Kamis, 14 Oktober 2021

KENAPA BAGIAN ISTRI LEBIH KECIL


 Dalam ilmu Faraidh atau yang juga disebut dengan ilmu Mawaris, kita akan mendapati bahwa pembagian waris itu dibagi menjadi dua bagian; ada ahli waris yang mendapat bagian tertentu atau yang sering diungkap dengan istilah Ashabul furudh, dan ada juga ahli waris yang tidak mendapatkan bagian tertentu namun mereka mendapatkan sisa, atau dalam istilah fiqihnya dikenal dengan istilah 'Ashabah.

Dalam hal ini istri adalah salah satu ahli waris yang termasuk dalam katagori pertama, bahwa istri tidak mungkin mendapat sisa, istri pasti mendapatkan bagian tertentu, bagian tertentu yang dimaksud adalah bagian yang sudah Allah SWT tetapkan dalam Al-Quran, penentuannya Allah SWT langsung yang ‘turun tangan’, bukan hasil ijtihad ulama.

Contoh:

Ismail menikah dengan Hasanah, karena dari hasil pernikahan ini tidak menghasilkan anak, akhirnya mereka mengadopsi satu anak perempun bernama Maimunah yang sekarang sudah menikah dengan Darkasyi dan bahkan sudah mempunyai keturunan yang bernama Si Cut

Ismail mempunyai saudara tua yg bernama Abdullah, Abdullah ini mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Adhar, namun ternyata Abdullah sudah meninggal dunia sebelum  Ismail menikah.

Dan Ismail masih mempunyai satu saudara lainnya yang bernama muslem yang sekarang masih sehat walafiyat, dan beliua juga masih mempunyai satu saudari yang bernama ainsyah yang juga masih hidup.

Jika Ismail meningga dunia, siapa sajakah ahli warisnya? dan berapakah bagian mereka masing?

Bagian Masing-Masing

Hasanah (istri) mendapatkan seperempat (1/4), karena almarhum (suaminya) tidak mempunyai anak keturunan.

Maimunah bukan ahli waris, karena anak hasil adopsi bukan ahli waris. Adhar juga begitu, pun begitu dengan sicut, mereka semua bukan ahli waris.

Abdullah (sdr kandung Alm) tidak mendapatkan haknya, karena Abdullah sudah meninggal duluan sebelum meninggalnya Ismail.

Dan satu saudara serta satu saudari alm yaitu muslem dan ainsyah mendapatkan ashabah (sisa) yang jumlahnya tigaperempat (3/4), dengan catatan bahwa saudara laki-laki mendapat dua kali lipat dari saudari perempuan [للذكر مثل حظ الأنثيين]

Sedang Adhar (keponakan Alm) tidak mendapatkan apa-apa karena dia terhijab (tertutup) haknya dengan keberadaan saudara Alm muslem dan ainsyah yang masih hidup.  

Pada contoh diatas ada ahli waris yang mendapatkan waris dengan bagian tertentu (fardh) yaitu istri  alm, namun ada juga yang mendapatkan harta warisan melalui sisa (ashabah) yaitu saudara dan saudari mayyit.

Mengapa Bagian Istri lebih kecil?

Dari contoh kasus diatas ternyata bagian istri malah lebih kecil ketimbang bagian saudara, itu mengapa kadang ada pertanyaan yang muncul dari sebagian tentang pembagian seperti ini, kok sepertinya tidak adil, dan berat untuk dilakukan.

Mengapa bagian istri malah lebih kecil ketimbang bagian saudara, sedangkan dalam kenyataannya istrilah yang selalu hadir bersama al-marhum dalam aktivitas hariannya semasa hidup. Istri juga yang menyiapkan makan, minum, pakian, mengasuh anak-anak, dan sederet kerja-kerja penting lainnya, yang dilakukan free tanpa ada ‘gaji’ khusus.

Lalu tiba-tiba ketika suaminya meninggal dunia hanya mendapatkan seperempat (1/4) dari harta peninggalannya, dan sisanya yang tiga perempat (3/4) itu semuanya habis diperuntukkan untuk saudara-saudari mayyit.

Para ulama menuturkan bahwa sebab mendapatkan waris itu ada tiga hal:

1. Hubungan Nasab [النسب]

2. Hubungan Pernikahan   [ النكاح]

3. Al-Wala' (memerdekakan budak)

Dari ketiga sebab mendapatkan waris diatas, para ulama sepakat bahwa hubungan nasab itu adalah sebab yang paling kuat dalam hal mendapatkan waris, maka dari sini dapatlah kita simpulkan bahwa ternyata ikatan persaudaraan itu lebih kuat ketimbang istri dimana status hubungannya adalah pernikahan, tentunya kenyataan ini didasari dengan beberapa sebab dan alasan sebagai berikut:

1. Bahwa hubungan pertalian nasab itu lebih dahulu ada ketimbang hubungan pernikahan. Maka hubungan persaudaraan lebih dulu ada ketimbang hubungan pernikahan, bahwa saudara almarhum pada contoh diatas lebih dulu ada secara ikatan ketimbang istri.

2. Bahwa hubungan nasab itu tidak bisa hilang sama sekali, beda dengan hubungan pernikahn, karena cerai bisa menghilangkan status hubungan pernikahan.

Jadi seberapun bencinya almarhum dengan saudara-saudarinya tetap saja tidak bisa memutuskan hubungan persaudaraan mereka, dan kondisi ini sangat berbeda dalam kontek hubungan pernikahan,dimana suatu saat ketika ada sebab-sebab tertentu memungkin hubungan pernikahan ini diputus.

3. Karena pertalian nasab bisa mengurangi bagian waris mereka yang ada dalam pertalian pernikahan.

Sebagai contoh bahwa keberadaan anak yang nasabnya dari ayah kandungnya bisa mempengaruhi bagian ibunya (istrinya ayah), kadang kala istri mendapatkan bagian seperempat (1/4) ketika mayyit tidak ada anak, dan dilain waktu istri mendapatkan seperdelapan (1/8) jika mayyit meninggal dalam keadaan memiliki anak keturunan yang masih hidup. 

4. Bahwa mereka yang berada dalam pertalian nasab bisa mendapatkan harta waris dengan jalan furudh (bagia pasti) dan ashobah (sisa). Sedang istri atau suami hanya mendapat warisan dari satu jalur saja, yaitu jalur furudh, dan mereka berdua selamanya tidak akan pernah mendapkan sisa (ashabah).

Inilah beberapa alasan yang membuat hubugan pertalian nasab lebih kuat ketimbang hubungan pernikahan, walaupun kedua hubungan ini sama-sama menjadi sebab saling mewarisi satu dengan yang lainnya.

Maka dari itulah mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah SWT berikut:

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمْ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْن...

 

"dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu…" (QS. An-Nisa': 12).

Maka untuk itu juga Allah melanjutkan firmanNya dengan:

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa': 176)

Maka sadarlah kita mengapa istri dalam contoh kasus diatas malah lebih kecil bagiannya dari bagian yang diterima oleh saudara-saudara mayyit. Urusan pembagian ini sifatnya pemberian Allah, tidak ada wilayah ijtihad disini, bahwa bagian istri seperempat atau seperdelapan itu Allah SWT yang membaginya, bukan ulama. Inilah bentuk keadilan Allah SWT. Dan siapa lagi yang bisa lebih adil dari Allah SWT?


و الله اعلم باالصواب

Selasa, 12 Oktober 2021

PERKARA-PERKARA YANG MENYEBABKAN MURTAD


 Oleh: Tgk Dailami 

Dalam kitab  Mirqatu Shu'udittashdiq ( مرقاة صعود التصديق) yang merupakan syarahan dari kitab Sullamuttaufiq ( سلم التوفيق ) karangan dari Ulama besar Indonesia syaikh Nawawi Bantani pada halaman 11 beliau menerangkan perkara-perkara yang menyebabkan murtad, baik ucapan,perbuatan atau i'tiqad dalam hati. Di antara perkara yang menjatuhkan seorang muslim dalam kemurtadan adalah :

(او عزم علي الكفر في المستقبل) بان يعزم الان ان يكفر غدا فيكفر حالا لان استدامة الاسلام شرط فاذا عزم علي الكفر كفر حالا...(او علي فعل شيء ) اي او عزم علي اتيانه في الحال (مما ذكر) اي من الكفر بان نوي ان يكفر في الحال (او تردد فيه ) اي في الكفر ... كما اذا تردد هل يكفر اولا وانما كان التردد مكفرا....


( لا وسواسه ) اي الكفر اي حطوره علي باله وتحركه بان جري في فكره فلا يكفر لان الوسواس غير مناقض للجزم فان ذلك مما يبتلي به الموسوس كما افاده الشرقاوي

Artinya:

1.Azam ( cita-cita) akan kufur pada masa akan datang. 

Merencanakan akan kufur maka sesungguhnya ia telah kufur / murtad seketika itu juga. karena kekal dalam islam itu syarat, maka apabila bercita-cita atau merencanakan kufur, maka seketika itu juga menjadi kufur.

Contoh nya, jika hari ini, dengan doaku Allah tidak membantuku keluar dari masalah, maka besok aku akan memeluk agama lain, maka seketika kufur.

2. mencita-citakan akan memperbuat suatu perbuatan kufur, maka kufur seketika. 

3.  Taraddud.

Yaitu bimbang dalam hatinya, apakah ia kufur atau tidak ( tetap dalam islam atau kembali pada agama sebelumnya ).

Ragu-ragu seperti ini juga enyebabkan kufur..

4. Waswas kufur..

Waswas kufur tidak menjatuhkan nya pada kekufuran / kemurtadan.

Contoh nya seorang yang sedang mengaji kitab aqidah, ketika muthala'ah kembali, fikirannya berimajinasi tentang sifat allah begini dan begini, maka dia waswas / imajinasinya ini tidak menyebabkan kufur

Kamis, 12 Agustus 2021

ARRAZY HASYIM, ASWAJA ASY'ARIYAH ASAL TANAH MINANG

Ulama muda asal minangkabau ini sgt unik, unik karena beliau yg masih muda bahkan lebih muda tiga tahun dari saya tampil berani berbeda dgn kebanyakan orang di sekitar daerah kelahiran beliau sendiri, bahkan beliau mendapat celaan sampai fitnah dari kelompok yg menamakan dirinya "Minang Bertauhid" karena dianngap kajiannya tidak berdasarkan manhaj salaf. Tentu saja kelompok minang bertauhid ini adalah kelompok wahabi yg sangat kepanasan dengan kajian kajian beliau.
Beliau bukan alumni Timur Tengah ataupun eropa, murni produk asli dalam negeri, yaitu pesantren darussunnah pimpinan KH. Mustafa Yaqub.
Di usia muda menguasai banyak disiplin ilmu keislaman.
Secara akademik, beliau hasil kolaborasi  antara pesantren dan juga perguruan tinggi, menguasai ilmu aqidah atau teologi dan juga menguasai ilmu hadis di bawah bimbingan ulama KH. Ali Mustafa Yaqub.
Beliau juga berguru kepada Syekh Muḥammad Ḥasan Hitu. Di bawah bimbingan nya keilmuan arrazy semakin terasah terutama di bidang aqidah dan ushul.

Selain itu, dia juga mengagumi dan menjadi inspirasitornya adalah gurunya di Darus Sunnah yg merupakan ahli hadis , yaitu KH Ali Mustafa Yaqub. dan juga menjadi inspirasinya adalah Syekh Yasin Al Fadani, ulama berdarah Minang yang lahir di Makkah. Syekh Yasin Al Fadani juga pernah mengambil sanad ijazah Hadratussyekh Hasyim Asy’ari.

