Jumat, 15 Oktober 2021

BENARKAH KUTIPAN PESAN IMAM SYAFI’I TENTANG PANAH FITNAH

Belakangan ini beredar luas kutipan yang dikatakan berasal dari Imam Syafi’i tentang ulama mana yang harus kita ikuti. Dari kutipan baik berbentuk tulisan maupun meme (gambar) itu konon Imam Syafi’i menyarankan kepada muridnya untuk mengikuti ulama yang terkena fitnah atau dibenci oleh orang kafir.

Saya penasaran. Di kitab mana Imam Syafi’i mengatakan demikian? Saya telusuri sejumlah kitab karya Imam Syafi’i yang saya miliki, dari mulai ar-Risalah, al-Umm, Diwan dan Musnad, tapi saya tidak menjumpainya. Begitu juga sejumlah kitab yang ditulis oleh para murid Imam Syafi’i juga saya coba telusuri, namun saya tidak mendapatkan sanad kutipan tersebut.

Dalam bahasa Arab kutipan yang beredar itu begini teksnya:

‎سئل اﻹمام الشافعي رحمه الله : كيف نرى الحق من بين كل هذه الفتن ؟ ‎فقال :اتبع سهام العدو ترشدك إلى الحق

Imam Syafi’i ditanya: “Bagaimana kita mengetahui pengikut kebenaran di jaman yang penuh fitnah?”

Beliau menjawab: “Perhatikanlah panah-panah musuh (ditujukan kepada siapa), maka itu akan menunjukimu kepada siapa ‘Pengikut Kebenaran’ itu”.

Redaksi di atas telah dimodifikasi dalam berbagai versi yang viral sesuai kepentingan masing-masing. Misalnya yang saya temukan:

Versi pertama;

Imam Syafi’i berkata: “Carilah pemimpin yang banyak panah-panah FITNAH menuju kepadanya, IKUTILAH mereka yang banyak di FITNAH, Karena sesungguhnya mereka sedang berjuang di JALAN yang BENAR.”

Versi kedua:

Imam Syafi’i pernah berkata: Nanti di akhir zaman akan banyak Ulama yang membingungkan Umat, sehingga Umat bingung memilih mana Ulama Warasatul Anbiya dan mana Ulama Suu’ yang menyesatkan Umat.

Lantas murid Imam Syafi’i bertanya: “Ulama seperti apa yang kami harus ikuti di akhir zaman wahai guru?”

Beliau menjawab: “Ikutilah ulama yang dibenci kaum kafir, kaum munafiq, dan kaum fasik. Dan jauhilah ulama yang disenangi kaum kafir, kaum munafiq, dan kaum fasik, karena ia ia akan menyesatkanmu, menjauhimu dari Keridhaan Allah“.

Saya menemukan pula di internet bahwa kutipan senada yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i itu juga sering disandarkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan juga kepada Ibn Taimiyah. Jadi sebenarnya itu kutipan dari siapa? Wa Allahu a’lam.

Tapi yang jelas sejauh ini saya tidak menemukan rujukan dari kitab klasik manapun dan juga tidak mendapati sanad kutipan yang diklaim berasal dari pernyataan Imam Syafi’i. Terakhir, setelah usaha saya menelusuri lembaran kitab gagal, saya bertanya langsung kepada Syekh Ibrahim al-Shafie seorang ulama keturunan langsung dari Imam Syafi’i. Lewat WA beliau mengonfirmasi bahwa beliau pun tidak menemukan kutipan tersebut dalam kitab manapun baik dari Imam Syafi’i maupun dari murid-murid sang Imam.

Jadi, saya berani mengatakan bahwa kutipan di atas itu PALSU, sampai ada yang bisa menyebutkan sumber dan sanad kutipan tersebut dan kita verifikasi bersama kevalidannya.

