Sabtu, 28 September 2019

KENDURI MAULID, BID’AH KAH?


KENDURI MAULID, BID’AH KAH?
Oleh : Tgk Dailami*)

Peringatan kelahiran Nabi SAW atau di Aceh lebih dikenal dengan “Molod” adalah sebuah kegiatan untuk memuliakan kelahiran Rasulullah SAW, di Aceh kegiatan ini sudah berlangsung secara turun temurun dan tidak di ketahui secara pasti sejak kapan kegiatan tersebut pertama kali terjadi di Aceh. Dalam catatan sejarah seperti yang tertulis di dalam kitab I’anathu Thalibin bahwa orang pertama yang merayakan maulid dari kalangan raja-raja adalah raja al-Mudhaffar Abu Said seorang penguasa di Irbil, Baghdad. Beliau adalah adik ipar dari sulthan Salahuddin al-Ayyubi yang merupakan Panglima Besar Perang Salib dari kaum muslimin. Pada perayaan itu raja al-Mudhaffar membuat perayaan yang sangat mewah, pada jamuan itu di sediakan 5000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 keju, dan 30.000 piring manisan. Dan pada perayaan maulid itu di hadiri oleh banyak ulama dan orang-orang sufi, biaya yang dikeluarkan untuk perayaan maulid tersebut adalah 300.000 dinar.
            Sampai sekarang, kegiatan ini menjadi rutinitas di berbagai daerah di Indonesia dan di seluruh belahan dunia yang di laksanakan oleh kaum muslimin. Dan tata cara pelaksanaannya pun berkembang mengikuti perkembamgan zaman sesuai dengan sosial budaya suatu daerah atau tempat. Dari yang paling sederhana seperti cukup dengan pembacaan kitab al-Barzanji seperti yang sering  kita lihat di desa-desa di Aceh, ataupun secara megah seperti yang di laksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah seperti kantor Bupati ataupun kantor Gubernur, atau lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah dan di kampus yang di lakukan dengan bermacam-macam variasi.
            Namun pada akhir-akhir ini sudah banyak kelompok masyarakat ataupun perseorangan yang mengatakan bahwa peringatan kelahiran Nabi “Molod” adalah perbuatan bid’ah, bahkan ada yang menentang peringatan maulid Nabi SAW dengan berbagai argumen yang mengatakan bahwa peringatan ini adalah sesat menyesatkan yang di larang agama. Namun terkadang kelompok yang kontra peringatan maulid juga kurang arif dan bijaksana dalam menyampaikan argumennya, di lain pihak orang yang melaksanakan peringatan maulid itu sendiri juga banyak yang kurang memahami bahkan juga tidak menghayati dan mengerti apa sebenarnya hakikat maulid itu sendiri.Karena hal tersebut  maka penulis menilai bahwa waiar apabila timbul pro dan kontra masalah peringatan maulid yang sebenarnya merupakan kesalahan pemahaman mereka itu sendiri tentang hakikat peringatan maulid.
            Hafizh Assuyuti menyebutkan dalam kitab  Fatawi dalam bab walimah bahwa ada orang yang bertanya tentang perayaan maulid nabi pada bulan Rabi’ul awal apakah hukumnya menurut pandangan syara’, apakah terpuji atau tercela? Apakah pelakunya mendapat pahala atau tidak? Beliau menjawab “menurut saya, pada dasarnya perayaan maulid yaitu orang-orang berkumpul dan membaca apa yang mampu mereka baca dari al-Quran dan riwayat-riwayat tentang awal kehidupan Rasulullah Saw dan bukti-bukti yang terjadi ketika kelahiran beliau. Kemudian kepada mereka di hidangkan makanan dan minuman, kemudian sesudah makan mereka pergi dan mereka tidak melakukan selain itu, menurut Assuyuti itu merupakan bid’ah hasanah dan pelakunya mendapat pahala karena di dalamnya terdapat pengagungan terhadap Rasulullah SAW dan menampakkan kesenangan dan kebahagiaan dengan kelahiran rasulullah SAW.
            Secara garis besar, di kalangan ulama terdapat  dua kelompok yang pro dan kontra terkait peringatan maulid.