Saya sendiri mulai gemar menonton kajian Arrazy lewat Youtube beberapa waktu terakhir ini, terutama kajian salafi, Topik ini begitu dikuasainya, buktinya disertasinya sendiri mengambil judul Teologi Muslim Puritan, Genealogi dan Ajaran Salafi.
Dalam sejumlah ceramahnya, Arrazy mengkritik ajaran-ajaran Salafi terutama dalam hal aqidah atau teologi.
Selain soal aqidah, banyak hal yang dikritisi Arrazy mulai dari pemahaman salafi terhadap bid’ah, mengkafirkan sesama muslim yg tidak sepaham, seperti pemahaman sayid qutub terhadap alquran secara serampangan sampai menghalalkan darah sesama muslim, menurut beliau kajian sayid qutub lah yg dipakai wahabi isis di Suriah untuk fatwa jihad sesat mereka.
Sayid qutub ini merupakan tokoh ikhwanul muslimin mesir yg kemudian dilarang di mesir, kemudian pemahaman mereka menyebar ke berbagai negara dan kemudian berinfiltrasi lewat ormas dan partai, dan di Indonesia kader2 mereka setelah reformasi banyak bercokol dan bergabung pada sebuah partai nasional.
Beliau juga mengkaji pentingnya berguru dan bersanad dalam keilmuan, serta soal2 lain yang  bertentangan dengan pemahaman Salafi.
Beliau dalam satu ceramah nya menyampaikan bahwa beliau bukan kader organisasi NU, tapi sangat mencintai NU bahkan menyebut NU adakah salah satu sayap bangsa Indonesia yg tidak boleh patah, pemahaman beliau terhadap cinta bangsa dan tanah air sama persis sama dgn fikrah NU hubbul wathal minal iman, "ke-NU-an" beliau terhadap NU melebihi dari ke NU-an orang yg menyebut dirinya NU..

Beliau juga sering menyampaikan tema-tema tasawuf dalam kajiannya. Suatu tema ataupun istilah yang juga tidak disukai oleh Salafi. Baginya, menguasai ilmu aqidah, ilmu fiqih, ilmu hadits, dan seterusnya, belumlah cukup. Semua itu adalah ilmu lahir yang mesti dilengkapi dengan ilmu batin.
Maka tak heran, beliau sendiri memiliki ijazah dari sejumlah mursyid tarikat dan memberikan bimbingan zikir kepada para pencari makrifat.
Semoga suatu saat bisa berjumpa dengan beliau. Amiiinnn..

Rabu, 11 Agustus 2021

HUKUM MENJUAL BUAHAN MASIH DIPOHON

Untuk menjawab ini kita bisa melihat dalam kitab Tuhfah al Muhtaj karangan Ibnu Hajar al-Haitami, pada Jilid IV, Halaman 469 sebagai berikut:

( وَلَوْ بَيْعَ ثَمَرٍ ) أَوْ زَرْعٍ بَعْدَ بُدوِ الصَّلاحِ وَهُوَ مِمَّا يَنْدُرُ اخْتِلاطَهُ أَوْ يَتَسَاوَى فِيه الأَمْرَانِ أَوْ يَجْهَلُ حالَهُ صَحَّ بِشَرْطِ القَطْعِ والْإِبْقاءِ والْإِطْلاقِ أَوْ مِمَّا ( يَغْلِبُ تُلاحِقُهُ واخْتِلاطٌ حادِثَةٍ بِالْمَوْجُودِ ) بِحَيْثُ لَا يَتَمَيَّزانِ ( كَتينٍ وَقِثّاءٍ ) وَبِطّيخٍ ( لَمْ يَصِحَّ إِلَّا أَنْ يُشْتَرَطَ المُشْتَري ) يُعْنَى أَحَدَ المُتَعاقِديْنَ وَيوافِقُهُ الأُخَرَ ( قَطْعَ ثَمَرِهِ ) أَوْ زَرْعَهُ

Artinya: Dan seandainya dijual buah-buahan) atau tanaman yang sudah matang, dan termasuk buah-buahan atau tanaman yang jarang tercampur dengan yang lain, atau bisa tercampur dan tidak, atau tidak diketahui keadaannya, maka penjualannya sah dengan syarat dipetik, ditetapkan di pohon atau tanpa syarat apapun, sedangkan buah-buahan atau tanaman yang (biasanya matangnya beriringan, dan yang baru tercampur dengan yang sudah ada), sekira keduanya tidak dapat dibedakan), (seperti buah tir, ketimun), dan semangka, (maka penjualannya tidak sah, kecuali pembeli mensyaratkan) maksudnya salah satu pihak yang betransaksi dan pihak yang lain setuju (pemetik buah) atau tanamannya.”