Nah, kutipan di atas telah diviralkan sejumlah pihak sesuai kepentingannya. Para pendukung HRS misalnya mengatakan banyak fitnah terhadap HRS dari para musuh Islam dan itu membuktikan HRS sebagai ulama yang benar, berbeda dengan para ulama NU seperti Gus Dur dan Kiai Said Aqil Siradj yang justru disenangi oleh kaum kafir. Pendukung Gus Dur dan Kiai SAS juga melawan dengan menggunakan kutipan yang sama bahwa justru banyak sekali fitnah yang ditujukan kepada kedua kiai NU ini, dan itu menunjukkan mereka juga benar.

Yang mengejutkan ISIS pun ternyata memakai kutipan di atas dan mengatakan dulu panah musuh, sekarang pesawat tempur dan rudal musuh Islam ditujukan kepada mereka, maka merekalah kelompok yang benar dan harus diikuti umat Islam.

Saya ingin mengatakan bahwa kutipan di atas yang belum terverifikasi itu sudah menjadi BOLA LIAR dan dipakai untuk membela kepentingan masing-masing. Tapi jangan-jangan kita semua yang memakai kutipan di atas jadi turut berdusta atas nama Imam Syafi’i.

Dan kalau kita mau kaji lebih jauh, masak sih standar ‘kebenaran’ itu diukur dari berapa banyak fitnah yang ditujukan kepada ulama? Jangankan para ulama, lha wong saya saja yang bukan siapa-siapa sering kena fitnah dibilang liberal, Syi’ah, sesat, bahkan setiap saat akun saya di medsos diserang para haters. Apa otomatis itu menjadikan pendapat saya benar? Ya belum tentu. Ukuran kebenaran bukan semata-mata soal kebencian dan fitnah dari orang lain, tapi yang terutama adalah soal otoritas keilmuan dan kekuatan argumentasi berdasarkan Nash dan kitab-kitab rujukan.

Kembali ke masalah di atas. Saya tegaskan sekali lagi, bahwa klaim kutipan dari Imam Syafi’i di atas belum terverifikasi, dan harus kita anggap sebagai PALSU dan jangan lagi disebarkan selama belum ada sumber dan sanadnya. Kalau ada yang menyebarkannya, tanya saja: “di kitab apa Imam Syafi’i berkata demikian?” Jangan sampai kita dianggap berdusta atas nama Imam Syafi’i.

Wallahu a’lam..

BY: GNH

Kamis, 14 Oktober 2021

KENAPA BAGIAN ISTRI LEBIH KECIL


 Dalam ilmu Faraidh atau yang juga disebut dengan ilmu Mawaris, kita akan mendapati bahwa pembagian waris itu dibagi menjadi dua bagian; ada ahli waris yang mendapat bagian tertentu atau yang sering diungkap dengan istilah Ashabul furudh, dan ada juga ahli waris yang tidak mendapatkan bagian tertentu namun mereka mendapatkan sisa, atau dalam istilah fiqihnya dikenal dengan istilah 'Ashabah.

Dalam hal ini istri adalah salah satu ahli waris yang termasuk dalam katagori pertama, bahwa istri tidak mungkin mendapat sisa, istri pasti mendapatkan bagian tertentu, bagian tertentu yang dimaksud adalah bagian yang sudah Allah SWT tetapkan dalam Al-Quran, penentuannya Allah SWT langsung yang ‘turun tangan’, bukan hasil ijtihad ulama.

Contoh:

Ismail menikah dengan Hasanah, karena dari hasil pernikahan ini tidak menghasilkan anak, akhirnya mereka mengadopsi satu anak perempun bernama Maimunah yang sekarang sudah menikah dengan Darkasyi dan bahkan sudah mempunyai keturunan yang bernama Si Cut

Ismail mempunyai saudara tua yg bernama Abdullah, Abdullah ini mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Adhar, namun ternyata Abdullah sudah meninggal dunia sebelum  Ismail menikah.

Dan Ismail masih mempunyai satu saudara lainnya yang bernama muslem yang sekarang masih sehat walafiyat, dan beliua juga masih mempunyai satu saudari yang bernama ainsyah yang juga masih hidup.

Jika Ismail meningga dunia, siapa sajakah ahli warisnya? dan berapakah bagian mereka masing?

Bagian Masing-Masing

Hasanah (istri) mendapatkan seperempat (1/4), karena almarhum (suaminya) tidak mempunyai anak keturunan.

Maimunah bukan ahli waris, karena anak hasil adopsi bukan ahli waris. Adhar juga begitu, pun begitu dengan sicut, mereka semua bukan ahli waris.

Abdullah (sdr kandung Alm) tidak mendapatkan haknya, karena Abdullah sudah meninggal duluan sebelum meninggalnya Ismail.

Dan satu saudara serta satu saudari alm yaitu muslem dan ainsyah mendapatkan ashabah (sisa) yang jumlahnya tigaperempat (3/4), dengan catatan bahwa saudara laki-laki mendapat dua kali lipat dari saudari perempuan [للذكر مثل حظ الأنثيين]

Sedang Adhar (keponakan Alm) tidak mendapatkan apa-apa karena dia terhijab (tertutup) haknya dengan keberadaan saudara Alm muslem dan ainsyah yang masih hidup.  

Pada contoh diatas ada ahli waris yang mendapatkan waris dengan bagian tertentu (fardh) yaitu istri  alm, namun ada juga yang mendapatkan harta warisan melalui sisa (ashabah) yaitu saudara dan saudari mayyit.

Mengapa Bagian Istri lebih kecil?

Dari contoh kasus diatas ternyata bagian istri malah lebih kecil ketimbang bagian saudara, itu mengapa kadang ada pertanyaan yang muncul dari sebagian tentang pembagian seperti ini, kok sepertinya tidak adil, dan berat untuk dilakukan.

Mengapa bagian istri malah lebih kecil ketimbang bagian saudara, sedangkan dalam kenyataannya istrilah yang selalu hadir bersama al-marhum dalam aktivitas hariannya semasa hidup. Istri juga yang menyiapkan makan, minum, pakian, mengasuh anak-anak, dan sederet kerja-kerja penting lainnya, yang dilakukan free tanpa ada ‘gaji’ khusus.

Lalu tiba-tiba ketika suaminya meninggal dunia hanya mendapatkan seperempat (1/4) dari harta peninggalannya, dan sisanya yang tiga perempat (3/4) itu semuanya habis diperuntukkan untuk saudara-saudari mayyit.

Para ulama menuturkan bahwa sebab mendapatkan waris itu ada tiga hal:

1. Hubungan Nasab [النسب]

2. Hubungan Pernikahan   [ النكاح]

3. Al-Wala' (memerdekakan budak)

Dari ketiga sebab mendapatkan waris diatas, para ulama sepakat bahwa hubungan nasab itu adalah sebab yang paling kuat dalam hal mendapatkan waris, maka dari sini dapatlah kita simpulkan bahwa ternyata ikatan persaudaraan itu lebih kuat ketimbang istri dimana status hubungannya adalah pernikahan, tentunya kenyataan ini didasari dengan beberapa sebab dan alasan sebagai berikut:

1. Bahwa hubungan pertalian nasab itu lebih dahulu ada ketimbang hubungan pernikahan. Maka hubungan persaudaraan lebih dulu ada ketimbang hubungan pernikahan, bahwa saudara almarhum pada contoh diatas lebih dulu ada secara ikatan ketimbang istri.

2. Bahwa hubungan nasab itu tidak bisa hilang sama sekali, beda dengan hubungan pernikahn, karena cerai bisa menghilangkan status hubungan pernikahan.

Jadi seberapun bencinya almarhum dengan saudara-saudarinya tetap saja tidak bisa memutuskan hubungan persaudaraan mereka, dan kondisi ini sangat berbeda dalam kontek hubungan pernikahan,dimana suatu saat ketika ada sebab-sebab tertentu memungkin hubungan pernikahan ini diputus.

3. Karena pertalian nasab bisa mengurangi bagian waris mereka yang ada dalam pertalian pernikahan.

Sebagai contoh bahwa keberadaan anak yang nasabnya dari ayah kandungnya bisa mempengaruhi bagian ibunya (istrinya ayah), kadang kala istri mendapatkan bagian seperempat (1/4) ketika mayyit tidak ada anak, dan dilain waktu istri mendapatkan seperdelapan (1/8) jika mayyit meninggal dalam keadaan memiliki anak keturunan yang masih hidup. 

4. Bahwa mereka yang berada dalam pertalian nasab bisa mendapatkan harta waris dengan jalan furudh (bagia pasti) dan ashobah (sisa). Sedang istri atau suami hanya mendapat warisan dari satu jalur saja, yaitu jalur furudh, dan mereka berdua selamanya tidak akan pernah mendapkan sisa (ashabah).

Inilah beberapa alasan yang membuat hubugan pertalian nasab lebih kuat ketimbang hubungan pernikahan, walaupun kedua hubungan ini sama-sama menjadi sebab saling mewarisi satu dengan yang lainnya.

Maka dari itulah mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah SWT berikut:

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمْ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْن...

 

"dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu…" (QS. An-Nisa': 12).

Maka untuk itu juga Allah melanjutkan firmanNya dengan:

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa': 176)

Maka sadarlah kita mengapa istri dalam contoh kasus diatas malah lebih kecil bagiannya dari bagian yang diterima oleh saudara-saudara mayyit. Urusan pembagian ini sifatnya pemberian Allah, tidak ada wilayah ijtihad disini, bahwa bagian istri seperempat atau seperdelapan itu Allah SWT yang membaginya, bukan ulama. Inilah bentuk keadilan Allah SWT. Dan siapa lagi yang bisa lebih adil dari Allah SWT?


و الله اعلم باالصواب

Selasa, 12 Oktober 2021

PERKARA-PERKARA YANG MENYEBABKAN MURTAD


 Oleh: Tgk Dailami 

Dalam kitab  Mirqatu Shu'udittashdiq ( مرقاة صعود التصديق) yang merupakan syarahan dari kitab Sullamuttaufiq ( سلم التوفيق ) karangan dari Ulama besar Indonesia syaikh Nawawi Bantani pada halaman 11 beliau menerangkan perkara-perkara yang menyebabkan murtad, baik ucapan,perbuatan atau i'tiqad dalam hati. Di antara perkara yang menjatuhkan seorang muslim dalam kemurtadan adalah :

(او عزم علي الكفر في المستقبل) بان يعزم الان ان يكفر غدا فيكفر حالا لان استدامة الاسلام شرط فاذا عزم علي الكفر كفر حالا...(او علي فعل شيء ) اي او عزم علي اتيانه في الحال (مما ذكر) اي من الكفر بان نوي ان يكفر في الحال (او تردد فيه ) اي في الكفر ... كما اذا تردد هل يكفر اولا وانما كان التردد مكفرا....


( لا وسواسه ) اي الكفر اي حطوره علي باله وتحركه بان جري في فكره فلا يكفر لان الوسواس غير مناقض للجزم فان ذلك مما يبتلي به الموسوس كما افاده الشرقاوي

Artinya:

1.Azam ( cita-cita) akan kufur pada masa akan datang. 

Merencanakan akan kufur maka sesungguhnya ia telah kufur / murtad seketika itu juga. karena kekal dalam islam itu syarat, maka apabila bercita-cita atau merencanakan kufur, maka seketika itu juga menjadi kufur.

Contoh nya, jika hari ini, dengan doaku Allah tidak membantuku keluar dari masalah, maka besok aku akan memeluk agama lain, maka seketika kufur.

2. mencita-citakan akan memperbuat suatu perbuatan kufur, maka kufur seketika. 

3.  Taraddud.

Yaitu bimbang dalam hatinya, apakah ia kufur atau tidak ( tetap dalam islam atau kembali pada agama sebelumnya ).

Ragu-ragu seperti ini juga enyebabkan kufur..

4. Waswas kufur..

Waswas kufur tidak menjatuhkan nya pada kekufuran / kemurtadan.

Contoh nya seorang yang sedang mengaji kitab aqidah, ketika muthala'ah kembali, fikirannya berimajinasi tentang sifat allah begini dan begini, maka dia waswas / imajinasinya ini tidak menyebabkan kufur