Minggu, 23 Oktober 2022

NAJIS BERCAMPUR BAHAN BANGUNAN


Jika ada orang bertanya, misalnya, jika para pekerja bangunan menggunakan air yang bernajis, seperti air got, atau pasir yang bercampur taik binatang sekalipun taik anjing yang sudah bercampur dalam pasir dan diaduk dengan semen menjadi bahan bangunan apalagi bangunan untuk lantai masjid, bagaimana hukumnya??

Menjawab pertanyaan tentang bahan bangunan bercampur najis apalagi bangunan masjid, kita bisa merujuk beberapa keterangan dalam kitab Fiqh Mazhab Syafii sebagai berikut”

1. Dalam Kitab Nihayatuz Zain karya Syekh Nawawi Banten dihalaman 8 disebutkan:

لو بنى المسجد بالاجر المعجون بالزبل و فرشت ارض المسجد به عفي عنه فتجوز الصلاة عليه و المشى عليه و لو مع رطوبة الرجل

Artinya: Apabila sebuah masjid dibangun dengan batu merah yang bahan dasarnya bercampur dengan kotoran hewan, kemudian lantai masjid dipasangi dengan batu tersebut, maka dimaafkan dan diperbolehkan melakukan shalat dan berjalan di atasnya meskipun kaki dalam keadaan basah.

2. Dalam Kitab Hasyiyah al-Jamal karya Syekh Sulaiman bin Jamal Juz 1 halaman 555:

وهل يجوز بيع الطوب المعجون بالزبل إذا أحرق وبناء المساجد به وفرش أرضها به ويصلى عليه بلا حائل وإذا اتصل به شيء من بدن المصلي أو ملبوسه في شيء من صلاته هل تصح صلاته أو لا ؟؟؟
فأجاب بما صورته الحمد لله نعم الخزف وهو الذي يؤخذ من الطين ويضاف إليه السرجين مما عمت به البلوى فيحكم بطهارته وطهارة ما وضع فيه من ماء أو مائع لأن المشقة تجلب التيسير. وأما الآجر المعجون بالسرجين ونحوه فيجوز بيعه وبناء المساجد به وفرش أرضها به وتصح الصلاة عليه بلا حائل

Artinya: Bolehkah menjual batu bata yang diaduk dengan kotoran binatang bila dibakar, digunakan membangun masjid, dijadikan lantai masjid, dilakukan shalat di atasnya dengan tanpa penghalang semacam sajadah, bila bersentuhan dengan badan atau pakaian orang shalat apakah sah shalatnya?

Maka menjawab ia: Tembikar yang dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran saat membuatnya maka dihukumi suci. Sedang batu bata yang dicampur dengan kotoran hewan dan sejenisnya, maka boleh menjualnya dan boleh pula membangun masjid dengannya, menjadikannya alas masjid serta sah shalat di atasnya meski tanpa memakai kain penghalang. 

3. Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyid Abdurrahman Ba’lawi Halaman 17:

وقال القاضي بطهور المصبوح بالنجس أي مطلقا

Al-Qadli ( Qadhi Husen) berpendapat tentang sucinya barang yang dicetak bercampur najis secara mutlaq.

Dari beberapa keterangan dalam kitab-kitab mazhab Imam Syafii di atas, baik dalam kitab matan, hasyiyah maupun kitab fatwa, semua sepakat bahwa bahan bangunan masjid yang berasal dari campuran benda najis tidak menjadikan bangunan itu najis. Ia tetap dihukumi suci, walaupun bangunan masjid..
Semoga dapat bermanfaat..

و الله اعلم بالصواب

Senin, 18 Juli 2022

TIDUR, BATALKAH WUDHUK?


Satu hal yang sering dialami para Jamaah Jumat adalah tertidur saat khatib sedang berceramah, kalau tertidur pasti hilang kesadaran, dalam kondisi tidak sadar seperti ini apakah tidak batal wudhuknya? bukankah salah satu hal yang membatalkan wudhuk adalah hilang akal seperti tidur.

Untuk memudahkan kita khususnya pengikut mazhab Syafi’i untuk mengetahui dan memahami batal atau tidaknya wudhuk kita jika tertidur, salah seorang ulama kotemporer Mazhab Syafi’i bernama Habib Hasan bin Ahmad dalam kitab التقريرات السديدة فى المسائل المفيدة
merincikan syarat2nya.

شروط النوم الذي لا ينقض الوضوء أربعة:  أن يكون ممكنا مقعدته من الأرض بأن تكون مقعدته (فتحة الدبر) ملتصقة بالأرض بحيث لا يمكن خروج الريح.
أن يكون معتدل الخلقة أي ليس مفرطا في البدانة و لا في النحول 
أن سيتيقظ على الحالة التي نام عليها
أن لا يخبره عدل بخروج ريح منه أثناء نومه.

Syarat tidur yang tidak membatalkan wudhu ada empat:
1. Dia tertidur dalam keadaan tetap duduknya yang mana dubur nya menempel ke bumi sekira-kira tidak bisa keluar angin ( kentut )
2. Dia bertubuh sedang artinya dia tidak terlalu gemuk tidak pula tidak terlalu kurus.
3. Dia harus bangun dari tidurnya tersebut dalam keadaan posisi dia pertama kali tidur.
4. Tidak ada orang yang adil yang memberitahukan padanya bahwasanya dia ketika tidur tadi mengeluarkan angin kentut.
Kalau ada orang adil yang memberitahukannya maka dianggap batal wudhuknya.


Rabu, 29 Juni 2022

ALLAH TIDAK BERJISIM ( Memahami hadis tentang Dajjal dengan tepat )


Salah satu alasan orang mujassimah dalam mempropaganda orang awam bahwa Allah itu berjisim( bertubuh) adalah dengan memplesetkan makna sebuah hadis yang bercerita tentang ciri Dajjal. Salah satu redaksi Hadis tersebut berbunyi:

ما بَعَثَ اللَّهُ مِن نَبِيٍّ إلّا أنْذَرَ قَوْمَهُ الأعْوَرَ الكَذّابَ، إنَّهُ أعْوَرُ وإنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأعْوَرَ

"Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi kecuali dia memperingatkan kaumnya tentang si buta sebelah yang pembohong besar. Sesungguhnya dia buta sebelah dan Tuhanmu tidaklah buta sebelah". (HR. Bukhari)

Dalam versi riwayat lainnya disebutkan bahwa yang cacat adalah mata kanan si dajjal. Versi lainnya menyebutkan bahwa Nabi Muhammad menjelaskan cacat itu sambil menunjuk mata kanan beliau sebagai tanda bahwa mata kanan si dajjal yang buta.

Orang mujassimah di setiap masa sampai sekarang seolah kegirangan dengan hadis tersebut yang menurut mereka adalah bukti paling jelas bahwa Allah adalah jisim bermata dua dan kedua matanya sehat semua tidak picek (buta sebelah). Dajjal kan jisim buta sebelah, jadi ketika Nabi bersabda bahwa Allah tidak buta sebelah artinya Allah adalah jisim yang mempunyai dua mata dan dan keduanya berfungsi. Begitulah nalar sesat mereka menyimpulkan.

Meskipun seolah benar, pemahaman mereka sebenarnya sangat keliru dan hanya menunjukkan bahwa otak mereka betul-betul menyamakan Allah dengan makhluk, meskipun semua tidak mau mengakui telah menyamakan Allah dengan makhluk.

Pemikiran itu timbul karena dalam benak mereka Allah sama dengan manusia. Ketika kita mendengar bahwa si Fulan tidak buta sebelah, pikiran kita akan menyimpulkan bahwa kedua mata si Fulan sehat semua. Jumlah dua mata ini muncul karena kita tahu bahwa manusia bermata dua. Andai yang dibicarakan adalah hewan, maka kata "tidak buta sebelah" tidak menunjukkan berapa jumlah matanya sebab hewan ada yang bermata empat, sepuluh bahkan ada yang sangat banyak. Misalnya saya katakan bahwa Chiton itu tidak buta sebelah, maka berapa jumlah matanya yang tidak buta? Anda takkan bisa menjawabnya kecuali menghitungnya satu persatu.

Karena itu mereka yang menyatakan bahwa Allah mempunyai mata berjumlah dua ('ainaini) sejatinya sedang menyamakan Allah dengan manusia. Andai dia membuang pikiran itu dan menyadari bahwa Allah maha berbeda, maka kesimpulan itu takkan terpikirkan. Kata-kata saya ini berlaku pada siapa pun termasuk pada tokoh-tokoh besar yang lumrahnya kita sebut imam.

Perlu diketahui bahwa tidak ada ayat atau hadis yang menyebutkan "dua mata" bagi Allah dengan penyebutan angka dua. Semua tokoh yang menyebutkan angka dua ini berdasar kesimpulannya pribadi terhadap hadis Dajjal. Ini kesalahan soal menyimpulkan jumlah.

Soal kejisiman logikanya juga sama. Kata "tidak buta sebelah" adalah kata penafian. Yang bisa disimpulkan dari kebalikan kata itu tergantung objek yang dibahas. Bila objeknya jisim atau tubuh, maka berlaku kaidah jisim. Bila objeknya bukan jisim, maka tidak berlaku kaidah jisim.

Simak contoh berikut agar jelas:

Kalimat "Timbangan itu tidak berat sebelah" berbicara tentang jisim dan bobot dari neraca timbangan. Namun kalimat "Penilaianku tidak berat sebelah" sama sekali bukan soal jisim atau pun bobot, tapi soal keadilan. Kalimatnya sama tetapi bila objek yang dibicarakan berbeda maka kesimpulannya juga harus berbeda.

Dengan demikian ketika membaca kata "Allah tidak buta sebelah", pembaca yang berakidah tajsim akan langsung memberlakukan kesimpulan tajsim pada Allah. Sedangkan pembaca yang berakidah tanzih (Ahlussunnah wal Jamaah) sama sekali tidak akan sampai pada kesimpulan tersebut sebab baginya Allah berbeda mutlak dengan jisim. Berbeda jauh ketika ojbjek yang dibahas adalah jisim dan ketika objeknya Allah. Ketika yang dibahas adalah Allah, maknanya tak lebih dari sekedar Allah Maha Melihat dengan sempurna tanpa ada celah sedikit pun yang mengurangi sifat ke-Maha Melihat-an Allah.

Agar makin jelas, coba perhatikan contoh kalimat penegasian yang juga disebutkan dalam al-Qur'an berikut:
"Allah tidak mengantuk dan tidak tidur" . Ketika orang mujassimah membaca kalimat ini maka pikiran sesatnya akan menyimpulkan bahwa mata Allah selalu segar bugar dan tidak pernah lama terpejam seperti saat manusia tidur. Dia lah yang terlebih dahulu menyamakan Allah dengan manusia sehingga sampai pada kesimpulan semacam itu. Tetapi bila yang membaca kalimat itu adalah ahli tanzih (Ahlussunnah wal Jamaah), maka yang dia pahami dari itu tak lebih dari sekedar pengawasan Allah yang tidak mengenal jeda apalagi berhenti.

"Allah tidak beranak". Ketika orang mujassimah membaca kalimat ini, pikiran sesatnya mungkin saja akan menyimpulkan bahwa Allah mandul atau bahwa tidak pernah ada sosok yang dilahirkan dari kelaminnya. Maha Suci Allah dari pikiran yang super bodoh semacam ini. Ketika ahli tanzih membaca itu, maka pikirannya hanya akan sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terpisah dari Dzat Allah yang non-jisim itu. Sama sekali bukan soal mandul dan bukan soal kelamin sebab Allah tidak punya badan.

"Allah tidak dilahirkan". Ketika orang mujassimah membaca kalimat ini, otak mujassimnya bisa jadi akan bertanya-tanya jangan-jangan Allah ada karena berevolusi tanpa proses reproduksi? Maha Suci Allah dari pertanyaan yang super bodoh ini. Dia menyamakan Allah dengan jisim terlebih dahulu sehingga pertanyaan itu muncul. Bagi Ahlussunnah wal Jamaah, maknanya tidak lebih dari sekedar penegasan bahwa Allah itu qadim yang selalu ada tanpa didahului dengan ketiadaan dan tidak juga berasal dari entitas lain sebelumnya sebab memang tidak ada sesuatu pun sebelum Allah. Bahkan kata "sebelum Allah" pun sebenarnya salah.

Jadi, memahami kebalikan dari sebuah kalimat tidaklah sesederhana yang dipikirkan otak bodoh orang mujassimah. Perlu diketahui dengan jelas terlebih dahulu hakikat dari objek yang dibahas. Ketika yang dibahas adalah Allah yang maha berbeda dari segala isi semesta, maka jangan sampai pola pikirnya sama seperti saat membahas hal lain.

Kesimpulan Hadis tersebut membicarakan soal Dajjal yang dinyatakan tidak sama dengan Allah.
Pertanyaannya, selain soal buta sebelahnya mata, sama atau tidak antara Allah dan Dajjal? Para Mujassimah di sekitar kita takkan berani menjawab pertanyaan ini sebab takut divonis musyabbih (orang yang menyamakan Allah dengan makhluk). Tapi dalam pikirannya jelas bahwa selain soal buta sebelahnya mata semua sama antara keduanya sehingga mereka bangga sekali berdalil dengan hadis itu untuk menjisimkan Allah.

Bagi mereka, ciri yang membedakan Allah dengan Dajjal hanya soal buta sebelah sedangkan soal yang lain sama. Karena Dajjal bermata dua, maka Allah pun dianggap bermata dua. Karena Dajjal berjisim, maka Allah pun dianggap berjisim. Karena organ lainnya tidak disebut dengan ciri berbeda oleh Nabi, maka mereka berasumsi bahwa organ lainnya sama meskipun pasti diakhiri dengan embel-embel "kaifiyahnya berbeda dan tak usah ditanya". Ini pikiran sesat yang takut untuk mereka ungkapan terus terang. Maha Suci Allah dari kesimpulan super bodoh semacam ini.

Dalam pemahaman ahlussunnah wal jamaah yang berciri khas tanzih, Allah bukanlah jisim dan Dzatnya bukanlah susunan organ-organ. Saat itu Nabi Muhammad hanya ingin menekankan sebuah fakta sederhana bahwa Dajjal yang mengaku Tuhan itu menyembuhkan mata kanannya saja tidak bisa. Semua orang bisa melihat bahwa matanya buta sebelah kanan sehingga bagaimana mungkin yang seperti ini mengaku Tuhan? Ini saja inti yang ingin beliau sampaikan, tak perlu dibayangkan macam-macam seolah Nabi Muhammad sedang menetapkan organ mata bagi Allah. Parahnya, para mujassim terlalu banyak mengkhayal lalu khayalan fasid mereka itu dinisbatkan pada Rasulullah.

Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan..

و الله اعلم بالصواب

Minggu, 19 Juni 2022

ABU LHOK NIBONG TELAH BERPULANG KERAHMATULLAH


Dihari kepulangan beliau menghadap ke hadhirat ilahi rabbi hari ini tanggal 19 Juni 2022 di RSUZA Banda Aceh jam 07.30 maka marilah kita iringi kepulangan beliau dengan doa semoga Allah menempatkan beliau ditempat yang layak disisiNya.

Dan dengan kepergian beliau ada baiknya juga kita kembali mengenang kisah kehidupan dan perjuangan semasa beliau masih hidup.
Nama asli beliau adalah Teungku Muhammad Daud Ahmad, namun setelah menjadi seorang alim, beliau lebih dikenal dengan sebutan Abu Lhoknibong dengan dayahnya Darul Huda atau dikenal pula dengan Abu Lueng Angen. Dahulu, semasa masih belajar dan mengajar di Dayah Mudi Mesra Samalanga, guru besarnya Abon Samalanga memanggilnya dengan panggilan “Teungku di Simpang” karena beliau berasal dari Simpang Ulim.

Abu Daud Lhoknibong memulai pengembaraan ilmunya berguru kepada Teungku Abdurrani yang dikenal dengan sebutan Teungku di Aceh. Beliau belajar kepada Teungku Di Aceh selama tiga tahun, namun karena suasana Aceh ketika itu sedang bergolak, beberapa kali beliau harus mengungsi.

Tepatnya pada tahun 1960 Abu Lhoknibong melanjutkan belajarnya kepada seorang ulama yang merupakan murid dari Teungku Syekh Muda Waly al-Khalidi yang dikenal mencetak banyak para ulama yaitu Abon Samalanga.

Kehadiran Abu Daud di Dayah Mudi Mesra ketika itu bak gayung bersambut, dimana Abu Daud kemudian menjadi tangan kanan dan ajudan gurunya dalam banyak hal. Sekitar 11 tahun kebersamaan guru dan muridnya ini, kemudian Abon mengizinkan Abu Lhoknibong yang telah alim untuk mendirikan dayah baru yang kemudian dikenal dengan nama Dayah Darul Huda Lhoknibong.

Disebutkan dalam tiga tahun pertama dayah ini hanya memiliki belasan santri saja. Namun setelah Abon Samalanga menerapkan “sistem dapur umum”, maka banyak para santri yang pindah dari Dayah Mudi Mesra Samalanga ke dayah lainnya termasuk dayah yang banyak dituju adalah Darul Huda dan Dayah Malikussaleh Panton.

Barulah kemudian berdatangan banyak santri dari Aceh dan luar Aceh untuk belajar ke Dayah Darul Huda Lhoknibong. Sehingga tidak mengherankan jika Dayah Darul Huda kemudian berkembang begitu pesat, bahkan sekarang Dayah Darul Huda telah memiliki lebih dari 40 cabang lainnya yang berafiliasi sebagai lulusan Darul Huda Lhoknibong termasuk Dayah Bustanul Huda Julok yang dipimpin oleh Abu Muhammad Ali Paya Pasi juga memiliki kaitan dengan Dayah Abu Daud Lhoknibong.

Dengan penuh dedikasi dan ketulusan dalam memimpin dayah, maka Abu Daud telah mengorbit banyak para ulama yang terpandang dewasa ini sebut saja ketika beliau di Samalanga di antara muridnya adalah Abu MUDI Samalanga, Waled Nu Samalanga, Ayah Caleu dan umumnya para abu yang memimpin dayah lulusan Mudi Samalanga dipastikan pernah belajar dengan Abu Daud Lueng Angen.

Bahkan di Dayah Darul Huda juga banyak murid Abu Daud yang kemudian menjadi ulama terpandang di antaranya adalah Abi Ja’far Lueng Angen, Abu Muhammad Ali Paya Pasi dan para teungku yang bertebaran di seluruh Aceh. Adapun ulama yang meneruskan estafet Dayah Darul Huda adalah Abi Ja’far Lueng Angen. Selain dikenal sebagai guru besar Dayah Mudi Mesra dan tangan kanan Abon Samalanga, Abu Daud juga menguasai banyak disiplin ilmu keislaman, bahkan disebutkan beliau juga ahli dalam ilmu qira’at.

Tepatnya tahun 2016 setelah Abu melewati masa sakitnya yang agak lama, beliau kemudian membuat pertemuan dengan seluruh alumni Dayah Darul Huda, dimana hampir semua santrinya hadir ketika itu. Dalam video unggahan tersebut ada Abu Paya Pasi, Abu Abdullah Kruet Lintang dan para teungku lainnya yang telah menjadi ulama dan pimpinan dayah. Di saat itu Abu Lueng Angen berbicara dengan begitu semangat menyampaikan berbagai pesan keislaman dengan mengutip banyak ayat, hadis dan matan-matan kitab yang diucapkan dengan begitu fasih dan lancar.

Di akhir pidatonya Abu Daud memohon maaf kepada seluruh muridnya barangkali dulu ketika beliau mendidik mereka ada kekeliruan dalam ucapan maupun tindakannya. Itulah Abu Lueng Angen seorang ulama yang ‘alamah dan insaf.

Setelah pertemuan besar itu, Abu Lueng Angen lebih banyak diam dan jarang beliau berbicara ke publik, beliau lebih memilih mendoakan masyarakat Aceh dalam diamnya. Karena beliau adalah seorang yang mustajab doa.

Dulu tahun 1969 masyarakat di kawasan tempat tinggalnya dilanda oleh kemarau yang panjang namun saat beliau memimpin shalat istisqa’, maka di malam harinya turunlah hujan yang begitu lebat.

Sekarang Abu telah berpulang kerahmatullah dalam usia lebih dari 82 tahun, usia yang telah sepuh tentunya. Telah banyak kebaikan yang telah beliau persembahkan untuk masyarakatnya. Telah dihabiskan usia remaja dan mudanya untuk berkhidmah kepada gurunya, telah dipersembahkan untuk Islam akalnya yang cerdas, fisiknya yang gagah, hatinya yang bijaksana. Semoga Allah SWT menambah kemuliaan dan menempatkan Abu Daud Lhoknibong ditempat yang layak disisiNya..
Amiiinnn ya Allah ya Rabbal alamin..

Pirak Timu 19 Juni 2022


Sabtu, 18 Juni 2022

NADHAR ( BERFIKIR ) YANG DILUPAKAN.


Apa tanggapan kita jika seseorang yang memasuki sebuah rumah yang cantik megah, indah dan rapi susunan perabotnya, ketika ia masuk kedalam nya, duduk dan makan minum serta tidur  didalamnya, dan ia mempergunakan semua perabot yang tertata rapi yang ada di dalam nya tanpa ia mengenal siapa ypang punya rumah tersebut, dan seolah ia tidak perlu tahu siapa pemilik rumah, bahkan ia mengingkari pemilik rumah dan menganggap bahwa rumah itu tidak ada yang punya.
Terhadap orang begini tentu kita menduga ada dua kemungkinan, pertama orang tersebut tidak berakal atau gila, kedua orang tersebut memang berakal atau waras, kalau demikian tentu orang tersebut telah bersalah dan bisa dihukum dengan aturan yang berlaku.

Begitu juga dalam masalah aqidah, kita manusia yg mukallaf ( baligh ) diwajibkan untuk berfikir tentang alam ini sebagai dalil untuk mengokohkan keimanan kita kepada empunya alam ini, kewajiban ini sangat penting walau banyak dilupakan oleh kita manusia. 
Dan konsekuensinya ada 4 macam golongan manusia menurut Imam Haramain ( Kitab Ummu Barahin karangan Imam Muhammad Sanusi hal 56 )

1. Manusia yang hidup sesudah baligh atau15 tahun ke atas, dan dapat mempergunakan waktunya untuk berfikir tentang keadaan alam sehingga ia punya keyakinan kuat akan adanya Allah beserta segala sifat dan Kekuasaan Allah, selanjutnya manusia itupun beriman tentang Allah,maka manusia ini dapat disebut  sebagai orang yang beriman dan bermakrifat kepada Allah secara sempurna  sudah memenuhi makna dan maksud dari makrifat yaitu sebuah pengakuan yang kuat dan sesuai dengan yang sebenarnya yang disertai dengan dalil-dalil ( keterangan).

2. Manusia yang hidup sesudah baligh atau15 tahun ke atas, tapi tidak mempergunakan pikiran nya untuk berfikir tentang wujud, sifat dan perbuatan Allah sehingga pengakuan nya terhadap wujud Allah, sifat dan perbuatan Nya tidak kuat atau bimbang sampai ia pun meninggal, maka jumhur ulama berpendapat orang tersebut tidak bermakrifat samasekali. 
Akan tetapi jika imannya kuat sekalipun tidak mampu memberikan dalil maka terhadap sah imannya terdapat perbedaan pendapat ulama, sebagian ada yang mengatakan sah imannya dan sebagian mengatakan tidak sah karena ia termasuk golongan orang yang bertaqlid yang tidak memenuhi tuntutan syara' dalam masalah keimanan.

3. Manusia yang hidup sesudah baligh hanya beberapa saat saja, akan tetapi sempat mempergunakan pikiran nya untuk berpikir tentang masalah akidah dan ia pun meninggal, maka sepakat ulama mengatakan imannya sah sekalipun tidak sempurna. 

4. Manusia yang hidup sesudah baligh dan ada kesempatan untuk berpikir tentang masalah aqidah, akan tetapi kesempatan itu tidak dipergunakan untuk berfikir, malah pikiran nya dipergunakan untuk hal-hal lain hingga ia meninggal, maka tentang orang ini terjadi perbedaan pendapat ulama, ada yang mengatakan imannya sah, dan ada juga yang mengatakan tidak.

و الله اعلم باالصواب

Rabu, 08 Juni 2022

DALIL IJMALI DAN TAFSILI


Biasanya pengajian malam rabu selalu tentang materi fikah, tapi ada masukan jamaah agar ada pengajian tentang ilmu tauhid, saya pikir ya juga supaya tidak membosankan jika melulu tentang fikah.
Maka timbul keinginan juga untuk menulis sedikit rangkuman dari pengajian mungkin ada manfaat tambahan jika ditulis dan ada orang baca..
Sebagai bahan mukaddimah saya ambil isi kitab kifayatul awam, kitab standar ilmu tauhid di Dayah, tidak terlalu panjang juga tidak terlalu ringkas.
Bahasan pertama  tentang kewajiban untuk setiap muslim agar mengetaui aqa'id 50.
Matan kitab tersebut menyebutkan:
يجب على كل مسلم ان يعرف خمسين عقيدة و كل عقيدة يجب عليه ان يعرف لها دليلا اجماليا او تفصيليا
artinya: Wajib atas semua orang islam untuk mengetahui 50 aqidah, dan tiap aqidah wajib untuk diketahui dalilnya baik secara ringkas atau detil/terperinci.

Dari matan kitab tersebut dapat kita uraikan bahwa ada 2 macam dalil.

Pertama, dalil ijmali.
Artinya dalil ringkas secara global, Maknanya bahwa untuk meyakinkan hati tentang sesuatu kita harus mampu memberi keterangan walau secara global.

Contohnya begini, si A bertanya kepada si B: apakah engkau percaya ada tuhan? si B menjawab: saya percaya ada tuhan. Si A bertanya lagi apa dalilnya? si B menjawab: alam ini dalil tanda adanya tuhan.

Kedua, dalil tafsili.
yaitu dalil yang detil atau terperinci yang sanggup menguraikan tentang sesuatu hingga mengokohkan keyakinan kita terhadap sesuatu sehingga sanggup untuk membendung syubhat yang dihembuskan untuk meragukan keyakinan seseorang terhadap sesuatu tersebut. 
contohnya adalah pertanyaan si A kepada si B lagi: bagaimana engkau mengetaui adanya alam ini menjadi tanda adanya tuhan?, si B menjawab: karena adanya alam ini dengan tidak adanya adalah sama saja pada mulanya, boleh jadi ada dan boleh jadi tidak ada, dan ternyata alam sudah ada sekarang,  tentu pasti ada yang menjadikannya, tidak mungkin tiba2 alam ada dengan sendirinya, karena tidak mungkin sebuah timbangan yang pada mulanya sama berat, tiba2 berat sebelah tanpa ada yang memberatkan nya, akal tidak akan menerima bahwa berat sebelah itu tanpa sebab apa2, uraikan seperti ini sudah bisa kita sebut sebagai dalil tafsili.

Contoh lain yaitu alam ini berubah rubah, tiap yang berubah itu baru, jadi alam ini baru.
seterusnya tiap2 yang baru memerlukan kepada yangqqq menciptakan, maka alam ini memerlukan kepada menciptakan, siapa yang menciptakan?tentunya zat yang maha kuasa segalanya..

Atau kita lihat pada seekor ayam, ayam itu berasal dari telur ayam, telur ayam berasal dari ayam. 
atau buah kelapa berasal dari batangnya, batangnya berasal dari buah kelapa, dan seterusnya mundur kebelakang ..
Kejadian terus menerus tanpa berakhir ini, akal sulit untuk dapat menerima nya, pasti ada akhir, yang menciptakan ayam dan kelapa tersebut pertama kali.

Contoh lain misalnya buah durian atau mangga, lalu kita rasa dengan lidah, kenapa durian dan mangga manis dan enak, kenapa belimbing yang ditanam disamping pohon mangga buahnya masam, padahal pada tanah yang sama, lalu kenapa hanya lidah saja yang dapat merasa manis, kenapa hidung atau telinga kita tak bisa merasakan manis walau sama2 berlubang, kalau kita tuangkan durian ke hidung atau telinga tidak manis?
Setelah semua kemampuan akal digunakan untuk memperoleh jawaban diatas, tentu akal tak mampu untuk memberikan jawaban yang dapat memberikan kepuasan, maka akhirnya sampailah akal kepada sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang membuat durian atau mangga manis, belimbing masam kecuali ada sebuah kekuatan yang maha kuasa melakukan hal tersebut, maka  kekuatan itulah Allah swt yang maha kuasa...

semoga ada mamfaat..
amiiinnn 

Jumat, 20 Mei 2022

MUQADDIMAD KITAB DUSUQI 'ALA UMMI BARAHIN


 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

قَالَ الشَّيْخُ الْفَقِيْهُ الْوَلِيُّ الصَّالِحُ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ يُوْسُفَ السَّنُوْسِيُّ الْحَسَنِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَ نَفَعَنَا بِهِ وَ بِعُلُوْمِهِ، آمِيْن.


Asy-Syaikh al-Faqīh al-Walī ash-Shāliḥ Abū ‘Abdillāh Muḥammad Yūsuf as-Sanūsī al-Ḥasanī – semoga Allah ta‘ālā merahmatinya, memberi manfaat kepada kita dengannya dan ilmunya, amin: berkata:


الْحَمْدُ للهِ الْوَاسِعِ الْجُوْدِ وَ الْعَطَاءِ، الَّذِيْ شَهَدَتْ بِوُجُوْبِ وُجُوْدِهِ وَحْدَانِيَّتُهُ وَ عَظِيْمِ جَلَالِهِ وُجُوْبُ افْتِقَارِ الْكَائِنَاتِ كُلِّهَا إِلَيْهِ فِي الْأَرْضِ وَ السَّمَاوَاتِ،


“Segala Puji Bagi Allah Zat Yang Maha Luas Kedermawanan dan Pemberian-Nya, yang keesaan-Nya menjadi saksi atas kepastian wujud-Nya, dan kepastian butuhnya semua makhluk di bumi dan di langit kepada-Nya menjadi saksi atas keagungan-Nya,


الْعَزِيْزِ الَّذِيْ عَزَّ فِيْ مُلْكِهِ عَنْ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ شَرِيْكٌ فِيْ تَدْبِيْرِ شَيْءٍ مَّا، فَتَعَالَى اللهُ جَلَّ وَ عَزَّ عَنِ الشُرَكَاءِ،


Yang Maha Perkara yang perkasa di kerajaan-Nya dari sekutu baginya dalam mengatur apa pun – Maha Luhur Allah jalla wa ‘azza dari sekutu-sekutu


الرَّحِيْمِ الرَّحْمنِ الَّذِيْ عَمَّتْ نِعَمُهُ الْعَوَالِمُ كُلُّهَا فَلَا مُخَلِّصَ لِكَائِنٍ عَنْ تِلْكَ النَّعْمَاءِ.


Yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih yang nikmat-nikmatNya merata pada semua alam, maka tidak ada orang yang mampu menghitungnya,


الْوَاسِعِ الْكَرِيْمِ الْمُنْفَرِدِ بِالْإِيْجَادِ، فَلَا يُسْتَطَاعُ شُكْرُ نِعَمِهِ إِلَّا بِمَا هُوَ مِنْ نِعَمِهِ الْجَمَّاءِ،


Yang Maha Luas, Maha Mulia dan Yang Sendiri dalam menciptakan, maka tidak bisa mensyukuri nikmat-Nya kecuali dengan kesyukuran dari nikmat-nikmatNya yang banyak,


الْغَنِيِّ الْقُدُّوْسِ فَلَا وُصُوْلَ إِلَى شَيْءٍ مِنْ فَضْلِهِ إِلَّا بِمَحْضِ فَضْلِهِ، تَعَالَى رَبُّنَا وَ جَلَّ عَنِ الْأَغْرَاضِ وَ عَنِ الْأَعْوَانِ وَ الْوُكَلَاءِ وَ الْوُزَرَاءِ.


Yang Maha Kaya dan Maha Suci, maka tidak bisa mencapai anugerah-Nya kecuali dengan murni anugerah-Nya – Maha Luhur dan Maha Agung Tuhan kami yang suci dari tujuan, penolong, wakil dan wazir.


نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ عَلَى نِعَمٍ لَا تُحْصَى وَ حَمِدْنَا لَهُ جَلَّ وَ عَزَّ مِنْ أَجَلِّ الْآلَاءِ.


Aku memuji Allah Yang Maha Suci atas nikmat-nikmatNya yang tidak terhitung dan atas nikmat-Nya yang teragung.


وَ نَشْكُرُهُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ الَّذِيْ يَبْسُطُ بِفَضْلِهِ مُنْقَبِضَ الْقُلُوْبِ وَ الْأَلْسِنَةِ وَ الْجَوَارِحِ بِمَا شَاءَ مِنْ جَمِيْلِ الثَّنَاءِ.


Aku bersyukur kepada-Nya – tabāraka wa ta‘ālā – Yang Maha Pemberi Nikmat dengan nikmat yang muncul dari kecintaan-Nya dan yang Maha Pemberi nikmat dengan nikmat yang muncul karena kebutuhan hamba, yang dengan anugrah-Nya melapangkan orang-orang yang terkunci hati, lisan, dan anggota tubuhnya, dengan pujian yang indah.


وَ نَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةً نَشَأَتْ عَنْ مَحْضِ الْيَقِيْنِ، فَلَا يَطْرُقُ سَاحَتَهَا بِفَضْلِ اللهِ تَعَالَى ضُرُوْبُ الشُّكُوْكِ وَ الْاِمْتِرَاءِ.


Dan aku bersaksi, sungguh tidak ada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan syahadat yang muncul dari keyakinan murni, maka berkat anugerah Allah ta‘ālā berbagai macam keraguan dan kebimbangan tidak mendatangi hati yang menjadi tempatnya.


وَ نَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَ مَوْلَانَا مُحَمَّدًا (ص) عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ، شَهَادَةً نُدَخِّرُهَا بِفَضْلِ اللهِ تَعَالَى وَ جَمِيْلِ عَوْنِهِ لِمَا قَصُمَ الظُّهُوْرُ وَ أَذَابَ الْأَكْبَادَ مِنْ أَهْوَالِ الْمَوْتِ وَ الْقَبْرِ وَ مَا يَتَفَاقَمُ مِنَ الْمَعْضَلَاتِ فِيْ يَوْمِ الْبَعْثِ وَ الْجَزَاءِ.


Aku bersaksi, sungguh Sayyidinā wa Maulānā Muḥammad s.a.w., hamba dan utusan Allah, dengan syahadat yang dengan anugerah-Nya dan keindahan pertolongan-Nya, aku simpan karena kengerian kematian dan alam kubur yang menghancurkan raga, dan karena kedahsyatan yang menyusulnya di hari kebangkitan dan pembalasan.


وَ نُحُوْزُ بَفَضْلِ اللهِ تَعَالَى مَعَ الْآبَاءِ وَ الْأُمَّهَاتِ وَ الذُّرِّيَّةِ وَ الْإِخْوَةِ وَ الْأَحِبَّةِ فِيْ أَعْلَى الْفِرْدَوْسِ غَايَةَ السُّمُوِّ وَ الْاِرْتِقَاءِ.


Dengannya, dengan anugerah Allah ta‘ālā, aku peroleh puncak ketinggian dan keluhuran di surga Firdaus tertinggi bersama ayah, ibu, anak keturunan, saudara, dan orang-orang yang mencintaiku.


وَ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا وَ مَوْلَانَا مُحَمِّدٍ عَيْنِ الْوُجُوْدِ وَ سِرِّ الْكَائِنَاتِ وَ عَرُوْسِ الْمَمْلَكَةِ ذِي الْمَفَاخِرِ الَّتِيْ جَلَّتْ عَنِ الْعَدِّ وَ الْإِحْصَاءِ.


Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Sayyidinā wa Maulānā Muḥammad, yang menjadi penerang bagi makhluk, yang menjadi makhluk termulia, yang menjadi pengantin kerajaan dunia akhirat, pemilik berbagai keistimewaan yang tidak terhitung dan teringkas.


وَ ذِي الْمَقَامِ الْمَحْمُوْدِ وَ الْحَوْضِ الْمَوْرُوْدِ وَ الْوَسِيْلَةِ الْعُظْمَى دُنْيًا وَ أُخْرَى وَ مَلْجَأِ الْخَلَائِقِ كُلِّهِمْ وَ إِلَيْهِ يَهْرَعُوْنَ يَوْمَ تَتَرَادَفُ الْأَهْوَالُ وَ تَمْتَدُّ أَزْمَتُهَا حَتَّى يَتَبَرَّأَ مِنَ الشَّفَاعَةِ وَ يَهْتَمَّ بِأَنْفُسِهِمْ أَكَابِرُ الرُّسُلِ وَ الْأَنْبِيَاءِ.


Pemilik derajat terpuji, telaga yang didatangi, dan wasīlah agung di dunia dan akhirat, tempat berlindung semua makhluk, dan kepadanya mereka segera menghadap, pada hari di mana huru-hara terus bertambah dan terus berlangsung, sehingga tokoh-tokoh para rasul dan nabi berlepas diri dari syafaat.


فَصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ رَسُوْلٍ أَلْقَتْ إِلَيْهِ الْمَحَاسِنُ وَ الْمَفَاخِرُ كُلُّهَا مَقَالِيْدَهَا، فَسَمَّا عَلَى أَعْلَى مَنْصَتِهَا بِحَيْثُ لَا مَطْمَعَ لِمَخْلُوْقٍ عَلَى الْعُمُوْمِ فِيْ نَيْلِ تِلْكَ الرُّتْبَةِ الْعَلْيَاءِ.


Semoga Allah memberi rahmat pengagungan dan keselamatan bagi rasul yang seluruh kebaikan dan kebanggaan menyerahkan kunci-kuncinya kepadanya, sehingga ia berada di atas kursinya sekira secara umum tidak ada harapan bagi makhluk lain untuk memperoleh derajat luhur tersebut.


وَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْ آلِهِ وَ صَحْبِهِ الَّذِيْنَ طَلَعُوْا بَعْدَ غَيْبَةِ شُمُوْسِ النُّبُوَّةِ أَنْجُمًا فِيْ سَمَاءِ الْعُلَا لِلْإِرْشَادِ وَ الْاِهْتِدَاءِ، وَ عَنِ التَّابِعِيْنَ وَ تَابِعِيْهِمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْفَصْلِ وَ الْقَضَاءِ.


Semoga Allah ta‘ālā meridhai para keluarga dan sahabatnya, yang setelah tidak adanya matahari kenabian muncul laksana bintang-bintang di langit untuk memberi bimbingan dan petunjuk, semoga Allah juga meridhai para tābi‘īn dan pengikut mereka dalam keimanan sampai hari pemutusan dan penghukuman



(وَ بَعْدُ): فَأَهَمُّ مَا يَشْتَغِلُ بِهِ الْعَاقِلُ اللَّبِيْبُ فِيْ هذَا الزَّمَانِ الصَّعْبِ أَنْ يَسْعَى فِيْمَا يَنْقُذُ بِهِ مَهْجَتُهُ مِنَ الْخُلُوْدِ فِي النَّارِ.


Wa ba‘du, Hal terpenting yang harus dilakukan oleh orang berakal dan cerdas di zaman penuh kesulitan ini (masa hidup penulis, 832-895 H./1428-1490 M.) adalah mengejar hal yang dapat menyelamatkannya dari keabadian di neraka.


وَ لَيْسَ ذلِكَ إِلَّا بِإِتْقَانِ عَقَائِدِ التَّوْحِيْدِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ قَرَّرَهُ أَئِمَّةُ أَهْلِ السُّنَّةِ الْعَارِفُوْنَ الْأَخْيَارُ.


Hal itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan memperkokoh akidah tauhid berdasarkan ajaran yang telah ditetapkan para Imam Ahl-us-Sunnah yang ahli ilmu dan yang terpilih.


وَ مَا أَنْذَرَ مَنْ يَتَّقِنُ ذلِكَ فِيْ هذَا الزَّمَانِ الصَّعْبِ الَّذِيْ فَاضَ فِيْهِ بَحْرُ الْجَهَالَةِ وَ انْتَشَرَ – فِيْهِ الْبَاطِلُ أَيَّ انْتِشَارٍ.


Sungguh jarang sekali orang yang mempunyai keyakinan kokoh seperti itu di zaman yang penuh kesulitan ini, di mana samudra kebodohan semakin banyak dan kebatilan tersebar secara luas.


وَ رَمَى فِيْ كُلِّ نَاحِيَةٍ مِنَ الْأَرْضِ بِأَمْوَاجِ إِنْكَارِ الْحَقِّ وَ بُغْضِ أَهْلِهِ وَ تَزْيِيْنِ الْبَاطِلِ بِالزُّخْرُفِ الْغَارِّ.


Dan kebodohan melempar manusia di setiap tempat di bumi dengan ombak-ombak pengingkaran kebenaran. Kebencian terhadap ahlinya, dan menghiasi kebatilan dengan ucapan batil yang menipu manusia.


وَ مَا أَسْعَدَ الْيَوْمَ مَنْ وُفِّقَ لِتَحْقِيْقِ عَقَائِدِ إِيْمَانِهِ ثُمَّ عُرِّفَ بَعْدَ ذلِكَ مَا يَضْطَرُّ إِلَيْهِ مِنْ فُرُوْعِ دِيْنِهِ فِيْ ظَاهِرِهِ وَ بَاطِنِهِ حَتَّى ابْتَهَجَ سِرُّهُ بِنُوْرِ الْحَقِّ وَ اسْتِنَارٍ.


Sungguh beruntung di zaman ini orang yang diberi taufik untuk mentahqiq akidah-akidah keimanannya, kemudian setelah itu diberi pengetahuan atas furū‘ agama yang harus diketahuinya secara lahir batin sehingga hatinya bahagia dengan cahaya kebenaran dan bercahaya sempurna.


ثُمَّ اعْتَزَلَ الْخَلْقَ طَرًّا طَاوِيًا عَنْهُمْ شِرُّهُ إِلَى أَنْ يَنْتَقِلَ قَرِيْنًا بِالْمَوْتِ عَنْ فَسَادِ هذِهِ الدَّارِ.


Kemudian ‘uzlah (mengasingkan diri sendiri) dari seluruh manusia dengan memutus kejelekannya sampai berpindah mendekati kematiannya dari kerusakan dunia ini.


فَهَنِيْئًا لَهُ بِمَا يَرَى إِثْرَ الْمَوْتِ مِنْ نَعِيْمٍ وَ سُرُوْرٍ لَا يُكَيَّفُ وَ لَا يَدْخُلُ تَحْتَ مِيْزَانِ الْأَنْظَارِ.


Maka membahagiakannya dengan kenikmatan dan kesenangan yang dilihatnya setelah kematian yang tidak terbatas dan terpikirkan.


لَقدْ صَبَرَ قَلِيْلًا فَفَازَ كَثِيْرًا، فَسُبْحَانَ مَنْ يَخُصُّ بِفَضْلِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَ يُقَرِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَ يُبْعِدُ مَنْ يَشَاءُ بِمَحْضِ الْاِخْتِيَارِ.


Sungguh ia telah sabar sebentar kemudian mendapat banyak keuntungan. Maha Suci Allah yang telah mengkhususkan anugerah-Nya bagi orang yang dikehendaki dari hamba-hambaNya, dan mendekatkan serta menjauhkannya dengan murni (semata-mata, hanya) pilihan-Nya.


وَ قَدْ أَلْهَمَ مَوْلَانَا سُبْحَانَهُ بِفَضْلِهِ وَ عَظِيْمِ جُوْدِهِ فِيْ هذَا الزَّمَانِ الْكَثِيْرِ الشَّرِّ لَمَا لَا نَطِيْقَ شُكْرُهُ مِنْ مَعْرِفَةِ عَقَائِدِ الْإِيْمَانِ.


Sungguh Allah Yang Maha Suci dengan anugerah dan keagungan kedermawanannya di zaman yang banyak keburukan ini telah memberi ilham mengetahui akidah-akidah keimanan yang tidak mampu aku syukuri.


وَ أَنْزَلَهَا جَلَّ وَ عَزَّ فِيْ صَمِيْمِ الْقَلْبِ بِمَا نَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ قَوَاطِعِ الْبُرْهَانِ.


Allah – jalla wa ‘azza – telah menempatkan pengetahuan itu di relung hati dengan dalil qath‘i yang aku butuhkan.


وَ عَلَّمَ سُبْحَانَهُ بِمَحْضِ فَضْلِهِ وَ إِحْسَانِهِ جُزْئِيَّاتٍ قَلَّ مَنْ يَعْرِفُهَا الْيَوْمَ وَ مَنْ يُنَبِّهُ عَلَيْهَا بِالْخُصُوْصِ مِنَ الْأَئِمَّةِ الْأَعْيَانِ.


Dengan murni anugerah dan kebaikan-Nya Allah telah mengajarkan hal-hal parsial yang di zaman ini sedikit sekali Imam yang diakui kredibilitasnya yang mengetahuinya dan sedikit sekali Imām yang mengajarkannya kepada orang lain secara khusus.


وَ أَرْشَدَ سُبْحَانَهُ بِمَحْضِ كَرَمِهِ لِتَحْقِيْقِ أُمُوْرٍ قَدِ ابْتُلِيَ بِالْغَلَطِ فِيْهَا مَنْ لَا يَظُنُّ بِهِ ذلِكَ مِمَّنْ عُرِفَ بِكَثْرَةِ الْحِفْظِ وَ الإِتْقَانِ.


Allah Yang Maha Suci dengan murni kedermawanannya telah memberi petunjuk untuk mentahqiq hal-hal yang orang yang dikenal memiliki banyak ilmu dan kokoh pun diuji melakukan kesalahan di dalamnya.


اللهُمَّ كَمَا أَنْعَمْتَ فَزِدْنَا يَا ذَا الْجَلَالِ وَ الْإِكْرَامِ مِنْ فَضْلِكَ وَ تَمَّمَ لَنَا ذلِكَ بِحُسْنِ الْخَاتِمَةِ وَ الْحُلُوْلِ إِثْرَ الْمُوْتِ مَعَ الْأَحِبَّةِ فِيْ دَارِ الْأَمَانِ.


Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberi nikmat, maka tambahkanlah bagi kami, Wahai Zat Pemilik Keagungan dan Kemuliaan, sebagian dari anugerah-Mu, sempurnakanlah anugerah itu bagi aku dengan ḥusn-ul-khātimah dan pasca kematian tinggal bersama orang-orang yang mencintaiku di surga tempat kesentosaan.


وَ لَا تَجْعَلْنَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ مِنَ الْمَسْتَدْرَجِيْنَ بِنِعْمَتِكَ يَا ذَا الْفَضْلِ وَ الْاِمْتِنَانِ.


Jangan jadikan kami, wahai Zat Yang Paling Pengasih di antara para pengasih termasuk orang-orang yang tertipu dengan nikmat-Mu, wahai Zat Pemilik Anugerah dan Kenikmatan.


فَبِكَرَمِ جَلَالِكَ وَ عُلُوِّ ذَاتِكَ ثُمَّ بِرَحْمَتِكَ لِلْهُدَاةِ إِلَيْنَا سَيِّدُنَا وَ مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ نَعُوْذُ بِكَ مِنَ السَّلْبِ بَعْدَ الْعَطَاءِ وَ مِنْ غَضَبِكَ الَّذِيْ لَا يُطَاقُ وَ مِنْ أَنْ تَلْحَقَنَا بِأَهْلِ الْخَيْبَةِ وَ الْحِرْمَانِ.


