat membangun sebuah rumah peribadatan di atas gua mereka.
Meski hal itu dilarang khususnya dalam syari’at agama, maka yang dimaksud ialah menjelaskan tentang ketakutan luar biasa yang dirasakan Ashhabul Kahfi ketika membela dan mempertahankan keimanan mereka sehingga harus berlindung di sebuah gua dan setelah itu Allah Subhannahu wa Ta’ala membalas perjuangan mereka dengan penghormatan dan pengagungan dari manusia. Hal itu merupakan kebiasaan Allah Subhannahu wa Ta’ala dalam membalas seseorang yang telah memikul penderitaan karena-Nya serta menetapkan baginya balasan yang terpuji.
* Bahwa pembahasan yang panjang lebar dan bertele-tele dalam masalah-masalah yang tidak penting; maka hal itu tidak perlu mendapatkan perhatian yang serius. Hal itu merujuk firman Allah Ta’ala,artinya, “Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.” (Al-Kahfi: 22).
* Bahwa bertanya kepada seseorang yang tidak berilmu dalam masalah yang akan dimintai pertanggungan jawab di dalamnya atau orang yang tidak dapat dipercaya adalah terlarang. Hal itu merujuk firman Allah Ta’ala,artinya, “،K dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.” (Al-Kahfi: 22).
Sumber: Qishash al Anbiya،¦, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa،¦di, kisah no 33 dan 34. (Abu Hilmi)

Ramadhan bulan pengampunan dosa

Dalam sebuah hadits yang sering kita dengar dan hadits tersebut sangat populer ditengah masyarakat kita, apalagi saat umat Islam sedang dalam suasana melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan para dai-dai kita sering mengutip hadits ini untuk memaparkan fadhilah bulan Ramadhan. Adapun matan haditsnya adalah sebagai berikut :
أول شهر رمضان رحمة وأوسطه مغفرة وآخره عتق من النار
Awal bulan Ramadhan adalah rahmah, pertengahannya adalah keampunan dan ujungnya adalah terlepas dari neraka
Hadits ini telah diriwayat oleh Ibn Abi a-Dun-ya dalam kitab Fadhail Ramadhan, al-Khathib al-Baghdady dan Ibn ‘Asaakir dari jalur Abu Hurairah. Darinya juga diriwayat oleh al-Dailamy dan lainnya.[1] Mulla al-Qary mengatakan : Al-Munziry menjelaskan bahwa pada sanadnya terdapat ‘Ali bin Zaid bin Jud’aan. Hadits ini juga diriwayat oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Baihaqi dari hadits Abu Hurairah, namun pada sanadnya terdapat Katsir bin Zaid.[2]
Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan ‘Ali bin Zaid bin Jud’aan mengambil hadits dari Anas bin Malik, Sa’id bin Musayyab, Abi Utsman al-Nahdy dan lain-lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa Abu Hatim mengatakan ‘Ali bin Zaid bin Jud’aan tidak kuat, haditsnya ditulis, namun tidak dapat jadi hujjah. Al-Nisa-i mengatakan beliau dhaif dan Ibnu Khuzaimah mengatakan tidak menjadi hujjah karena buruk hafalannya.[3]
Adapun Katsir bin Zaid terjadi khilaf ahli hadits dalam menilai beliau ini.  ‘Ammar bin al-Mushily mengatakan terpercaya, namun al-Nisa’i mengatakan beliau ini dhaif. Abu Ja’far al-Thabari mengatakan, beliau termasuk orang yang tidak dapat dijadikan hujjah.[4]


[1] Al-Munawy, Faizh al-Qadir,Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 86, No. 2815
[2] Mulla al-Qary, Marqaah al-Mafatih Syarh Masykah al-Mashabih, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IV, Hal. 398
[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Muassisah al-Risalah, Juz. III, Hal. 162-163
[4] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Muassisah al-Risalah, Juz. III, Hal. 459



Melihat Nabi SAW dalam Keadaan Jaga Sesudah Beliau Wafat

Dalam sejarah sufi sering terdengar bahwa sufi pulan pernah bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan jaga alias tidak melalui mimpi. Banyak muncul pertanyaan dikalangan umat Islam, apakah mungkin seseorang itu karena karamahnya, memungkinkan dia bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan jaga, padahal Nabi SAW sendiri sudah lama wafat meninggalkan dunia yang fana ini. Kontroversial masalah ini sebenarnya sudah lama terjadi dalam dunia Islam. Imam al-Suyuthi, salah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah pernah menjawab secara khusus masalah ini dengan mengarang sebuah bab khusus mengenai ini dengan judul “Tanwir al-Halak fi Imkan Ru’yah al-Nabi wal Malak”. Bab ini terdapat dalam kitab beliau bernama “al-Hawi lil Fatawa”. Pembahasan mengenai kemungkinan melihat Nabi SAW dalam keadaan jaga, juga dibahas oleh ahli fiqh Mazhab Syafi’i, Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, Fatawa al-Haditsah. Adapun kesimpulan jawaban kedua ulama ini adalah dimungkinkan seseorang melihat Nabi SAW dalam keadaan jaga sesudah beliau wafat.
Imam al-Suyuthi dalam mempertahankan pendapat beliau tersebut berargumentasi dengan dalil-dalil sebagai berikut :
1.        Dari Abu Hurairah, Rasululllah SAW bersabda :
من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثل الشيطان بي
Artinya : Barangsiapa melihat aku dalam mimpi, maka dia akan melihatku dalam keadaan jaga dan syaithan tidak dapat menyerupaiku (H.R. Bukhari, Muslim dan Abu Daud)[1]
Hadits serupa telah dikeluarkan oleh al-Thabrani dari hadits Malik bin Abdullah al-Khats’amy dan dari hadits Abi Bakrah dan juga oleh Al-Darimi dari hadits Abi Qatadah.[2]
Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat para ulama mengenai penafsiran hadits di atas sebagai berikut :
a.         Sebagian mereka mengatakan, orang yang bermimpi melihat Nabi SAW akan melihat beliau pada hari qiamat. Penafsiran ini dibantah oleh al-Suyuthi dengan mengatakan tidak ada faedah mengkhususkan melihat Nabi SAW pada hari kiamat pada orang-orang yang melihat beliau dalam mimpinya dalam hadits tersebut, karena semua orang nantinya akan melihat beliau di hari kiamat, baik dia itu melihat Nabi SAW dalam mimpinya atau tidak.
b.        Sebagian yang lain mengatakan, orang-orang yang beriman dengan Nabi SAW pada ketika hidup beliau, sedangkan dia tidak sempat melihat beliau karena berjauhan tempat tinggalnya, maka sebagai khabar gembira, tidak boleh tidak bagi dia ini akan melihat Nabi SAW dalam keadaan jaga sebelum wafat beliau.
c.         Sekelompok ulama menafsirkan secara dhahir hadits, yakni barangsiapa yang melihat Nabi SAW dalam mimpinya, maka dia akan melihat beliau dalam keadaan jaga dengan mata kepalanya. Ada yang mengatakan dengan mata hatinya. Kedua pendapat terakhir ini telah dihikayah oleh Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi.
Setelah mengutip beberapa penafsiran hadits di atas, al-Suyuthi mengutip komentar Al-Imam Abu Muhammad bin Abi Jamrah dalam ta’liqnya atas hadits-hadits yang dirangkum dari al-Bukhari, beliau mengatakan hadits ini menunjukan siapa saja yang melihat Nabi SAW dalam mimpinya, maka dia akan melihatnya dalam keadaan jaga. Apakah ini mencakup pada masa hidup dan sesudah wafat beliau SAW atau khusus sesudah wafat ? dan ini mencakup untuk semua orang yang pernah melihat dalam mimpinya atau khusus untuk orang-orang tertentu dan pengikut sunnah ‘alaihisalam.? Kemudian Abu Muhammad bin Abi Jamarah menjawab, lafazh berlaku umum. Siapa saja yang mendakwa khusus tanpa ada mukhasshis (yang mengkhususkannya) dari Nabi SAW maka dia itu terlalu memaksa yang tidak perlu.[3]
Keterangan Al-Imam Abu Muhammad bin Abi Jamrah ini juga telah dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyah. Dalam kitab ini, Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan konsekwensi orang yang mengingkari hal tersebut berarti dia mengingkari perkataan orang-orang terpercaya dan dia jahil dengan qudrah al-Qaadir serta mengingkari karamah para auliya, padahal itu ada ketetapan dari dalil sunnah yang terang benderang. Kemudian al-Haitami menjelaskan kepada kita bahwa yang dimaksud dengan umum (lafazh hadits berlaku umum sebagaimana komentar Abu Muhammad bin Abi Jamrah di atas) adalah dapat terlihat dalam keadaan jaga sebagaimana dijanjikan dalam hadits bagi orang-orang yang melihatnya dalam mimpi, meskipun cuma satu kali untuk memastikan janjinya yang tidak pernah salah.[4]



[1] Al-Suyuthi, al-Hawii lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmyah, Beirut, Juz. II, Hal. 255
[2] Al-Suyuthi, al-Hawii lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmyah, Beirut , Juz. II, Hal. 255
[3] Al-Suyuthi, al-Hawii lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmyah, Beirut , Juz. II, Hal. 255-256
[4] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyah, Maktabah Syamilah, Hal. 212
 
dari: kitab kuneng.blogspot

Kamis, 09 April 2020

CORONA DALAM KACAMATA PENGANUT FATALIS JABBARIYAH


Oleh: Tgk Dailami, M.Pd*
                Mewabahnya penularan Virus Corona telah menciptakan kepanikan yang luar biasa penduduk dunia, angka jumlah pasien setiap hari terus meningkat, sehingga berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah diseluruh Negara yang terkena penularan virus ini untuk menghentikan laju penyebaran virus ini. Begitu juga halnya yang dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi, Mesir, Kuwait dan Negara-negara Islam lainya yang sampai melarang penduduknya untuk melaksanakan shalat Jumat dan Shalat berjamaah.
                Di Indonesia Majelis Ulama Indonesia  juga telah mengeluarkan fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah Covid-19. Fatwa ini diputuskan setelah meminta keterangan dari pihak yang tentunya berkompeten sebagai acuan dalam pertimbangan hukumnya. Kita sebut saja dalam hal ini MUI telah meminta pendapat dari dokter sekaliber Prof. Dr. Budi Sampurno, guru besar bidang Medikolegal Fakultas`Kedokteran UI yang tentunya tidak diragukan lagi kepakaran beliau dalam bidang kesehatan. Ikut juga Prof drh Wiku Adisasmito, Ketua tim pakar Satgas Covid-19. Lantas apalagi yang perlu kita ragukan dari hasil fatwa MUI tersebut
Setelah fatwa ini dipublis ke media, beragam komentar muncul khususnya di media sosial, ada yang pro dan juga ada yang kontra. Tanggapan orang pro seperti Ungkapan; ayo kita lawan Corona, jika kita bersih kita tidak akan kena virus Corona, atau ungkapan lainnya; jika kita tidak berkerumun kita tidak akan terkena virus Corona, dan lain sebagainya.dan tanggapan yang kontra seperti ungkapan; jangan jauhkan orang Islam dari Masjid, atau ugkapan jangan takut kepada Corona, takutlah kepada Allah.
Kita patut menduga bahwa mereka yang punya komentar demikian belum membaca secara untuh fatwa MUI tersebut. Komentar-komentar demikian yang seolah-olah dianggap benar tapi sebenarnya mencerminkan masih awamnya mereka dalam memahami ilmu agama secara utuh. Tak mungkin para ulama berfatwa tanpa dilandasi pemahaman agama yang kuat, mereka berfatwa dengan ilmu, bukan dengan hawa nafsu seperti komentar tokoh-tokoh yang mencari panggung dari ummat Islam dalam wabah Corona ini.
Kalau kita baca sejarah, fenomena “ngeyel” terhadap fatwa ulama bukan hanya terjadi diera sekarang, tapi sudah sejak zaman dulu sudah ada manusia yang meremehkan fatwa ulama, sehingga seorang ulama besar bernama  Ibnu Hajar al-Asqallani menyusun sebuh kitab yang beliau beri judul”Badzlul al-Maa’un fi Fadhlit Tha’un”, untuk memfilter pemahaman masyarakat pada masa itu yang menganggap bahwa wabah itu takdir Allah dan tidak ada usaha untuk mencegahnya.
Faham Jabariyyah
                Kalau kita menyimak ungkapan-ungkapan yang meremehkan fatwa ulama tersebut, kita mendapati ungkapan tersebut mencerminkan pemahaman sebuah aliran teologi dalam Islam yaitu paham Jabbariyah, sebuah ideologi dan sekte biad’ah di dalam akidah yang mincul pada abad ke-2 Hijriah di Khurasan. Jabbariyah memiliki keyakinan bahwa setiap manusia terpaksa oleh takdir tanpa memiliki pilihan dan usaha dalam perbuatannya.( Wikipedia )
Inti  pemahaman ideologi ini  yaitu menyerahkan semua kejadian pada takdir Allah tanpa ada usaha atau Ikhtiar. Dalam masalah wabah Corona ini kita bisa dengan gamblang membaca di media bertebaran statemen dari corak berfikir  kelompok ini yang menyeru supaya jangan takut kepada Corona, tapi takutlah kepada Allah, mereka  menganggap bahwa semua wabah penyakit itu semata berasal dari Allah swt. Dan mereka tidak mau peduli dengan usaha untuk menghindarinya. Mereka beranggapan sekiranya mereka terkena wabah penyakit tersebut merupakan takdir dari Allah. kalau pun meninggal dunia berarti itu juga sudah takdir dari Allah. Seandainya selamat  itu pun juga sudah takdir dari Allah SWT. Mereka tak peduli anjuran social distancing, cuci tangan, pakai masker, dan sebagainya.
Sejarah telah mencatat  tentang bagaimana sikap dan tindakan Khalifah Umar bin Khattab dan pasukannya yang membatalkan rencananya memasuki kota Syam yang ketika itu sedang terserang wabah penyakit. Sewaktu di kota Sargh, salah seorang sahabat bernama Abu Ubaidah al-Jarrah mengkritiknya."Akankah kita akan menghindar dari takdir Allah, wahai Amirul mukminin?" Lantas Umar bin Khattab menjawab: "Benar, Kita menghindari dari satu takdir Allah untuk kemudian menuju kepada takdirNya yang lain!"
Tentunya dari jawaban Khalifah Umar bin Khattab tersebut dapat kita ketahui bagaimana sikap dan tindakan seorang dari sahabat dekat Rasulullah yang telah dijamin surga untuknya, yang segala perkataan dan tindakannya disuruh oleh baginda Nabi Muhammad untuk kita ikuti. Seperti perkataan Nabi dalam sebuah hadis “Sahabat-sahabatku laksana bintang, maka ikuti olehmu, niscaya engkau akan terpetunjuk”.
Kita juga bisa belajar dari kisah salah seorang sahabat lain  yang meninggalkan tali kekang untanya terlepas begitu saja, tanpa diikatkan di sebuah batu saat ia memasuki masjid Nabawi untuk beribadah, Lantas Rasulullah menegurnya, "Kenapa tidak kau ikat untamu itu?" Dia menjawab: "Aku serahkan untaku pada Allah, ya Rasulullah! Jika Allah menghendaki-Nya dia tetap ada bersamaku. Tapi jika Allah  menghendakinya hilang, maka dia hilang dariku!" Rasulullah tersenyum dan mengatakan: "Bukan begitu caranya!" Nabi lantas mengajarkan ikhtiar dengan cara memintanya mengikat untanya, lantas Nabi  bersabda: "Sekarang barulah engkau bertawakkal dan serahkan semuanya pada Allah”.
Begitulah  cara Rasulullah dalam mengajarkan cara bertawakkal yang sesuai dengan sunnatullah, bukan seperi cara tawakkal yang dipahami oleh penganut paham fatalis Jabbariyah yang sama sekali tidak menghargai ilmu pengetahuan dan ikhtiar manusia. Jadi seandainya  semua ikhtiar dan tawakkal sudah sepenuhnya dilaksanakan secara maksimal, hasilnya tidak sesuai yang kita harapkan, barulah kita pasrah menerimanya sebagai takdir.
Wallahu a’alam bissawab
*Penulis adalah ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Ma’had ‘Aly Dayah Babussalam Matangkuli, Aceh Utara.

Urgensi Tushiyah MPU Aceh tentang Shalat dalam keadaan darurat Qorona


Menurut informasi terkait virus Corona yang disampaikan oleh Dinas Kesehatan Aceh melalui laman resmi dinkes.acehprov.go.id dan juga covid19.acehprov.go.id, Jumat 3 April 2020 pukul 15.00 wib. Dalam informasi tersebut, 5 orang dinyatakan positif covid-19 dengan perincian 4 orang dirawat dan 1 orang dinyatkan meninggal dunia.
            Kemudian sebanyak 1.111 ODP, sebanyak 265 diantaranya sudah selesai pemantauan, dan 846 masih dalam proses pemantauan. Sementara itu, sebanyak 49 Pasien Dalam Pengawasan(PDP), dari 49 PDP tersebut, 11 PDP masih dirawat dan 38 PDP sudah dipulangkan. Kemudian 1 orang PDP asal Aceh Utara yan meninggal berinisial EY, dinyatakan negatif Covid-19.
            Sementara itu secara nasional yang disampaikan oleh Achmad Yurianto, selaku Jubir Covid-19, jumlah positif Covid-19 menjadi 1.986 orang, dengan perincian pasien sembuh 134 orang dan yang meninggal 181 0rang..
            Melihat banyaknya jumlah kasus positif Covid-19 ini, serta banyaknya pasien yang meninggal duniadaripada pasien yang sembuh  membuat kita semua khawatir akan kemungkinan paling buruk yang bisa saja terjadi, seperti di Italia dan negara lainnya apabila penyebaran virus ini tidak dapat dibendung. Oleh sebab itu maka pencegahan penyebaran virus ini menjadi tanggung jawab kita bersama, jangan kita menganggap sepele apalagi acuh terkait penyebaran virus ini..

Taushiyah MPU Aceh

            Melihat fenomena penyebaran Covid-19 yang diyakini melalui aktivitas-aktivitas yang melibatkan orang banyak, berkumpulnya banyak orang pada sebuah kegiatan, seperti Shalat Jumat atau shalat berjamaah, yang juga melibatkan orang banyak,  maka untuk mencegah penyebaran Covid-19 khususnya di Aceh ini, MPU Aceh merasa sangat perlu untuk memberikan bimbingan nasehat atau taushiyah tentang hukum shalat Jumat dan shalat berjamaah ditengah kondisi penyebaran Covid-19 ini yang sudah darurat ini.
Sesuai dengan kewenangannya yang tercantum dalam Pasal 140 ayat 1 dan 2 UU Nomor 11  tahun 2006  tentang pemerintahan Aceh yaitu untuk  memberikan fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan memberikan arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.
Sebelum ada taushiyah MPU Aceh, sudah ada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentangan larangan shalat Jumat dan shalat berjamaah jika penyebaran Covid-19 semakin tak terkendali. Akan tetapi apa hendak dikata, fatwa ini mendapat respon yang beragam dari para netizen, bahkan ada tokoh-tokoh bangsa yang menyepelekan fatwa MUI tersebut dan menganjurkan masyarakat untuk tetap shalat jumat dan shalat berjamaah ke masjid tanpa menghiraukan keadaan yang sedang terjadi, dengan bermacam-macam dalih dan alasan,seperti slogan jangan menjauhkan orang Islam dari masjid, atau jangan takut kepada Corona, tapi takutlah kepada Allah  karena Corona itu hanya mahkluk Allah, dan slogan-slogan lainnya.
Karena itu MPU sebagai sebuah lembaga fatwa yang bersifat lokal Aceh, maka merasa perlu untuk membuat sebuah keputusan menyangkut dengan pelaksanaan shalat Jumat dan shalat berjamaah dimasjid, apakah wajib dilaksanakan atau tidak di wilayah Aceh. Maka MPU Aceh, menerbitkan Taushiyah Nomor 4 tahun 2020 tentang pelaksanaan ibadah dan kegiatan sosial keagamaan lainnya dalam kondisi darurat. Dalam putusannya, MPU menetapkan tujuh putusan. Salah satu di antaranya adalah, memperbolehkan umat untuk tidak Shalat Jum’at di Masjid dan menggantinya dengan Shalat Dzuhur di rumah.
Ada tujuh putusan yang dihasilkan dalam Rapat Pimpinan Khusus MPU Aceh. Di poin kedua putusan itu menyebutkan, bahwa seorang muslim boleh tidak melakukan shalat berjama’ah di masjid-masjid, meunasah atau mushalla dan tidak melaksanakan Shalat Jum’at berjama’ah tetapi menggantinya dengan Shalat Dzuhur di kediaman masing-masing.
Berikut ini adalah tujuh poin putusan hasil Rapat Pimpinan Khusus MPU Aceh, yang ditetapkan tanggal 31 Maret 2020.
Pertama, Setiap muslim wajib berikhtiar menjaga dan menjauhkan dirinya dari wabah penyakit menular dengan senantiasa beribadah, berdzikir dan berdo’a serta memperhatikan petunjuk medis.
Kedua, Dalam hal dan keadaan wabah penyakit (Covid-19) dengan potensi menular yang semakin merebak dan meluas secara pasti (Muhaqqaq) dan berdasarkan petunjuk medis serta ketetapan pemerintah, seorang muslim boleh tidak melakukan shalat berjama’ah di masjid-masjid, meunasah atau mushalla dan tidak melaksanakan Shalat Jum’at berjama’ah tetapi menggantinya dengan Shalat Dzuhur di kediaman masing-masing.
Ketiga, Setiap pengurus Masjid, Meunasah dan Mushalla tetap mengumandangkan Azan pada setiap waktu shalat fardhu dengan lafadz yang ma’ruf.
Keempat, Masjid yang melaksanakan shalat berjama’ah dan shalat Jum’at berdasarkan pertimbangan kemaslahatan di tempat itu, wajib memperhatikan prosedur medis dan protokol kesehatan seperti jarak antar jama’ah  (physical distancing) dan lain-lain.
Kelima, Masyarakat diminta tidak mengadakan dan melakukan acara-acara keramaian berupa tasyakkuran, kenduri, tahlil dan samadiah, zikir/rateb bersama, dan lain-lain sampai dengan dicabutnya kondisi darurat.
Keenam, Mengingat situasi wabah penyakit yang terus merebak, maka masyarakat diimbau tidak melakukan perjalanan keluar daerah, dan yang berada di perantauan tidak kembali ke Aceh, kecuali karena sangat mendesak dan bersedia di karantina oleh pemerintah.
Ketujuh, Masyarakat diminta untuk mematuhi instruksi dan protokol yang ditetapkan oleh pemerintah dalam menghadapi wabah penyakit (epidemik) Covid-19, termasuk tidak keluar rumah pada waktu pemberlakuan jam malam dan tetap menjaga jarak aman di tempat keramaian (social distancing).
Taushiyah nomor 4 tahun 2020 ini ditandatangani langsung oleh Ketua MPU Aceh Tgk H.M Daud Zamzamy, serta tiga Wakil Ketua MPU lainnya, yaitu Tgk H Faisal Ali, Dr.Tgk H Muhibbuththabary, M.Ag  dan Tgk H Hasbi Albayuni.
Kita berharap masyarakat menjadikan Taushiyiah MPU Aceh ini sebagai pegangan dalam menjalankan ibadah dan kegiatan sosial keagamaan di tengah-tengah masyarakat. Mari bersama kita patuhi dan laksanakan hasil putusan ulama-ulama kita ini dalam beribadah dan berkegiatan sosial keagamaan lainnya, di masa mewabahnya Covid-19 ini. Meski di rumah kita tetap terus dapat beribadah dengan khusyuk dan tenang, kita juga  mematuhi imbauan pemerintah melalui tim medis. Tetap berperilaku hidup sehat, teruslah berdo’a dan memohon agar Allah menghentikan dan menghilangkan wabah ini dari muka bumi..Amin!!!

By Tgk Dailami Pirak