Sabtu, 10 Desember 2022

HUKUM BELAJAR DAN MEMAHAMI MASALAH HAID

Referensi kitab tentang hukum belajar masalah haid.


وَيَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَتَعَلَّمَ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ وَالْإِسْتِحَاضَةِ فَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا عَالِمًا لَزِمَهُ تَعْلِيْمُهَا وَإِلَّا فَلَهَا الْخُرُوْجُ لِسُؤَالِ الْعُلَمَاءِ بَلْ يَجِبُ عَلَيْهَا وَلَيْسَ لَهُ مَنْعُهَا إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ هُوَ وَيُخْبِرُهَا فَتَسْتَغْنِيْ بِذَلِكَ.

Artinya: Hukumnya wajib bagi seorang wanita akan mengaji sesuatu yang dibutuhkan dari hukum-hukum haid, nifas dan istihadlat. Apabila suaminya pintar, maka wajib mengajar istrinya, dan apabila suaminya tidak pintar, maka boleh, bahkan wajib bagi istrinya keluar dari rumahnya untuk keperluan bertanya kepada ulama. Dan hukumnya haram bagi suami yang melarang istrinya keluar dari rumahnya untuk keperluan itu, kecuali suaminya akan bertanya kepada ulama, kemudian mengajarkan hukum-hukum itu kepada istrinya, sehingga istrinya itu tidak perlu lagi keluar rumah”. (Hasyiyah Al-Bajuri, 1/113).


BAB HAID


Definisi Haid


Haid menurut bahasa artinya ialah mengalir. Adapun menurut istilah syara’ sebagaimana telah dijelaskan dalam Fathul Qarib, yang mana memiliki ciri-ciri berwarna merah semu hitam menghanguskan.


فَالْحَيْضُ هُوَ) اَلدَّمُ (الْخَارِجُ) فِيْ سِنِّ الْحَيْضِ، وَهُوَ تِسْعُ سِنِيْنَ فَأَكْثَرُ (مِنْ فَرْجِ الْمَرْأَةِ عَلَى سَبِيْلِ الصِّحَّةِ)، أَيْ لَا لِعِلَّةٍ، بَلْ لِلْجِبِلَّةِ (مِنْ غَيْرِ سَبَبِ الْوِلَادَةِ).

Artinya: Haid adalah darah yang keluar ketika sudah masanya haid, yakni sembilan tahun atau lebih [dari kemaluan seorang wanita dalam kondisi sehat], yang bukan karena darah penyakit melainkan karena kodrati [di mana tidak disebabkan karena melahirkan. (Fathul Qarib: 10 )

Ukuran Masa Seputar Haidh


Penuturan memadai berkaitan hal ini disebutkan dalam Fathul Qarib:


(وَأَقَلُّ الْحَيْضِ) زَمَنًا (يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ) أَيْ مِقْدَارُ ذَلِكَ وهو أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُوْنَ سَاعَةً على الْإِتِّصَالِ الْمُعْتَادِ في الحَيْضِ (وَأَكْثَرُهُ خَمْسَةَ عَشَرُ يَوْمُا) بِلَيَالِهَا, فَإِنْ زَادَ عليها فهو إِسْتِحَاضَةٌ, (وَغاَلٍبُهُ سِتٌ أَوْ سَبْعُ) وَالْمُعْتَمَدُ في ذلك الإِسْتِقْرَاءُ.

(وَأَقَلُّ الطُّهْرِ) الْفَاصِلِ (بَيْنَ الْحَيْضَتَيْنِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا) وَاحْتَرَزَ الْمُصَنَّفُ بقوله بَينْ الْحَيْضَتَيْنِ عن الفاصِلِ بَيْنَ حَيْضٍ وَنَِفَاسٍ إذَِا قُلْنَا بِالأصحِّ إنَّ الْحَامِلَ تَحِيْضُ فَإِنَّهُ يَجْوْزُ أَنْ يَكُوْنَ دُو}نهُ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمَا, (وَلاَ حَدَّ لِأَكْثَرِهِ) اَيِ الطاهِرْ فَقَدْ تَمَكَّثَ الْمَرْأَةُ دَهْرَا بِلاَ حَيْضٍ. أَمَّا غَالِبُ الطُّهْرِ فَيُعْتَبَرُ بِغَالِبِ الْحَيْض] فَإنْ كَان الْحَيْضُ سِتًّا فَالطَّهْرُ أَرْبَعُ وَعِشْرُوْنَ يَوْمَا, أوْ كَانَ الْحَيْضُ سَبْعًا فَالطَّهْرُ ثَلاَثَةٌ وَعِشْرُوْن يَوْمُا.