Berdasarkan sumber rujukan di atas maka pembelian buahan yg sudah matang di pohon tersebut hukumnya sah.

و  الله اعلم بالصواب

S  umber: Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj , Jilid IV, Halaman 469

Sabtu, 31 Juli 2021

HUKUM BERKUNJUNG DAN BERIBADAH PADA TEMPAT IBADAH AGAMA LAIN

Bagaimana hukum kita bagi muslim menyangkut 2 hal berikut ini:

1. Memasuki tempat ibadah agama lain ( bukan untuk ibadah, tapi hanya wisata)


2. Beribadah ditempat ibadah agama lain ( seperti shalat)

Untuk menjawab pertanyaan nomor satu ini kita bisa melihat dari kitab referensi kitab ulama muktabar ahli tafsir dibawah ini

واعلم أن كون المؤمن موالياً للكافر يحتمل ثلاثة أوجه أحدها : أن يكون راضياً بكفره ويتولاه لأجله ، وهذا ممنوع منه لأن كل من فعل ذلك كان مصوباً له في ذلك الدين ، وتصويب الكفر كفر والرضا بالكفر كفر ، فيستحيل أن يبقى مؤمناً مع كونه بهذه الصفة . وثانيها : المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر ، وذلك غير ممنوع منه . والقسم الثالث : وهو كالمتوسط بين القسمين الأولين هو أن موالاة الكفار بمعنى الركون إليهم والمعونة ، والمظاهرة ، والنصرة إما بسبب القرابة ، أو بسبب المحبة مع اعتقاد أن دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر إلا أنه منهي عنه ، لأن الموالاة بهذا المعنى قد تجره إلى استحسان طريقته والرضا بدينه ، وذلك يخرجه عن الإسلام

Artinya: Ketahuilah bahwa orang mukmin menjalin sebuah ikatan dengan orang kafir berkisar pada tiga hal.
Pertama, ia rela atas kekufurannya dan menjalin ikatan karena factor tersebut, Hal ini dilarang karena kerelaan terhadap kekufuran merupakan bentuk kekufuran tersendiri.
Kedua, interaksi sosial yang baik dalam kehidupan di dunia sebatas dlahirnya saja.
Ketiga, tolong-menolong yang disebabkan jalinan kekerabatan atau karena kesenangan, disertai sebuah keyakinan bahwa agama kekafirannya adalah agama yang tidak benar. Hal tersebut tidak menjerumuskan seorang mukmin pada kekafiran, tetapi ia tidak diperbolehkan (menjalin ikatan di atas). Sebab jalinan yang semacam ini (nomor 3) terkadang memberi pengaruh untuk memuluskan jalan kekafiran dan kerelaan terhadapnya. Dan faktor inilah yang dapat mengeluarkannya dari Islam”

( Tafsir Nawawi Juzuk 1 halaman 94 dan Tafsir imam Arrazi juzuk 8 halaman 10-11.)

2. Dari kitab majmuk syarah muhazzab imam Nawawi juzuk 3 halaman 168 sebagai berikut:

تُكْرَهُ الصَّلَاةُ فِي الْكَنِيسَةِ وَالْبِيعَةِ حَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَمَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَنَقَلَ التَّرْخِيصَ فِيهَا عَنْ أَبِي مُوسَى وَالْحَسَنِ وَالشَّعْبِيِّ وَالنَّخَعِيِّ وَعُمَرَ بن عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْأَوْزَاعِيِّ وَسَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَهِيَ رِوَايَةٌ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَاخْتَارَهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ
الصلاة في مأوى الشيطان مكروهة بالاتفاق ، وذلك مثل مواضع الخمر والحانة ومواضع المكوس ونحوها من المعاصي الفاحشة ، والكنائس والبيع والحشوش ونحو ذلك ، فإن صلى في شيء من ذلك ولم يماس نجاسة بيده ولا ثوبه صحت صلاته مع الكراه

