KENDURI MAULID, BID’AH
KAH?
Oleh
: Tgk Dailami*)
Peringatan
kelahiran Nabi SAW atau di Aceh lebih dikenal dengan “Molod” adalah sebuah
kegiatan untuk memuliakan kelahiran Rasulullah SAW, di Aceh kegiatan ini sudah
berlangsung secara turun temurun dan tidak di ketahui secara pasti sejak kapan
kegiatan tersebut pertama kali terjadi di Aceh. Dalam catatan sejarah seperti
yang tertulis di dalam kitab I’anathu Thalibin
bahwa orang pertama yang merayakan maulid dari kalangan raja-raja adalah raja
al-Mudhaffar Abu Said seorang penguasa di Irbil, Baghdad. Beliau adalah adik
ipar dari sulthan Salahuddin al-Ayyubi yang merupakan Panglima Besar Perang
Salib dari kaum muslimin. Pada perayaan itu raja al-Mudhaffar membuat perayaan
yang sangat mewah, pada jamuan itu di sediakan 5000 ekor kambing, 10.000 ekor
ayam, 100.000 keju, dan 30.000 piring manisan. Dan pada perayaan maulid itu di
hadiri oleh banyak ulama dan orang-orang sufi, biaya yang dikeluarkan untuk
perayaan maulid tersebut adalah 300.000 dinar.
Sampai sekarang, kegiatan ini
menjadi rutinitas di berbagai daerah di Indonesia dan di seluruh belahan dunia
yang di laksanakan oleh kaum muslimin. Dan tata cara pelaksanaannya pun
berkembang mengikuti perkembamgan zaman sesuai dengan sosial budaya suatu
daerah atau tempat. Dari yang paling sederhana seperti cukup dengan pembacaan
kitab al-Barzanji seperti yang sering
kita lihat di desa-desa di Aceh, ataupun secara megah seperti yang di
laksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah seperti kantor Bupati ataupun kantor
Gubernur, atau lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah dan di kampus
yang di lakukan dengan bermacam-macam variasi.
Namun pada akhir-akhir ini sudah
banyak kelompok masyarakat ataupun perseorangan yang mengatakan bahwa
peringatan kelahiran Nabi “Molod” adalah perbuatan bid’ah, bahkan ada yang
menentang peringatan maulid Nabi SAW dengan berbagai argumen yang mengatakan
bahwa peringatan ini adalah sesat menyesatkan yang di larang agama. Namun
terkadang kelompok yang kontra peringatan maulid juga kurang arif dan bijaksana
dalam menyampaikan argumennya, di lain pihak orang yang melaksanakan peringatan
maulid itu sendiri juga banyak yang kurang memahami bahkan juga tidak
menghayati dan mengerti apa sebenarnya hakikat maulid itu sendiri.Karena hal
tersebut maka penulis menilai bahwa
waiar apabila timbul pro dan kontra masalah peringatan maulid yang sebenarnya
merupakan kesalahan pemahaman mereka itu sendiri tentang hakikat peringatan
maulid.
Hafizh Assuyuti menyebutkan dalam
kitab Fatawi dalam bab walimah bahwa ada
orang yang bertanya tentang perayaan maulid nabi pada bulan Rabi’ul awal apakah
hukumnya menurut pandangan syara’, apakah terpuji atau tercela? Apakah
pelakunya mendapat pahala atau tidak? Beliau menjawab “menurut saya, pada
dasarnya perayaan maulid yaitu orang-orang berkumpul dan membaca apa yang mampu
mereka baca dari al-Quran dan riwayat-riwayat tentang awal kehidupan Rasulullah
Saw dan bukti-bukti yang terjadi ketika kelahiran beliau. Kemudian kepada
mereka di hidangkan makanan dan minuman, kemudian sesudah makan mereka pergi
dan mereka tidak melakukan selain itu, menurut Assuyuti itu merupakan bid’ah
hasanah dan pelakunya mendapat pahala karena di dalamnya terdapat pengagungan
terhadap Rasulullah SAW dan menampakkan kesenangan dan kebahagiaan dengan
kelahiran rasulullah SAW.
Secara garis besar, di kalangan
ulama terdapat dua kelompok yang pro dan
kontra terkait peringatan maulid.