"(Paling sedikitnya haidh) dari segi waktunya (adalah sehari semalam) yakni ukuran paling sedikit haidh adalah dua puluh empat jam secara terus-menerus sewajarnya. (Paling banyaknya adalah lima belas hari) beserta malamnya. Bila lebih dari lima belas hari maka kelebihannya disebut dengan darah istihadhah. (Sedangkan yang umum terjadi adalah haidh selama enam atau tujuh hari). Landasan dari ukuran tadi diperoleh dari penelitian lapangan.


(Paling sedikitnya masa suci) yang memisah (antara dua siklus haidh adalah lima belas hari). Ucapan mushannif 'antara dua siklus haidh' sebagai antisipasi dari pemisah antara haidh dan nifas, ketika kita mengikuti qaul ashah bahwa wanita hamil mungkin haidh, sebab dimungkinkan masa suci antara haidh dan nifas kurang dari lima belas hari. (Tidak ada ketentuan mengenai ukuran paling lamanya masa suci) kadang dijumpai wanita yang tidak pernah haidh semasa hidupnya. Sedangkan masa suci yang umum terjadi adalah diukur dari umumnya masa haidh yang dialami. Bila haidhnya enam hari maka masa sucinya dua puluh empat hari, atau haidhnya tujuh hari maka masa sucinya berarti dua puluh tiga hari." (Fathul Qarib: 11)

و الله اعلم بالصواب


Minggu, 30 Oktober 2022

HUKUM MENDEHEM DALAM SEMBAHYANG


Oleh: Tgk Dailami, M.Pd

Untuk menjawab pertanyaan apa mendehem dapat membatalkan sembahyang, berikut ini kita kaji pembahasan para ulama tentang mendehem dalam sembahyang:

1. Syekh Zakariyya Al-Anshari mengatakan:

ولا بتنحنح لتعذر ركن قولي ) لا لتعذر غيره كجهر ؛ لأنه ليس بواجب فلا ضرورة إلى التنحنح له

Artinya, “Dan (tidak batal) disebabkan berdehem karena sulitnya mengucapkan rukun qauli, bukan sulitnya bacaan lainnya, seperti anjuran membaca keras, karena hal tersebut tidak wajib, maka tidak ada keterdesakan untuk berdehem,”
(Syekh Zakariyya al-Anshari, Fathul Wahhab Hamisy Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Wahhab, juz I, halaman 245)

2. Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menegaskan:

والظاهر أن المراد ظهر بكل مرة من التنحنح ونحوه حرفان فأكثر لأن الصوت الغفل لا عبرة به كما صرح بذلك وفي كلامه ولو نهق كالحمار أو صهل كالفرس أو حاكى شيئا من الطيور ولم يظهر من ذلك حرف مفهم أو حرفان لم تبطل صلاته وإلا بطلت.

Artinya, “ Dan yang jelas bahwa maksud nampak dengan tiap kali dari berdehem dan semisalnya adalah menampakkan dua huruf atau lebih. Karena suara yang tidak dikenal tidak dianggap sebagaimana dijelaskan oleh sang pengarang. Dan dalam statemennya, bila mushalli bersuara seperti suara keledai atau meringkik seperti suara kuda atau menceritakan satu dari beberapa suara burung dan tidak memperlihatkan satu huruf yang memahamkan, atau dua huruf, maka tidak batal shalatnya. Bila tidak demikian, maka batal,”
( Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘ala Syarhi Manhajit Thullab, juz I, halaman 245).


3. Imam Nawawi menyebutkan:

وأما التنحنح فحاصل المنقول فيه ثلاثة أوجه الصحيح الذى قطع به المصنف والاكثرون ان بان منه حرفان بطلت صلاته والا فلا والثانى لا تبطل وان بان حرفان قال الرافعي وحكى هذا عن نص الشافعي والثالث ان كان فمه مطبقا لم تبطل مطلقا والا فان بان حرفان بطلت والا فلا وبهذا قطع المتولي وحيث ابطلنا بالتنحنح فهو ان كان مختارا بلا حاجة فان كان مغلوبا لم تبطل قطعاولو تعذرت قراءة الفاتحة الا بالتنحنح فيتنحنح ولا يضره لانه معذور وان أمكنته القراءة وتعذر الجهر الا بالتنحنح فليس بعذر علي أصح الوجهين لانه ليس بواجب ولو تنحنح امامه وظهر منه حرفان فوجهان حكاهما القاضى حسين والمتولي والبغوي وغيرهم أحدهما يلزمه مفارقته لانه فعل ما يبطل الصلاة ظاهرا واصحهما ان له الدوام على متابعته لان الاصل بقاء صلاته والظاهر أنه معذور والله اعلم

Artinya: Adapun dalam masalah berdehem dalam sembahyang didalamnya terdapat tiga pendapat :

1.Menurut pendapat yang shahih yang diputuskan oleh Imam Nawawi dan kebanyakan ulama fiqih, bila sampai keluar dari dehemnya dua huruf maka batal, bila tidak keluar tidak batal sembahyang nya.

2.Menurut imam Rafi'i dengan menghikayahkan bahwa ini pendapat as-Syaafi’i “Tidak batal meskipun keluar darinya dua huruf”

3.Pendapat ketiga “Bila saat berdehem, bibirnya tertutup maka tidak batal secara mutlak (baik keluar dua huruf atau tidak) bila bibirnya terbuka bila sampai keluar dari dehemnya dua huruf maka batal, bila tidak keluar tidak batal” pendapat ini dipilih oleh al-Mutawally.

Berdehem dengan ketentuan hukum diatas bila memang bersifat ikhtiyari, maksudnya ikhtiyari adalah seseorang masih dapat menguasai diri untuk tidak berdehem.
sedang bila berdehem yang bersifat ‘tidak dapat ia kuasai’ artinya dalam keadaan dharurat maka tidak membatalkan shalat secara mutlak karena uzur.

• Bila seseorang berhalangan membaca surat fatihah kecuali dengan berdehem maka dehemnya tidak membahayakan (membatalkan) shalatnya karena hal tersebut tergolong udzur baginya.

• Bila memungkinkan baginya membaca fatihah hanya saja tidak dapat mengeraskan bacaannya kecuali saat disertai dehem maka bukan tergolong udzur baginya menurut yang paling shahih dari dua pendapat karena mengeraskan bacaan dalam shalat bukan hal yang wajib.

• Bila seorang makmum mendengar imam shalatnya berdehem hingga nampak dua huruf didalamnya, menurut Iman Qadhi Husen, Imam Mutawali, imam Baghwi dan lainnya dalam hal ini terdapat dua pendapat :

Wajib mufaaraqah (memisahkan diri dari imam) karena imamnya menjalankan hal-hal yang dapat membatalkan shalat secara lahiriyahnya. Menurut pendapat yang paling shahih, tetap mengikuti imamnya karena kaidah asal “shalat imamnya tetap dihukumi sah, dan dhahirnya dehemnya udzur baginya”.
(Al-Majmu’ ala Syarah al-Muhadzdzab IV/79-80 )

و الله اعلم بالصواب

Minggu, 23 Oktober 2022

NAJIS BERCAMPUR BAHAN BANGUNAN


Jika ada orang bertanya, misalnya, jika para pekerja bangunan menggunakan air yang bernajis, seperti air got, atau pasir yang bercampur taik binatang sekalipun taik anjing yang sudah bercampur dalam pasir dan diaduk dengan semen menjadi bahan bangunan apalagi bangunan untuk lantai masjid, bagaimana hukumnya??

Menjawab pertanyaan tentang bahan bangunan bercampur najis apalagi bangunan masjid, kita bisa merujuk beberapa keterangan dalam kitab Fiqh Mazhab Syafii sebagai berikut”

1. Dalam Kitab Nihayatuz Zain karya Syekh Nawawi Banten dihalaman 8 disebutkan:

لو بنى المسجد بالاجر المعجون بالزبل و فرشت ارض المسجد به عفي عنه فتجوز الصلاة عليه و المشى عليه و لو مع رطوبة الرجل

Artinya: Apabila sebuah masjid dibangun dengan batu merah yang bahan dasarnya bercampur dengan kotoran hewan, kemudian lantai masjid dipasangi dengan batu tersebut, maka dimaafkan dan diperbolehkan melakukan shalat dan berjalan di atasnya meskipun kaki dalam keadaan basah.

2. Dalam Kitab Hasyiyah al-Jamal karya Syekh Sulaiman bin Jamal Juz 1 halaman 555:

وهل يجوز بيع الطوب المعجون بالزبل إذا أحرق وبناء المساجد به وفرش أرضها به ويصلى عليه بلا حائل وإذا اتصل به شيء من بدن المصلي أو ملبوسه في شيء من صلاته هل تصح صلاته أو لا ؟؟؟
فأجاب بما صورته الحمد لله نعم الخزف وهو الذي يؤخذ من الطين ويضاف إليه السرجين مما عمت به البلوى فيحكم بطهارته وطهارة ما وضع فيه من ماء أو مائع لأن المشقة تجلب التيسير. وأما الآجر المعجون بالسرجين ونحوه فيجوز بيعه وبناء المساجد به وفرش أرضها به وتصح الصلاة عليه بلا حائل

Artinya: Bolehkah menjual batu bata yang diaduk dengan kotoran binatang bila dibakar, digunakan membangun masjid, dijadikan lantai masjid, dilakukan shalat di atasnya dengan tanpa penghalang semacam sajadah, bila bersentuhan dengan badan atau pakaian orang shalat apakah sah shalatnya?

Maka menjawab ia: Tembikar yang dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran saat membuatnya maka dihukumi suci. Sedang batu bata yang dicampur dengan kotoran hewan dan sejenisnya, maka boleh menjualnya dan boleh pula membangun masjid dengannya, menjadikannya alas masjid serta sah shalat di atasnya meski tanpa memakai kain penghalang. 

3. Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyid Abdurrahman Ba’lawi Halaman 17:

وقال القاضي بطهور المصبوح بالنجس أي مطلقا

Al-Qadli ( Qadhi Husen) berpendapat tentang sucinya barang yang dicetak bercampur najis secara mutlaq.

Dari beberapa keterangan dalam kitab-kitab mazhab Imam Syafii di atas, baik dalam kitab matan, hasyiyah maupun kitab fatwa, semua sepakat bahwa bahan bangunan masjid yang berasal dari campuran benda najis tidak menjadikan bangunan itu najis. Ia tetap dihukumi suci, walaupun bangunan masjid..
Semoga dapat bermanfaat..

و الله اعلم بالصواب

Senin, 18 Juli 2022

TIDUR, BATALKAH WUDHUK?


Satu hal yang sering dialami para Jamaah Jumat adalah tertidur saat khatib sedang berceramah, kalau tertidur pasti hilang kesadaran, dalam kondisi tidak sadar seperti ini apakah tidak batal wudhuknya? bukankah salah satu hal yang membatalkan wudhuk adalah hilang akal seperti tidur.

Untuk memudahkan kita khususnya pengikut mazhab Syafi’i untuk mengetahui dan memahami batal atau tidaknya wudhuk kita jika tertidur, salah seorang ulama kotemporer Mazhab Syafi’i bernama Habib Hasan bin Ahmad dalam kitab التقريرات السديدة فى المسائل المفيدة
merincikan syarat2nya.

شروط النوم الذي لا ينقض الوضوء أربعة:  أن يكون ممكنا مقعدته من الأرض بأن تكون مقعدته (فتحة الدبر) ملتصقة بالأرض بحيث لا يمكن خروج الريح.
أن يكون معتدل الخلقة أي ليس مفرطا في البدانة و لا في النحول 
أن سيتيقظ على الحالة التي نام عليها
أن لا يخبره عدل بخروج ريح منه أثناء نومه.

Syarat tidur yang tidak membatalkan wudhu ada empat:
1. Dia tertidur dalam keadaan tetap duduknya yang mana dubur nya menempel ke bumi sekira-kira tidak bisa keluar angin ( kentut )
2. Dia bertubuh sedang artinya dia tidak terlalu gemuk tidak pula tidak terlalu kurus.
3. Dia harus bangun dari tidurnya tersebut dalam keadaan posisi dia pertama kali tidur.
4. Tidak ada orang yang adil yang memberitahukan padanya bahwasanya dia ketika tidur tadi mengeluarkan angin kentut.
Kalau ada orang adil yang memberitahukannya maka dianggap batal wudhuknya.


Rabu, 29 Juni 2022

ALLAH TIDAK BERJISIM ( Memahami hadis tentang Dajjal dengan tepat )


Salah satu alasan orang mujassimah dalam mempropaganda orang awam bahwa Allah itu berjisim( bertubuh) adalah dengan memplesetkan makna sebuah hadis yang bercerita tentang ciri Dajjal. Salah satu redaksi Hadis tersebut berbunyi:

ما بَعَثَ اللَّهُ مِن نَبِيٍّ إلّا أنْذَرَ قَوْمَهُ الأعْوَرَ الكَذّابَ، إنَّهُ أعْوَرُ وإنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأعْوَرَ

"Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi kecuali dia memperingatkan kaumnya tentang si buta sebelah yang pembohong besar. Sesungguhnya dia buta sebelah dan Tuhanmu tidaklah buta sebelah". (HR. Bukhari)

Dalam versi riwayat lainnya disebutkan bahwa yang cacat adalah mata kanan si dajjal. Versi lainnya menyebutkan bahwa Nabi Muhammad menjelaskan cacat itu sambil menunjuk mata kanan beliau sebagai tanda bahwa mata kanan si dajjal yang buta.

Orang mujassimah di setiap masa sampai sekarang seolah kegirangan dengan hadis tersebut yang menurut mereka adalah bukti paling jelas bahwa Allah adalah jisim bermata dua dan kedua matanya sehat semua tidak picek (buta sebelah). Dajjal kan jisim buta sebelah, jadi ketika Nabi bersabda bahwa Allah tidak buta sebelah artinya Allah adalah jisim yang mempunyai dua mata dan dan keduanya berfungsi. Begitulah nalar sesat mereka menyimpulkan.

Meskipun seolah benar, pemahaman mereka sebenarnya sangat keliru dan hanya menunjukkan bahwa otak mereka betul-betul menyamakan Allah dengan makhluk, meskipun semua tidak mau mengakui telah menyamakan Allah dengan makhluk.

Pemikiran itu timbul karena dalam benak mereka Allah sama dengan manusia. Ketika kita mendengar bahwa si Fulan tidak buta sebelah, pikiran kita akan menyimpulkan bahwa kedua mata si Fulan sehat semua. Jumlah dua mata ini muncul karena kita tahu bahwa manusia bermata dua. Andai yang dibicarakan adalah hewan, maka kata "tidak buta sebelah" tidak menunjukkan berapa jumlah matanya sebab hewan ada yang bermata empat, sepuluh bahkan ada yang sangat banyak. Misalnya saya katakan bahwa Chiton itu tidak buta sebelah, maka berapa jumlah matanya yang tidak buta? Anda takkan bisa menjawabnya kecuali menghitungnya satu persatu.

Karena itu mereka yang menyatakan bahwa Allah mempunyai mata berjumlah dua ('ainaini) sejatinya sedang menyamakan Allah dengan manusia. Andai dia membuang pikiran itu dan menyadari bahwa Allah maha berbeda, maka kesimpulan itu takkan terpikirkan. Kata-kata saya ini berlaku pada siapa pun termasuk pada tokoh-tokoh besar yang lumrahnya kita sebut imam.

Perlu diketahui bahwa tidak ada ayat atau hadis yang menyebutkan "dua mata" bagi Allah dengan penyebutan angka dua. Semua tokoh yang menyebutkan angka dua ini berdasar kesimpulannya pribadi terhadap hadis Dajjal. Ini kesalahan soal menyimpulkan jumlah.

Soal kejisiman logikanya juga sama. Kata "tidak buta sebelah" adalah kata penafian. Yang bisa disimpulkan dari kebalikan kata itu tergantung objek yang dibahas. Bila objeknya jisim atau tubuh, maka berlaku kaidah jisim. Bila objeknya bukan jisim, maka tidak berlaku kaidah jisim.

Simak contoh berikut agar jelas:

Kalimat "Timbangan itu tidak berat sebelah" berbicara tentang jisim dan bobot dari neraca timbangan. Namun kalimat "Penilaianku tidak berat sebelah" sama sekali bukan soal jisim atau pun bobot, tapi soal keadilan. Kalimatnya sama tetapi bila objek yang dibicarakan berbeda maka kesimpulannya juga harus berbeda.

Dengan demikian ketika membaca kata "Allah tidak buta sebelah", pembaca yang berakidah tajsim akan langsung memberlakukan kesimpulan tajsim pada Allah. Sedangkan pembaca yang berakidah tanzih (Ahlussunnah wal Jamaah) sama sekali tidak akan sampai pada kesimpulan tersebut sebab baginya Allah berbeda mutlak dengan jisim. Berbeda jauh ketika ojbjek yang dibahas adalah jisim dan ketika objeknya Allah. Ketika yang dibahas adalah Allah, maknanya tak lebih dari sekedar Allah Maha Melihat dengan sempurna tanpa ada celah sedikit pun yang mengurangi sifat ke-Maha Melihat-an Allah.

Agar makin jelas, coba perhatikan contoh kalimat penegasian yang juga disebutkan dalam al-Qur'an berikut:
"Allah tidak mengantuk dan tidak tidur" . Ketika orang mujassimah membaca kalimat ini maka pikiran sesatnya akan menyimpulkan bahwa mata Allah selalu segar bugar dan tidak pernah lama terpejam seperti saat manusia tidur. Dia lah yang terlebih dahulu menyamakan Allah dengan manusia sehingga sampai pada kesimpulan semacam itu. Tetapi bila yang membaca kalimat itu adalah ahli tanzih (Ahlussunnah wal Jamaah), maka yang dia pahami dari itu tak lebih dari sekedar pengawasan Allah yang tidak mengenal jeda apalagi berhenti.

