Rabu, 28 Juli 2021

Berqurban itu hukumnya sunat, bukan wajib..

 Ada penceramah yang dalam ceramahmya beretorika panjang lebar tentang besarnya kelebihan berqurban seolah olah hanya dengan berqurban lantas kita udah dapat kenderaan dan tiket masuk jalan "tol" ke surga.

Sebenarnya tak masalah menyampaikan hal hal seperti itu untuk tujuan menarik minat orang untuk berqurban, tapi jangan sampai juga melebelkan orang jadi buruk dan ternista gara-gara tidak berqurban.

Maka seorang penceramah harus proporsional dalam menyampaikan tentang kelebihan sebuah amaliah, jangan sampai ibadah sunat besar sekali gaung fadhilah nya sampai-sampai mengalahkan pentingnya hal-hal yang wajib.

Kenapa harus demikian? ya karena dalam keseharian, tanpa kita sadari di masyarakat terdapat hal yang wajib yang seharusnya dilakukan oleh orang orang yang mampu, yaitu menolong orang-orang fakir yang hukumnya sudah "wajib"  ditolong oleh orang yang punya kemampuan, bukan lagi sunat, siapa mereka? mereka adalah para fakir yang kadang makannya sehari hanya dua kali untuk hemat beras, ini lebih beruntung dari orang fakir yang waktu malamnya berfikir " besok apa yang bisa dimakan".hal hal seperti ini kurang tersentuh oleh para penceramah, ya mungkin ditempat tinggalnya tidak ada orang yang sampai demikian. 

Jadi hukum dasar qurban adalah sunnat muakkad, bukan wajib, dan kesunnahan ini tidak berlaku bagi setiap orang, melainkan bagi mereka yang masuk ke dalam kategori orang mampu, sehingga bagi mereka yang tidak tergolong mampu, tidak dituntut melakukan kurban. Di saat situasi ekonomi serba sulit seperti masa pandemi ini, banyak orang merasa tidak mampu berkurban. Lantas sejauh mana batasan orang yang mampu berkurban?

Seseorang dapat dikatakan mampu apabila ia memiliki dana yang cukup dibuat kurban yang melebihi kebutuhannya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi, selama hari raya kurban dan tiga hari tasyriq setelahnya (tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah). 

Berpijak dari hal tersebut, seseorang yang mempunyai uang senilai harga hewan kurban, akan tetapi kebutuhan pokok bagi dirinya dan pihak yang wajib dinafkahi akan kekurangan di saat hari raya Idul Adha atau hari tasyriq, maka ia bukan tergolong mampu berkurban.

Sebagian ulama hanya mensyaratkan harta yang ia gunakan untuk berkurban melebihi kebutuhan nafkah wajib di saat hari dan malam Idul Adha saja. Berpijak dari pendapat ini, seseorang yang mempunyai uang senilai harga hewan kurban, semisal tiga juta yang cukup untuk membeli kambing, akan tetapi kebutuhan pokok bagi dirinya dan keluarganya akan kekurangan di saat hari raya dan malamnya, maka ia bukan tergolong mampu berkurban. Apabila kebutuhan pokok di hari dan malam Idul Adha terpenuhi, namun tidak mencukupi untuk kebutuhan pokok di hari tasyriq, maka tergolong orang yang mampu berkurban.

Pengarang kitab Ianathutthalibin Syekh Sayyid Abu Bakat bin Sayyid Muhammad Syatha Al-Dimyati berkata:

 والمراد بمن يجب نفقته الزوجة والقريب والمملوك المحتاج لخدمته وأهل الضرورات من المسلمين ولو من غير أقاربه لما ذكروه في السير من أن دفع ضرورات المسلمين بإطعام جائع وكسوة عار ونحوهما فرض على من ملك أكثر من كفاية سنة وقد أهمل هذا غالب الناس حتى من ينتسب إلى الصلاح.

 “Yang dikehendaki dari orang yang wajib dinafkahi adalah istri, kerabat, budak yang dimilikinya yang dibutuhkan untuk melayaninya, dan orang-orang Islam yang sangat membutuhkan walaupun bukan kerabatnya karena alasan yang disebutkan dalam bab Al-Siir (jihad) bahwa membantu orang-orang Islam yang sangat membutuhkan dengan cara memberi makan orang yang kelaparan, memberi pakaian orang-orang yang telanjang (tidak punya pakaian) dan selainnya merupakan kewajiban bagi orang yang memiliki lebih dari kecukupan satu tahun. Mayoritas orang acuh terhadap hal ini, bahkan orang yang disebut-sebut saleh sekalipun.” 

(Syekh Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyati, I’anah At-Thalibin, al-Hidayah, juz 2, hal 282

Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi berkata:

وإنما تسن لمسلم قادر حر كله، أو بعضه والمراد بالقادر من ملك زائدا عما يحتاجه يوم العيد وليلته وأيام التشريق ما يحصل به الأضحية خلافا لمن نازع فيه وقال فاضلا عن يومه وليلته

Dan qurban disunahkan hanya bagi orang Islam yang mampu, merdeka seluruh dirinya ataupun hanya sebagian saja. Dan yang dikehendaki dengan orang yang mampu adalah orang yang memiliki harta yang cukup untuk berkurban yang melebihi dari kebutuhannya ketika hari raya, malamnya dan beberapa hari tasyriq. Berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang menyelisihi perihal standar mampu ini, menurutnya yang menjadi standar adalah harta yang melebihi kebutuhan di hari raya dan malamnya. 

(Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi, Hasyiyah al Bujairimi ‘Ala Syarh Manhaj al Thulab, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juzuk 4, hal 396).

Dalam keterangan yang lain, Syekh Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami berkata:

 هي سنة في حقنا لحر أو مبعض مسلم مكلف رشيد نعم للولي الأب أو الجد لا غير التضحية عن موليه من مال نفسه كما يأتي قادر بأن فضل عن حاجة ممونه ما مر في صدقة التطوع

  “Dan kurban disunnahkan dalam hak kita bagi orang yang merdeka atau sebagian dirinya saja yang merdeka, Muslim, mukallaf dan cakap mengelola harta. Bagi wali yaitu bapak atau kakek bukan selainnya boleh berkurban untuk orang yang berada dalam kekuasaannya dari hartanya seperti keterangan yang akan datang, yang mampu yakni hartanya melebihi kebutuhan orang yang wajib dinafkahi, seperti keterangan yang telah lewat dalam fasal sedekah Sunah. 

(Syekh Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah Al Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juzuk 12 hal 245-246).

Mengomentari referensi di atas, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani berkata:

  (قوله بأن فضل عن حاجة ممونه إلخ) ومنه نفسه

 “Ucapan Syekh Ibnu Hajar (yakni hartanya melebihi kebutuhan orang yang wajib dinafkahi), di antaranya adalah melebihi kebutuhan dirinya sendiri”. (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah Al Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 12, hal. 245-246). Termasuk orang yang wajib dinafkahi adalah fakir miskin yang membutuhkan kebutuhan pokok sandang-pangan, meski bukan dari kerabatnya. Sehingga orang disebut mampu berkurban apabila memiliki dana kurban yang melebihi tanggung jawab nafkah kaum dluafa. Kurban adalah ibadah sunah, sedangkan memenuhi kebutuhan darurat kaum lemah adalah wajib, perlu memahami skala prioritas di antara keduanya, dengan mendahulukan ibadah wajib atas ibadah sunat.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa batasan seseorang dapat di kategorikan mampu berkurban adalah orang yang mempunyai harta yang cukup untuk berkurban yang melebihi dari kebutuhan dirinya dan orang-orang yang wajib dinafkahi seperti keluarga dan fakir miskin yang mengalami darurat sandang pangan. Perihal durasi kecukupan yang dimaksud ulama berbeda pendapat. Pendapat yang kuat menyatakan terhitung sejak hari raya kurban sampai akhir hari tasyriq. Sebagian ulama mencukupkan di hari dan malam hari raya kurban saja. 