Pertama. Ibnu
Taimiyah yang tidak mengakui legalitas peringatan maulid Nabi SAW mengatakan
bahwa peringatan maulid adalah bid’ah dan tidak di sukai oleh ulama salaf
karena tidak adanya Nash yang menganjurkannya dan juga tidak pernah di jumpai
peringatan tersebut pada masa para sahabat, tabi’ maupun tabi’in sehingga
peringatan tersebut merupakan pembaharuan yang di tolak dalam agama sesuai
dengan hadis Nabi SAW ;”Barangsiapa
memperbaharui dalam urusan agama maka tertolak”. Dan hadis Nabi SAW:”Tiap-tiap bid’ah adalah sesat, dan tiap-tiap
yang sesat adalah masuk neraka”. Berdasarkan hadist tersebut kelompok Ibnu
Taimiyah menolak peringatan kelahiran Nabi SAW karena tidak ada perintah untuk
memperingatinya bahkan menurut kelompok ini peringatan maulid Nabi adalah di
larang dalam agama. Apalagi melihat kenyataan sekarang peringatan maulid tidak
lebih dari sekadar rutinitas tahunan yang mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
tanpa memikirkan makna dan nilai-nilai perjuangan Rasulullah yang terkandung
dalam peringatan maulid tersebut, contohnya sering kita lihat banyak orang yang
sekadar ikut-ikutan merayakannya dan bahkan ada orang yang merayakannya secara pribadi, begitu selesai kegiatan
tersebut malah shalat lima waktu saja bisa terabaikan, padahal shalat itu
sendiri adalah tonggak agama, ironis memang!
Kedua.
Mayoritas ulama sekarang menganggap peringatan maulid adalah kegiatan yang di
benarkan oleh agama berdasarkan beberapa hadist melalui ijtihad mereka seperti
yang tersebut di dalam kitab fatawi as-Suyuti:”Hukum asal amalan maulid adalah bid’ah yang tidak di dapatkan dari
seorang ulama salaf pun selama tiga abad. Walaupun demikian sungguh terdapat
berbagai kebaikan dan juga sebaliknya, karena itulah siapa saja yang melihat
kebaikan yang ada di dalamnya dan menjauhi kebalikannya, maka peringatan maulid
adalah bid’ah hasanah. Jika tidak demikian, maka bukan bid’ah hasanah, akan
tetapi bid’ah madzmumah”. Imam as-Suyuthi juga memberikan dalil lain yaitu
aqiqah Nabi SAW bagi dirinya sendiri, padahal kakek beliau Abdul Muthalib sudah
mengaqiqahi setelah tujuh hari kelahiran Nabi SAW, dan aqiqah hanya di
syariatkan satu kali seumur hidup. Maka perbuatan Nabi SAW ini dapat di pahami
sebagai rasa syukur atas kelahiran beliau di dunia ini
Sudah
selayaknya bagi orang Islam untuk mensyukuri, berbahagia dan senang atas
kelahiran Nabi SAW yang merupakan karunia yang tiada ternilai harganya dari
Allah SWT, apalagi nikmat iman dan islam yang merupakan nikmat yang paling
terbesar dari Allah SWT lantaran di utusnya Nabi SAW kepada umat manusia, dan
juga untuk memperbaiki akhlak manusia yang sudah sangat bobrok pada waktu itu
sesuai dengan sabda beliau: “Innama
Bu’istu Li utammima makarimal akhlak( Aku
di utus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak manusia)”.
Dan
sangat patut dan wajar bagi kita ummat Nabi Muhammad SAW apabila kita mengenang
dan mengingat kembali peristiwa yang sangat bersejarah tersebut untuk kita
jadikan sebagai momentum untuk meningkatkan kembali nilai-nilai spritualitas
kita yang mulai pudar kearah yang lebih baik lagi. Dari hal tersebut dapat kita
pahami bahwa hakikat peringatan maulid adalah sebagai perantaraan ungkapan rasa
senang dan syukur kita atas kelahiran sang juru penyelamat umat yang mesti
lakukan sebagaimana perintah Allah SWT: “Dan
bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku.” (QS.
Al-Baqarah: 152)
Dari
fakta khilafiyah ini, walaupun di Aceh khilafiyah ini jarang muncul ke
permukaan publik, tapi semestinya kita dapat menentukan sikap bijaksana tanpa
harus ikut terseret ke dalam konflik khilafiyah yang dapat membawa ummat Islam
ke dalam jurang pemisah dan berpecah belah. Padahal banyak sekali persoalan
besar yang terjadi dalam masyarakat yang harun s di selesaikan oleh umat Islam
pada saat ini. Kita harapkan kepada Ulama-ulama kita sebagai pelita kehidupan
supaya memberikan pemahaman maulid yang sebenarnya kepada masyarakat kita sehingga masyarakat tahu bagaimana
sebenarnya hakikat kita memperingati
kelahiran Nabi SAW, agar kegiatan yang di laksanakan tersebut benar-benar dapat menjadikan kita seorang
Muslim yang sejati yang mengikuti jejak-jejak perjuangan dan suri teladan dari
Nabi SAW, dan agar kegiatan tersebut bukan sekedar rutinitas tahunan.. Wallahu
a’alam bissawab.
*) Penulis
adalah Tgk. Dailami, S.Pd.I. Pengajar di Dayah Babussalam Matang Kuli dan
Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara
Gelombang II (2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar