Jumat, 25 April 2025

Sihir itu ada

Sihir itu ada, tapi bukan berarti kalau ada orang sakit lantas dibilang sihir
Ain itu ada, tapi bukan berarti kalau ada orang sakit atau kena musibah lantas dibilang ain
Karamah itu ada, tapi bukan berarti kalau ada yang tidak lumrah lantas karamah

Itu semua terjadinya sangat-sangat jarang bahkan langka. Kalau ada yang menganggapnya banyak dan mudah terjadi sekarang ini, maka itu salah satu penyakit mental berupa delusi dan psikosomatik. Biasanya penyakit ini diidap oleh orang yang berpendidikan rendah yang masih hidup dalam dunia serba klenik, perdukunan dan ruqyah. Salah satu efek penyakit ini adalah fobia, ada yang fobia foto sehingga ketakutan memajang foto di tempat umum karena takut sihir atau ain, fobia tampil di muka umum, fobia bersosialisasi, dan sebagainya. Mereka juga gampang menganggap orang yang tidak normal sebagai waliyullah atau menganggap barang tertentu sebagai bertuah atau punya berkah, padahal biasa saja.

Fungsi Utama Suami Dan Istri

Fungsi utama seorang suami adalah memberi nafkah sesuai kemampuannya. Seorang laki-laki dibutuhkan oleh perempuan untuk menjadi suaminya karena kemampuannya menafkahi. Jadi, kalau ada suami yang perilakunya baik, romantis, suka membantu pekerjaan rumah dan seterusnya, tapi tidak mau bekerja mencari nafkah, maka dia cacat dalam fungsi utamanya meskipun di fungsi lainnya baik. Demikian juga suami yang memberi nafkah tapi sambil ngomel-ngomel mengungkit pemberiannya, maka dia cacat sebagai suami. Karena itu secara hukum suami yang tidak menafkahi adalah berdosa kalau disengaja dan dalam keadaan mampu bekerja, sebab ini fungsi utamanya. 


Fungsi utama seorang istri adalah mencukupi kebutuhan seksual suaminya, baik karena bertujuan punya anak atau sekedar kebutuhan biologis. Seorang perempuan dibutuhkan oleh laki-laki untuk menjadi istrinya karena kemampuannya meredam syahwatnya secara halal. Jadi, kalau ada istri yang perilakunya baik, pandai bersolek, pandai memasak dan mengurus rumah tangga, tetapi dia tidak mau diajak berhubungan badan tanpa ada udzur, maka dia cacat dalam fungsi utamanya. Demikian juga seorang istri yang mau memberikan pelayanan ranjang tapi sambil ngomel-ngomel, maka dia juga cacat sebagai istri. Karena itu secara hukum istri yang menolak ajakan suaminya tanpa udzur adalah berdosa, sebab ini fungsi utamanya.


Adapun membantu berbagai urusan, menjadi teman bercerita, menjadi partner kerja, teman mengurus anak dan sebagainya, itu semua bisa dilakukan orang lain tidak harus pasangan yang menikah sehingga bukan fungsi utama dalam pernikahan. Meskipun bukan fungsi utama tapi bukan berarti ini semua tidak penting sebab pernikahan adalah relasi jangka panjang. Hanya saja karena bukan fungsi utama, maka ini semua tidak diancam dengan dosa dalam hukum Islam sehingga tidak ada yang akan masuk neraka hanya karena tidak memasak, tidak menyapu, tidak membantu mengurus anak atau tidak mendengarkan curhatan pasangan. Ini semua adalah relasI yangi murni sosial yang kalau jelek hanya diganjar dengan hukuman sosial, misal diomeli.


Cacat dalam fungsi utama ini adalah penyebab utama perceraian dan perselingkuhan. Seorang suami cenderung diselingkuhi ketika istrinya menemukan lelaki lain yang mau menopang kebutuhan finansialnya dengan lebih baik. Karena itu tak perlu terlalu heran ketika seorang suami yang baik dan penuh perhatian ditinggal istrinya demi lelaki yang lebih kaya. Demikian juga seorang istri cenderung diselingkuhi ketika suaminya menemukan perempuan lain yang mau menjadi partner yang lebih seru di ranjang. Karena itu tak perlu terlalu heran ketika seorang istri yang baik, lebih cantik dan penuh perhatian ditinggal suaminya demi perempuan yang lebih memuaskannya di ranjang.


Semoga bermanfaat

Lebih mudah mengajar di kampus dari sekolah

Kalau mau jujur, sebenarnya mengajar pada tingkatan yang tinggi itu lebih mudah dari mengajar di tingkatan dibawahnya, seperti di perguruan tinggi itu lebih mudah dibandingkan mengajar disekolah.

Mengajar di SMA itu lebih mudah di bandingkan SMP, dan mengajar di SMP itu lebih mudah dari mengajar di SD, dan mengajar di SD itu lebih mudah dari mengajar di TK/ PAUD.

Semakin tinggi Level mengajar itu semakin mudah, Mengajar di kampus itu mudah, asal bisa menguasai materi ya pasti jalan proses pembelajaran nya, karena mengajar orang dewasa itu cukup gampang, peserta didik itu tertib, mereka mudah diatur, nama nya orang sudah dewasa, apalagi untuk level pasca sarjana, maka jika sudah menguasai materi mengajar itu gampang, kita bisa mengarahkan apa yang menjadi tujuan.

Kondisi ini tentu berbeda dengan level di bawahnya, apalagi tingkat SMA, peserta didik pada level ini berada pada masa transisi dari anak-anak menuju dewasa, banyak polah tingkah, guru yang mengajar pada level butuh banyak banyak sabar, kalau tidak sabar, bisa hancur kita.

Begitu juga tingkatan SMP, peserta didik pada level ini belum tahu tujuan belajar untuk apa, tujuan sekolah untuk apa, mereka pikir sekolah tradisi, karena sudah tamat SD ya lanjut SMP dunia mereka itu masih dunia main-main cari teman baru setelah 6 tahun di SD, guru yang ngajar di SMP harus bisa memahami jiwa mereka ini, kalau tidak paham jiwa mereka, maka guru bawaannya akan marah marah tiap hari..

Sabtu, 05 April 2025

Level kealiman seseorang dalam masalah agama. (Alim di sini berarti berilmu).

0. Tak tahu dalil dan ngajak orang supaya tak perlu belajar, menurutnya percuma jadi orang pintar sebab orang pintar banyak yang buruk tingkahnya. Akhirnya ia bangga dengan ketidaktahuannya. Ini level orang bodoh. 


1. Tak tahu dalil, hanya berusaha mempraktekkan apa yang ia dengar tanpa berani menyalahkan atau membela siapapun. Dia merasa kalau dirinya masih perlu belajar tapi sulit. Kadang dia ikut pendapat yang ketat agar sempurna, kadang juga ikut yang gampang-gampang supaya tidak ribet. Ini level orang awam, orang kebanyakan. 


2. Tahu satu dalil yang mendukung praktek ibadah yang ia jalani saja. Yang berbeda praktek ia salahkan sebab tak tahu dalilnya. Ini level mubtadi'in, pelajar pemula. 


3. Tahu banyak dalil dan perbandingan mazhab, lalu menghalalkan hampir semua hal dengan menukil qaul yang nyleneh yang jarang orang tahu. Makin nyleneh, makin dia senang sebab akan dikira alim oleh orang awam. Ini level jahil murakkab, orang bodoh yang tak sadar kalau dirinya bodoh. Ini level paling buruk. 


4. Tahu banyak dalil dan perbandingan mazhab, tapi ia mampu mentarjih (mengunggulkan) satu pendapat terkuat untuk diajarkan pada masyarakat dan ia praktekkan sendiri. Ia tundukkan hawa nafsunya di depan kebenaran yang ia yakini untuk menuju ridha Allah. Tapi yang berbeda dengan tarjihnya dia anggap sesat. Ini level orang alim yang tertutup pikirannya. 


5. Tahu banyak dalil dan perbandingan mazhab, tapi ia mampu mentarjih (mengunggulkan) satu pendapat terkuat untuk diajarkan pada masyarakat dan ia praktekkan sendiri. Sama dengan nomer 4, hanya saja ia bisa memaklumi orang yang berbeda pendapat dengan dia selama perbedaannya bisa ditolerir sebab ia mampu melihat dari berbagai perspektif yang berbeda. Ini level orang alim yang terbuka, level alim yang sesungguhnya. 


Berikut ini adalah sebagian nasehat dari mereka yang betul-betul alim ini:


قولي صواب يحتمل الخطأ، وقول المخالف خطأ يحتمل الصواب (الشافعي) 

Pendapatku adalah benar tapi mungkin saja salah, sedangkan pendapat orang yang berbeda denganku itu salah tapi mungkin saja benar. (Imam Syafi'i) 

ليس كل خلاف جاء معتبرا إلا خلاف له حق من النظر (نقله السيوطي عن أبي الحسن)

Tidak semua perbedaan pendapat bisa dipertimbangkan, hanya perbedaan yang layak dipikirkan secara mendalam saja. (Syaikh Abu al-Hasan dalam kitab An-Nasikh wal Mansukh sebagaimana dinukil oleh Imam Suyuthi dalam al-Ithqan). 

ومن أفتى بكل قول أو وجه من غير نظر إلى ترجيح فهو جاهل خارق للإجماع (الحبيب عبد الرحمن باعلوي)

Siapa pun yang berfatwa dengan semua pendapat Imam mazhab atau murid-muridnya tanpa terlebih dahulu dipertimbangkan mana yang kuat, maka berarti ia orang bodoh yang menyempal dari kesepakatan ulama. (Habib Abdurrahman Ba'alawi, ulama besar yang menjadi mufti Yaman, dalam kitabnya: Bughyatul Mustarsyidin) 

Mereka yang alim mengetahui macam-macam pendapat dan dapat memilih yang terbaik untuk disampaikan kepada masyarakat tetapi tanpa merasa paling benar sendiri secara mutlak. 

Semoga yang baca status ini dianugerahi ilmu tinggi yang bermanfaat. Amin.

Apakah tuhan harus selalu baik?

Beberapa agama di dunia mencoba mendoktrin umatnya bahwa Tuhan pasti selalu berbuat baik dan terbaik, bahwa dia Maha Pengasih, Penyayang, Pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, Tuhan tidak mungkin berbuat tidak baik, kejam, dan seterusnya. Ajaran semacam ini melawan realitas empiris di mana berbagai hal buruk dan kejam terjadi di seluruh dunia setiap harinya. Ada yang terlahir cacat, ada yang seumur hidup berada dalam kemiskinan, ada yang mati kelaparan, ada yang terkena wabah, ada yang tertimpa kecelakaan dan seterusnya.


Karena tidak realistis, ajaran agama yang hanya menjual "kasih Tuhan" saja selalu menjadi bahan bulliyan para ateis. Katanya Tuhan Maha Pengasih, kok hambanya dibiarkan sengsara? Katanya Maha Pengayang, kok hambanya dibuat menderita? Itu Tuhannya bohong atau Tuhannya tidak mampu menghilangkan kesengsaraan dan penderitaan hambanya? Begitulah pertanyaan para ateis di seluruh dunia tentang kesengsaraan duniawi. Belum lagi dalam agama masih diperkenalkan neraka, tempat siksaan abadi yang jelas bukan tempat curahan kasih sayang Tuhan sehingga doktrin "kasih Tuhan" menjadi tidak konsisten. Daerah yang menjadi pusat agama tidak realistis seperti itu selalu menjadi pusat berkembangnya ateisme. 


Dalam tubuh Islam, ada juga aliran yang mendoktrin bahwa Tuhan pasti selalu berbuat yang terbaik. Mereka adalah aliran Muktazilah yang divonis sesat oleh para ulama Aswaja sebab ajaran mereka tidak realistis dan hanya berujung pada munculnya ateisme. Para Mutakallim Ahlussunnah Wal Jamaah menjelaskan bahwa selain tidak realistis, ajaran seperti itu bertentangan dengan syariat yang memberikan berbagai aturan yang menyulitkan seperti harus shalat, puasa dan seterusnya yang akan lebih mudah bagi manusia kalau tidak ada beban aturan semacam itu.


Imam as-Sanusi berkata: 


فالمعتزلةٌ إنَّما يوجبونَ مِنَ الممكنات على الله تعالى فعل الصلاح والأصلح للخلْقِ، والمشاهدة والشرع يقضيان بفساد قولهم في ذلك


"Muktazilah mengharuskan Tuhan berbuat hal yang tidak diharuskan berupa melakukan kebaikan dan hal terbaik bagi makhluk. Realitas empiris dan syariat memastikan kesalahan ucapan mereka dalam hal tersebut" (as-Sanusi, Syarh Umm al-Barahin)


Imam ad-Dasuqi menjelaskan perkataan as-Sanusi tersebut sebagai berikut:


أما قضاء المشاهدة بفساد قولهم : فلوقوع المحن للناس من فقر ومرض ؛ فإن هذه لا مصلحة فيها ، وأما قضاء الشرع بذلك : فلأنه أتى بتكليف العباد ، وهو مشتمل على المشاق والمكاره ، وليس فيه مصلحة بحسب الظاهر


"Adapun kepastian realitas empiris bahwa ucapan mereka salah adalah karena terjadinya musibah bagi manusia berupa kefakiran dan sakit. Dalam hal ini tidak ada kebaikannya. Adapun kepastian syariat tentang kesalahan mereka adalah karena Allah membebani para hambanya dengan aturan yang mengandung kesulitan dan hal yang tidak mengenakkan. yang dalam hal tersebut secala lahiriah tidak ada kebaikannya." (ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi 'ala Syarh Umm al-Barahin)


Biasanya mereka akan berapologi bahwa musibah dan beban aturan syariat (taklif) mengandung kebaikan bagi manusia sebab nantinya hal itu akan mendatangkan pahala. Apologi mereka sama seperti ucapan para da'i yang tidak memahami ilmu hakikat bahwa musibah dan aturan agama yang ribet dikesankan sebagai bentuk "kasih sayang Tuhan" bagi manusia. Imam ad-Dasuqi menjawab apologi tersebut:


فإن قالوا : إن المحن والتكليف فيهما مصلحة باعتبار ما يترتب عليهما من الثواب .. قلنا لهم : الله قادر على إيصال الثواب بدون التكليف والمحن


"Apabila mereka berkata bahwa musibah dan beban aturan syariat mempunyai sisi kebaikan dengan memandang bahwa di balik itu ada pahalanya, maka kami, Ulama Aswaja, berkata pada mereka bahwa Allah mampu memberikan pahala tanpa memberikan beban aturan atau pun musibah". (ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi 'ala Syarh Umm al-Barahin)


Ajaran Islam yang dipahami oleh Ahlussunnah Wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyah) adalah ajaran realistis yang mengagungkan Tuhan secara maksimal di mana Tuhan diyakini punya kehendak bebas (iradah) yang mutlak tanpa bisa diintervensi kondisi apa pun dan tidak bisa diikat oleh aturan apapun. Terserah Tuhan apakah Dia mau memberikan kebaikan atau pun keburukan pada makhluk yang Dia ciptakan sendiri. Terserah makhluknya suka atau pun tidak suka, Tuhan tidak memerlukan persetujuan mereka.


Allah adalah sosok yang melakukan apa pun kehendaknya (فعال لما يريد), bukan sosok yang bisa diatur harus berbuat ini dan itu, termasuk harus berbuat baik dan memberi yang enak-enak pada manusia. Di dunia, Allah menciptakan kebahagiaan dan juga kesengsaraan. Di akhirat, Allah menciptakan surga dan neraka. Siapa yang melaksanakan perintahnya akan diberikan surga dan siapa yang tidak mau taat akan dimasukkan ke neraka. Dua sisi antara harapan mendapat kebaikan abadi (raja') dan kecemasan mendapat murka (khauf) harus selalu ada beriringan dan seimbang. Allah berfirman:


وَاِنَّ رَبَّكَ لَذُوْ مَغْفِرَةٍ لِّلنَّاسِ عَلٰى ظُلْمِهِمْۚ وَاِنَّ رَبَّكَ لَشَدِيْدُ الْعِقَابِ (الرعد: 6)

"Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai ampunan bagi manusia atas kezaliman mereka dan sesunggunnya Tuhanmu Maha Berat Siksanya."


فَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ رَبُّكُمْ ذُو رَحْمَةٍ وَاسِعَةٍ وَلايُرَدُّ بَأْسُهُ عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ [الْأَنْعَامِ: 147]

"Apabila mereka menuduhmu berdusta, maka katakan: Tuhan kalian mempunyai kasih sayang yang luas, tapi tidak ada yang dapat menolak murkanya pada mereka yang membangkang"


إِنَّ رَبَّكَ لَسَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ} [الْأَعْرَافِ:167]

"Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat menyiksa dan sesungguhnya Dia Maha mengampuni dan mengasihi"


نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الألِيمُ [الْحِجْرِ:49، 50]

"Sampaikanlah pada hambaku bahwa Aku Maha Mengampuni dan Mengasihi, dan bahwa siksaku adalah siksa yang sangat menyakitkan"


Dua sisi berupa Tuhan memberi kasih sayang dan surga di satu sisi serta memberi kemurkaan dan neraka di sisi lainnya adalah dua hal yang harus diyakini dalam diri orang beriman. Dari situlah nanti tumbuh keseimbangan antara khauf (ketakutan) dan raja' (harapan). Dengan ketakutan akan siksa, dia mampu bertahan agar tetap berada dalam jalan kebaikan; tidak mencuri meski lapar, tidak berbuat semena-mena meski mampu, tidak membunuh meski benci, tidak hidup bermalas-malasan dan seterusnya. Dengan harapan, dia mampu bertahan menghadapi ujian dan segala penderitaan, tidak putus asa dan tidak sibuk menyalahkan Tuhan.


Sebab itu, menjadi orang beriman artinya menjadi orang yang bermental tangguh. Orang yang bermental krupuk tidak akan mampu merasakan manisnya iman sebab mentalnya terlalu lemah. Ketika mendapat kesusahan hidup atau melihat penderitaan di dunia, orang bermental krupuk akan sibuk menyalahkan Tuhan dan mempertanyakan kasih sayangnya. Banyak dari mereka yang bunuh diri dan banyak pula yang akhirnya tidak percaya pada Tuhan sebab tidak sesuai dengan ekspektasi yang mereka buat sendiri yang seolah-olah bisa mengatur Tuhan harus begini dan begitu.


Sebagian agama malah saking putus asanya dalam melihat realitas dunia yang buruk hingga "menciptakan" sosok saingan Tuhan tapi versi jahat yang menurut mereka memberikan kesengsaraan dan neraka hingga dibayangkanlah ada Tuhan baik dan ada Lucifer sebagai Tuhan jahat; ada Sang Terang dan ada Sang Gelap. Tanpa sadar, keyakinan syirik mereka ini justru menunjukkan bahwa Tuhan mereka lemah dan terbatasi hingga sebagian dari mereka dengan absurd mengakui kelemahan Tuhannya hingga untuk memberikan ampunan masal bagi manusia saja diyakini Tuhannya harus membunuh anaknya sendiri sebagai tebusan.


Sebagian lagi saking lemahnya mental mereka hingga menolak eksistensi neraka. Bagi mereka, tidak mungkin Tuhan yang maha pengasih menciptakan nereka. Tanpa sadar dia ini sedang membuka pintu kesemena-menaan bagi manusia. Kalau tidak ada neraka berarti bebas berbuat apa saja bukan? Kalau tidak ada pertanggung-jawaban, maka tentu manusia tidak perlu bertanggung jawab. Tidak perlu menjadi orang baik sebab menjadi orang jahat pun tidak ada konsekuensinya. Tidak perlu ketertiban hukum sebab tanpa neraka hukum rimba adalah hal natural. 


Dua paragraf di atas adalah keyakinan non-muslim yang jelas salahnya. Adapun keyakinan seorang muslim Ahlussunnah Wal Jamaah, maka Tuhan hanya ada satu, tidak ada saingannya dan kehendaknya mutlak. Bila Tuhan memberikan kebahagiaan di dunia, maka dia bersyukur. Bila Tuhan memberikan kesengsaraan di dunia, maka dia sabar. Untuk akhirat, dia berharap mendapat ridha Tuhan dalam bentuk surga dan dia hidup bertanggung jawab di dunia demi menghindar dari murka Tuhan dalam bentuk neraka. Rasulullah bersabda:


لَوْلَا عفوُ اللَّهِ وتجاوُزه، مَا هَنَّأَ أَحَدًا الْعَيْشَ وَلَوْلَا وَعِيدُهُ وَعِقَابُهُ، لَاتَّكَلَ كُلُّ أَحَدٍ


"Seandainya tidak ada ampunan dan permakluman dari Allah, maka tidak akan ada yang dibiarkan hidup. Seandainya tidak ada ancaman dan siksanya, maka semua orang akan berdiam diri [tanpa berbuat baik]".


Semoga bermanfaat.

Rabu, 26 Maret 2025

Point Penting Lanjutan Al-Imam Taqiyuddin al-Subki


فإن قلت : الظاهر أن عمر رضي الله عنه إنَّما جمعهم على العدد الذي صلاه النَّبيُّ؟


"Jika engkau berkata: 'Dhohirnya bahwa Sidna Umar hanya mengumpulkan mereka berdasarkan jumlah rakaat yang pernah dikerjakan oleh Nabi ﷺ,'


قلت : قد ذكرنا عن النَّبيِّ ﷺ إسنادين فيهما مقال، في أحدهما : ثَمَانُ وَالوِتْرُ»، وهو موافق لإحدى عشرة، وفي الآخر : عِشْرُونَ وَالوِتْرُ»، وهو موافق لثلاث وعشرين، فلعل عمر فَهِمَ من النَّبِيِّ أنَّ ذلك لا يتقيد [١/٤٤] بعدد؛ لأنه قيام ليل يجوز فيه أن يزيد وينقص :


فقدر أولاً الإحدى عشرة؛ لأنها غالب صلاة النبي ﷺ بالليل، على ما يدل عليه حديث عائشة .


Aku (al-Imam Taqiyuddin al-Subki) menjawab:

Kami telah menyebutkan dua sanad dari Nabi ﷺ, yang masing-masing memiliki kritik dalam periwayatannya. Dalam salah satunya disebutkan delapan rakaat ditambah witir, yang sesuai dengan jumlah sebelas rakaat. Dalam riwayat lainnya disebutkan dua puluh rakaat ditambah witir, yang sesuai dengan jumlah dua puluh tiga rakaat.


Oleh karena itu, bisa jadi Umar memahami dari Nabi ﷺ bahwa salat malam itu tidak terikat dengan jumlah tertentu, karena merupakan bagian dari qiyamullail, yang boleh ditambah atau dikurangi.


Maka, awalnya Umar menentukan sebelas rakaat, karena itu adalah jumlah yang paling sering dikerjakan oleh Nabi ﷺ dalam salat malam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadis Aisyah Radhiyallahu 'anha."


وقدر ثانياً ثلاثاً وعشرين، إما لنص عنده فيها، وإما لضرب من الاجتهاد مع علمه عن النَّبيِّ ﷺ أنه لا حجر فيها .


Kemudian Umar menentukan jumlah dua puluh tiga rakaat, baik karena ada dalil yang sampai kepadanya mengenai jumlah itu, atau karena ijtihadnya sendiri, dengan pengetahuannya bahwa Nabi ﷺ tidak membatasi jumlah rakaat salat malam.


ولو لم يكن في المرجحات لثلاث وعشرين إلا أنها عمل الخلف والسلف، لكان كافياً أن لا يُعدل عنه إلى أخبار الآحاد إذا خالفته، فكيف ولا مخالفة؛ لأنا لا نمنع الاقتصار على إحدى عشر (١)، ولكنا نختار الأخذ بثلاث وعشرين للإجماع عليها، وأنها من قسم الحسن الذي أطبق الناس على فعله تقرباً به إلى الله تعالى من زمان عمر بن الخطاب إلى اليوم، فإما أن يكون عند عمر والصحابة نص في ذلك عن النبي ، وإما ضرب من وجوه الاجتهاد لا يلزمنا الكشف عنه .


Seandainya satu-satunya alasan yang menguatkan pendapat dua puluh tiga rakaat adalah karena itu merupakan amalan generasi khalaf dan generasi salaf, maka itu sudah cukup untuk tidak berpaling dari jumlah tersebut hanya karena hadis-hadis ahad yang bertentangan dengannya. Terlebih lagi, tidak ada pertentangan dalam hal ini, karena kami tidak melarang seseorang untuk hanya mengerjakan sebelas rakaat, tetapi kami lebih memilih dua puluh tiga rakaat karena adanya ijma’ atasnya.

Salat dengan jumlah itu termasuk dalam kategori hasan, karena seluruh umat telah bersepakat mengerjakannya sebagai bentuk ibadah mendekatkan diri kepada Allah sejak zaman Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu hingga hari ini. Maka, bisa jadi Umar dan para sahabat memiliki dalil dari Nabi ﷺ tentang jumlah tersebut, atau mereka sampai pada jumlah itu melalui bentuk ijtihad tertentu yang tidak mesti bagi kita untuk menelusuri alasannya.


وقال الحليمي تحمله : «يحتمل القيام بعشرين ركعة : أن يكون وجهه : أن عامة سنن الليل والنهار سوى الوتر لما كانت عشر ركعات كما ذكر ابن عمر، ضعفت في شهر رمضان ؛ إذ كان الوقت وقت جد وتشمير . قال : ويحتمل أن يكون ذلك مأخوذاً من أصل آخر، وهو أن أغلب صلاة رسول الله ﷺ في غير رمضان من الليل كان إحدى عشر ركعة آخرها وتراً، فرأوا أن يجعلوا هذا أصلاً ، ثمَّ يُضَعْفُوه في شهر رمضان؛ لأنَّ النَّبي سن قيامه، فلما أراد القيام فيه، غُلْظَ بأن صار سُنَّةً بعد أن كان في غيره تطوعاً، غلظ عدد الركعات فيه بالتضعيف، فصار عشرين بعد أن كان في غيره عشراً (۲)، انتهى ما قاله الحليمي، 


Al-Halimi memahami kemungkinan salat 20 rakaat memiliki alasan berikut:


Mayoritas sunah dalam salat malam dan siang hari selain witir berjumlah 10 rakaat, sebagaimana disebutkan dalam hadis Ibnu Umar. Maka, jumlah rakaat dalam bulan Ramadan dilipatgandakan, karena waktu tersebut adalah masa untuk lebih bersungguh-sungguh dalam ibadah dan meningkatkan amal saleh.


Beliau berkata: Bisa jadi juga diambil dari dasar yang lain, yaitu: kebanyakan salat malam Nabi ﷺ di luar Ramadan adalah 11 rakaat, dengan witir sebagai penutupnya. 

Maka, para sahabat menjadikan jumlah ini sebagai dasar, kemudian melipatgandakannya dalam bulan Ramadan karena Nabi ﷺ sendiri telah mensyariatkan salat malam di bulan tersebut. Ketika ibadah qiyamullail di bulan Ramadan dianjurkan lebih kuat, jumlah rakaatnya pun diperbanyak, dari yang sebelumnya 10 rakaat menjadi 20 rakaat. 

Demikianlah pendapat Al-Halimi.


ولا شك فيه (۳) احتمال، واحتمال أن يكون ذلك مأخوذاً عن رسول الله ، وأن يكون عمر اجتهد فيه :

- لما كانت الزيادة في قيام الليل غير ممنوعة.

- وفَتْحُ النَّبيِّ ﷺ الزيادة بصلاته إحدى عشرة في وقت، وثلاث عشرة في وقت، إن لم يُثبت عدد أزيد.


Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan kemungkinan yang masuk akal.


Selain itu, bisa jadi jumlah tersebut berasal dari petunjuk Rasulullah ﷺ, atau hasil ijtihad Umar:

(1) Karena penambahan jumlah rakaat dalam salat malam bukanlah sesuatu yang terlarang.

(2) Nabi ﷺ membuka peluang untuk menambah jumlah rakaat dengan pernah mengerjakan salat malam sebanyak sebelas rakaat di suatu waktu, dan tiga belas rakaat di waktu lain, jika memang tidak ada riwayat valid yang menunjukkan jumlah lebih dari itu.


فإن قلت : أليس يكون ذلك مخالفاً لما ثبت في الصحيح، عن أبي سلمة بن عبد الرحمن، أنه سأل عائشة هنا ، كيف كانت صلاة رسول الله في رمضان؟، فقالت : مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعَاً ، فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعَاً، فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثَاً ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، تَنَام قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ، فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ، وَلَا يَنَامُ [٤٤ / ب] قَلْبِي (١)؟


Jika engkau bertanya: Bukankah ini bertentangan dengan hadis yang sahih dari Abu Salamah bin Abdurrahman, yang bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'anha tentang salat Nabi ﷺ di bulan Ramadan?


Aisyah menjawab:


"Rasulullah ﷺ tidak pernah menambah dalam salat malamnya, baik di bulan Ramadan maupun di luar Ramadan, lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat, jangan tanyakan tentang keindahan dan panjangnya, lalu beliau salat empat rakaat lagi, jangan tanyakan tentang keindahan dan panjangnya, kemudian beliau salat tiga rakaat witir. Aisyah berkata: Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum berwitir?' Maka beliau menjawab, 'Wahai Aisyah, kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.’"


قلت : لا مخالفة؛ لأنَّ المخالفة ترك مأمور أو فعل منهي، واقتصاره على ذلك العدد لم يكن لمنع الزيادة ولا لكراهتها، نعم، موافقته أولى لو تحققنا أنه طول حياته لم يزد على ذلك، ولا أشار إلى الزيادة، ولا دل عليها دليل، وهذا لا سبيل إليه مع اتفاق الصحابة على إقامة هذا العدد.


Aku jawab:

Tidak ada pertentangan dalam hal ini. Karena pertentangan (mukhālafah) hanya terjadi jika ada perintah yang ditinggalkan atau larangan yang dilanggar. Sedangkan Nabi ﷺ membatasi jumlah itu bukan karena melarang adanya penambahan rakaat, atau karena tidak menyukainya. Benar, mengikuti jumlah sebelas rakaat memang lebih utama jika kita benar-benar yakin bahwa beliau tidak pernah menambahnya sepanjang hidupnya, tidak pernah memberi isyarat tentang penambahan, dan tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya menambahnya. Namun, hal ini tidak mungkin, karena para sahabat justru sepakat menambah jumlah rakaat dalam salat tarawih.


وإن لم نسلم اتفاق الصحابة، فاتفاق من بعدهم، وإجماع المسلمين في كل عصر حجة، ولم يكن الله ليجمع عباده على خطأ، ونحن لسنا على يقين من أنَّ النَّبِيَّ ﷺ لم يزد على ذلك، وعائشة لم تكن معه في تلك الليالي التي صلى بالناس في المسجد فيها ، فكيف انضبط لها عدد صلاته؟


Dan jika kita tidak bisa memastikan bahwa para sahabat sepakat atas jumlah tertentu, maka kesepakatan generasi setelah mereka serta ijma’ umat Islam di setiap zaman adalah hujjah (dalil kuat).


Allah tidak mungkin membiarkan umat-Nya bersepakat dalam kesalahan.


Selain itu, kita juga tidak memiliki kepastian bahwa Nabi ﷺ tidak pernah menambah dari jumlah sebelas rakaat. Aisyah tidak selalu bersama Nabi ﷺ di setiap malam saat beliau mengimami para sahabat di masjid. Bagaimana mungkin ia bisa memastikan jumlah rakaat tersebut secara pasti?


ولحديثها المذكور محامل :

أحدها : أن الغالب من أحواله ذلك .

الثاني : أن يكون مرادها الوتر الذي كان يصليه بعد قيامه من النوم،

Hadis Sayyidah Aisyah ini bisa dipahami dalam beberapa kemungkinan:

(1) Bahwa yang paling sering beliau lakukan adalah sebelas rakaat, tetapi bukan berarti beliau tidak pernah menambahnya.

(2) Yang dimaksud Sayyidah Aisyah adalah salat witir yang Nabi ﷺ kerjakan setelah bangun dari tidur.


~Bersambung~

Lanjutan Penjelasan Hadits Riwayat Sayyidah Aisyah Vs Riwayat-riwayat yang lain

 

ولا أعني بالخلاف في ذلك، أنَّ مِنَ العلماء من جعلها إحدى عشرة بعد أن استقرت عشرين في زمن عمر، وإنما أشرت إلى الفعل الأول في زمن عمر، على ما تقدم في اختلاف الرواية فيه، وإلى ما نقل عن مالك أنه قال في مختصر ما ليس في المختصر : الذي يأخذ بنفسي في ذلك، الذي جمع عليه عمر الناس، إحدى عشرة ركعة بالوتر، وهي صلاة النبي ، وإحدى عشرة من ثلاث عشرة قريب (۱) ، قال (۲) اللخمي من المالكية .


Dan yang saya maksud dengan perbedaan dalam hal ini bukanlah bahwa ada di antara para ulama yang menjadikannya sebelas rakaat setelah jumlahnya tetap dua puluh (rakaat) pada masa Umar. Akan tetapi, saya merujuk pada praktik awal di masa Umar, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya mengenai perbedaan riwayat tentang hal itu, serta pada apa yang dinukil dari Imam Malik bahwa beliau berkata dalam Mukhtashar Ma Laysa fi al-Mukhtashar: "Yang aku pegang dalam hal ini adalah apa yang Umar kumpulkan orang-orang atasnya, yaitu sebelas rakaat dengan witir, dan itulah shalat Nabi. Sebelas rakaat tidak jauh dari tiga belas." Demikian pendapat Al-Lakhmi dari mazhab Maliki.


والذي عليه الناس اليوم مذهب الشافعي وأهل العراق.

وذكر ابن حبيب عن عمر أنه [١/٤٦] كان أمر أن يقام في رمضان بإحدى عشرة، ثم رجع إلى ثلاث وعشرين (۳).


Sementara itu, mazhab yang diikuti oleh orang-orang hari ini adalah mazhab Syafi'i dan penduduk Irak.


Sedangkan, Ibnu Habib meriwayatkan dari Umar bahwa beliau awalnya memerintahkan agar shalat di bulan Ramadan dilakukan dengan sebelas rakaat, kemudian beliau kembali kepada jumlah dua puluh tiga rakaat."


قلت : وكذلك هو عمل السلف، وهو رواية يزيد بن رومان كما تقدم في الموطأ» ويزيد بن رومان لم يدرك زمان عمر ، لكنه عالم كبير، واعتضد برواية السائب بن يزيد عن عمر في عشرين، وقد تقدم أنها صحيحة، وبعمل السلف.


Komentarku:

Demikian pula itulah amalan para salaf, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yazid bin Ruman, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dalam Al-Muwaththa'. Yazid bin Ruman sendiri tidak sempat hidup pada zaman Umar, namun ia adalah seorang ulama besar. Riwayatnya diperkuat dengan riwayat As-Sa'ib bin Yazid dari Umar mengenai dua puluh rakaat, yang telah disebutkan sebelumnya bahwa riwayat tersebut sahih, serta diperkuat pula dengan amalan para salaf.


وروى أبو بكر بن أبي شيبة ، ثنا وكيع عن مالك بن أنس، عن يحيى بن سعيد : «أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَابِ الله [أَمَرَ رَجُلاً أَنْ يُصَلِّيَ بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً (٥) ، هذا مرسل كمرسل يزيد بن رومان ويحيى بن سعيد عالم كبير أيضاً .


Abu Bakr bin Abi Syaibah meriwayatkan, dari Waki', dari Malik bin Anas, dari Yahya bin Sa'id:


"Bahwa Umar bin Khattab memerintahkan seseorang untuk mengimami mereka dengan dua puluh rakaat."


Riwayat ini berstatus mursal, sebagaimana riwayat mursal Yazid bin Ruman. Yahya bin Sa'id juga merupakan seorang ulama besar.


أخبرنا بهذا عن يحيى بن سعيد، أبو البقاء، صالح بن مختار ()، قراءة عليه وأنا أسمع، أنا أبو العباس أحمد بن عبد الدائم بن نعمة المقدسي (7)، قراءة عليه وأنا أسمع، أنا أبو الفرج، يحيى بن محمود بن سعد الثقفي (١) ، قراءة عليه وأنا أسمع، أنا الحافظ أبو القاسم، إسماعيل بن محمد بن الفضل التيمي (٢) الأصبهاني (۳) ، أنا أحمد بن علي بن خلف (٤)، أنا حمزة بن عبد العزيز المهلبي (٥) ، أنا أبو القاسم عبيد الله بن إبراهيم بن بالويه (٦)، أبنا أبو زكريا، يحيى بن محمد بن يحيى (٧) ، ثنا أبو بكر ابن أبي شيبة، ثنا وكيع، عن مالك بن أنس، عن يحيى بن سعيد فذكره.


Riwayat ini disampaikan kepada kami dari Yahya bin Sa‘id oleh Abu al-Baqa’ Shalih bin Mukhtar—dibacakan di hadapannya sementara aku mendengar—dari Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Da’im bin Ni‘mah al-Maqdisi—dibacakan di hadapannya sementara aku mendengar—dari Abu al-Faraj Yahya bin Mahmud bin Sa‘d al-Tsaqafi—dibacakan di hadapannya sementara aku mendengar—dari al-Hafizh Abu al-Qasim Isma‘il bin Muhammad bin al-Fadl al-Taimi al-Asbahani—dari Ahmad bin ‘Ali bin Khalf—dari Hamzah bin ‘Abd al-‘Aziz al-Mahlabi—dari Abu al-Qasim ‘Ubaidullah bin Ibrahim bin Baluwaih—dari Abu Zakariya Yahya bin Muhammad bin Yahya—dari Abu Bakr bin Abi Shaybah—dari Waki‘—dari Malik bin Anas—dari Yahya bin Sa‘id, lalu ia menyebutkan riwayat tersebut.


وبالإسناد إلى وكيع، عن حسن بن صالح، عن عمرو بن قيس، عن أبي الحسناء: «أَنَّ عَلِيَّاً له أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةٌ ) .


Dan dengan sanad yang bersambung hingga Waki‘, dari Hasan bin Shalih, dari ‘Amr bin Qais, dari Abu al-Hasna’:


"Bahwa Ali memerintahkan seseorang untuk mengimami mereka dalam shalat di bulan Ramadan sebanyak dua puluh rakaat."


وبالإسناد الأول إلى ابن أبي شيبة، ثنا حميد بن عبد الرحمن، عن حسن يعني بن صالح ، عن عبد العزيز بن رفيع قال : «كَانَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ له يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً (1) .


Dan dengan sanad yang sama hingga Ibnu Abi Syaibah, dari Hamid bin Abdurrahman, dari Hasan—yaitu Ibn Shalih—dari Abdul Aziz bin Rafi‘, ia berkata:


"Ubay bin Ka‘b biasa mengimami orang-orang dalam shalat di bulan Ramadan dengan dua puluh rakaat."


وبه إلى وكيع، عن نافع قال : «كَانَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِين (۲) (۳) .


Dan dengan sanad yang sama hingga Waki‘, dari Nafi‘, ia berkata:


"Ibnu Abi Mulaykah biasa mengimami kami dalam shalat di bulan Ramadan dengan dua puluh rakaat."


وروى ابن أبي شيبة في مصنفه»، ثنا وكيع، عن سفيان، عن أبي إسحاق، عن عبد الله بن قيس، عن شُتَيرِ بنِ شَكَلٍ : أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالوِتْرَ (٤) .


Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al-Mushannaf, dari Waki‘, dari Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Abdullah bin Qais, dari Shutayr bin Shakal:


"Bahwa ia biasa shalat di bulan Ramadan dengan dua puluh rakaat, ditambah witir."


وعن غندر، عن شعبة، عن خلف عن ربيع - وأثنى عليه خيراً ـ، عن أبي البَحْتَرِي : «أَنَّهُ يُصَلِّي خَمْسَ تَرْوِيحَاتٍ فِي رَمَضَانَ، وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ (٥) .


Dan dari Ghundar, dari Syu‘bah, dari Khalf, dari Rabi‘—dan ia memujinya dengan kebaikan—dari Abu al-Bakhtari:


"Bahwa ia biasa shalat lima tarwihat (yaitu dua puluh rakaat) di bulan Ramadan, dan berwitir dengan tiga rakaat."


وعن ابن نمير، عن عبد الملك، عن عطاء قال : «أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ (٦) يُصَلُّونَ ثَلَاثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةٌ بِالوِتْرِ) (7) .


Dan dari Ibnu Numayr, dari Abdul Malik, dari ‘Atha’, ia berkata:


"Aku mendapati orang-orang shalat sebanyak dua puluh tiga rakaat dengan witir."


وعن الفضل بن دكين عن سعيد بن أبي عبيد : أَنَّ عَلِيَّ بْنَ رَبِيعَةَ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ فِي رَمَضَانَ خَمْسَ تَرْوِيْحَاتٍ، وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ ) .


Dan dari Al-Fadl bin Dukayn, dari Sa‘id bin Abi ‘Ubayd:


"Bahwa Ali bin Rabi‘ah biasa mengimami mereka dalam shalat di bulan Ramadan dengan lima tarwihat (yaitu dua puluh rakaat) dan berwitir dengan tiga rakaat."


وروى سعيد بن منصور في مصنفه»، عن هشيم، أنا يونس بن عبيد، قال : شَهِدْتُ النَّاسَ بِالبَصْرَةِ قَبْلَ فِتْنَةِ ابْنِ الْأَشْعَثِ، [٤٦ / ب] وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ - صَاحِبِ رَسُولَ الله ﷺ - يَؤُمُّهُمْ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، وَسَعِيدُ بْنُ أَبِي الحَسَنِ، وَعَمْرُانُ العَبْدِيُّ، فَكَانُوا يُصَلُّونَ خَمْسَ تَرْوِيْحَاتٍ، وَكَانُوا لَا يَقْنُتُونَ (١) إِلَّا فِي النِّصْفِ الثَّانِي، وَكَانُوا يَخْتِمُونَ القُرْآنَ مَرَّتَيْنِ (۲) ، قوله : يَخْتِمُونَ القُرْآنَ مَرَّتَيْنِ»، يعني في الشهر .


Sa‘id bin Mansur meriwayatkan dalam Al-Mushannaf, dari Hushaym, dari Yunus bin ‘Ubayd, ia berkata:


"Aku menyaksikan orang-orang di Basrah sebelum fitnah Ibnu al-Ash‘ath, ketika Abdurrahman bin Abi Bakrah—sahabat Rasulullah ﷺ—mengimami mereka dalam shalat di bulan Ramadan, bersama Sa‘id bin Abi al-Hasan dan ‘Imran al-‘Abdi. Mereka biasa shalat lima tarwihat (yaitu dua puluh rakaat), dan mereka tidak berqunut kecuali di paruh kedua. Mereka juga biasa mengkhatamkan Al-Qur’an dua kali."


Maksud dari "mengkhatamkan Al-Qur’an dua kali" adalah dalam satu bulan Ramadan.


وروى سعيد بن منصور أيضاً، عن أبي معاوية، ثنا حجاج، عن أبي إسحاق، عن الحارث : «أَنَّهُ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِاللَّيْلِ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً، وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ، وَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ (۳)، وكذا رواه ابن أبي شيبة.


Dan Sa‘id bin Mansur juga meriwayatkan, dari Abu Ma‘awiyah, dari Hajjaj, dari Abu Ishaq, dari al-Harits:


"Bahwa ia biasa mengimami kaumnya di bulan Ramadan pada malam hari dengan dua puluh rakaat, berwitir dengan tiga rakaat, dan berqunut sebelum ruku‘."


Riwayat ini juga sama seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah.


فانظر هذه الآثار العظيمة، كلها على عشرين، مع الرواية الصحيحة عن السائب بن يزيد .


Oleh karena itu, perhatikanlah bahwa semua riwayat agung ini menunjukkan jumlah dua puluh rakaat, sejalan dengan riwayat yang sahih dari As-Sa'ib bin Yazid.


فالرواية عن السائب إذا صحت :


. إما مرجوحة؛ لكثرة الرواة بخلافها .


. وإما محمولة على ما قاله ابن حبيب أنها كانت في أول الأمر، ثم ترجع إلى ثلاث وعشرين، فهذا هو الذي استقر عليه الأمر .


Jika riwayat dari As-Sa'ib bin Yazid sahih, maka:


Bisa dianggap lemah (marjuh) karena banyaknya para perawi yang menyebutkan riwayat yang berbeda.


Atau bisa ditafsirkan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Habib bahwa riwayat tersebut berlaku pada awalnya, kemudian jumlah rakaat kembali menjadi dua puluh tiga, dan inilah yang akhirnya menjadi amalan yang tetap.


وقول مالك في مختصر ما ليس في المختصر : الذي يأخذ بنفسي»، إلى آخره، ليس نفياً للثلاث والعشرين، وإنَّما قَصَد: الذي جمع عليه عُمَرُ، كما دل عليه أول كلامه، وعبر عنه بإحدى عشرة؛ لأنها إحدى الروايتين وقَصَد بجملة كلامه إلى استكراه ما نشأ عليه فوجده بالمدينة من التسع والثلاثين، وقال: «لا أدري من أحدث هذا الركوع الكثير»، ومع ذلك أخذ به ونهى عن تركه لأنه وجد الناس عليه .


Sedangkan pendapat Imam Malik dalam Mukhtasar Ma Laysa fi al-Mukhtasar: "Yang aku pegang dalam hal ini..." dan seterusnya, bukanlah penolakan terhadap jumlah dua puluh tiga rakaat, tetapi yang dimaksud adalah jumlah yang dikumpulkan oleh Umar, sebagaimana yang dijelaskan dalam awal perkataannya. Ia menyebutkan sebelas rakaat karena itu adalah salah satu dari dua riwayat. Dengan keseluruhan pernyataannya, ia bermaksud mengkritik apa yang ia temui di Madinah, yaitu amalan 39 rakaat, dan berkata: "Aku tidak tahu siapa yang memulai banyaknya ruku' ini." Namun demikian, ia tetap mengikuti dan melarang meninggalkannya karena ia melihat bahwa itulah amalan yang dilakukan oleh banyak orang.


أما الثلاث والعشرون - مع العلم بأنها عن عمر - فمعاذ الله أن يرغب عنها مالك، أو أن يأخذ بنفسه غيرها، وهو من أشد الناس اتباعاً لعمر . فإذا رأينا شخصاً في هذا الزمان أخذ بإحدى عشرة في حق نفسه، لم تنكر عليه في فعله ؛ لأن ذلك من النوافل، من شاء زاد ومن شاء نقص أو ترك، لكنا نحذره من الرغبة عما فعله عمر أو اعتقاد أنه ليس من السُّنَّة ؛ لأنَّ في ذلك إزراء عليه وعلى سائر الصحابة، وعلى السلف والخلف . 


Adapun dua puluh tiga rakaat—yang diketahui bahwa itu berasal dari Sidna Umar—maka tidak mungkin bagi Imam Malik untuk menolaknya atau berpegang pada pendapat yang berbeda, karena beliau adalah salah seorang yang paling kuat mengikuti Umar. Jika kita melihat seseorang di zaman ini melaksanakan sebelas rakaat untuk dirinya sendiri, maka kita tidak akan mengingkari perbuatannya, karena itu termasuk dalam kategori sunnah, yang mana seseorang boleh menambah, mengurangi, atau meninggalkan sesuai kehendaknya. Namun, kita harus memperingatkan orang tersebut untuk tidak meninggalkan apa yang dilakukan oleh Umar atau berkeyakinan bahwa itu bukan bagian dari sunnah, karena hal tersebut akan merendahkan Umar, para sahabat, serta para salaf dan khalaf.


وأما إذا أراد شخص أن يأخذ بذلك في المساجد العامة، ويغير ما عليه العمل من ثلاث وعشرين إلى إحدى عشرة منعناه وأخذنا على يديه، ونسبناه إلى الجهل بآثار السلف والبدعة لمجانبته سنة الخلفاء الراشدين .


Adapun jika seseorang ingin melaksanakan hal tersebut di masjid-masjid umum, dan mengganti apa yang telah menjadi amalan (shalat tarawih + witir) dua puluh tiga rakaat menjadi sebelas rakaat, maka kami akan melarangnya dan menghentikan tindakannya. Kami akan menganggapnya sebagai orang yang tidak mengetahui jejak-jejak salaf dan sebagai pengikut bid'ah karena menjauhi sunnah Khulafaur Rasyidin.


وأنا أعذر من فتح عينيه ولم يسمع إلا حديث عائشة : «أَنَّهُ ﷺ مَا زَادَ عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ، » إذا استشكل ما عليه الناس إذا طلب له دليلاً، أما بعد سماع هذه الآثار والعلم بأن ذلك شعار [١/٤٧] جميع الأمصار في جميع الأعصار، فلا عذر.


Aku bisa memaklumi orang yang membuka kedua matanya dan hanya mendengar hadits Aisyah: "Bahwa Rasulullah ﷺ tidak menambah lebih dari sebelas rakaat," jika ia merasa musykil/bingung dengan amalan yang dilakukan oleh orang banyak dan mencari dalil untuk itu. Namun, setelah mendengar semua riwayat ini dan mengetahui bahwa amalan tersebut adalah syiar yang diterapkan lintas kota dan masa, maka tidak ada alasan lagi untuk mengingkarinya.