Rabu, 07 Juli 2021

BATASAN WAKTU BOLEH JAMAK DAN QASHAR SEMBAHYANG

 Oleh: Tgk Dailami, M.Pd

Bagi kita yang musafir/ berpergian jauh dalam agama kita diberikan keringanan boleh mengqasar dan jamak sembahyang. Terkait persoalan menjamak dan mengqashar sembahyang tentunya juga banyak persoalan yang wajib diketahui oleh kita yang ingin qashar dan jamak sembahyang, salah satunya tentang ketentuan sampai kapan kita masih boleh menjamak dan mengqashar sembahyang?apakah ketika kita sudah sampai di tempat tujuan atau bagaimana?

Dalam menjawab persoalan tersebut, hal pertama yang mesti dipahami adalah tentang batasan suatu perjalanan dianggap terputus ( انقطاع السفر). Sebab dengan terputusnya suatu perjalanan, maka seseorang yang bepergian sudah tidak lagi diperbolehkan untuk menjamak dan mengqashar sembahyang 

Untuk memahami  sampai dimana batasan perjalanan dianggap terputus maka kita bisa melihat didalam kitab Ianathutthalibin juzuk 2 halaman 101:

وحاصل ما يقال فيه أنه رجع بعد سفره من مسافة القصر إلى وطنه انتهى سفره بمجرد وصول السور إن كان، سواء نوى الاقامة به أم لا، كان له فيه حاجة أم لا. وأما إذا رجع إلى غير وطنه، ولم يكن له حاجة، ونوى قبل الوصول إليه إقامة مطلقا أو أربعة أيام صحاح، وكان وقت النية ماكثا مستقلا، انتهى سفره بمجرد وصول السور أيضا. أما إذا لم ينو أصلا، أو نوى إقامة أقل من أربعة أيام، فلا ينتهي سفره بوصول السور، وإنما ينتهي بإقامة أربعة أيام صحاح، غير يومي الدخول والخروج.  

Artinya: Kesimpulan tentang permasalahan terputusnya bepergian, bahwa jika musafir kembali dari bepergiannya dari jarak mengqashar sembahyang menuju tanah kelahirannya, maka terputus lah masa musafir nya dengan sampai di batas desa, jika memang ada batas desa. Baik dia niat mukim ataupun tidak. Baik ada keperluan hajat ataupun tidak. Adapun ketika seseorang kembali atau sampai ke selain tempat tinggalnya dan dia tidak ada hajat apa pun berkunjung di tempat tersebut dan sebelum sampai di tempat tersebut ia niat mukim secara mutlak, atau mukim selama empat hari secara utuh, dan ia dalam keadaan mandiri  maka bepergiannya dianggap terputus dengan melewati batas desa. Adapun ketika ia tidk niat sama sekali atau ia niat mukim kurang dari empat hari, maka bepergiannya tidak dianggap putus dengan melewati batas desa tersebut, tapi terputus dengan mukim di tempat tersebut selama empat hari selain hari ia sampai dan hari ia keluar dari tempat tersebut.

وأما إذا كان له حاجة، فإن لم يتوقع انقضاءها قبل أربعة أيام، بل جزم بأنها لا تقضى إلا بعد الاربعة، انتهى سفره بمجرد المكث والاستقرار، سواء نوى الاقامة بعد الوصول أم لا. فإن توقع انقضاءها كل يوم، لم ينته سفره إلا بعد ثمانية عشر يوما صحاحا.  

Artinya: “Dan adapun apabila ia berkunjung ke tempat selain tempat tinggalnya karena terdapat suatu keperluan (hajat), jika keperluannya tidak dapat selesai sebelum empat hari, tetapi butuh lebih dari empat hari, maka bepergiannya dianggap terputus dengan tempat tersebut. Baik ia melakukan niat mukim setelah sampai di tempat tersebut ataupun tidak. Jika keperluannya bisa saja selesai setiap hari, maka bepergiannya tidak terputus kecuali setelah ia berada di tempat tersebut selama delapan belas hari secara utuh

( I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 101)

Dari referensi diatas dapat diambil beberapa poin penjelasan terkait batasan kapan terputusnya masa musafir:

1. Kembali ke tempat tinggalnya. Dalam keadaan demikian, perjalanan musafir menjadi terputus tatkala ia telah melewati batas desa tempat tinggalnya, sehingga ketika ia telah masuk di desa tempat tinggalnya ia sudah tidak diperkenankan untuk menjamak dan mengqashar sembahyang. 

2. Ketika ia mampir di suatu tempat namun tidak ada keperluan hajat apa pun. Maka dalam keadaan demikian diperinci, jika ia niat bermukim atau menginap di tempat tersebut selama empat hari lebih atau hanya niat bermukim secara mutlak, maka perjalanannya dianggap terputus dengan melewati batas desa di tempat tersebut, seperti halnya pada permasalahan kembali di tempat tinggalnya.  

Sedangkan ketika seorang musafir tidak niat mukim atau niat menginap di tempat tersebut, atau ia niat mukim namun kurang dari empat hari, maka perjalanannya tidak langsung terputus dengan melewati batas masuk desa tempat tersebut, namun perjalanan menjadi terputus dengan ia tinggal atau menginap di tempat tersebut selama empat hari secara utuh, tanpa menghitung hari di mana ia sampai dan hari di mana ia pergi dari tempat tersebut.

3. Ketika ia mampir di suatu tempat dengan adanya suatu hajat. Maka dalam keadaan demikian, putusnya perjalanan dipandang dari batas selesainya keperluan musafir di tempat tersebut. Jika keperluannya tidak akan selesai dalam jangka waktu empat hari, maka perjalanannya dianggap terputus dengan sampainya dia di tempat tersebut. Baik ia melaksanakan niat mukim ataupun tidak.

Namun jika keperluannya bisa saja selesai setiap hari, sekiranya kurang dari empat hari. Maka perjalanannya tidak dihukumi terputus kecuali setelah melewati masa delapan belas hari.

Berdasarkan berbagai perincian putusnya perjalanan dalam permasalahan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketika kita terapkan dalam permasalahan bolehnya menjama’ dan mengqashar shalat di lokasi tujuan, tentunya terdapat berbagai perincian yang disesuaikan dengan keperluan (hajat) yang dilakukan oleh seseorang tatkala berada di tempat tujuan tersebut, sebab permasalahan ini hampir sama dengan keadaan ketiga dalam perincian hukum di atas.

Jika keperluannya di tempat tersebut lebih dari empat hari, maka tatkala ia sampai di tempat tujuannya ia dianggap terputus perjalanannya, sehingga sudah tidak boleh baginya melaksanakan shalat dengan cara jama’ dan qashar. Namun jika keperluannya dapat selesai kurang dari empat hari, maka ia dapat menjama’ dan mengqashar shalatnya sampai delapan belas hari, seandainya saja ia memutuskan untuk menginap di tempat tersebut lebih lama.

Berbeda halnya jika seorang musafir menginap di suatu tempat tanpa adanya keperluan apa pun, misalkan hanya sebatas transit di rumah temannya, karena tujuan perjalanan yang begitu jauh sehingga butuh istirahat, maka dalam keadaan demikian sama persis dengan perincian kedua dalam pembahasan yang telah dijelaskan di atas.

Demikian lah penjelasan mengenai batas terputusnya masa musafir, semoga bisa bermanfaat. 

و الله اعلم بالصواب

Selasa, 06 Juli 2021

TATA CARA NIAT SEMBAHYANG QASHAR DAN JAMAK

 Oleh Tgk Dailami

Kita mungkin sering bepergian yang berjarak hingga ukuran bisa untuk mengqashar dan menjamak sembahyang, maka dalam kondisi tertentu terkadang kita perlu untuk mengqashar sembahyang kita. Apalagi bila sulitnya perjalanan kita yang berhari-hari tentu saja kita mungkin kesukaran bila sebentar sebentar kita berhenti untuk sembahyang. 
Bila ada yang masih bingung bagaimana tatacara Niat jamak dan qasar, maka berikut ini adalah tata cara sembahyang qashar dan dijamak baik Taqdim maupun Takhir. 

A. Cara Niat Sembahyang Jamak Taqdim beserta Qashar

1. Dhuhur dengan 'Asar

أصلي فرض الظهر ركعتين قصرا مجموعا إليه العصر أداء لله تعالى


“Sahaja aku sembahyang fardhu dhuhur dua rakaat karena qashar dan dijamak kepadanya akan 'asar tunai karena Allah Taala”

. أصلي فرض العصر ركعتين قصرا مجموعا إلي الظهر أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu 'asar dua rakaat karena qashar dan dijamak kepada dhuhur tunai karena Allah Taala”.

2. Maghrib dengan 'Isya

أصلي فرض المغرب ثلاث ركعات مجموعا إليه العشاء أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu maghrib 3 rakaat dijamak kepadanya akan 'isya tunai karena Allah Taala”

أصلي فرض العشاء ركعتين قصرا مجموعا إلي المغرب أداء لله تعالى

"Sahaja aku sembahyang fardhu 'isya dua rakaat karna diqashar dan dijamak kepada maghrib tunai karena Allah Taala”

B. Jamak Takhir beserta Qasar

1. 'Asar dengan dhuhur

أصلي فرض العصر ركعتين قصرا مجموعا إليه الظهر أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu 'asar dua rakaat karna qashar dan dijamak kepadanya akan zuhur tunai karena Allah Taala”.

أصلي فرض الظهر ركعتين قصرا مجموعا إلي العصر أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu zuhur dua rakaat karna qashar dan dijamak kepada asar tunai karena Allah Taala”.

2. 'Isya dengan Maghrib

أصلي فرض العشاء ركعتين قصرا مجموعا إليه المغرب أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu 'isya dua rakaat karna qashar dan dijamak kepadanya akan maghrib tunai karena Allah Taala”.

أصلي فرض المغرب ثلاث ركعات مجموعا إلي العشاء أداء لله تعالى

“Sahaja aku sembahyang fardhu  maghrib 3 rakaat dijamak kepada 'isya tunai karena Allah Taala

Satu lagi yang harus dilakukan apabila kita sembahyang jamak takhir, yaitu kita harus azam( cita-cita) dalam hati bahwa akan melaksanakan sembahyang pada waktu kedua. 
Contoh nya begini: jika kita akan melakukan sembahyang jamak Takhir antara dhuhur dengan asar,  maka ketika dalam waktu dhuhur kita sudah Niat/ cita-cita dalam hati bahwa sembahyang dhuhur akan kita kerjakan dan jamak pada waktu asar, maka jika tidak dicita citakan seperti ini maka sembahyang dhuhur ini akan menjadi sembahyang qadha. 

Misal nya niat saat jam 14.30 WIB, pada jam tersebut masih cukup melaksanakan shalat dhuhur. Tidak sah pelaksaaan sembahyang jamak takhir bila niatnya di waktu shalat kedua atau di waktu shalat pertama tapi sudah tidak cukup lagi waktu untuk melaksanakan shalat pertama secara sempurna, misal nya niat di penghujung waktu dhuhur saat akan akan masuk waktu Ashar hanya berjarak 30 detik. Bila terjadi demikian, maka status sembahyang pertama akan berstatus seqadha dan musafir berdosa dengan sebab kesengajaannya mengakhirkan sembahyang.

و الله اعلم بالصواب

Senin, 05 Juli 2021

PERBEDAAN ANTARA 'ILLAT DAN SEBAB

Oleh: Tgk Dailami 

Dalam mempelajari ilmu ushul fikih terkadang kita bingung untuk memahami antara illat dan sebab, sehingga terkadang campur aduk ketika mencontohkan antara illat dan sebab, sehingga terjadi pada sebuah contoh itu kita katakan contoh dari illat dan contoh dari sebab juga. 

Mungkin tulisan pendek ini yang saya terjemahkan dari kitab yang berjudul:  كتاب الوجيز في اصول الفقه karya dari DR. Wahbah Dzuhaili pada maktabah Syamilah al Haditsah jilid satu halaman 379 bisa untuk membantu kita dalam memahami perbedaan antara illat dan sebab. 


 العلة أو السبب أمارة على وجود الحكم، كاإسكار الخمر أمارة على التحريم، والسفر في رمضان أمارة على جواز الإفطار، ولذا قال بعض علماء الأصول: إنهما بمعنى واحد، وقال آخرون: إنهما متغايران، وخصوا العلة بالأمارة المؤثرة التي تظهر فيها المناسبة بينها وبين الحكم، وخصوا السبب بالأمارة غير المؤثرة في الحكم.

وقال أكثر العلماء: إن السبب أعم من العلة مطلقًا، فكل علة سبب ولا عكس، وإن السبب يشمل الأسباب التي في المعاملات والعقوبات، ويشمل العلة التي تدرس في القياس، والفرق بينهما أن الصفة التي يرتبط بها الحكم إن كانت لا يدرك تأثيرها في الحكم بالعقل، ولا تكون من صنع المكلف، كالوقت للصلاة المكتوبة، فتسمى باسم السبب، أما إذا أدرك العقل تأثير الوصف بالحكم فيسمى علة ويسمى سببًا أيضًا،ا

Arti dan penjelasan:

Illat atau sebab adalah tanda/efek atas adanya hukum, seperti mabuk khamar adalah efek haramnya khamar, perjalanan ( jarak qashar) adalah efek atas boleh berbuka puasa ramadhan, karena demikian sebagian ulama ushul mengatakan bahwa antara illat dan sebab bermakna sama.

Ulama yang lain mengatakan bahwa antara illat dan sebab punya makna berbeda, mereka mengkhususkan illat sebagai tanda/ efek yang memberikan akibat  yang menampakkan hubungan antara efek dengan hukum. Dan mereka mengkhususkan sebab dengan sebuah efek yang tidak berakibat apapun pada hukum. 

Kebanyakan ulama mengatakan:

Sesungguhnya sebab itu lebih umum dari illat secara mutlak. Maka tiap tiap illat adalah sebab, dan tidak sebaliknya (tiap tiap sebab adalah illat). Dan sebab itu mencakup sebab yang ada pada urusan muamalat ( jual beli sebab pada boleh ambil manfaat barang) dan pada urusan 'uqubat( mencuri adalah sebab pada potong tangan).  Dan mencakup illat yang dipelajari pada persoalan qiyas.

Perbedaan antara illat dan sebab adalah,

Sebab adalah: sebuah sifat yang punya ikatan dengan hukum ( kejadian). Dan tidak diketahui akibat dari sifat tersebut secara akal, dan juga bukan hasil ciptaan dari manusia, seperti tergelincirnya matahari sebagai tanda masuk waktu shalat dzuhur dan jumat

 Illat adalah: sebuah sifat yang punya ikatan dengan hukum dan diketahui oleh akal akibat dari sifat tersebut, seperti sifat memabukkan adalah illat pada haram khamar. 

( DR, Wahbah Dzuhaili, Kitab Wajidz fii Ushulil fiqhi, Maktabah Syamilah al Haditsah, jilid 1 Halaman 379)

TAKRIF/PENGERTIAN MAKMUM MUWAFIQ DAN MASBUQ

Dalam sembahyang berjamaah, ada dua hal yang mesti dipahami bagi orang yang sembahyang berjamaah, terutama bagi seorang makmum,  yaitu bagaimana yang di katakan makmum muwafiq dan makmum masbuq.

Untuk mengetahui bagaimana pengertian masing-masing, maka kita bisa memahami dengan pengertian yang sudah dibuat oleh para ulama dalam kitab nya, yaitu:

Dalam kitab Tuhfah Muhtaj karya Ibnu Hajar al Haitami Jilid 2 halaman 348 disebutkan 

الموافق :هو من أدرك من قيام اﻹمام زمنا يسع الفاتحة بالنسبة إلى القراءة المعتدلة. ( ينظر تحفة المحتاج :۲/ ۳٤۸

Artinya:Muwafiq adalah orang yang mendapatkan waktu yang mencukupi untuk membaca fatihah selama imam masih berdiri dengan ukuran    bandingan bacaan orang pertengahan ( tidak cepat dan tidak lambat)

( Ibnu Hajar Haitami,  Tuhfah al Muhtaj jilid II halaman 348)


المسبوق: من لم يدرك من قيام اﻹمام زمنا يسع الفاتحة بالنسبة إلى القراءة المعتدلة.( تحفة المحتاج 2/348).

Artinya: masbuq adalah orang yang tidak mendapati cukup waktu untuk membaca fatihah selama imam masih berdiri dengan ukuran bacaan orang yang pertengahan ( tidak cepat dan tidak lambat)

( Ibnu Hajar Haitami: Tuhfah al Muhtaj: jilid II halaman 348).

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa yang dikatakan masbuq itu tidak mesti karena terlambat datang ke tempat sembahyang, orang yang datang lebih awal untuk azan pun bisa dikatakan masbuq jika dia masih asyik berdiri dan terlambat dalam takbiratul ihram dan ketika sudah melakukan takbir dan sudah masuk dalam sembahyang dan jika dia tidak mendapatkan waktu lagi yang mencukupi untuk membaca fatihah, maka dia walaupun orang azan tetap dihukumi orang masbuq. 

و الله اعلم بالصواب

NASBUQ DALAM SEMBAHYANG

 Ada tiga Macam masbuq dalam sembahyang sebagai berikut:


1.        Masbuq karena terlambat dalam raka’at. Artinya seorang makmum belum sempat takbiratul ihram, sementara imam sudah dalam raka’at  kedua atau lebih. Dalam hal ini masbuq boleh setelah melakukan takbiratul ihram langsung mengikuti perbuatan imam, kemudian rakaat yang kurang ditambah setelah imam melakukan salam.

2.        Masbuq karena seorang makmum ketika melakukan takbiratul ihram mendapatkan imamnya sedang ruku’, ketika itu makmum boleh langsung ruku’ bersama imam tanpa membaca fatihah. Raka’at yang tanpa membaca fatihah tersebut dianggap satu rakaat bagi makmum.

3.        Masbuq karena makmum belum habis membaca fatihah , tiba2 imam sudah ruku, maka makmum tidak perlu menghabiskan bacaan fatihah, tetapi langsung ruku’ mengikuti imam. Ini juga raka’at yang tanpa membaca fatihah secara sempurna tersebut dianggap satu rakaat bagi makmum.

Pengertian masbuq adalah makmum yang terlambat. Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang lebih tepat (kalau ingin memberi nama utk masbuq) untuk no 1 adalah masbuq rakaat dan untuk no 2 dan 3 adalah masbuq bacaan al-Fatihah. Disebut masbuq raka’at karena rakaatnya makmum ada yg tertinggal. Dan disebut masbuq al-al-fatihah karena tidak sempat membaca al-Fatihah semuanya atau sebagiannya. Sedangkan takbiratul ihram wajib dibaca dalam keadaan apapun pada waktu memulai shalat, meskipbun dia masbuq sekalipun. Karena itu tidak tepat dinamai dengan masbuq takbirarul ihram.