"Allah tidak beranak". Ketika orang mujassimah membaca kalimat ini, pikiran sesatnya mungkin saja akan menyimpulkan bahwa Allah mandul atau bahwa tidak pernah ada sosok yang dilahirkan dari kelaminnya. Maha Suci Allah dari pikiran yang super bodoh semacam ini. Ketika ahli tanzih membaca itu, maka pikirannya hanya akan sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terpisah dari Dzat Allah yang non-jisim itu. Sama sekali bukan soal mandul dan bukan soal kelamin sebab Allah tidak punya badan.

"Allah tidak dilahirkan". Ketika orang mujassimah membaca kalimat ini, otak mujassimnya bisa jadi akan bertanya-tanya jangan-jangan Allah ada karena berevolusi tanpa proses reproduksi? Maha Suci Allah dari pertanyaan yang super bodoh ini. Dia menyamakan Allah dengan jisim terlebih dahulu sehingga pertanyaan itu muncul. Bagi Ahlussunnah wal Jamaah, maknanya tidak lebih dari sekedar penegasan bahwa Allah itu qadim yang selalu ada tanpa didahului dengan ketiadaan dan tidak juga berasal dari entitas lain sebelumnya sebab memang tidak ada sesuatu pun sebelum Allah. Bahkan kata "sebelum Allah" pun sebenarnya salah.

Jadi, memahami kebalikan dari sebuah kalimat tidaklah sesederhana yang dipikirkan otak bodoh orang mujassimah. Perlu diketahui dengan jelas terlebih dahulu hakikat dari objek yang dibahas. Ketika yang dibahas adalah Allah yang maha berbeda dari segala isi semesta, maka jangan sampai pola pikirnya sama seperti saat membahas hal lain.

Kesimpulan Hadis tersebut membicarakan soal Dajjal yang dinyatakan tidak sama dengan Allah.
Pertanyaannya, selain soal buta sebelahnya mata, sama atau tidak antara Allah dan Dajjal? Para Mujassimah di sekitar kita takkan berani menjawab pertanyaan ini sebab takut divonis musyabbih (orang yang menyamakan Allah dengan makhluk). Tapi dalam pikirannya jelas bahwa selain soal buta sebelahnya mata semua sama antara keduanya sehingga mereka bangga sekali berdalil dengan hadis itu untuk menjisimkan Allah.

Bagi mereka, ciri yang membedakan Allah dengan Dajjal hanya soal buta sebelah sedangkan soal yang lain sama. Karena Dajjal bermata dua, maka Allah pun dianggap bermata dua. Karena Dajjal berjisim, maka Allah pun dianggap berjisim. Karena organ lainnya tidak disebut dengan ciri berbeda oleh Nabi, maka mereka berasumsi bahwa organ lainnya sama meskipun pasti diakhiri dengan embel-embel "kaifiyahnya berbeda dan tak usah ditanya". Ini pikiran sesat yang takut untuk mereka ungkapan terus terang. Maha Suci Allah dari kesimpulan super bodoh semacam ini.

Dalam pemahaman ahlussunnah wal jamaah yang berciri khas tanzih, Allah bukanlah jisim dan Dzatnya bukanlah susunan organ-organ. Saat itu Nabi Muhammad hanya ingin menekankan sebuah fakta sederhana bahwa Dajjal yang mengaku Tuhan itu menyembuhkan mata kanannya saja tidak bisa. Semua orang bisa melihat bahwa matanya buta sebelah kanan sehingga bagaimana mungkin yang seperti ini mengaku Tuhan? Ini saja inti yang ingin beliau sampaikan, tak perlu dibayangkan macam-macam seolah Nabi Muhammad sedang menetapkan organ mata bagi Allah. Parahnya, para mujassim terlalu banyak mengkhayal lalu khayalan fasid mereka itu dinisbatkan pada Rasulullah.

Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan..

و الله اعلم بالصواب

Minggu, 19 Juni 2022

ABU LHOK NIBONG TELAH BERPULANG KERAHMATULLAH


Dihari kepulangan beliau menghadap ke hadhirat ilahi rabbi hari ini tanggal 19 Juni 2022 di RSUZA Banda Aceh jam 07.30 maka marilah kita iringi kepulangan beliau dengan doa semoga Allah menempatkan beliau ditempat yang layak disisiNya.

Dan dengan kepergian beliau ada baiknya juga kita kembali mengenang kisah kehidupan dan perjuangan semasa beliau masih hidup.
Nama asli beliau adalah Teungku Muhammad Daud Ahmad, namun setelah menjadi seorang alim, beliau lebih dikenal dengan sebutan Abu Lhoknibong dengan dayahnya Darul Huda atau dikenal pula dengan Abu Lueng Angen. Dahulu, semasa masih belajar dan mengajar di Dayah Mudi Mesra Samalanga, guru besarnya Abon Samalanga memanggilnya dengan panggilan “Teungku di Simpang” karena beliau berasal dari Simpang Ulim.

Abu Daud Lhoknibong memulai pengembaraan ilmunya berguru kepada Teungku Abdurrani yang dikenal dengan sebutan Teungku di Aceh. Beliau belajar kepada Teungku Di Aceh selama tiga tahun, namun karena suasana Aceh ketika itu sedang bergolak, beberapa kali beliau harus mengungsi.

Tepatnya pada tahun 1960 Abu Lhoknibong melanjutkan belajarnya kepada seorang ulama yang merupakan murid dari Teungku Syekh Muda Waly al-Khalidi yang dikenal mencetak banyak para ulama yaitu Abon Samalanga.

Kehadiran Abu Daud di Dayah Mudi Mesra ketika itu bak gayung bersambut, dimana Abu Daud kemudian menjadi tangan kanan dan ajudan gurunya dalam banyak hal. Sekitar 11 tahun kebersamaan guru dan muridnya ini, kemudian Abon mengizinkan Abu Lhoknibong yang telah alim untuk mendirikan dayah baru yang kemudian dikenal dengan nama Dayah Darul Huda Lhoknibong.

Disebutkan dalam tiga tahun pertama dayah ini hanya memiliki belasan santri saja. Namun setelah Abon Samalanga menerapkan “sistem dapur umum”, maka banyak para santri yang pindah dari Dayah Mudi Mesra Samalanga ke dayah lainnya termasuk dayah yang banyak dituju adalah Darul Huda dan Dayah Malikussaleh Panton.

Barulah kemudian berdatangan banyak santri dari Aceh dan luar Aceh untuk belajar ke Dayah Darul Huda Lhoknibong. Sehingga tidak mengherankan jika Dayah Darul Huda kemudian berkembang begitu pesat, bahkan sekarang Dayah Darul Huda telah memiliki lebih dari 40 cabang lainnya yang berafiliasi sebagai lulusan Darul Huda Lhoknibong termasuk Dayah Bustanul Huda Julok yang dipimpin oleh Abu Muhammad Ali Paya Pasi juga memiliki kaitan dengan Dayah Abu Daud Lhoknibong.

Dengan penuh dedikasi dan ketulusan dalam memimpin dayah, maka Abu Daud telah mengorbit banyak para ulama yang terpandang dewasa ini sebut saja ketika beliau di Samalanga di antara muridnya adalah Abu MUDI Samalanga, Waled Nu Samalanga, Ayah Caleu dan umumnya para abu yang memimpin dayah lulusan Mudi Samalanga dipastikan pernah belajar dengan Abu Daud Lueng Angen.

Bahkan di Dayah Darul Huda juga banyak murid Abu Daud yang kemudian menjadi ulama terpandang di antaranya adalah Abi Ja’far Lueng Angen, Abu Muhammad Ali Paya Pasi dan para teungku yang bertebaran di seluruh Aceh. Adapun ulama yang meneruskan estafet Dayah Darul Huda adalah Abi Ja’far Lueng Angen. Selain dikenal sebagai guru besar Dayah Mudi Mesra dan tangan kanan Abon Samalanga, Abu Daud juga menguasai banyak disiplin ilmu keislaman, bahkan disebutkan beliau juga ahli dalam ilmu qira’at.

Tepatnya tahun 2016 setelah Abu melewati masa sakitnya yang agak lama, beliau kemudian membuat pertemuan dengan seluruh alumni Dayah Darul Huda, dimana hampir semua santrinya hadir ketika itu. Dalam video unggahan tersebut ada Abu Paya Pasi, Abu Abdullah Kruet Lintang dan para teungku lainnya yang telah menjadi ulama dan pimpinan dayah. Di saat itu Abu Lueng Angen berbicara dengan begitu semangat menyampaikan berbagai pesan keislaman dengan mengutip banyak ayat, hadis dan matan-matan kitab yang diucapkan dengan begitu fasih dan lancar.

Di akhir pidatonya Abu Daud memohon maaf kepada seluruh muridnya barangkali dulu ketika beliau mendidik mereka ada kekeliruan dalam ucapan maupun tindakannya. Itulah Abu Lueng Angen seorang ulama yang ‘alamah dan insaf.

Setelah pertemuan besar itu, Abu Lueng Angen lebih banyak diam dan jarang beliau berbicara ke publik, beliau lebih memilih mendoakan masyarakat Aceh dalam diamnya. Karena beliau adalah seorang yang mustajab doa.

Dulu tahun 1969 masyarakat di kawasan tempat tinggalnya dilanda oleh kemarau yang panjang namun saat beliau memimpin shalat istisqa’, maka di malam harinya turunlah hujan yang begitu lebat.

Sekarang Abu telah berpulang kerahmatullah dalam usia lebih dari 82 tahun, usia yang telah sepuh tentunya. Telah banyak kebaikan yang telah beliau persembahkan untuk masyarakatnya. Telah dihabiskan usia remaja dan mudanya untuk berkhidmah kepada gurunya, telah dipersembahkan untuk Islam akalnya yang cerdas, fisiknya yang gagah, hatinya yang bijaksana. Semoga Allah SWT menambah kemuliaan dan menempatkan Abu Daud Lhoknibong ditempat yang layak disisiNya..
Amiiinnn ya Allah ya Rabbal alamin..

Pirak Timu 19 Juni 2022


Sabtu, 18 Juni 2022

NADHAR ( BERFIKIR ) YANG DILUPAKAN.


Apa tanggapan kita jika seseorang yang memasuki sebuah rumah yang cantik megah, indah dan rapi susunan perabotnya, ketika ia masuk kedalam nya, duduk dan makan minum serta tidur  didalamnya, dan ia mempergunakan semua perabot yang tertata rapi yang ada di dalam nya tanpa ia mengenal siapa ypang punya rumah tersebut, dan seolah ia tidak perlu tahu siapa pemilik rumah, bahkan ia mengingkari pemilik rumah dan menganggap bahwa rumah itu tidak ada yang punya.
Terhadap orang begini tentu kita menduga ada dua kemungkinan, pertama orang tersebut tidak berakal atau gila, kedua orang tersebut memang berakal atau waras, kalau demikian tentu orang tersebut telah bersalah dan bisa dihukum dengan aturan yang berlaku.

Begitu juga dalam masalah aqidah, kita manusia yg mukallaf ( baligh ) diwajibkan untuk berfikir tentang alam ini sebagai dalil untuk mengokohkan keimanan kita kepada empunya alam ini, kewajiban ini sangat penting walau banyak dilupakan oleh kita manusia. 
Dan konsekuensinya ada 4 macam golongan manusia menurut Imam Haramain ( Kitab Ummu Barahin karangan Imam Muhammad Sanusi hal 56 )

1. Manusia yang hidup sesudah baligh atau15 tahun ke atas, dan dapat mempergunakan waktunya untuk berfikir tentang keadaan alam sehingga ia punya keyakinan kuat akan adanya Allah beserta segala sifat dan Kekuasaan Allah, selanjutnya manusia itupun beriman tentang Allah,maka manusia ini dapat disebut  sebagai orang yang beriman dan bermakrifat kepada Allah secara sempurna  sudah memenuhi makna dan maksud dari makrifat yaitu sebuah pengakuan yang kuat dan sesuai dengan yang sebenarnya yang disertai dengan dalil-dalil ( keterangan).

2. Manusia yang hidup sesudah baligh atau15 tahun ke atas, tapi tidak mempergunakan pikiran nya untuk berfikir tentang wujud, sifat dan perbuatan Allah sehingga pengakuan nya terhadap wujud Allah, sifat dan perbuatan Nya tidak kuat atau bimbang sampai ia pun meninggal, maka jumhur ulama berpendapat orang tersebut tidak bermakrifat samasekali. 
Akan tetapi jika imannya kuat sekalipun tidak mampu memberikan dalil maka terhadap sah imannya terdapat perbedaan pendapat ulama, sebagian ada yang mengatakan sah imannya dan sebagian mengatakan tidak sah karena ia termasuk golongan orang yang bertaqlid yang tidak memenuhi tuntutan syara' dalam masalah keimanan.

3. Manusia yang hidup sesudah baligh hanya beberapa saat saja, akan tetapi sempat mempergunakan pikiran nya untuk berpikir tentang masalah akidah dan ia pun meninggal, maka sepakat ulama mengatakan imannya sah sekalipun tidak sempurna. 

4. Manusia yang hidup sesudah baligh dan ada kesempatan untuk berpikir tentang masalah aqidah, akan tetapi kesempatan itu tidak dipergunakan untuk berfikir, malah pikiran nya dipergunakan untuk hal-hal lain hingga ia meninggal, maka tentang orang ini terjadi perbedaan pendapat ulama, ada yang mengatakan imannya sah, dan ada juga yang mengatakan tidak.

و الله اعلم باالصواب