Dengan kemuliaan keagungan-Mu dan keluhuran Zat-Mu, kemudian dengan rahmat-Mu yang dihidayahkan kepada kami, yaitu Sayyidunā wa Maulānā Muḥammad, aku memohon perlindungan dengan-Mu dari pencabutan nikmat setelah diberikan, dari kemurkaan-Mu yang tidak mampu ditanggung, dan dari bertemu dengan orang-orang yang merugi dan terhalangi dari nikmat.


وَ مِنْ جُمْلَةِ نِعَمِ مَوْلَانَا الْعَظِيْمَةِ وَ مِنَحِهِ الْفَائِقَةِ الْكَرِيْمَةِ أَنْ وَفَّقَنَا سُبْحَانَهُ بِفَضْلِهِ فِيْ هذَا الزَّمَانِ الْكَثِيْرِ الْجَهْلِ لِوَضْعِ عَقِيْدَةٍ صَغِيْرَةِ الْجِرْمِ كَثِيْرِ الْعِلْمِ مُحْتَوِيَةٍ عَلَى جَمِيْعِ عَقَائِدِ التَّوْحِيْدِ.


Di antara sejumlah nikmat Allah yang agung dan karunia-Nya yang luhur dan agung adalah Allah Yang Maha Suci telah memberi taufik padaku dengan anugerah-Nya di zaman yang banyak kebodohannya, untuk menulis kitab berjudul Akidah, yang mengandung banyak ilmu dan mencakup seluruh akidah-akidah tauhid.


ثُمَّ تَأْيِيْدِهَا بِالْبَرَاهِيْنِ الْقَطْعِيَّةِ الْقَرِيْبَةِ لِكُلِّ مَنْ لَهُ نَظَرٌ سَدِيْدٌ.


Kemudian menguatkannya dengan bukti-bukti yang bersifat qath‘i dan mudah dipahami bagi orang yang mempunyai pemahaman benar.


ثُمَّ خَتَمْنَاهَا بِشَيْءٍ لَمْ نَرَهُ سَمِحَ بِهِ أَحَدٌ غَيْرُنَا مِنَ الْمُتَقَدِّمِيْنَ وَ لَا مِنَ الْمُتَأَخِّرِيْنَ.


Kemudian aku akhiri Kitāb al-‘Aqīdah itu dengan materi yang belum aku lihat ada seorang pun selainku dari ulama terdahulu maupun ulama belakangan yang menyampaikannya.


وَ هُوَ أَنَا شَرَحْنَا كَلِمَتَيِ الشَّهَادَةِ الَّتِيْ لَا غِنًى لِلْمُكَلَّفِ عَنْ مَعْرِفَتِهَا وَ إِلَى عَذْبِ مَوَارِدِهَا يَشْتَدُّ عَطْشُ الْمُتَعَطِّشِيْنَ.


Yaitu aku menjelaskan dua kalimat syahadat yang pasti harus diketahui oleh orang-orang mukallaf dan menjelaskan makna-maknanya yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang merindukannya.


إِذْ بِهَا تُقْرَعُ أَبْوَابُ فَضْلِ اللهِ تَعَالَى وَ الدُّخُوْلِ فِيْ زُمْرَةِ الْمُتَّقِيْنَ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ.


Sebab dengannya pintu-pintu anugerah Allah ta‘ālā diketuk dan dengannya dapat masuk ke golongan orang-orang bertakwa bersama para shādiqīn, syuhadā’ dan shāliḥīn.


وَ بِإِتْقَانِ مَعْرِفَتِهَا يَسْلِمُ الْعَبْدُ مِنْ آفَاتِ الْخُلُوْدِ فِيْ غَضَبِ اللهِ وَ يَتَرَقَّى بِفَضْلِ اللهِ تَعَالَى إِلَى أَعْلَى عِلِّيِّيْنَ.


Dan dengan mengokohkan pengetahuan tentangnya seorang hamba dapat selamat dari bahaya kelanggengan dalam kemurkaan Allah, dan dengan anugerah-Nya naik ke A‘lā-‘Illiyyīn di surga.


فَذَكَرْنَا مَعْنَاهَا أَوَّلًا ثُمَّ بَيَّنَّا وَجْهَ دُخُوْلِ جَمِيْعِ عَقَائِدِ الْإِيْمَانِ فِيْهَا بِحَيْثُ تَبْتَهِجُ عِنْدَ ذلِكَ بِذِكْرِهَا قُلُوْبُ الْمُتَّقِيْنَ.


Pertama-tama aku sebutkan maknanya, kemudian aku jelaskan cara masuknya seluruh akidah-akidah keimanan ke dalamnya sekira hati orang-orang yang bertakwa merasa bahagia saat masuk ke golongan muttaqin dengan menyebutkannya.


وَ بَنْبَسِطُ عَلَى بَوَاطِنِهِمْ وَ ظَوَاهِرِهِمْ مَا انطَوَى مِنْ مَحَاسِنِهَا فَأَصْبَحُوْا يَتَبَخْتَرُوْنَ فِيْ حُلَلِ مَعَارِفِهَا بَيْنَ رِيَاضِ الْجَنَّةِ مُتَرَدِّدِيْنَ.


Terbentanglah kebaikan-kebaikan makna kalimat syahadat yang terlipat, pada sisi batin dan lahir mereka, di mana mereka berjalan mondar-mandir dengan penuh keagungan di tengah makna-maknanya yang indah di antara taman surga.



فَدُوْنَكَ أَيُّهَا الْمُتَعَطِّشُ لِلدُّخُوْلِ فِيْ زُمْرَةِ أَوْلِيَاءِ اللهِ تَعَالَى عَقِيْدَةً لَا يَعْدِلُ عَنْهَا بَعْدَ الْإِطِّلَاعِ عَلَيْهَا وَ الْاِحْتِيَاجِ إِلَى مَا فِيْهَا إِلَّا مَنْ هُوَ مِنَ الْمَحْرُوْمِيْنَ.


Maka wahai para perindu masuk ke golongan auliyā’illāh ta‘ālā, ambillah kitab berjudul Akidah tersebut yang tidak akan berpindah darinya setelah menelaahnya dan membutuhkan materinya kecuali orang-orang yang terhalang.


إِذْ لَا نَظِيْرَ لَهَا فِيْمَا عَلِمْتُ وَ هِيَ بِفَضْلِ اللهِ تَعَالَى تَزْهُوْ بِمَحَاسِنِهَا عَلَى كِبَارِ الدَّوَاوِيْنَ.


Sebab kitab itu tiada bandingannya sejauh yang aku tahu. Dengan anugerah Allah ta‘ālā, kitab itu melebihi kitab-kitab lain yang besar.


فَثِقْ أَيُّهَا الْحَافِظُ لَهَا إِنْ فَهِمْتَهَا بِغَايَةِ الْأَمْنِيَّةِ.


Maka mantaplah wahai orang yang menjaganya, bila anda memahaminya, akan memperoleh harapan memahami akidah secara benar.


وَ اشْكُرِ اللهِ تَعَالَى إِذْ مَنَّ عَلَيْكَ بِنِعْمَةٍ عَظِيْمَةٍ طُرِدَ عَنْهَا كَثِيْرٌ مِنَ الْخَلْقِ فَبَاءُوْا فِيْ أُصُوْلِ عَقَائِدِهِمْ بِأَعْظَمِ رِزْيَةٍ.


Bersyukurlah kepada Allah ta‘ālā, sebab Ia telah menganugerahimu dengan nikmat agung yang banyak orang terpalingkan darinya, sehingga mereka mendapat musibah sangat besar dalam pokok-pokok akidah mereka.


وَ أَخْلِصْ لِيْ مِنْ دَعَائِكَ إِذْ أَخْرَجَهَا مِنْ جَوْفِيْ وَ حَرِّكَ بِهَا بِدَمِيْ وَ لِسَانِيْ مَوْلَايَ الْمُنْفَرِدُ بِإِيْجَادِ الْكَائِنَاتِ كُلِّهَا وَ الْعَالَمُ بِكُلِّ طَوِيَّةٍ.