والله اعلم بالصواب


Minggu, 04 Juli 2021

PERBEDAAN SEBAB DENGAN ILLAT

Oleh: Tgk Dailami 

As-sabab (sebab) adalah tanda/indikator mengenai kapan hukum harus dilaksanakan. Sebagai contoh tergelincirnya matahari menjadi tanda atau indikator masuknya pelaksanaan waktu shalat jum’at. Sebagaimana hadist dari Salamah bin akwa’, dia berkata:

كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ
"Kami shalat Jum'at bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika matahari tergelincir. Setelah itu kami pulang dalam keadaan masih perlu mencari-cari naungan untuk tempat berlindung."(HR. Muslim no. 1423)
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa ‘illat adalah dasar/alasan pensyariatan hukum sedangkan as-sabab bukan alasan/dasar pensyaraiatan hukum melainkan hanya tanda kapan pelaksanaan hukum yang telah disyaraiatkan oleh dalil yang lain. Tergelincirnya waktu bukan menjadi pemicu/dasar mengenai wajibnya shalat jum’at. Akan tetapi kewajiban shalat jumat ditetapkan berdasarkan mantuq dari ayat 9 surah al-jumu’ah di atas.

Demikian pula tergelincirnya matahari merupakan sebab (waktu) pelaksanaan shalat dzuhur. Sebagaimana firman Allah SWT:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (QS. Al-Isra’[17]:78).
Akan tetapi wajibnya shalat lima waktu (termasuk dzuhur) tidak didasarkan pada tergelincirnya matahari akan tetapi berdasarkan dalil yang lain.

Contoh yang lain adalah terlihatnya hilal (bulan baru) merupan sebab kapan shaum ramadhan mesti dilaksanakan, berdasarkan hadist nabi:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
Berpuasalah kalian karena melihat hilal (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan hukum tentang wajibnya puasa tidak ditetapkan berdasarkan dalil ini, tetapi dengan dalil lain, diantaranya perintah Allah dalam surah al-Baqarah ayat 183.
Ditinjau dari segi hubungannya dengan hukum syariat dan konsekuensinya. ‘illat menempel pada hukum dengan konsekuensi jika ‘illatnya ada maka hukum berlaku, sedang jika ‘illatnya tidak ada maka hukum yang berkaitan dengan ‘illat tidak berlaku. Sedangkan sebab berada sebelum terwujudnya hukum. Jika sebab ada/terpenuhi maka hukum wajib dilaksanakan (jika status hukumnya wajib, seperti shalat dan puasa ramadhan). Akan tetapi jika sebab tidak ada maka pelaksanaan hukum saat itu tidak wajib, meski kewajiban tidak gugur (dalam arti jika sebab terpenuhi maka kewajiban tersebut tetap harus dilaksanakan). Sebagai contoh hukum shalat jum’at adalah wajib, hukum wajibnya shalat jumat senantiasa tetap mengikuti dalil yang menegaskan kewajibannya. Hanya saja kapan waktu wajib pelaksanaannya bergantung pada datangnya sebab yakni tergelincirnya matahari. Jika matahari telah tergelincir maka wajib pelaksanaanya telah jatuh, tetap jika matahari masih ditengah langit (belum tergelincir) maka waktu pelaksanaannya belum jatuh.
Ditinjau dari sisi cakupan pemberlakuannya. Cakupan pemberlakuan ‘illat tidak hanya terbatas pada hukum yang disebutkan dalam nash, akan tetapi dapat diterapkan pada kasus-kasus lain yang berkesesuaian ‘illatnya. Sebagai contoh ‘illat telalaikannya shalat jum’at tidak hanya berlaku untuk larangan jual-beli, akan tetapi juga kasus-kasus lain yang dapat menghalangi orang untuk melaksanakan shalat jumat seperti proses belajar mengajar, jasa taksi angkot, dsb. Sedangkan sebab hanya berlaku untuk kasus khusus yang tercantum dalam nash. Tergelincirnya matahari hanya menjadi sebab untuk jatuhnya pelaksanaan shalat dzuhur atau jum’at dan tidak bisa dijadikan sebab untuk waktu shalat yang lain.

Wallahu 'alam bissawab