Artinya: Dimakruhkan shalat di gereja dan kuil yang diriwayatkan oleh Ibn al Umar ibn al-Khattab dan Ibn Abbas dan Malik ra dengan mereka dan menaqal akan rukhsah ( shalat pada gereja) dari Abu Musa al-Hasan dan Nakha'i dan Umar bin Abdul Aziz dan Auzai dan Said bin Abdul Aziz, sebuah riwayat dari Ibn Abbas dan telah memilih oleh Ibn al-Mundhir.
Sembahyang di tempat setan tidak disukai dengan ijma’, seperti tempat minuman anggur, tempat minum, tempat jalan, dan sejenisnya dari tempat maksiat, dan gereja,tempat jual beli, dan sejenisnya.
Jika dia shalat di salah satu dari itu dan tidak menyentuh najis dengan tangan atau pakaiannya, maka shalatnya sah, meskipun makruh.

Kesimpulan Hukumnya bisa Ditafsil / diperinci  sebagai berikut:

1. Boleh apabila kedatangannya kunjungan wisata sebatas melihat tanpa ada perasaan senang terhadap mereka atau agamanya atau kemungkaran-kemungkaran yang lain.

2. Haram bahkan bisa menjadi kufur apabila kedatangannya disertai perasaan senang kepada agama mereka.

3. Hukum shalat di tempat peribadatan non muslim adalah sah tapi makruh jika ada izin dari mereka, jika tanpa izin maka haram.

4. Tempat ibadah non muslim yang ada patung berhalanya maka haram masuk ke situ dan makruh sholatnya

5. Makruh membaca kalam illahi di tempat peribadatan non muslim.

6. Jika dalam keadaan darurat semisal panas, dingin, hujan, takut terhadap musuh atau takut hewan liar maka tidak makruh semua hal di atas.

و الله اعلم با الصواب

Kamis, 29 Juli 2021

APAKAH ANAK TIRI MENDAPATKAN HARTA WARISAN

 Dalam ilmu fikih, yang mendapat warisan hanya anak kandung saja. Sedangkan anak tiri, jelas tidak mendapat warisan. Karena anak tiri pada hakikatnya bukan anaknya, melainkan anak orang lain.

Yang termasuk anak tiri adalah anak orang lain, seperti seorang suami yang menikahi seorang janda yang sudah beranak. Anak dari janda yang kini telah menjadi isterinya itu jelas bukan anak si suami.

Maka kalau suami itu meninggal dunia, meski orang menyebut anak janda itu seolah sebagai anaknya, namum secara hukum syariah, biar bagaimana pun anak itu tetap bukan anaknya. Anak itu adalah anak dari suami janda itu sebelumnya. Maka kalau suami janda itu yang sebelumnya meninggal dunia, anak itu akan mendapat warisan dari dirinya.

Sedangkan laki-laki yang kini menjadi suami janda itu, jelas bukan ayah dari anak-anak itu, maka anak-anak itu tidak akan mendapat warisan dari dirinya.

Namun kalau kita melihat dengan pandangan yang lebih luas, sebenarnya alokasi dan distribusi harta dari seorang yang meninggal bukan semata-mata waris. Di luar waris, ada hibah dan ada juga wasiat, bahkan hutang dan biaya lainnya.

Seandainya sebelum meninggal almarhum pernah berwasiat untuk memberikan sebagian hartanya kepada anak tirinya, maka jelaslah si anak tiri itu pasti mendapat bagian juga. Tetapi bukan lewat 'jalur' warisan, melainkan lewat jalur wasiat.

Atau bisa juga lewat jalur satu lagi, yaitu jalur hibah. Bedanya dengan wasiat hanya masalah kapan diserahkannya harta itu. Hibah diberikan pada saat almarhum masih hidup. Sedangkan wasiat meski pernyataannya disampaikan ketika almarhum masih hidup, namun eksekusi penyerahan harta itu menunggu almarhum meninggal terlebih dahulu.

Kesalahan kita selama ini hanya memandang ilmu waris semata, tanpa melihat juga adanya hibah dan wasiat. Padahal Islam mengakui ketiga hal itu sebagai syariat dan sah dalam distribusi pembagian harta seorang yang meninggal dunia.


Rabu, 28 Juli 2021

Berqurban itu hukumnya sunat, bukan wajib..

 Ada penceramah yang dalam ceramahmya beretorika panjang lebar tentang besarnya kelebihan berqurban seolah olah hanya dengan berqurban lantas kita udah dapat kenderaan dan tiket masuk jalan "tol" ke surga.

Sebenarnya tak masalah menyampaikan hal hal seperti itu untuk tujuan menarik minat orang untuk berqurban, tapi jangan sampai juga melebelkan orang jadi buruk dan ternista gara-gara tidak berqurban.

Maka seorang penceramah harus proporsional dalam menyampaikan tentang kelebihan sebuah amaliah, jangan sampai ibadah sunat besar sekali gaung fadhilah nya sampai-sampai mengalahkan pentingnya hal-hal yang wajib.

Kenapa harus demikian? ya karena dalam keseharian, tanpa kita sadari di masyarakat terdapat hal yang wajib yang seharusnya dilakukan oleh orang orang yang mampu, yaitu menolong orang-orang fakir yang hukumnya sudah "wajib"  ditolong oleh orang yang punya kemampuan, bukan lagi sunat, siapa mereka? mereka adalah para fakir yang kadang makannya sehari hanya dua kali untuk hemat beras, ini lebih beruntung dari orang fakir yang waktu malamnya berfikir " besok apa yang bisa dimakan".hal hal seperti ini kurang tersentuh oleh para penceramah, ya mungkin ditempat tinggalnya tidak ada orang yang sampai demikian. 

Jadi hukum dasar qurban adalah sunnat muakkad, bukan wajib, dan kesunnahan ini tidak berlaku bagi setiap orang, melainkan bagi mereka yang masuk ke dalam kategori orang mampu, sehingga bagi mereka yang tidak tergolong mampu, tidak dituntut melakukan kurban. Di saat situasi ekonomi serba sulit seperti masa pandemi ini, banyak orang merasa tidak mampu berkurban. Lantas sejauh mana batasan orang yang mampu berkurban?

Seseorang dapat dikatakan mampu apabila ia memiliki dana yang cukup dibuat kurban yang melebihi kebutuhannya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi, selama hari raya kurban dan tiga hari tasyriq setelahnya (tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah). 

Berpijak dari hal tersebut, seseorang yang mempunyai uang senilai harga hewan kurban, akan tetapi kebutuhan pokok bagi dirinya dan pihak yang wajib dinafkahi akan kekurangan di saat hari raya Idul Adha atau hari tasyriq, maka ia bukan tergolong mampu berkurban.

Sebagian ulama hanya mensyaratkan harta yang ia gunakan untuk berkurban melebihi kebutuhan nafkah wajib di saat hari dan malam Idul Adha saja. Berpijak dari pendapat ini, seseorang yang mempunyai uang senilai harga hewan kurban, semisal tiga juta yang cukup untuk membeli kambing, akan tetapi kebutuhan pokok bagi dirinya dan keluarganya akan kekurangan di saat hari raya dan malamnya, maka ia bukan tergolong mampu berkurban. Apabila kebutuhan pokok di hari dan malam Idul Adha terpenuhi, namun tidak mencukupi untuk kebutuhan pokok di hari tasyriq, maka tergolong orang yang mampu berkurban.

Pengarang kitab Ianathutthalibin Syekh Sayyid Abu Bakat bin Sayyid Muhammad Syatha Al-Dimyati berkata:

 والمراد بمن يجب نفقته الزوجة والقريب والمملوك المحتاج لخدمته وأهل الضرورات من المسلمين ولو من غير أقاربه لما ذكروه في السير من أن دفع ضرورات المسلمين بإطعام جائع وكسوة عار ونحوهما فرض على من ملك أكثر من كفاية سنة وقد أهمل هذا غالب الناس حتى من ينتسب إلى الصلاح.