Ikhlashkanlah untukku dari sebagian doamu, sebab Tuhanku Allah Yang Maha Mandiri dalam menciptakan semua makhluk dan Yang Maha Mengetahui semua kesamaan hati, telah mengeluarkannya dari hatiku, dan menggerakkannya dengan darah dan lisanku.


وَ هَا أَنَا أَمَدُّكَ ثَانِيًا بِعَوْنِ اللهِ تَعَالَى بِشَرْحٍ لَهَا مُخْتَصَرٍ يُكْمِلُ لَكَ مِنْهَا الْمَقْصُوْدَ.


Ingatlah untuk kedua kalinya, dengan pertolongan Allah ta‘ālā aku menyuguhkan kepadamu penjelasan ringkas terhadap Kitāb al-‘Aqīdah tersebut yang menyempurnakan maksud kitab bagi anda.


وَ يَكْشِفُ لَكَ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى الْغِطَاؤَ عَمَّا انْبَهَمَ مِنَ الْمَعْنَى الْمَسْدُوْدِ.


Yang in syā’ Allāh ta‘ālā akan membukakan penutup dari makna-maknanya yang lurus yang masih samar bagi anda.


فَتَظْفَرُ إِنْ شَاءَ اللهُ بِكِيْمِيَاءِ السَّعَادَةِ وَ إِكْسِيْرِ النَّجَاةِ.


Maka in syā’ Allāh akan memperoleh keuntungan mati dalam Islam yang sangat diharapkan dan keselamatan yang diidam-idamkan.


وَ هذَا أَوَانُ الشُّرُوْعِ فِيْ هذَا الشَّرْحِ الْمُبَارَكِ بِفَضْلِ اللهِ تَعَالَى الْكَرِيْمِ الْوَهَّابِ، نَسْأَلُهُ سُبْحَانَهُ أَنْ يُعِيْنَنِيْ عَلَيْهِ وَ يُوَفِّقْنِيْ فِيْهِ لَعِيْنَ الصَّوَابِ.


Inilah saatnya memulai penjelasan yang penuh berkah ini dengan anugerah Allah ta‘ālā Yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi. Aku memohon kepada-Nya agar menolongku untuk menghasilkannya dan memberi taufiq kepadaku agar mendapat hakikat kebenaran di dalamnya.


بِجَاهِ سَيِّدِنَا وَ مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ (ص) وَ عَلَى آلِهِ وَ مَنِ انْتَمَى إِلَيْهِ وَ حَازَ بِمُشَاهَدَتِهِ أَعْظَمَ شَرَفٍ مِنْ سَادَاتِنَا الْأَصْحَابِ.


Dengan wasilah derajat Sayyidinā wa Maulānā Muḥammad – semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepadanya, keluarganya, dan junjungan kita para shahabatnya yang karena menjumpainya memperoleh kemuliaan yang sangat besar.


 


[صــــ] (الْحَمْدُ للهِ، وَ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ)


Segala puji bagi Allah. Shalawat dan Salam semoga terlimpah bagi Rasūlullāh s.a.w.


Syarḥ:


[شــــــ] الْحَمْدُ هُوَ الثَّنَاءُ بِالْكَلَامِ عَلَى الْمَحْمُوْدِ بِجَمِيْلِ صِفَاتِهِ سَوَاءٌ كَانَتْ مِنْ بَابِ الْإِحْسَانِ أَوْ مِنْ بَابِ الْكَمَالِ الْمُخْتَصِّ بِالْمَحْمُوْدِ كَعِلْمِهِ وَ شَجَاعَتِهِ مَثَلًا.


Al-Ḥamd adalah memuji dengan kalam (ucapan) kepada yang dipuji dengan keindahan sifatnya, baik dari sisi berbuat baik atau dari sisi kesempurnaan yang khusus dimiliki yang dipuji, seperti ilmu dan keberaniannya, misalnya:


وَ إِنَّمَا قُلْنَا الثَّنَاءُ بِالْكَلَامِ عِوَضًا عَنْ قَوْلِهِمُ الثَّنَاءُ بِاللِّسَانِ لِيَشْمُلُ الْحَدُّ الْحَمْدَ الْقَدِيْمَ وَ الْحَادِثَ.


Aku katakan: “Memuji dengan kalam” sebagai ganti dari ucapan ulama: “Memuji dengan lisan”, agar batasan itu mencakup pujian yang bersifat qadīm maupun ḥadīts (baru).”


وَ الشُّكْرُ هُوَ الثَّنَاءُ بِاللِّسَانِ أَوْ بِغَيْرِهِ مِنَ الْقَلْبِ وَ سَائِرِ الْأَرْكَانِ عَلَى الْمُنْعِمِ بِسَبَبِ مَا أَسْدَى إِلَى الشَّاكِرِ مِنَ النِّعَمِ.


Adapun asy-Syukr (syukur) adalah memuji dengan lisan dan selainnya, dari hati dan seluruh anggota tubuh kepada yang memberi nikmat sebab nikmat-nikmat yang telah diberikannya kepada orang yang bersyukur.


فَبَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْحَمْدِ عُمُوْمٌ وَ خُصُوْصٌ مِنْ وَجْهٍ، يَعْنِيْ أَنَّ الْحَمْدَ أَعَمُّ مِنَ الشُّكْرِ بِحَسَبِ الْمُتَعَلِّقِ، لِأَنَّهُ يَتَعَلَّقُ بِالْكَمَالِ سَوَاءٌ كَانَ إِحْسَانًا أَوْ غَيْرَهُ، وَ الشُّكْرُ لَا يَتَعَلَّقُ إِلَّا بِالْإِحْسَانِ.


Antara asy-Syukr dan al-Ḥamd terdapat keumuman dan kekhususan dari suatu sisi. Yakni al-Ḥamd lebih umum daripada asy-Syukr dengan mempertimbangkan muta‘alliq (yang berkaitan dengan)nya, sebab al-Ḥamd berkaitan dengan kesempurnaan, baik berupa berbuat baik atau selainnya, sedangkan asy-Syukr tidak berkaitan kecuali dengan berbuat baik.


وَ الشُّكْرُ أَعَمُّ مِنَ الْحَمْدِ بِحَسَبِ الْمَحَلِّ، لِأَنَّهُ يَكُوْنُ بِاللِّسَانِ وَ بِالْقَلْبِ وَ بِسَائِرِ الْجَوَارِحِ، قَالَ الشَّاعِرُ:


Di lain sisi, asy-Syukr lebih umum daripada al-Ḥamd dengan mempertimbangkan tempatnya. Sebab asy-Syukr bisa dengan lisan, hati dan seluruh anggota tubuh. Penyair berkata:


أَفَادَتْكُمُ النَّعْمَاءُ مِنِّيْ ثَلَاثَهْ


يَدِيْ وَ لِسَانِيْ وَ الضَّمِيْرُ الْمُحَجَّبَا.


“Kenikmatan yang kalian berikan kepadaku menguntungkanmu pada tiga hal, yaitu syukur dengan tanganku, lisanku, dan hatiku yang tersimpan.”


وَ الْحَمْدُ لَا يَكُوْنُ إِلَّا بِاللِّسَانِ.


Sementara al-Ḥamd hanya terjadi dengan lisan.


وَ الصَّلَاةُ مِنَ اللهِ عَلَى رَسُوْلِهِ (ص) زِيَادَةَ تَكْرِمَةٍ وَ إِنْعَامٍ، وَ سَلَامُهُ عَلَيْهِ زِيَادَةَ تَأْمِيْنٍ لَهُ وَ طَيِّبِ تَحِيَّةٍ وَ إِعْظَامٍ.


Shalawat dari Allah semoga terlimpah bagi Rasūlullāh s.a.w. sebagai tambahan kemuliaan dan pemberian nikmat, dan salam Allah semoga terlimpah bagi beliau sebagai tambahan keselamatan, penghormatan yang baik, dan pengangungan kepadanya