Pertama. Ibnu Taimiyah yang tidak mengakui legalitas peringatan maulid Nabi SAW mengatakan bahwa peringatan maulid adalah bid’ah dan tidak di sukai oleh ulama salaf karena tidak adanya Nash yang menganjurkannya dan juga tidak pernah di jumpai peringatan tersebut pada masa para sahabat, tabi’ maupun tabi’in sehingga peringatan tersebut merupakan pembaharuan yang di tolak dalam agama sesuai dengan hadis Nabi SAW ;”Barangsiapa memperbaharui dalam urusan agama maka tertolak”. Dan hadis Nabi SAW:”Tiap-tiap bid’ah adalah sesat, dan tiap-tiap yang sesat adalah masuk neraka”. Berdasarkan hadist tersebut kelompok Ibnu Taimiyah menolak peringatan kelahiran Nabi SAW karena tidak ada perintah untuk memperingatinya bahkan menurut kelompok ini peringatan maulid Nabi adalah di larang dalam agama. Apalagi melihat kenyataan sekarang peringatan maulid tidak lebih dari sekadar rutinitas tahunan yang mengeluarkan biaya yang tidak sedikit tanpa memikirkan makna dan nilai-nilai perjuangan Rasulullah yang terkandung dalam peringatan maulid tersebut, contohnya sering kita lihat banyak orang yang sekadar ikut-ikutan merayakannya dan bahkan ada orang yang merayakannya  secara pribadi, begitu selesai kegiatan tersebut malah shalat lima waktu saja bisa terabaikan, padahal shalat itu sendiri adalah tonggak agama, ironis memang!
Kedua. Mayoritas ulama sekarang menganggap peringatan maulid adalah kegiatan yang di benarkan oleh agama berdasarkan beberapa hadist melalui ijtihad mereka seperti yang tersebut di dalam kitab fatawi as-Suyuti:”Hukum asal amalan maulid adalah bid’ah yang tidak di dapatkan dari seorang ulama salaf pun selama tiga abad. Walaupun demikian sungguh terdapat berbagai kebaikan dan juga sebaliknya, karena itulah siapa saja yang melihat kebaikan yang ada di dalamnya dan menjauhi kebalikannya, maka peringatan maulid adalah bid’ah hasanah. Jika tidak demikian, maka bukan bid’ah hasanah, akan tetapi bid’ah madzmumah”. Imam as-Suyuthi juga memberikan dalil lain yaitu aqiqah Nabi SAW bagi dirinya sendiri, padahal kakek beliau Abdul Muthalib sudah mengaqiqahi setelah tujuh hari kelahiran Nabi SAW, dan aqiqah hanya di syariatkan satu kali seumur hidup. Maka perbuatan Nabi SAW ini dapat di pahami sebagai rasa syukur atas kelahiran beliau di dunia ini
Sudah selayaknya bagi orang Islam untuk mensyukuri, berbahagia dan senang atas kelahiran Nabi SAW yang merupakan karunia yang tiada ternilai harganya dari Allah SWT, apalagi nikmat iman dan islam yang merupakan nikmat yang paling terbesar dari Allah SWT lantaran di utusnya Nabi SAW kepada umat manusia, dan juga untuk memperbaiki akhlak manusia yang sudah sangat bobrok pada waktu itu sesuai dengan sabda beliau: “Innama Bu’istu Li utammima makarimal akhlak( Aku di utus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak manusia)”.
Dan sangat patut dan wajar bagi kita ummat Nabi Muhammad SAW apabila kita mengenang dan mengingat kembali peristiwa yang sangat bersejarah tersebut untuk kita jadikan sebagai momentum untuk meningkatkan kembali nilai-nilai spritualitas kita yang mulai pudar kearah yang lebih baik lagi. Dari hal tersebut dapat kita pahami bahwa hakikat peringatan maulid adalah sebagai perantaraan ungkapan rasa senang dan syukur kita atas kelahiran sang juru penyelamat umat yang mesti lakukan sebagaimana perintah Allah SWT: “Dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)
Dari fakta khilafiyah ini, walaupun di Aceh khilafiyah ini jarang muncul ke permukaan publik, tapi semestinya kita dapat menentukan sikap bijaksana tanpa harus ikut terseret ke dalam konflik khilafiyah yang dapat membawa ummat Islam ke dalam jurang pemisah dan berpecah belah. Padahal banyak sekali persoalan besar yang terjadi dalam masyarakat yang harun s di selesaikan oleh umat Islam pada saat ini. Kita harapkan kepada Ulama-ulama kita sebagai pelita kehidupan supaya memberikan pemahaman maulid yang sebenarnya kepada masyarakat  kita sehingga masyarakat tahu bagaimana sebenarnya hakikat kita memperingati  kelahiran Nabi SAW, agar kegiatan yang di laksanakan tersebut  benar-benar dapat menjadikan kita seorang Muslim yang sejati yang mengikuti jejak-jejak perjuangan dan suri teladan dari Nabi SAW, dan agar kegiatan tersebut bukan sekedar rutinitas tahunan.. Wallahu a’alam bissawab.

*) Penulis adalah Tgk. Dailami, S.Pd.I. Pengajar di Dayah Babussalam Matang Kuli dan
    Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara Gelombang II (2012).


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar