Minggu, 30 Oktober 2022

HUKUM MENDEHEM DALAM SEMBAHYANG


Oleh: Tgk Dailami, M.Pd

Untuk menjawab pertanyaan apa mendehem dapat membatalkan sembahyang, berikut ini kita kaji pembahasan para ulama tentang mendehem dalam sembahyang:

1. Syekh Zakariyya Al-Anshari mengatakan:

ولا بتنحنح لتعذر ركن قولي ) لا لتعذر غيره كجهر ؛ لأنه ليس بواجب فلا ضرورة إلى التنحنح له

Artinya, “Dan (tidak batal) disebabkan berdehem karena sulitnya mengucapkan rukun qauli, bukan sulitnya bacaan lainnya, seperti anjuran membaca keras, karena hal tersebut tidak wajib, maka tidak ada keterdesakan untuk berdehem,”
(Syekh Zakariyya al-Anshari, Fathul Wahhab Hamisy Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Wahhab, juz I, halaman 245)

2. Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menegaskan:

والظاهر أن المراد ظهر بكل مرة من التنحنح ونحوه حرفان فأكثر لأن الصوت الغفل لا عبرة به كما صرح بذلك وفي كلامه ولو نهق كالحمار أو صهل كالفرس أو حاكى شيئا من الطيور ولم يظهر من ذلك حرف مفهم أو حرفان لم تبطل صلاته وإلا بطلت.

Artinya, “ Dan yang jelas bahwa maksud nampak dengan tiap kali dari berdehem dan semisalnya adalah menampakkan dua huruf atau lebih. Karena suara yang tidak dikenal tidak dianggap sebagaimana dijelaskan oleh sang pengarang. Dan dalam statemennya, bila mushalli bersuara seperti suara keledai atau meringkik seperti suara kuda atau menceritakan satu dari beberapa suara burung dan tidak memperlihatkan satu huruf yang memahamkan, atau dua huruf, maka tidak batal shalatnya. Bila tidak demikian, maka batal,”
( Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘ala Syarhi Manhajit Thullab, juz I, halaman 245).


3. Imam Nawawi menyebutkan:

وأما التنحنح فحاصل المنقول فيه ثلاثة أوجه الصحيح الذى قطع به المصنف والاكثرون ان بان منه حرفان بطلت صلاته والا فلا والثانى لا تبطل وان بان حرفان قال الرافعي وحكى هذا عن نص الشافعي والثالث ان كان فمه مطبقا لم تبطل مطلقا والا فان بان حرفان بطلت والا فلا وبهذا قطع المتولي وحيث ابطلنا بالتنحنح فهو ان كان مختارا بلا حاجة فان كان مغلوبا لم تبطل قطعاولو تعذرت قراءة الفاتحة الا بالتنحنح فيتنحنح ولا يضره لانه معذور وان أمكنته القراءة وتعذر الجهر الا بالتنحنح فليس بعذر علي أصح الوجهين لانه ليس بواجب ولو تنحنح امامه وظهر منه حرفان فوجهان حكاهما القاضى حسين والمتولي والبغوي وغيرهم أحدهما يلزمه مفارقته لانه فعل ما يبطل الصلاة ظاهرا واصحهما ان له الدوام على متابعته لان الاصل بقاء صلاته والظاهر أنه معذور والله اعلم

Artinya: Adapun dalam masalah berdehem dalam sembahyang didalamnya terdapat tiga pendapat :

1.Menurut pendapat yang shahih yang diputuskan oleh Imam Nawawi dan kebanyakan ulama fiqih, bila sampai keluar dari dehemnya dua huruf maka batal, bila tidak keluar tidak batal sembahyang nya.

2.Menurut imam Rafi'i dengan menghikayahkan bahwa ini pendapat as-Syaafi’i “Tidak batal meskipun keluar darinya dua huruf”

3.Pendapat ketiga “Bila saat berdehem, bibirnya tertutup maka tidak batal secara mutlak (baik keluar dua huruf atau tidak) bila bibirnya terbuka bila sampai keluar dari dehemnya dua huruf maka batal, bila tidak keluar tidak batal” pendapat ini dipilih oleh al-Mutawally.

Berdehem dengan ketentuan hukum diatas bila memang bersifat ikhtiyari, maksudnya ikhtiyari adalah seseorang masih dapat menguasai diri untuk tidak berdehem.
sedang bila berdehem yang bersifat ‘tidak dapat ia kuasai’ artinya dalam keadaan dharurat maka tidak membatalkan shalat secara mutlak karena uzur.

• Bila seseorang berhalangan membaca surat fatihah kecuali dengan berdehem maka dehemnya tidak membahayakan (membatalkan) shalatnya karena hal tersebut tergolong udzur baginya.

• Bila memungkinkan baginya membaca fatihah hanya saja tidak dapat mengeraskan bacaannya kecuali saat disertai dehem maka bukan tergolong udzur baginya menurut yang paling shahih dari dua pendapat karena mengeraskan bacaan dalam shalat bukan hal yang wajib.

• Bila seorang makmum mendengar imam shalatnya berdehem hingga nampak dua huruf didalamnya, menurut Iman Qadhi Husen, Imam Mutawali, imam Baghwi dan lainnya dalam hal ini terdapat dua pendapat :

Wajib mufaaraqah (memisahkan diri dari imam) karena imamnya menjalankan hal-hal yang dapat membatalkan shalat secara lahiriyahnya. Menurut pendapat yang paling shahih, tetap mengikuti imamnya karena kaidah asal “shalat imamnya tetap dihukumi sah, dan dhahirnya dehemnya udzur baginya”.
(Al-Majmu’ ala Syarah al-Muhadzdzab IV/79-80 )

و الله اعلم بالصواب

Tidak ada komentar:

Posting Komentar