 “Yang dikehendaki dari orang yang wajib dinafkahi adalah istri, kerabat, budak yang dimilikinya yang dibutuhkan untuk melayaninya, dan orang-orang Islam yang sangat membutuhkan walaupun bukan kerabatnya karena alasan yang disebutkan dalam bab Al-Siir (jihad) bahwa membantu orang-orang Islam yang sangat membutuhkan dengan cara memberi makan orang yang kelaparan, memberi pakaian orang-orang yang telanjang (tidak punya pakaian) dan selainnya merupakan kewajiban bagi orang yang memiliki lebih dari kecukupan satu tahun. Mayoritas orang acuh terhadap hal ini, bahkan orang yang disebut-sebut saleh sekalipun.” 

(Syekh Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyati, I’anah At-Thalibin, al-Hidayah, juz 2, hal 282

Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi berkata:

وإنما تسن لمسلم قادر حر كله، أو بعضه والمراد بالقادر من ملك زائدا عما يحتاجه يوم العيد وليلته وأيام التشريق ما يحصل به الأضحية خلافا لمن نازع فيه وقال فاضلا عن يومه وليلته

Dan qurban disunahkan hanya bagi orang Islam yang mampu, merdeka seluruh dirinya ataupun hanya sebagian saja. Dan yang dikehendaki dengan orang yang mampu adalah orang yang memiliki harta yang cukup untuk berkurban yang melebihi dari kebutuhannya ketika hari raya, malamnya dan beberapa hari tasyriq. Berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang menyelisihi perihal standar mampu ini, menurutnya yang menjadi standar adalah harta yang melebihi kebutuhan di hari raya dan malamnya. 

(Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi, Hasyiyah al Bujairimi ‘Ala Syarh Manhaj al Thulab, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juzuk 4, hal 396).

Dalam keterangan yang lain, Syekh Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami berkata:

 هي سنة في حقنا لحر أو مبعض مسلم مكلف رشيد نعم للولي الأب أو الجد لا غير التضحية عن موليه من مال نفسه كما يأتي قادر بأن فضل عن حاجة ممونه ما مر في صدقة التطوع

  “Dan kurban disunnahkan dalam hak kita bagi orang yang merdeka atau sebagian dirinya saja yang merdeka, Muslim, mukallaf dan cakap mengelola harta. Bagi wali yaitu bapak atau kakek bukan selainnya boleh berkurban untuk orang yang berada dalam kekuasaannya dari hartanya seperti keterangan yang akan datang, yang mampu yakni hartanya melebihi kebutuhan orang yang wajib dinafkahi, seperti keterangan yang telah lewat dalam fasal sedekah Sunah. 

(Syekh Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah Al Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juzuk 12 hal 245-246).

Mengomentari referensi di atas, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani berkata:

  (قوله بأن فضل عن حاجة ممونه إلخ) ومنه نفسه

 “Ucapan Syekh Ibnu Hajar (yakni hartanya melebihi kebutuhan orang yang wajib dinafkahi), di antaranya adalah melebihi kebutuhan dirinya sendiri”. (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah Al Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 12, hal. 245-246). Termasuk orang yang wajib dinafkahi adalah fakir miskin yang membutuhkan kebutuhan pokok sandang-pangan, meski bukan dari kerabatnya. Sehingga orang disebut mampu berkurban apabila memiliki dana kurban yang melebihi tanggung jawab nafkah kaum dluafa. Kurban adalah ibadah sunah, sedangkan memenuhi kebutuhan darurat kaum lemah adalah wajib, perlu memahami skala prioritas di antara keduanya, dengan mendahulukan ibadah wajib atas ibadah sunat.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa batasan seseorang dapat di kategorikan mampu berkurban adalah orang yang mempunyai harta yang cukup untuk berkurban yang melebihi dari kebutuhan dirinya dan orang-orang yang wajib dinafkahi seperti keluarga dan fakir miskin yang mengalami darurat sandang pangan. Perihal durasi kecukupan yang dimaksud ulama berbeda pendapat. Pendapat yang kuat menyatakan terhitung sejak hari raya kurban sampai akhir hari tasyriq. Sebagian ulama mencukupkan di hari dan malam hari raya kurban saja.